Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat (MHA) merupakan salah satu RUU yang didorong kuat pengesahannya oleh berbagai pihak sedari kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Berbagai instrumen hukum nasional dan internasional juga mendorong adanya pengaturan untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat ini.
Urgensi pengesahan RUU MHA semakin dirasakan mengingat banyaknya kasus pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat. Analisis spasial Madani menemukan beberapa hal yang dapat menambah potensi pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat, di antaranya:
Selain tumpang-tindih dengan izin/konsesi, Area of Interest (AoI) Food Estate, dan PIPPIB, analisis Madani jugamenemukan bahwa masih banyak hutan alam dan ekosistem gambut di Wilayah Adat, masing-masing seluas 5,6 juta hektare dan 878 ribu hektare. Hal ini dapat menjadi peluang untuk mendukung upaya pemenuhan komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Pasalnya, dokumen Nationally Determined Contribution atau NDC Indonesia telah mengakui traditional wisdom (kearifan lokal) sebagai hal yang dapat menjadi bagian dari upaya penurunan emisi. Oleh karena itu, peran masyarakat hukum adat dalam menjaga keseimbangan lingkungan juga patut mendapatkan perhatian.
Berbagai dorongan untuk mempercepat pengesahan RUU MHA telah bermunculan, namun prosesnya masih sangat lambat. RUU MHA telah masuk ke dalam Prolegnas (program legislasi nasional) pada tahun 2013, 2017, dan 2020. Namun, pengesahan RUU MHA masih juga ‘tersalip’ oleh RUU lain seperti Undang-Undang No. 11 tentang Cipta Kerja dan Revisi Undang-Undang Minerba. Tahun ini, RUU MHA kembali masuk ke dalam Prolegnas Prioritas dan saat ini masih berada dalam tahapan harmonisasi. Namun, pelibatan
masyarakat dalam pembahasan RUU MHA dirasakan masih minim. Berbagai konsultasi yang dilakukan ke berbagai elemen masyarakat sipil selama ini termasuk selama masa pandemi Covid-19 masih belum dirasakan sebagai konsultasi yang “murni”. Apabila dilihat dari konsep tingkatan partisipasi publik Sherry Arnstein, partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU MHA dirasa masih bersifat “tokenistik” atau Partisipasi Semu.
Banyak masukan mendasar dari organisasi masyarakat adat, masyarakat sipil, dan akademisi yang tidak kunjung diakomodasi dalam draft RUU MHA meskipun sudah berkali-kali diajukan.1 Terdapat beberapa perdebatan yang kerap muncul dalam pembahasan substansi RUU MHA, di antaranya perbedaan istilah dan unsur dalam definisi MHA, mekanisme pengakuan MHA yang cenderung politis dan berbelit- belit, serta cakupan perlindungan hak- hak MHA yang terbatas pada MHA yang telah diakui secara formal. Selain itu, masih ada isu-isu penting yang belum masuk ke dalam cakupan pengaturan RUU MHA, di antaranya hak-hak kolektif Perempuan Adat dan mekanisme pemulihan hak-hak MHA.
Di samping berbagai perdebatan ini, terdapat indikasi bahwa lambatnya pembahasan RUU MHA terjadi akibat besarnya kepentingan ekonomi-politik yang mewarnai prosesnya di mana konflik kepentingan sulit dihindari. Selain itu, terbitnya Undang-Undang No. 11 tentang Cipta Kerja menambah panjang tantangan yang dihadapi MHA, khususnya dalam harmonisasi substansi RUU.
Disinyalir terdapat dua faktor yang menghambat percepatan pengesahan RUU MHA. Pertama, faktor ekonomi- politik, di mana saat ini mayoritas (55%) anggota DPR RI merupakan pebisnis (318 dari 575). Hal ini memperkuat indikasi terjadinya konflik kepentingan dalam penyusunan undang-undang, termasuk pada penyusunan RUU MHA. Kedua, disahkannya UU Cipta Kerja beserta peraturan-peraturan turunannya berpotensi menambah panjang daftar masalah yang dihadapi MHA sehingga pengakuan terhadap masyarakat adat semakin berjalan di tempat.
Dapatkan Madani’s Insight Juni 2021 “Menakar Perkembangan RUU Masyarakat Hukum Adat” dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.