Siaran Pers, 14 Desember 2023. Konferensi Perubahan Iklim (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab berakhir (13/12) tanpa mandat tegas untuk mengakhiri bahan bakar fosil. Pemerintah Indonesia diminta untuk menggalakkan komitmen iklim dalam negeri serta bersuara lebih keras mendesak negara-negara maju memenuhi kewajiban mereka. Masa depan negosiasi iklim harus dipimpin oleh negara-negara berkembang, negara-negara miskin, dan negara-negara yang paling terdampak krisis iklim.
COP-28 Dubai adalah momen penting di mana negara-negara mendapatkan “rapor buruk” dalam capaian kolektif mereka dalam mengatasi krisis iklim yang mengancam nasib generasi mendatang. Keputusan COP 28 juga terlihat kontradiktif dan timpang; yang menyebut diri harus selaras dengan ilmu pengetahuan, tetapi tanpa menetapkan target yang cukup ambisius.
Hasil penilaian global atau global stocktake (GST) menemukan bahwa implementasi kebijakan dalam komitmen iklim (NDC) negara-negara yang ikut meratifikasi Perjanjian Paris hanya akan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 2% pada 2030 dibandingkan tingkat tahun 2019. Padahal, untuk memastikan laju peningkatan global tidak lebih dari batas aman 1,5C pada akhir abad ini, emisi GRK global harus turun sebesar 50% pada 2030 dan mencapai net zero emissions pada 2050.
“Dunia sangat kecewa karena COP 28 tidak menghasilkan mandat tegas untuk mengakhiri (phasing out) bahan bakar fosil, yaitu batubara, minyak bumi, dan gas alam. Meski ada seruan untuk beralih dari energi fosil untuk mencapai net zero sekitar tahun 2050, banyak sekali hal-hal kompromis seperti penggunaan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), transitional fuels yang tidak jelas definisi batasannya, bahkan memasukkan nuklir sebagai solusi,” ujar Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.
Apabila benar-benar mengacu kepada ilmu pengetahuan, dunia harus mengurangi penggunaan batubara sebesar 95%, minyak bumi 60%, dan gas alam 45% pada 2050.
Lambannya aksi iklim membuat masyarakat semakin terjepit dalam menghadapi berbagai dampak krisis iklim, seperti cuaca panas ekstrim, banjir, gelombang tinggi, kekeringan, meluasnya penyakit, hingga hilangnya tempat tinggal, mata pencaharian, dan bahkan situs budaya. Dampak paling parah dirasakan oleh kelompok masyarakat rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, anak-anak, perempuan – termasuk remaja perempuan- masyarakat adat dan lokal, petani dan nelayan tradisional, serta buruh. Berdasarkan data BNPB, selama 10 tahun terakhir lebih dari 90% bencana yang terjadi adalah bencana terkait iklim dan telah memakan korban lebih dari 32 juta orang.
Sementara itu, dalam agenda Global Goals on Adaptation, COP 28 baru berhasil merumuskan cakupan tujuan adaptasi namun tanpa disertai target yang jelas. Pun, meski ada pengakuan terhadap pengetahuan lokal dalam beradaptasi dan kepemimpinan masyarakat adat dalam beradaptasi, namun tidak disebutkan mengenai perlindungan tenurial sebagai prasyarat adaptasi berbasis pengetahuan lokal dan tradisi.
Untuk memastikan solusi iklim yang adil dan berkelanjutan, seluruh pihak termasuk pemerintah daerah dan masyarakat rentan harus dilibatkan secara bermakna. Namun demikian, negara tidak boleh angkat tangan dalam menyelesaikan situasi krisis iklim.
“Pertanyaan paling mendasar adalah siapa pihak yang seharusnya beradaptasi terhadap situasi krisis hari ini? Mereka adalah pemerintah dan korporasi, sebab kebijakan, program serta keputusan politik yang mereka hasilkan justru menghancurkan daya adaptif rakyat, dan aksi mitigasi yang selama ini mereka lakukan,” lanjut Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.
Rencana dan implementasi aksi mitigasi juga harus terintegrasi dengan aksi adaptasi sehingga tidak semakin memperlemah kemampuan masyarakat untuk mempertahankan diri mereka dalam menghadapi dampak krisis iklim. Realita yang terjadi justru sebaliknya, seperti kasus-kasus perusakan masif dalam pemenuhan kebutuhan elektrifikasi yang mengancam pulau-pulau kecil di Indonesia Timur serta pembangunan infrastruktur yang justru menciptakan kasus-kasus mal-adaptasi di Indonesia yang cukup tinggi.
