Madani

Tentang Kami

Trump Bayangi Negosiasi Global

Terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat, dalam beberapa hal adalah mimpi buruk bagi gerakan lingkungan dan perubahan iklim. Melalui berbagai medium, para penggiat dan organisasi masyarakat mengingatkan agar dunia bersiap kembali dalam ketidakjelasan. Sementara dampak perubahan iklim terus menggerus.

Mimpi buruk itu dipicu pernyataan-pernyataan Trump saat berkampanye ataupun rencana program 100 harinya. Dalam kampanyenya, ia menyebut perubahan iklim adalah berita bohong (hoax) yang disebarkan Tiongkok.

Secara terbuka, ia menegaskan akan membatalkan semua executive order (semacam keputusan presiden) yang dikeluarkan Presiden Barack Obama, termasuk di antaranya langkah AS yang telah meratifikasi Persetujuan Paris (Paris Agreement), 3 September 2016.

Persetujuan Paris yang dihasilkan dari COP-21 di Paris, Perancis, 30 November – 12 Desember 2015, disebut-sebut terobosan baru dunia untuk bergotong royong menekan laju kenaikan suhu global tetap di bawah 2 derajat celsius atau bila memungkinkan 1,5 derajat celsius pada abad ini. Itu dibanding suhu era Revolusi Industri tahun 1850-an.

Tanggal 4 November 2016 atau empat hari sebelum pergelaran COP-22 Konferensi Perubahan Iklim di Marrakesh, Maroko, Persetujuan Paris dinyatakan berlaku. Lebih cepat lima tahun dari perkiraan.

Cepatnya proses ratifikasi itu tak lepas dari langkah AS yang mengemisi 17,56 juta giga ton (2010) setara CO2 turut bergabung dan berkomitmen menurunkan emisi hampir sepertiganya (26-28 persen) dibanding emisi 2005 pada tahun 2025. Selain itu, Tiongkok pun tak terduga meratifikasi dan berkomitmen meratifikasi dan berkomitmen menurunkan emisinya.

Bila dijumlahkan, emisi kedua negara ditambah negara lain itu setara 55 persen emisi gas rumah kaca global. Itu memenuhi syarat memencet tombol berlakunya Persetujuan Paris.

Menurut Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, sangat memungkinkan Trump benar-benar menjalankan kebijakan menarik diri dari ratifikasi Persetujuan Paris. Bila itu terjadi, meski tak sama persis, itu mengingatkan langkah Presiden AS George W Bush yang menolak bergabung dalam Protokol Kyoto 1997.

Dalam janjinya, Trump pun menyatakan akan menghapus pajak-pajak untuk program perubahan iklim. Dana-dana itu yang juga banyak masuk ke Indonesia melalui berbagai lembaga donor.

Trump juga akan menghidupkan lagi industri pembangkit listrik batubara yang oleh Presiden Obama mulai ditinggalkan secara bertahap menuju pembangkit listrik bersih. Ia juga akan meningkatkan produksi minyak dan gas.

Di sela-sela COP-22 di Maroko, negosiator AS menolak memberikan keterangan kepada pers terkait kekhawatiran itu. Namun, dua pekan sebelumnya, pihak AS berharap konferensi tetap berjalan sesuai jadwal tanpa terpengaruh keputusan Washington.

Masa sulit

Greenpeace Internasional secara resmi menyatakan, AS sedang menghadapi masa sulit. “Greenpeace dan jutaan orang di dunia memiliki kekuatan memerangi perubahan iklim. Mari gunakan momen ini untuk mengumpulkan energi perlawanan terhadap perubahan iklim dan demi hak asasi manusia di seluruh dunia.” tulis Annie Leonard, Direktur Eksekutif Greenpeace AS.

Fabby Tumiwa, anggota Delegasi Republik Indonesia, dihubungi Kamis (10/11), di Marrakesh, mengatakan, Trump punya waktu tiga tahun bila memutuskan keluar dari Persetujuan Paris. “Sepertinya akan ada perubahan posisi negosiasi AS dalam perundingan iklim tahun depan (COP-23), setelah Trump efektif dilantik jadi presiden bulan Januari 2017,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform itu.

Ia menduga AS akan sulit menjalankan dukungan pendanaan, pengembangan kapasitas, dan transfer teknologi seperti tercantum dalam Persetujuan Paris. Bila itu terjadi, dikhawatirkan pelaksanaan Persetujuan Paris akan terhambat.

“Jika AS menarik diri dari kesepakatan itu, akan sulit bagi dunia mencapai target di bawah dua derajat celsius mengingat emisi AS signifikan,” katanya. Berita baiknya, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara bagian di AS punya kebijakan progresif dalam perubahan iklim dan penggunaan energi bersih. Jika pemerintah negara bagian konsisten, kemungkinan bisa mengurangi “efek Trump” pada emisi global.

Pandangan sisi optimistis disampaikan Giorgio Budi Indrarto, aktivis Yaysan Madani. Ia melihat gaya penolakan terhadap perubahan iklim yang diserukan Trump saat berkampanye merupakan upaya mendulang suara. Antara janji kampanye dan implementasi saat terpilih bisa berbeda.

Dicontohkan, saat berkampanye 2008, saat periode kedua, Obama menyerukan penutupan kamp Guantanamo. Hingga kini, kamp iu masih beroperasi.

“Trump akan tetap jadi climate denial sejati, tapi bobotnya akan sangat berbeda dengan saat kampanye. Sekarang dia akan menggunakan diplomasi etis, artinya program iklim pasti akan berdampak. Tapi, bukan berarti hangus rata tanah,” ujarnya.

Sebagai pengusaha yang kini menjadi presiden, Trump diperkirakan melihat peluang bisnis global dalam upaya pembangunan ramah iklim. Apalagi, AS selama ini telah menjadikan iklim sebagai bisnis.

Perundingan global terus berlanjut. Presiden baru negara adidaya pun telah terpilih. Sedikit banyak, negosiasi iklim global akan terpengaruh.

Kompas cetak, 11 November 2016

Related Article

id_IDID