“Raung buldozer gemuruh pohon tumbang…
Berpadu dengan jerit isi rimba raya…
Tawa kelakar badut-badut serakah…
Dengan HPH berbuat semaunya…
Lestarikan alam hanya celoteh belaka…
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu…”
Lirik lagu Iwan Fals berjudul “Isi Rimba Tak Dapat Berpijak Lagi” yang rilis 1982 ini tampaknya masih relevan dengan kondisi kini. Dulu, hak pengusahaan hutan (HPH) seperti lagu Iwan yang menjadi ancaman terbesar bagi hutan dan isinya. Kini, lebih banyak lagi ancaman, ada hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawit, pertambangan, pembalakan liar dan banyak lagi.
Setiap 21 Maret, masyarakat dunia juga Indonesia memperingati Hari Hutan Internasional, apa maknanya? Sementara kondisi hutan terutama di Indonesia kini makin merana.
Izin-izin skala raksasa yang sudah membebani dan mengubah puluhan juta hektar hutan negeri sejak lama, kini terus bertambah. Bukan hanya satwa atau keragamanan hayati kehilangan tempat berpijak, manusia juga terancam dan menderita. Kerusakan lingkungan memicu bencana terjadi di mana-mana, dari kebakaran hutan, banjir, longsor, pencemaran dan lain-lain..
Data pemerintah—Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—merilis deforestasi 2016-2017 sebesar 496.370 hektar, alami penurunan dari periode tahun sebelumnya sekitar 630.000 hektar per tahun. Angka yang tidak kecil mekipun sudah ada penurunan, ini di luar penghilangan hutan dengan terencana alias karena keluar beragam izin.
Analisis Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi di delapan provinsi (saja) pada 2009-2016 seluas 1,78 juta hektar. Ia meliputi Aceh, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Sulawesi Tengah.
Deforestasi ini terdiri dari 1,04 juta hektar dalam konsesi izin, dan 738.816 hektar di luar konsesi (497.885 hektar dalam kawasan hutan dan 258.931 hektar pada alokasi penggunaan lain).
Pemerintah kini berkomitmen benahi tata kelola. Beragam kebijakan perlindungan hutan dibuat antara lain, setop beri izin baru di hutan primer dan lahan gambut, pengetatan aturan gambut sampai perbaikan standar hijau sawit Indonesia, sampai rencana memoratorium izin sawit.
Beragam upaya itu merupakan langkah baik, dengan catatan, implementasi berjalan, pengawasan ketat dan penegakan hukum tegas bagi pelanggar.
Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, komitmen hutan sudah cukup kuat. Sayangnya, lemah dalam menerjemahkan atau implementasi dalam konteks sosial, ekonomi dan budaya.
Dia contohkan. dalam komitmen penurunan emisi 26%, Indonesia masih belum pernah selesai mendefinisikan apa arti bagi kepentingan nasional. ”Harus ada ambang batas bagi perkebunan monokultur, larangan buka wilayah yang berkarbon tinggi, sedangkan untuk sosial mungkin ada alokasi bagi kelompok yang rentan,” katanya.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga beri pandangan. Dia bilang, pemerintah perlu komitmen tegas terkait moratorium pelepasan kawasan hutan, tak ada lagi untuk industri, perkebunan monokultur dan tambang. Kini, katanya, saatnya tata kelola dan merehabilitasi lahan kritis. Pengelolaan hutan, katanya, berikan kepada masyarakat adat/lokal yang sudah terbukti menjaga hutan-hutan di nusantara ini.
”Masyarakat adat memiliki komitmen melindungi hutan, namun masih banyak yang terhadang status kawasan hutan. Padahal, secara faktual, mereka tinggal disana lebih dahulu,” katanya.
Kini, pemerintah mulai memberikan pengakuan dan penetapan hutan adat. Ia masuk dalam salah satu program prioritas pemerintah lewat perhutanan sosial dan reforma agraria.
Sayangnya, kata Rukka, pengakuan hutan adat lambat sekali, padahal dapat membantu pemerintah mengelola hutan dari beragam ancaman.
