Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin telah dilantik. Untuk Presiden Jokowi, ini adalah hari bersejarah dalam hidupnya karena pelantikan merupakan momentum untuk tancap gas di masa pemerintahannya kali kedua. Rakyat tentu sudah tidak sabar menanti realisasi janji-janji Jokowi pada saat kampanye.
Sedangkan bagi Ma’ruf Amin, pelantikan juga merupakan hari bersejarah, karena langkahnya dari seorang ulama lalu menjadi politisi, harus segera bertransformasi menjadi seorang negarawan. Dalam konteks pemerintahan, Ma’ruf Amin juga harus berani unjuk gigi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, karena latarbelakangnya yang seorang ulama, diyakini memiliki kemampuan untuk menyejukkan. Oleh karena itu, Ma’ruf Amin juga harus berperan dalam penyelesaian isu-isu strategis, karena sejatinya seorang Wakil Presiden.
Setelah dilantik, rakyat pun menunggu satu hal yang hampir klimaks namun, sampai detik ini masih terombang-ambing dalam ketidakpastian. Anti-klimaks tersebut yakni nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menanti peraturan pengganti undang-undang (Perppu) KPK untuk segera diterbitkan.
Perppu KPK yang seolah mau tidak mau, bahkan malu-malu kucing untuk diterbitkan ini, nyatanya terhambat di banyak sisi sehingga membuat Presiden Jokowi pusing tujuh keliling memikirkannya. Salah satu hambatan yang paling kuat terhadap Perppu KPK datang dari partai pendukungnya sendiri, yakni PDI Perjuangan. Dalam sebuah kesempatan, Politisi PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto mengatakan bahwa jika Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu KPK, maka sama artinya Jokowi tidak menghargai proses politik yang telah dilakukan di DPR.
Teranyar, kita menyaksikan perdebatan sengit Politisi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan dengan Ekonom Senior, Emil Salim terkait dengan Perppu KPK ini. Keras kepala PDI Perjuangan untuk menolak Perppu KPK, tercermin dari sikap Arteria Dahlan yang dianggap publik kurang etis dengan menunjuk dan menyerang personal ketika berdebat dengan sesepuh sekelas Emil Salim pada saat diskusi di acara Mata Najwa beberapa hari yang lalu. Oleh karena itu, banyak yang beranggapan bahwa hanya doalah yang saat ini bisa mendorong Perppu KPK untuk diterbitkan.
Sikap pesimistis tersebut tentu cukup berdasar, sebab, mayoritas anggota dewan di DPR menyetujui revisi UU KPK. Sehingga hampir mustahil bagi masyarakat mengharapkan kekuatan parlemen untuk menyelamatkan KPK. Dengan Ketidakpastian nasib KPK saat ini, membuat nasib lingkungan dan alam khususnya nasib hutan kita, ikut gelap gulita. Sederhananya, ketika KPK tidak punya taring untuk menggembosi oknum-oknum yang merusak hutan, maka harapan agar hutan lebih lestari di Tanah Air semakin utopis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa KPK adalah garda terdepan penyelamatan lingkungan, hutan, dan alam Indonesia dari oknum-oknum yang haus akan pundi-pundi rupiah tanpa memikirkan keberlanjutan lingkungan, hutan, dan alam tersebut.
Tak dapat dimungkiri bahwa KPK memiliki peran penting untuk mencapai visi Indonesia yang bebas dari korupsi. Faktanya, selama ini berbagai sektor termasuk lingkungan yang berbau korupsi, berhasil diendus KPK. Menjadi wajar jika banyak oknum-oknum tak bertanggungjawab kebakaran jenggot karena lihainya KPK. Alhasil KPK pun dikebiri.
Jika kita amati, peran KPK dalam penyelamatan sumber daya alam sangat besar. Mulai dari kerugian negara dalam hal penerimaan pajak, kepatuhan para investor dan penggelut usaha konsesi lahan, pelanggaran perizinan, serta kerusakan lingkungan, tidak luput dari sorot tajam KPK. Dalam isu lingkungan serta penyelamatannya, KPK benar-benar hadir sebagai patriot.
Sangat kita ketahui bahwa dampak korupsi terhadap lingkungan membuat kualitas lingkungan itu sendiri menurun drastis. Perusakan alam yang kian masif, memberikan kerugian yang cukup besar terhadap lingkungan maupun terhadap pendapatan negara dari sisi sumber daya alam. Ketergantungan Indonesia yang besar terhadap pendapatan negara dari sisi biofuel, menjadi sektor yang cukup seksi untuk digeluti orang-orang yang tak bertanggungjawab. Dari kasus ilegal loging saja disinyalir kerugian negara mencapai 30-42 triliun rupiah per tahun.
Berdasarkan temuan KPK dalam Nota Sintesis Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, kasus suap menyuap di sektor kehutanan mencapai Rp 688 juta- Rp 22 miliar per tahun. Pada 1998-2013, Perhutani diperkirakan kehilangan asset tegakkan hutannya Rp998 miliar per tahun. Di sektor perkebunan (sawit), tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) Orang Pribadi hanya 6,3 persen dan WP Badan sebesar 46,3 persen.
Bukan hanya terkait kerugian secara materil, penyelewengan yang dilakukan oknum yang menggeluti sektor sawit juga begitu masif, padahal Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres Moratorium Sawit) telah diterbitkan. Namun, masih saja ada oknum-oknum yang tidak mematuhi Inpres tersebut. Dari pantauan citra satelit NASA, Madani Berkelanjutan menemukan ada sebanyak 1.001.474,07 ha perkebunan sawit milik 724 perusahaan berada di dalam hutan primer dan lahan prioritas restorasi gambut yang tersebar di 24 provinsi di Tanah Air. Lebih rincinya, terdapat 384 perusahaan yang memiliki 540.822 ha perkebunan sawit yang berada di lahan gambut, kemudian 102 perusahaan dengan total kepemilikan sebanyak 237.928 ha perkebunan sawit di hutan primer, dan ada 238 perusahaan dengan total luasan perkebunan sawit sebanyak 222.723 hektare yang berada di kawasan hutan.
Dari jumlah itu, 333 perusahaan memiliki perkebunan sawit dengan total 506.333 ha yang berada di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut. Bukan hanya itu, Madani Berkelanjutan juga menemukan lima perusahaan yang memiliki kebun sawit di daerah prioritas restorasi gambut yang masih tetap beroperasi sampai saat ini walaupun perusahaan tersebut sempat terjerat kasus pembakaran hutan tahun 2016, tahun 2017, dan tahun 2019. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya KPK tanpa revisi UU KPK, penyelewengan di sektor sumber daya alam masih sangat besar. Apalagi jika KPK sampai tak punya taring nantinya. Bisa-bisa KPK jadi “macan ompong” yang hanya bisa mengaum tanpa bisa menggigit.
Penulis : Delly Ferdian
Peneliti di Madani Berkelanjutan
Artikel ini sudah dimuat pada Harian Padang Ekspres edisi 21 Oktober 2019