Madani

[sub_categories]
[post_image]
[post_title]

Jakarta, Kompas — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengarahkan agar setiap pemanfaatan kawasan hutan memikirkan dan menyediakan koridor satwa. Langkah itu untuk menjaga populasi berbagai satwa yang bersifat penjelajah dan menekan konflik dengan manusia yang saat ini sering terjadi.

Langkah itu berlaku pula bagi lahan yang akan dilepaskan dari areal hutan. Itu termasuk alokasi 2,1 juta hektar kawasan hutan produksi dapat dikonversi (HPK) yang tak produktif sebagai bagian dari tanah obyek reforma agraria (TORA).

“Ketika kawasan hutan dilepas dan itu range (area jelajah) atau koridor satwa, harus dilihat pemerintah daerah dalam mendesain lahan itu,” kata Bambang Hendroyono, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Selasa (18/4), di Jakarta.

Di sela-sela Pertemuan Ke-2 Perwakilan Pemerintah dari Negara-negara di Asia Pemilik Populasi Gajah Asia (AsERSM), ia mengatakan home range satwa itu akan dikelola di kawasan ekosistem esensial. Area itu berada di luar kawasan hutan, tetapi jadi pendukung kehidupan satwa, termasuk sebagai area jelajah.

Bambang yang juga Sekretaris Jenderal KLHK mengakui, pada masa lalu, ruang jelajah dan koridor satwa seperti gajah dan harimau belum dipertimbangkan dalam pelepasan lahan. “Kini kami punya prinsip satwa harus dijaga meski di luar kawasan hutan,” ucapnya.

Terkait hal itu, pelepasan kawasan hutan bagi TORA seluas 2,1 juta hektar harus diawali kesiapan desain pemakaian lahan dari pemda (Kompas, 18 April 2017). KLHK mewajibkan pemda menyediakan koridor satwa jika lokasinya strategis menghubungkan antarhutan konservasi.

Penyediaan koridor diperlukan sebagai perlintasan satwa antarkawasan hutan konservasi atau lindung ataupun hutan produksi. Itu juga bertujuan menjaga kekayaan genetika dan menghindari perkawinan sedarah yang bisa menurunkan mutu satwa.

Menurut Bambang, rambu-rambu penyediaan koridor satwa di hutan yang dilepaskan diatur di peraturan menteri. Selain itu, KLHK bersama sejumlah kementerian menyiapkan Peraturan Pemerintah Kawasan Ekosistem Esensial dan merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.

Kritik

Secara terpisah, pegiat Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, dihubungi di Papua, menyayangkan Ketetapan Menteri LHK No 180/2017 yang tidak memasukkan keterlibatan publik. Ketetapan itu berisi Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber TORA.

Menteri LHK menyediakan 4,8 juta ha areal hutan untuk dilepaskan dan 2,1 juta ha di antaranya ialah HPK tak produktif. Itu mewujudkan janji Presiden Joko Widodo untuk memberi reforma agraria 9 juta ha.

“Reforma agraria diapresiasi menjawab ketimpangan pengelolaan dan penguasaan lahan di Indonesia. Namun, penetapan kebijakan berdampak serius secara sosial dan lingkungan sehingga perlu proses inklusif dan akuntabel,” katanya.

Peta indikatif sulit diakses publik demi menghimpun pemantauan publik dan tidak ada klausul peta itu bisa di revisi per periode. Dalam 6 tahun penerapan Instruksi Presiden terkait Moratorium Kehutanan, hanya bisa diakses kelompok tertentu. Area moratorium tetap berpeluang dibuka. (ICH)

Kompas cetak edisi 19 April 2017

Related Article

[related_posts]