Madani

Tentang Kami

PENTINGNYA KAJIAN ILMIAH, PENGETAHUAN LOKAL DAN PARTISIPASI PUBLIK UNTUK KEADILAN IKLIM

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyoroti keadilan iklim sebagai isu yang penting dan prioritas menjadi pusat diskusi. Melalui laporannya, IPCC mengakui pentingnya nilai dari kajian ilmiah dan pengetahuan lokal dalam memahami dan mengevaluasi proses adaptasi iklim untuk menurunkan resiko perubahan iklim dan mencapai keadilan iklim. Demikian menurut Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pikul, Indonesia menjelaskan Pentingnya Laporan dari IPCC terkait apa saja dampak dan adaptasinya dalam hal keadilan iklim melalui acara Webinar “Calling For Environmental and Climate Justice in G20” (Tuntutan Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim di Forum G20) pada 26 Agustus 2022.

Menurut Torry Kuswardono, dari 3000 halaman laporan tersebut yang menarik terutama dalam isu-isu keadilan iklim. Laporan ini cukup menarik yang menyebutkan bagaimana efektif dan menerapkan prinsip keadilan iklim. “Kita lihat prinsip-prinsip keadilan iklim disana. Laporan ini dari awal menjelaskan prinsip-prinsip keadilan, ada bab-bab khusus terkait ketidaksetaraan, contoh ketidakadilan dan menyoroti apa keadilan yang perlu dibahas dalam diskusi dan debat seputar perubahan iklim ini,” jelasnya.

Jadi untuk keadilan iklim, strategi adaptasi dan proyek keadilan iklim, banyak LSM yang melakukan solusi bagian mitigasi dan adaptasi sebagai bagian hak dasar dan untuk melakukan keadilan iklim. Agar melibatkan semua orang untuk membicarakan keadilan iklim planet ini dan membuat hak dasar penting ada di laporan tersebut.

“Di laporan 6 menjelaskan adanya ketidaksetaraan dan pengakuan terhadap kelompok yang berbeda-beda. Ini yang perlu kita akui, berdayakan dan berikan dukungan. Bahwa untuk keadilan iklim adanya ketidaksetaraan kekuatan antara negara di dalam negara,” lanjut Torry.

Di Indonesia ketidakadilan itu terjadi dalam 3 tahun terakhir dimana semua orang membicarakan tentang menurunkan ruang demokrasi. Padahal kalau dibandingkan dari rekomendasi laporan ini bahwa partisipasi dan pengakuan dari suara masyarakat amat penting kalau mau menyelesaikan masalah iklim.

Dalam hal perspektif keadilan iklim bisa dikatakan adaptasi yang sukses. 60 persen laporan ini menyebutkan bahwa adaptasi dari program yang dibuat pemerintah dan agen internasional agar dipertimbangkan lebih fokus pada masyarakat rentan, masyarakat adat dan lingkungan hidup. Sedangkan dalam hal mitigasi, ketidakadilan akan lebih besar daripada adaptasinya.

Ketidakadilan Iklim yang Terjadi pada Masyarakat Adat dan Lokal

Ruth Spencer, Perwakilan Negara Kepulauan Kecil, Antigua dan Barbuda menyampaikan bahwa di tingkat lokal negaranya ada distribusi tidak adil tentang kekuatan dan kesejahteraan. Dalam ketidakadilan iklim adalah eksklusi saat masyarakat tertinggal dari kebijakan seputar iklim. “Sangat penting di kelompok tingkat lokal memiliki suara karena di negara saya pada saat mengambil keputusan lingkungan tidak ada budget, uang dan ekosistem yang bisa diperbaiki. Perlindungan untuk kami sangat penting dari berbagai badai, topan dan bencana yang meningkat,” jelasnya.

Yang terjadi di negaranya, banyak investor datang untuk membuat hotel. Masyarakat lokal kehilangan tempat yang dilindungi. Sejak covid, pemerintah sudah menulis ulang peraturan dan membiarkan area itu menerima investor datang dimana kami hidup mencari mata pencaharian, ikan dan sebagainya. Pemerintah melakukan itu secara diam-diam. Anda mengetahui setelah ada keputusan yang sudah terjadi, tidak ada komunikasi dan diskusi, tidak ada akses informasi penting. Ini yg membuat frustasi dan banyak konflik. Kalau ada konsultasi hanya di perkotaan tidak di masyarakat lokal.

