Bila suatu waktu mendapati sampah botol plastik berserakan di jalan atau terdampar di bibir pantai, yang pertama kali disalahkan biasanya soal minimnya kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan indeks perilaku ketidakpedulian Lingkungan Hidup yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan bahwa 72% orang Indonesia tidak peduli akan sampah. Membuang sampah sembarangan bisa jadi sudah menjadi “budaya” yang biasa kita temui dan menjadi hal yang lumrah.
Tapi, ketidakpedulian soal sampah ini tidak hanya dialamatkan kepada masyarakat. Mereka bukan satu-satunya yang bertanggung jawab atas persoalan sampah botol plastik yang tidak mudah diurai oleh proses alam ini. Jauh sebelum plastik berada di genggaman masyarakat selaku konsumen lalu akhirnya dibuang, ada proses produksi yang sebelumnya dilakukan oleh produsen kemasan atau produk.
Penentuan soal material kemasan, misalnya air minum dalam kemasan (AMDK) yang digunakan masyarakat adalah tanggung jawab produsen. Karena itu, penentuan material yang ramah atau tidak ramah lingkungan menjadi penting dipertimbangkan untuk mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan. Tanggung jawab produsen haruslah diperluas, tidak semata sampai pada produksi dan distribusi saja, tetapi lebih dari itu, juga bagaimana memastikan produk tersebut tidak mencemari lingkungan menjadi hal yang tidak terpisahkan dari kewajiban produsen.
Mengenal Extended Producers Responsibility (EPR)
Tanggung jawab yang diperluas ini dikenal sebagai Extended Producers Responsibility (EPR). EPR secara umum digambarkan sebagai kebijakan pencegahan polusi yang berfokus pada sistem produk dari pada fasilitas produksi. Dengan demikian tanggung jawab untuk produk diperluas di luar emisi dan limbah yang dihasilkan oleh ekstraksi atau proses manufaktur untuk memasukkan manajemen produk terhadap produk setelah dibuang.
BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Kota yang Berkelanjutan
EPR merupakan mekanisme atau kebijakan di mana produser diminta untuk bertanggung jawab terhadap produk yang mereka buat atau jual (beserta kemasan yang bersangkutan) saat produk atau material tersebut menjadi sampah. Dengan kata lain, produser membantu menanggung biaya untuk mengumpulkan, memindahkan, mendaur ulang, dan membuang produk atau material di penghujung siklus hidup barang tersebut.
Pada proses pengembangan dan perancangan produk, keputusan untuk mengurangi dampak lingkungan dari sebuah produk sebenarnya sudah dapat diprediksi. Karena itu, titik awal ini adalah titik yang krusial di mana pengurangan limbah, dan pengaplikasian penggunaan kembali, pengurangan, dan daur ulang produk dapat direncanakan sejak awal.
Lebih jauh, tujuan dari EPR untuk mempromosikan upaya pembatasan dan pengurangan sampah melalui internalisasi biaya lingkungan dan ekonomi ke dalam kegiatan daur ulang produk, artinya dalam pembuatan suatu produk harus menyertakan biaya lingkungan agar life cycle produk tersebut dapat terjamin.
Tantangan Penerapan EPR di Indonesia
Kebijakan soal EPR sebenarnya sudah diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, khususnya pada Pasal 1 yang berbunyi: “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”. Walau secara tekstual pasal ini tidak menyebutkan EPR, hadirnya undang-undang ini menjadi landasan hukum untuk menuntut peran dan tanggung jawab produsen dalam upaya pengurangan dan penanganan sampah karena produsen, melalui produk dan kemasan produk yang dihasilkannya, adalah salah satu sumber penghasil sampah.
Namun, walaupun sudah diamanatkan dalam undang-undang, diturunkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012, penerapan EPR belum menjadi mandatori (wajib). EPR masih dilaksanakan secara sukarela. Dalam kacamata produsen, penerapan EPR akan menaikkan ongkos produksi sebuah produk, belum lagi pilihan penggunaan produk yang biodegradable (dapat terurai dengan hayati) yang biayanya tidak murah. Dengan penggunaan produk biodegradable, teknologi yang digunakan juga akan beralih dan ini tentu akan menyulitkan dan tidak efisien secara ekonomi.
Di samping itu, produsen juga melihat bahwa EPR harus dilihat dalam sebuah ekosistem penanganan yang lebih besar, tidak hanya menjadi kewajiban pihak produsen saja, tetapi pemerintah dan masyarakat punya andil dalam pengelolaan lingkungan hidup, khususnya dalam pengelolaan sampah.
Jalan Tengah Extended Producers Responsibility
Walaupun belum secara masif dilakukan, praktik perluasan tanggung jawab perusahaan sebenarnya sudah mulai diterapkan. Tanggung jawab fisik di mana produsen terlibat dalam pengelolaan fisik produk atau efek dari produk sudah mulai diimplementasikan. Ini dilihat dari mekanisme Take Back oleh perusahaan seperti penggunaan galon isi ulang air minum kemasan, atau penggunaan botol kaca untuk kemasan minuman menjadi salah satu praktik baik dalam pembatasan timbulan sampah dan bagian yang tidak terpisahkan dari EPR. Di samping itu, mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan dengan mengurangi atau mengganti penggunaan produk plastik dengan penggunaan tumbler, sedotan daur ulang, dan food container menjadi kekuatan bagi penerapan EPR ke depan.
Namun, dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk tiap tahunnya, mekanisme Take Back belum cukup untuk mengatasi persoalan pelik soal sampah, terutama sampah botol plastik yang sulit diurai alam. Namun, berharap EPR dapat diimplementasikan secara komprehensif tentu bukan perkara mudah. Karena itu perlu jalan tengah untuk menjembatani antara kepentingan perlindungan di satu sisi, dan iklim ekonomi investasi di sisi lain.
BACA JUGA: Sampah Elektronik: Jadi Ancaman Jangan Kita Lupakan
Dalam pembatasan produk botol plastik, produsen dapat mengaplikasikan adanya Water Station yang ditempatkan di supermarket maupun kios warung. Bila penggunaan tumbler oleh individu dan masyarakat sudah mulai masif, masalah yang timbul berikutnya adalah isi ulang air, apalagi bila melakukan aktivitas di luar ruangan. Belum adanya Water Station membuat kebutuhan terhadap botol plastik sekali pakai masih tinggi. Dengan adanya Water Station, konsumen tetap membayar dalam isi ulang air, tetapi tentu lebih murah bila dibandingkan membeli dengan botol plastik, ini akan merangsang individu atau masyarakat untuk beralih ke penggunaan produk berulang ketimbang produk sekali pakai.
Di samping itu, produsen juga dapat mengimplementasikan Bulk Store. Bulk Store adalah semacam swalayan isi ulang produk seperti sabun, shampo dan kebutuhan rumah tangga lainnya yang selama ini kerap masih menggunakan produk plastik. Dengan adanya Bulk Store, masyarakat cukup membawa kemasan produk yang kosong atau wadah sendiri untuk diisi ulang kembali. Dengan ini tentunya akan mengurangi potensi timbulan sampah plastik.
Pada akhirnya, walaupun belum komprehensif sejatinya praktik EPR tetap dapat dilaksanakan. Pendekatan perluasan tanggung jawab perusahaan sebaiknya tidak dilihat saat produk tersebut telah diproduksi dan didistribusi saja, namun dengan pembatasan potensi sampah di awal, praktik EPR dapat lebih mudah diimplementasikan sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga, berikut pula iklim investasi.
Oleh: Muhammad Wahdini
Penggerak Gerakan BangSaku, Warga Balikpapan