Sebagai upaya mengatasi krisis iklim dunia, mengurangi bahkan menghentikan pemanfaatan energi fosil menjadi sebuah keniscayaan. Namun, banyak negara yang terlihat sulit untuk menghentikan pemanfaatan energi fosil karena efek ketergantungan yang sangat kuat, misalnya pada minyak bumi dan gas, bahkan pada batubara yang harganya relatif murah .
Kesulitan dalam mengatasi hal tersebut membuat banyak pihak menganjurkan untuk mengalihkan dan mengurangi pemanfaatan sumber energi dari bahan bakar fosil dengan memanfaatkan bahan bakar nabati (BBN).
Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, biofuel seperti etanol menghasilkan karbon dioksida hingga 48 persen lebih sedikit daripada bensin konvensional. Sementara itu, penggunaan biodiesel hanya melepaskan seperempat jumlah karbon dioksida yang dikeluarkan diesel konvensional. Hal ini menjadi pilihan yang jauh lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Suatu saat bahan bakar fosil akan tidak dimanfaatkan lagi karena dampak kerusakan lingkungan salah satunya krisis iklim yang diakibatkannya. Menuju transisi energi bersih yang lebih terbarukan, meninggalkan energi fosil dengan beralih memanfaatkan biofuel dinilai cukup realistis.
Menurut Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015), beragam bahan baku hasil pertanian dapat digunakan untuk memproduksi BBN, seperti bioavtur, biodiesel, dan bioetanol. Bahan baku pertanian tersebut bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu minyak/lemak, pati/gula dan lignoselulosa. Tanaman penghasil minyak dan lemak, antara lain, ialah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, dan mikroalga. Tanaman penghasil pati/gula misalnya tebu, ubi kayu, jagung, sagu, aren, sorgum, dan makroalga. Tanaman penghasil lignoselulosa contohnya limbah kehutanan, limbah pertanian, dan rumput gajah.
Meskipun banyak tanaman yang dapat digunakan untuk memproduksi BBN, tidak semua tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN. Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015) menentukan tujuh kriteria jenis tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN di Indonesia. Pertama, bahan pangan yang sudah surplus. Kedua, produktivitas tanaman. Ketiga, rendemen BBN. Keempat, tanaman energi multiguna. Kelima, kesiapan pengembangan tanaman. Keenam, kebijakan pemerintah. Ketujuh, lahan tidak bersaing dengan tanaman pangan/kemudahan tumbuh di lahan marginal.
Berdasarkan pada tujuh kriteria dan produk yang ditetapkan untuk dikembangkan, Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015) menyebut 13 tanaman di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi biodiesel dan bioetanol.
Dari semua tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN itu, sawit lebih banyak dimanfaatkan oleh pemerintah.
Dikutip dari Ebtke.Esdm.go.id (2019), pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menggalakkan Program Mandatori BBN melalui Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015.
Menurut Ebtke.Esdm.go.id (2019), tujuan implementasi Program Mandatori BBN ialah untuk memenuhi komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dari BAU pada 2030; meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi; stabilisasi harga CPO; meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit; memenuhi target 23% kontribusi EBT dalam total energi mix pada 2025; mengurangi konsumsi dan impor BBM; mengurangi emisi GRK; dan memperbaiki defisit neraca perdagangan.
Pemerintah juga telah memasukkan sawit ke dalam salah satu dari lima program untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan. Program itu masuk ke dalam Prioritas Riset Nasional 2020—2024 yang berada di bawah Kemenristek/BRIN (Kompas.com, 2021). Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa target penggunaan BBN dari sawit sebagai BBM ialah menghasilkan bensin, diesel, maupun avtur 100 persen dari bahan baku kelapa sawit sehingga bisa mengurangi impor BBM (Kompas.com, 2021).
Namun dominasi sawit sebagai bahan bakar nabati ini rentan menimbulkan permasalahan, mengingat Indonesia kaya dengan bahan bakar nabati lainnya. Jika hanya bergantung pada satu sumber bahan (feedstock) saja maka akan muncul ermasalahan seperti monokultur, persoalan lingkungan hidup, ancaman fungsi hutan dan lahan hingga “perebutan” sumber pangan dan energi. [ ]
Sumber:
“Apa Itu Biofuel (Bahan Bakar Nabati)?” (Madaniberkelanjutan.id, 5 Oktober 2021).
Buku Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan, 2015).
“Program Mandatori Biodiesel 30% (B30)” (Ebtke.Esdm.go.id, 19 Desember 2019).
“Pemerintah Siapkan 5 Prioritas Program Energi Terbarukan Hingga 2024” (Kompas.com, 20 April 2021).