”Kita tunggu komitmen Ibu Menteri (Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red) yang akan mengembalikan dan menyerahkan hutan adat seluas 6 juta hektar,” katanya.
Pemberian hak hutan adat mendesak karena mereka terus terancam di lapangan. Konflik terjadi antara warga dan perusahaan pemegang izin—bahkan ilegal sekalipun—maupun antara warga dan pemerintah.
Salah contoh masyarakat adat di Riau. Hutan adat mereka sudah hilang menjadi konsesi hutan tanaman industri, perkebunan sawit hingga tambang.
“Yang tersisa pun, bahkan diklaim pemerintah berada dalam kawasan hutan. Salah satunya di Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Sebenarnya itu hutan adat,” kata Efrianto, Ketua Dewan AMAN Riau.
Pemerintah, katanya, sudah mengakui hutan adat, salah satu melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 soal hutan adat bukan hutan negara.
Hanya, katanya, putusan ini belum berjalan penuh oleh pemerintah daerah termasuk Riau. Kendalanya, pada regulasi di masing-masing wilayah. Padahal, Riau sudah mengesahkan Perda Nomor 10/2015 tentang tanah ulayat dan pemanfataan. Bahkan, salah satu daerah di Riau, Kabupaten Kampar, sudah memiliki Perda Nomor 12/1999 tentang hak tanah ulayat, jauh sebelum putusan MK-35.
Beragam regulasi ada, tetapi di Riau, belum satupun hutan atau wilayah adat mendapat pengakuan pemerintah setempat.
“Jadi, sebenarnya kalau dikaji-kaji entah untuk apa perda itu. Hutan adat pun nyaris tidak ada lagi,” kata Efri.
Tak henti tergerus
Hutan terus hilang untuk industri ekstraktif juga terjadi di Sulawesi Tenggara. Walhi Sultra mencatat, 600.000 hektar hutan jadi ‘milik’ perusahaan pertambangan dan perkebunan. Data ini sesuai izin usaha pemerintah kepada perusahaan.
Kisran Makati, Direktur Walhi Sultra, mengatakan, pertambangan dan perkebunan punya andil besar kerusakan hutan Sultra. Apalagi, katanya, setengah luas lahan itu adalah kawasan hutan seperti hutan lindung, hutan produksi bahkan hutan konservasi.
“Secara nyata memberikan izin dalam kawasan hutan merusak hutan. Data membuktikan harapan pemerintah dengan kebijakan yang keluar berbanding terbalik. Ibarat dua mata pisau yang berbahaya,” katanya.
Kini, katanya, hutan Sultra, mengalami perubahan atau penurunan status karena industri ekstraktif atas izin pemerintah. Ada beberapa lokasi di Sultra alami hal ini, seperti di Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan dan Kolaka.
Beberapa kali Walhi meminta pemerintah dan pemilik izin menghentikan segala aktivitas dalam kawasan hutan. “Mengapa demikian? Karena pemerintahlah yang mengeluarkan izin-izin itu.”
Dia bilang, laju hilang hutan sangat cepat kalau pelaku industri ekstraktif. “Dibanding tindakan masyarakat yang gunakan kampak, dan mesin tebang, itu tak seberapa. Kalau kita lihat dari luar seperti hutan perawan tetapi dalam sudah gundul. Mereka, perusahaan pertambangan dan sawit ini merambah dari dalam.”
Mengenai kebijakan pemerintah pusat mencanangkan perhutanan sosial sebenarnya baik tetapi harus tetap dalam pengawasan. Dia khawatir, skema perhutanan sosial dan reforma agraria lewat pemberian hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, maupun kemitraan kehutanan, malah jadi peluang bagi perusahaan masuk.
Dia bilang, ada contoh di Konawe Selatan, tepatnya Desa Aronggo, dulu hutan adat, jadi hutan desa, belakangan pemerintah menerbitkan izin usaha perkebunan sawit di sana..
Abdi, Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (LEPMIL) Sultra juga angkat bicara. Dia menilai, kerusakan hutan di Sultra berdampak besar bagi masyarakat. Tak hanya mereka yang berada di sekitar hutan rusak, yang jauh juga terdampak.