Kami menuntut akses informasi, lokasi, periodenya dan kami bisa melihat apakah memang semestinya begitu. Tanpa adanya komunikasi dan akses informasi dan menjadikan investor mendapatkan hak di area terlindungi membuat banyak ketidakadilan kesenjangan. 

Mardiana, Perwakilan Masyarakat Adat dari Indonesia menyampaikan kearifan dan pengetahuan lokal serta kebiasaan dalam menjaga,,memanfaatkan sumberdaya alam dan hutan serta kerusakan alam yang dialami saat ini. Berbagai ancaman karena kerusakan alam hutan dan perampasan lahan.

Sebelum ada perkebunan sawit dan pertambangan batubara, Mardiana dan masyarakat adat lainnya merasa hidup  sejahtera walaupun tidak ada uang. Tapi setelah adanya perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batubara hidupnya merasa terhimpit dan tidak merdeka lagi. Mereka kembali dijajah orang-orang kita sendiri. Mereka kehilangan sumber kehidupan, sumber ekonomi, lumbung padi, sumber kesehatan apotek di hutan, buah-buahan, air bersih ikan, buaya pun tidak ada.

“Kami bernafas dalam debu, bermandikan limbah. Kalau ini berlanjut tidak ada kata sehat dan sejahtera bagi masyarakat adat. Kami berjuang mempertahankan lingkungan, hak-hak, kami selalu berhadapan dengan penegak hukum, pemerintah. Kami dianggap tidak mendukung pembangunan. Itulah yang terjadi pada kami masyarakat adat di Barito Timur, Kalimantan Tengah,” lanjut Mardiana.

Masyarakat adat menghormati hutan, Tapi pemerintah, pengusaha, pihak-pihak perijinanlah yang menghancurkan hutan dan lingkungannya. “Kami meminta pemerintah Indonesia sahkan RUU masyarakat adat dan di G20 tolong evaluasi lagi perizinan perkebunan sawit di seluruh Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah, Kabupaten Barito Timur. Kami meminta evaluasi perizinan perkebunan dan tambang, kembalikan hak hidup kami pulihkan lingkungan yang rusak, tanam hutan yang gundul kami siap membantu,” tegasnya.

Val Munduruku, Pegiat Masyarakat Adat dari Brasil juga menyampaikan bagaimana masyarakat di negaranya menolak dan berjuang karena ancaman tambang ilegal sebagai Isu utama. Situasinya sudah berdampak pada komunitas masyarakat sekitar sungai (seperti sungai Taparaja) dan berdampak pada area lainnya. Situasinya sangat kritis.

“Kami berjuang mempertahankan wilayah kami karena izin tambang yang diberikan oleh pemerintah. Kami yang terkena dampak mempengaruhi lingkungan kami, sumber makanan kami, sumber air.  Kamilah yang tetap ada di tempat tersebut setelah mereka mengambil sumberdaya alam kami. Beberapa tahun ini telah terjadi kerusakan alam, deforestasi karena tambang illegal,” ungkap Val Munduruku.

Sementara itu Anggalia Putri, Sub WG AFOLU and Rights (Agriculture, Forestry and Other Land Use and Rights), sub kelompok kerja terkait pertanian, hutan, penggunaan lahan dan hak atas tanah untuk perubahan iklim menjelaskan terkait perlindungan berbasis hak dan restorasi untuk ekosistem alam bagi keadilan iklim. “Saya berharap apa yang dilakukan kelompok kerja dan sub kerja G20 bisa beresonansi dengan Anda dan perjuangan Anda semua. Mengapa kami disini, kami tidak hanya mendengarkan suara pemerintah saja. Tapi juga mendengarkan suara organisasi masyarakat sipil dan masyarakat untuk mempromosikan pembangunan ekonomi sosial, hak asasi manusia dan prinsip tidak meninggalkan siapapun seperti yang disampaikan bung Torry,” jelas Anggalia Putri.

G20 memiliki komitmen pada AFOLU, ada komitmen pada keanekaragaman hayati dan alami, mencakup tanggung jawab konservasi perlindungan dan penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dan ini meningkatkan komitmen mereka baik jangka pendek maupun jangka panjang terkait degradasi tanah dan pembiayaan. Mereka mengakui pembiayaan kerja-kerja alam dan aspek-aspeknya.  Dan dalam mengakselerasi mitigasi.(*)

Related Article

id_IDID