Pemerintah Indonesia mengklaim telah mempersiapkan para delegasi dan negosiator handal dalam perundingan iklim pada COP 26 UNFCCC di Glasgow November mendatang. Bahkan dalam siaran pers yang dipublikasikan dalam website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri LHK, Siti Nurbaya menekankan kepada para Delegasi Indonesia untuk COP 26 agar menunjukkan kepada Dunia Internasional bahwa Indonesia sangat serius dalam penanganan pengendalian perubahan iklim yang terencana dan solid antar sektor.
Pertanyaan mendasarnya adalah benarkah pemerintah selama ini serius dalam pengendalian perubahan iklim? Jawaban dari pertanyaan itu menjadi penting jika pemerintah ingin posisi tawarnya dalam COP 26 itu menguat. Sebaliknya, bila selama ini pemerintah ternyata tidak serius dalam melakukan pengendalian krisis iklim, posisi tawar para delegasi dalam negosiasi akan lebih sulit, karena para delegasi harus merangkai-rangkai cerita untuk membangun pencitraan seolah-olah pemerintah serius dalam pengendalian krisis iklim.
Salah satu indikasi keseriusan pemerintah dalam mengatasi krisis iklim adalah dengan mengendalikan laju penggundulan hutan (deforestasi). Hutan memang berpotensi menyerap emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim. Makin luas hutan yang hancur, makin banyak pula emisi GRK yang dilepas di atmosfer. Jika itu yang terjadi, bencana ekologi akibat krisis iklim akan semakin sering menghampiri kita.
Salah satu kawasan hutan di Indonesia yang tersisa adalah di Papua. Celakanya, di Papua, laju deforestasi juga melonjak tajam. Data deforestasi hutan sejak tahun 1992 hingga tahun 2019 dari Yayasan Auriga Nusantara, seperti ditulis merdeka.com, mengungkapkan bahwa luas hutan alam yang hilang pada 2015-2019 mencapai 2,81 juta hektare. Angka deforestasi tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.
Seperti ditulis CNN Indonesia, KLHK mengakui bahwa pada era Presiden Jokowi menerbitkan 17 Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) pada 2015-2019 dengan luas total lahan 269.132 hektare. Namun, KLHK mengungkapkan bahwa hampir 100 persen deforestasi yang terjadi di 2015 berasal dari luar areal 17 SK PKH yang diterbitkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi selama periode 2015-2019.
Debat antara organisasi lingkungan hidup dan KLHK terkait deforestasi di Papua tidak bisa menghapus fakta bahwa telah terjadi penghancuran hutan besar-besaran di Papua, terlepas itu terjadi karena konsesi yang diterbitkan di era Presiden SBY atau Jokowi. Tugas pemerintah harusnya mencegah semaksimal mungkin terjadinya penghancuran hutan alam Papua yang tersisa itu.
Kurang seriusnya pemerintah dalam mengatasi persoalan deforestasi ini nampak juga dengan masih seringnya pemerintah ’membunuh’ pembawa pesan pihak-pihak yang melontarkan kritik atas pengelolaan hutan dengan memberikan label tidak nasionalis. Narasi nasionalisme dibangun atas dalih hasil perkebunan sawit, yang tak jarang menghancurkan hutan, itu merupakan penghasil devisa, sehingga kampanye perubahan iklim, tak lebih sebagai upaya untuk menghancurkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Pihak-pihak yang mengkampanyekan perubahan iklim pun diberikan label sebagai antek asing.
Pengendalian emisi GRK bukan hanya dari sektor kehutanan namun juga sektor energi. Indonesia tercatat sebagai pengekspor energi fosil, terutama batubara, penyebab krisis iklim. Menurut data dari Outlook Energi Indonesia (OEI) 2019, pada tahun 2018, total produksi energi primer yang terdiri dari minyak bumi, gas bumi, batubara, dan energi terbarukan mencapai 411,6 Million Tonne Of Oil Equivalent (MTOE). Sebesar 64% atau 261,4 MTOE dari total produksi tersebut diekspor terutama batubara dan LNG.
Meskipun nilai ekspor batubara dari Indonesia naik turun, secara umum ekspor batubara masih dominan. Menurut BPS dalam publikasi analisis komoditas ekspor 2013-2020 tercatat bahwa nilai ekspor sektor pertambangan didominasi dari ekspor pertambangan batubara (83,40%).
Padahal emisi GRK dari batubara ini mendorong percepatan krisis iklim. Pembakaran batubara menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan daripada bahan bakar fosil lainnya. Dibandingkan dengan gas, batubara melepaskan 66% lebih banyak CO2 per unit energi yang dihasilkan. Bukan hanya itu, tambang batubara melepaskan metana ke atmosfer. Metana dua puluh kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai GRK, penyebab krisis iklim.
Seperti ditulis dalam komitmeniklim.id, menjelang COP 26, justru rencana bebas karbon Indonesia dinilai belum jelas. Ketidakjelasan itu terlihat ketika PLN meluncurkan peta jalan untuk menghentikan pembangkit listrik batu bara pada 2060. Langkah ini mundur dari pengumuman sebelumnya yang menjadi netral karbon pada tahun 2050.
Komitmen untuk mengatasi krisis iklim terkait penggunaan energi kotor batubara ini juga terlihat dari dominasi bank-bank BUMN yang masih mendanai proyek-proyek batubara. Laporan urgewald yang berbasis di Jerman, mengungkapkan bahwa bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN termasuk empat dari enam bank di Indonesia yang masih mendanai proyek-proyek energi kotor batubara selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020.
Ketiadaan komitmen bank-bank BUMN untuk menghentikan pendanaan ke proyek-proyek batubara ini semakin menunjukan bahwa pemerintah Indonesia belum begitu serius mengendalikan emisi GRK penyebab krisis iklim. Ketidakseriusan pemerintah dalam mengendalikan emisi GRK ini akan menyulitkan posisi delegasi Indonesia dalam negosiasi di COP 26. Dengan posisi sulit delegasi Indonesia itu nampaknya, tidak ada hal yang baru terkait pengendalian krisis iklim COP 26. Tidak adanya hal yang baru itu bukan salah delegasi Indonesia, tapi salah pemerintah yang selama ini kurang serius dalam mengendalikan emisi GRK.
Oleh: Firdaus Cahyadi
Pemerhati Lingkungan Hidup