Kota Kendari, katanya, banjir tatkala hujan turun. Sekalipun volume kecil sering banjir dan genangan air. Kondisi ini, katanya, bukan saja karena pengelolaan drainase dalam kota buruk, melainkan hutan di luar Kendari seperti di Konawe Selatan dan Konawe, sudah gundul karena perkebunan dan pertambangan.
“Bisnis hutan marak hari ini di sektor tambang. Izin pertambangan dalam kawasan hutan. Kepala daerah memberikan izin tanpa memikirkan dampak sosial di masyarakat. Akhirnya dirasakan banjir, masyarakat terpinggirkan dan akses atas hutan untuk masyarakat makin kecil,” katanya. Gubernur Sultra, tertangkap KPK dan kini jalani persidangan dengan jerat hukum kerusakan lingkungan.
Belum lagi soal Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Dia minta segera setop dan tinjau kembali. Proyek ini, katanya, jelas berdampak buruk pada hutan.
Maluku Utara pun alami kerusakan hutan. Provinsi dengan banyak pulau ini juga tak lepas dari sasaran industri ekstraktif dari izin HPH/HTI, tambang sampai sawit.
Bagi AMAN Malut, yang banyak advokasi masyarakat adat di wilayah yang bersentuhan langsung dengan hutan, menemukan kondisi masyarakat adat makin terancam.
Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Malut bilang, dalam beberapa tahun terakhir ini laju deforestasi hutan cukup tinggi. Kalau sebelumnya 25.000 hektar, pada 2016 menyentuh 52.000 hektar.
Kasus di Malut maupun daerah-daerah lain di Indonesia, kata Munadi, sebenarnya memiliki kemiripan terutama mengenai alih fungsi hutan. Dia bilang, di Malut, paling masif ubah hutan itu tambang, HPH/HTI sampai perkebunan sawit.
Munadi contohkan, dari 3,1 juta hektar luas daratan Malut, terbebani konsesi tambang, HPH /HTI maupun perkebunan sawit mencapai 1,4 juta hektar. Jumlah itu, dibagi untuk tambang 757.000 hektar, HPH 282.000 hektar, HTI 24.000 hektar, dan perkebunan sawit 21.000 hektar. Ada juga areal tumpang tindih mencapai 365.000 hektar.
“Dengan luas wilayah hutan yang sudah diambil untuk konsesi tambang, HPH, HTI dan perkebunan sawit itu menyebabkan hutan alam di Malut makin menipis,” katanya.
Dari hutan alam 1,67 juta hektar pada 2014, kini berkurang jadi 1,51 juta hektar pada 2016. “Semua yang masih berhutan itu dominan berada di pulau-pulau kecil.”
Fakta makin tinggi eksploitasi pemodal ini, katanya, memperlihatkan pemerintah daerah belum serius menjaga hutan Malut. “Hutan dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi tanpa menghitung fungsi ekologis. Padahal hutan tersisa itu berfungsi menjaga kelangsungan hidup masyarakat adat maupun lokal dan keragaman hayati.”
Dia bilang, pemberian izin tak henti memungkinkan deforestasi bakal terus meningkat.
Kondisi ini, katanya, bertolak belakang dengan berbagai upaya masyarakat adat dalam melindungi hutan. Peran masyarakat adat menjaga hutan, kata Munadi, sebenarnya sangatlah strategis.
Untuk itu, katanya, perjuangan mereka mendapatkan hutan adat harus mendapat tempat. “Tidak bisa mereka diabaikan,” katanya.
Munadi menambahkan, putusan MK-35 sudah hampir berjalan enam tahun, tetapi belum berjalan sepenuhnya di level pemerintah daerah. “Karena hak-hak mereka tidak diakui, masyarakat adat mudah dikriminalisasi padahal mereka berperan menjaga hutan,”
Pandangan sama juga disuarakan Hidayat Marasabessy, Dosen Kehutanan Universitas Khairun Ternate. Dia bilang, hutan saat ini menghadapi persoalan pelik.
Kondisi ini, katanya, tak terlepas dari kebijakan pengelolaan sumberdaya alam terutama di daerah. “Booming seperti sawit juga pemanenan mineral bumi massif, berhubungan dengan perubahan lanskap kawasan hutan,”katanya.
Dia menilai, kerusakan hutan juga berkaitan erat dengan modal politik. Kala ada suksesi kepemimpinan memerlukan “gizi berat” sebagai asupan pendanaan. “Nah, cara paling mudah mengumpulkan modal dengan mengeluarkan izin investasi sektor tambang, sawit, HPH dan lain-lain.”
Dia mengapresiasi langkah pemerintah pusat yang memberikan perhatian bagi pengelolaan hutan warga melalui perhutanan sosial. Dia bilang, hal itu ini merupakan jalan baik bagi masyarakat mendapat hak mengelola dan memelihara hutan dengan memanfaatkan baik kayu, hasil hutan bukan kayu sampai jasa lingkungan.
Minim akomodir hak warga
Beralih ke Sumatera Barat, beberapa kalangan menilai kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya alam di provinsi ini belum mengakomodir kepentingan dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Sedangkan upaya pemerintah—KLHK—dalam menjaga hutan masih tebang pilih.
Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) menyebut, upaya pemerintah menjaga hutan belum memperlihatkan perbaikan tata kelola fundamental. Yang ada, katanya, baru pada tingkat wacana dan diskursus tetapi minim implementasi.
Perizinan ekstraktif masih terus muncul sedang pemberian legalitas hak adat dan hak kelola masyarakat berjalan lambat, meskipun yang diajukan hanya luasan kecil. Berbanding terbalik kalau pengajuan izin korporasi dengan luas skala besar.
Jargon jaga hutan pemerintah, katanya, juga masih menyasar korban pada masyarakat kecil, seperti yang terjadi dengan masyarakat di Nagari Koto Malintang. Sedangkan terhadap pelanggaran oleh korporasi minim tindakan.
Belum lagi, tak ada upaya serius pemerintah daerah untuk menyelesaikan kknflik klaim antara hak adat dengan negara walau sudah ada putusan MK-35.
Bicara Kepulauan Mentawai, dia nilai kebijakan pemerintah pusat tak konsisten. Satu sisi melindungi dengan menetapkan sebagai cagar biosfir, sisi lain juga ada fungsi produksi diikuti dengan pemberian izin.
Pulau-pulau kecil, katanya, yang harusnya tak boleh ada kegiatan eksploitasi besar-besaran ditetapkan sebagai hutan produksi dan ada izin.
Cause Uslaini, Direktur Walhi Sumbar mengatakan, persoalan hutan di Sumbar masih menggunung, seperti status kawasan hutan masih penunjukan belum penetapan. Belum ada penetapan ini, katanya, berdampak pada konflik masyarakat dengan pemerintah tinggi.
“Ketidakjelasan tata batas hutan juga persoalan yang menyebabkan masyarakat sekitar kawasan hutan dikriminalisasi saat mengambil hasil hutan.”
Kalau bicara soal deforestasi, hutan Sumbar juga mengalami. Banyak izin-izin keluar di kawasan hutan—dengan melepas status kawasan–, ada izin tambang, sawit sampai HPH/HTI.
Selain itu, katanya, pengawasan kawasan hutan dan penegakan hukum masih lemah. Ada temuan perusahaan berizin HGU sawit menanam melebihi luas izin dan menghilangkan kawasan hutan. “Tidak ada penindakan.”
Ada pembukaan lahan untuk menanam sawit dan gambir bahkan dalam kawasan lindung dan taman nasional juga tak ada tindakan hukum. Lucunya, kala dua warga Nagari Koto, menebang dua pohon di hutan adat dengan kearifan lokal tinggi, mengikuti prosedur nagari, malah kena jerat hukum.
“Saya berharap dalam momen peringatan Hari Hutan ini, semua pihak bisa merefleksikan diri bahwa bicara hutan tidak hanya tugas Kehutanan saja harus melibatkan sektor lainn terutama yang merusak hutan,” katanya.
Menurut dia, perlu mendorong pengakuan hutan adat di Sumbar agar bisa terkelola arif dan bijaksana serta masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi.