“Meski COP-28 menghasilkan satu keputusan penting terkait dampak krisis iklim yang sudah terjadi dan tidak dapat dipulihkan lagi, yaitu operasionalisasi pendanaan untuk mengatasi Kehancuran dan Kerusakan atau Loss and Damage. Namun, prosesnya belum memberikan kepastian bagi mereka yang telah mengalami Kehancuran dan Kerusakan. Hal ini menunjukkan masih curamnya jalan menuju keadilan iklim,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.
Kembali dari Dubai, negara-negara memiliki pekerjaan rumah untuk memperkuat komitmen iklimnya agar selaras dengan target 1,5C.
“Klaim keberhasilan Indonesia menurunkan emisi sebesar 42% seharusnya menjadikan Indonesia lebih berani dan tegas dalam menangani krisis iklim, di antaranya dengan meningkatkan ambisi kontribusi nasional dalam NDC Kedua sesuai target 1,5C,” ujar Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan.
Abimanyu Sasongko Aji, Manager Program Pendanaan Perubahan Iklim Kemitraan, menambahkan, “perencanaan dan implementasi aksi iklim harus dibuat lebih transparan, akuntabel, inklusif, dan partisipatif, terutama terhadap kelompok rentan. Selama ini, aspek inklusif dan partisipatif itu yang seringkali terlupakan.”
Sebagai negara dengan hutan tropis kedua terluas di Dunia, Indonesia menjadikan sektor Kehutanan dan Lahan (Forestry and Land Use/FOLU) sebagai tumpuan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap dampak krisis iklim, terutama dengan semakin meningkatnya kenaikan muka air laut yang dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil dan risiko kehilangan tempat tinggal.
“Delegasi Indonesia yang baru pulang dari perundingan di Dubai harus membuka mata akan realita di lapangan. Hutan alam masih terus hilang, pulau-pulau kecil terancam, transisi energi yang tidak berkeadilan justru merusak lingkungan dan merampas hak-hak masyarakat, perusakan pesisir, perairan, terumbu karang, dan mangrove pun terus terjadi sehingga perekonomian masyarakat lokal hilang,” pungkas Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL. “Tidak hanya itu, masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat pun masih terus diintimidasi dan dikriminalisasi,” tambah Torry.
Masyarakat sipil mencatat, selama periode 2001-2022 telah terjadi kehilangan 6,5 juta hektare tutupan hutan alam, termasuk mangrove. Seluas 176 ribu hektare di antaranya hilang dalam tiga tahun terakhir (Mapbiomas, 2023). Selain itu, setidaknya terdapat 26 kasus hukum yang dihadapi pembela lingkungan pada 2021, meningkat 10 kasus dibandingkan tahun sebelumnya (Environmentaldefender, 2021).
Masyarakat sipil menuntut agar Indonesia memiliki agenda prioritas dalam penanganan krisis iklim. Pertama, melakukan pemensiunan batu bara lebih cepat termasuk captive coal power plant untuk kepentingan hilirisasi. Kedua, menghentikan deforestasi serta memulihkan dan melindungi seluruh ekosistem alam tersisa dengan menghormati dan mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal. Ketiga, bersiap untuk menghadapi bencana iklim yang sudah semakin sering terjadi melalui adaptasi efektif dan berkeadilan, serta menghindari terjadinya maladaptasi. Keempat, menyalurkan pendanaan iklim yang dapat diakses langsung masyarakat terdampak di tingkat tapak. Kelima, pemerintah harus menjamin dan melindungi hak setiap warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, yaitu dengan menghentikan segala bentuk ancaman dan intimidasi kepada masyarakat pembela lingkungan dan HAM.
Hasil perundingan di Dubai ini memperkuat bukti bahwa negara-negara maju gagal menunjukkan kepemimpinan dalam upaya mengatasi krisis iklim global. “Oleh karena itu, sudah saatnya negara-negara berkembang, miskin, dan terdampak merebut kepemimpinan negosiasi iklim dan bersuara lebih keras menuntut negara-negara maju memenuhi kewajiban mereka dalam mengurangi emisi GRK, membantu negara-negara berkembang dalam hal beradaptasi, maupun mengatasi kehancuran dan kerusakan atau Loss and Damage akibat krisis iklim,” tutup Nadia.
Narahubung: