Jakarta, 5 November 2019. Di samping berfokus pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi melalui transformasi struktural dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, Presiden dan Kabinet Indonesia Maju tidak bijak jika melupakan komitmen iklim Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 29% hingga 41% pada 2030.
Begitu ditekankan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam acara Rembuk Nasional Pemangku Kepentingan: Bergandengan Tangan Merawat Iklim Bumi untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia di Jakarta pada 5 November 2019.
“Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi janji pada masa kampanye untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan, antara lain melalui mitigasi perubahan iklim,” ujar Teguh. “Pembangunan rendah karbon yang saat ini sedang digodok melalui RPJMN 2019-2024 sangat sejalan dengan keinginan Presiden untuk mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia akan ekspor bahan mentah, yang membuat perekonomian kita rentan terhadap volatilitas harga komoditas global.”
Sementara itu, Alya Nurshabrina, Miss Indonesia 2018 yang hadir sebagai salah satu pemberi pidato kunci di kegiatan tersebut mengatakan, “Sebagai generasi muda, tentu kami mendukung cita-cita Presiden Joko Widodo untuk memajukan Indonesia melalui peningkatan kualitas SDM dan pertumbuhan ekonomi. Tapi, semua itu harus dilakukan dalam koridor yang tidak merusak lingkungan dan dapat menjamin keberlangsungan alam. Kita sebagai konsumen juga harus mulai peduli untuk mengkonsumsi produk-produk yang berkelanjutan dan tidak merusak hutan.”
Dengan kembali terpilihnya petahana Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia seharusnya bisa membuat lompatan besar untuk mencapai komitmen iklim di sektor kehutanan yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution atau NDC. Lompatan besar diperlukan karena periode pelaksanaan NDC akan segera dimulai pada 1 Januari 2020.
“Asalkan tidak ada pelemahan kebijakan atas nama investasi karena sekarang KLHK berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi,” tambah Teguh.
Para pakar sudah memperingatkan bahwa target penurunan emisi Indonesia akan sulit dicapai kecuali ada penguatan kebijakan maupun implementasi dalam hal kebijakan mitigasi.
“Salah satu langkah yang urgent diambil Presiden untuk mencapai target penurunan emisi di sektor kehutanan adalah memperluas cakupan hutan alam yang dilindungi dari izin baru,” terang Teguh. ”Temuan awal Madani, terdapat sekitar 8,5 juta hektare hutan alam sekunder di luar wilayah PIPPIB dan izin-izin yang telah ada, yang harus segera dilindungi melalui kebijakan penghentian izin baru di hutan alam dan lahan gambut.”
Hutan alam seluas 8,5 juta hektare tersebut tersebar di 33 provinsi dengan lima terluas di Papua (1 juta hektare), Maluku (883 ribu hektare), Nusa Tenggara Timur (862 ribu hektare), Kalimantan Tengah (850 ribu hektare), dan Maluku Utara (592 ribu hektare).
Langkah inovatif lain yang dapat diambil pemerintah adalah melindungi tutupan hutan alam yang terlanjur diberikan untuk izin perkebunan dan pertambangan.
Menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, terdapat 1,4 juta hektare hutan alam dalam kondisi baik yang sudah dilepaskan untuk perkebunan sawit. Sementara itu, dari analisis peta tutupan lahan 2018 yang dilakukan Madani, tutupan hutan alam di area perkebunan sawit mencapai 3,4 juta hektare, termasuk di area izin yang masih dalam proses. Penyelamatan hutan alam di area perkebunan sawit ini konsisten dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau moratorium sawit.
“Aksi mitigasi lain yang harus diperkuat implementasinya adalah mencegah karhutla secara komprehensif dengan mengakselerasi dan memperluas target restorasi gambut pasca-2020 serta mempercepat realisasi target perhutanan sosial dengan disertai pendampingan yang kuat agar dapat berkontribusi pada pencapaian NDC,” ujar Teguh.
Studi Madani bersama Yayasan Climate & Society terkait Kontribusi Perhutanan Sosial di tiga wilayah Perhutanan Sosial di KPH Bukit Barisan, Provinsi Sumatera Barat menemukan bahwa persentase penurunan illegal logging di tiga wilayah PS yakni KTH Putra Amdam Dewi, LPHN Sungai Buluh, dan LPHN Gamaran mencapai 83,68% dengan penurunan emisi sebesar 483.941 tCO2/tahun. Setelah mendapatkan izin Perhutanan Sosial, masyarakat beralih ke komoditas hasil hutan bukan kayu dan ekowisata dan oleh karenanya berkontribusi pada penurunan emisi di sektor kehutanan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi.
Potensi penurunan emisi dari deforestasi pada ketiga PS di KPH Bukit Barisan di atas bisa mencapai 235.254 tCO2 atau 0,025% dari target NDC. Jika dilakukan percepatan implementasi PS pada wilayah berisiko deforestasi sedang sampai tinggi dan dapat mencegah deforestasi di wilayah tersebut, program PS secara nasional berpotensi untuk berkontribusi sebesar 34,6% dari target NDC.
Studi lain Madani terkait praktik terbaik perhutanan sosial dalam menjaga iklim bumi menunjukkan bahwa pendampingan yang kuat dalam tata kelola kelembagaan, tata kelola kawasan, dan tata kelola usaha adalah kunci sekaligus benang merah dari berbagai kisah sukses PS, baik dalam meningkatkan kesejahteraan maupun mengurangi emisi.
Enam kisah yang diangkat adalah dari Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kalibiru di Kulonprogo, Yogyakarta, HKm Bleberan Gunung Kidul, Yogyakarta, Hutan Desa Lanskap Padang Tikar, Kubu Raya, Kalbar, Hutan Desa Jorong Simancuang, Sumatera Barat, Hutan Desa Lanskap Bujang Raba, Bungo, Jambi, dan Hutan Adat Marena, Enrekang, Sulawesi Selatan.
“Masyarakat mampu menjaga hutan, namun tantangannya memang di pendampingan. Bagi 5.615 unit masyarakat yang telah mendapat SK Perhutanan Sosial pada 13 Mei 2019, baru tersedia 1.215 pendamping atau 21,64%. Masih banyak masyarakat pengelola PS yang belum memiliki pendamping,” ujar Untung Widyanto, peneliti Madani dan penulis praktik terbaik PS di enam wilayah di atas. “LSM tak memiliki banyak dana dan ada tantangan ketika harus keluar dari wilayah yang didampingi. Oleh karenanya pemerintah harus memperhatikan isu pendampingan ini dengan serius.”
Kajian praktik terbaik ini menunjukkan bahwa ekonomi masyarakat dapat meningkat lewat skema perhutanan sosial. Pada 2016, Wisata Alam Kalibiru yang dikelola oleh KTHm Mandiri mampu mendapatkan pemasukan hingga Rp 5,9 miliar dari 443 ribu turis dalam dan luar negeri. PS lainnya menghasilkan berbagai komoditas mulai dari kopi, kulit manis, karet, kakao, kapulaga, padi organik, palawija, udang vaname, kepiting bakau, madu kelulut, hingga tanaman pokok jati dan sonokeling. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat adalah offtaker atau akses pasar.
Dengan berbagai contoh di atas, upaya mencapai komitmen iklim dan menyejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan hendaknya menjadi jangkar sekaligus koridor bagi pemerintah ketika berusaha menarik investasi sebanyak-banyaknya ke Indonesia. “Melalui pencapaian komitmen iklim, Indonesia bisa mencegah menipisnya sumber daya alam sekaligus bencana akibat kerusakan lingkungan yang sudah dapat dipastikan akan mengganggu dan mengoreksi pertumbuhan ekonomi,” tutup Teguh.
***
Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id
Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id