Di Sumbar, tepatnya Lunang Tapan, katanya, punya 17.000 hektar hutan gambut terakhir yang tersisa dan terancam perkebunan sawit. “Ini harus kita jaga. Jangan sampai semua hutan gambut kita jadi sawit seperti di Pasaman Barat.”
Sementara LBH Padang yang beberapa tahun belakangan banyak mengawal kasus sumber daya alam di Sumbar menyatakan, ada persoalan distribusi sumberdaya alam khusus hutan yang tidak adil di Indonesia, termasuk Sumbar.
Era Purnama Sari Direktur LBH Padang bilang, meskipun ada perhutanan sosial guna menjawab akses masyarakat, namun ada dua catatan penting. Pertama, seberapa persen pemberian kelola warga jika dibandingkan luasan hutan terbebani izin ekstraktif.
Kedua, perhutanan sosial tidaklah menjawab persoalan Sumbar karena hukum adat masih kuat. Jadi, katanya, yang diperlukan tak hanya akses tetapi pengakuan hak. Skema-skema yang cenderung dipilih pemerintah lokal, katanya, justru yang tak menegaskan hak hak masyarakat adat.
Kabar dari Jambi, pun masih tak jauh beda mengenai hutan yang makin berkurang. Setiap tahun, tutupan hutan Jambi terus menyempit. Saat ini, perusahaan menguasai hampir 40% dari luas kawasan hutan Jambi mencapai 2,089 juta hektar. Ia teralokasi untuk konsesi HTI/HPH. Masalah lain, penjarahan hutan pun terus berlanjut.
Data Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) berdasarkan analisis citra satelit Lansat 8, tutupan hutan di Jambi tersisa 900.000 hektar.
Muhammad Zuhdi, Direktur Pelaksana Yayasan Cappa Keadilan Ekologi Jambi mengatakan, hutan di Jambi tak hanya menyempit tetapi rusak, terutama di bekas HPH yang kini banyak dikuasai masyarakat.
Kerusakan terjadi, katanya, tata kuasa dan tata kelola hutan dan pengawasan sulit. “Kita tak bisa menyalahkan masyarakat, kontrol dari birokasi di kehutanan tidak jalan.”
Menurut dia, tutupan hutan hilang bukan hanya di kawasan hutan produksi, juga konservasi. Perambahan dan pembalakan liar terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Duabelas, bahkan sampai hutan restorasi dan hutan lindung.
Menurut Zuhdi, pengawasan hutan di Jambi tak berjalan baik. “Rata-rata di kawasan hutan itu konflik. Kriminalisasi, intimidasi, rasa hidup nyaman pun tidak ada,” katanya.
Konflik membuat kehidupan masyarakat tak nyaman, mereka juga kesusahan memenuhi kebutuhan hidup yang biasa mereka dapatkan dari hutan. “Akibatnya masyarakat jadi tambah miskin, anak-anak juga tidak dapat sekolah.”
Pemerintah, katanya, harus memikirkan ekonomi masyarakat yang hidup bergantung hutan. Dia mendorong, skema perhutanan sosial bagi masyarakat yang hidup dalam kawasan hutan.
Dia bilang, masyarakat adat/lokal, punya cara untuk menjaga hutan, salah satu Orang Rimba di Simpang Macan Luar. Mereka menjaga hutan, ada pohon-pohon tertentu tak boleh tebang sembarangan.
Data KLHK, ada sekitar 25.000-an desa masuk dalam kawasan hutan. Di Jambi, sekitar 100.000 hektar wilayah hutan dikelola masyarakat lewat perhutanan sosial. Yayasan Cappa juga mengusulkan 8.658 hektar di Jambi untuk perhutanan sosial di Sarolangun, Batanghari dan Tanjung Jabung Barat.
Jadi, bagaimana nasib hutan Indonesia, ke depan?
Tim Penulis: Lusia Arumingtyas (Jakarta), Kamarudin (Kendari), Suryadi (Riau), Mahmud Ichi (Ternate), Vinolia (Padang) dan Yitno Suprapto (Jambi).
Sumber: Mongabay Indonesia, 21 Maret 2018.