Madani

Tentang Kami

Nasib Hutan dan Gambut Indonesia di Tengah Pusaran Pilkada Serentak 2020

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang akan dilaksanakan di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota merupakan salah satu momentum politik yang dapat mempengaruhi perlindungan hutan tersisa dan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Pasalnya, deforestasi (penggundulan hutan) dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seringkali meningkat di tahun-tahun sebelum, saat, dan setelah pemilihan kepala daerah.

Selain menjadi momentum yang perlu diwaspadai, Pilkada Serentak 2020 juga merupakan peluang bagi Pemerintah Daerah untuk memperkuat perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut sehingga dapat berkontribusi terhadap pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Pasalnya, daerah-daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 memiliki luasan hutan alam yang signifikan dengan total mencapai 60,05 juta hektare atau 67,72% dari keseluruhan total hutan alam Indonesia di tahun 2019 serta ekosistem gambut seluas 13,89 juta hektare atau 64,23% dari keseluruhan total fungsi ekosistem gambut Indonesia di tahun 2019.

Agar Pilkada Serentak 2020 dapat menjadi momentum untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkualitas di daerah dan berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia, diperlukan pemimpin daerah yang dapat menjadikan hutan alam dan ekosistem gambut yang luas di daerah sebagai aset (pembawa peluang) dan bukan liabilitas (pembawa risiko). Caranya adalah dengan menaruh perhatian lebih pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah, khususnya perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut.

Jika dilindungi dan dikelola dengan baik, luasnya hutan alam dan ekosistem gambut di daerah dapat membuka peluang bagi Pemerintah Daerah untuk mengakses berbagai inovasi pendanaan atau skema insentif berbasis lingkungan, baik yang telah tersedia maupun yang sedang dikembangkan, antara lain Transfer Anggaran ke Daerah dan Dana Desa, Hibah Dalam dan Luar Negeri terkait skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation atau REDD+, Skema Keuangan dan Investasi Hijau, Instrumen Nilai Ekonomi Karbon – yang mekanisme implementasinya terdiri dari perdagangan karbon domestik dan internasional, pembayaran berbasis kinerja, dan pajak karbon – serta Kompensasi/Imbal Jasa Lingkungan Hidup sebagai salah satu Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

Pemerintah Daerah memiliki modal untuk memanfaatkan berbagai peluang di atas karena memiliki tugas dan wewenang yang cukup signifikan dalam konteks perlindungan dan pengelolaan hutan, ekosistem gambut, dan lingkungan hidup, terlepas dari pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memangkas beberapa kewenangan Pemerintah Daerah dan cenderung memperkukuh kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.

Setidaknya ada 5 kewenangan Pemerintah Daerah yang dihapus oleh UU Cipta Kerja, yaitu: 1) Kewenangan terkait pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis, termasuk penetapan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang kawasan strategis, 2) Kewenangan untuk menetapkan kebijakan Amdal dan UKL-UPL, 3) Kewenangan untuk menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL, 4) Kewenangan untuk membentuk dan memberikan lisensi pada Komisi Penilai Amdal serta menetapkan pakar independen yang membantu Komisi Penilai Amdal, dan 5) Kewenangan pemberian Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. 

Selain itu, meskipun Pemerintah Daerah masih memiliki kewenangan terkait perencanaan ruang di wilayahnya dalam bentuk RTRW Provinsi dan Kabupaten, rencana tata ruang daerah tersebut dapat diabaikan untuk memberi jalan bagi kepentingan Proyek Strategis Nasional atau jika ada perubahan kebijakan nasional yang strategis.

Dapatkan Madani Insight Nasib Hutan dan Gambut Indonesia di Tengah Pusaran Pilkada Serentak 2020 November 2020 dengan mengunduh dokumen yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

id_IDID