Madani

[sub_categories]
[post_image]
[post_title]

Mengapa Pembangunan Berkelanjutan

Sehabis Perang Dunia kedua ekonomi dunia kembali berputar seperti sedia kala dengan tekanan utama pada pembangunan ekonomi mengeksploitasi sumber daya alam oleh sumber daya manusia menghasilkan produk domestik bruto nasional. Namun kini produksi ekonomi juga menggunakan bahan-bahan penemuan baru. Pembangunan tetap mengeksploitasi sumber daya alam untuk kemaslahatan manusia. 

Begitu pula di Jepang di Teluk Yatsushiro, di bagian tenggara Kyushu terletak pelabuhan perikanan bernama Minamata. Sebuah perusahaan, Nippon Chisso Hiryo Company memilih tempat ini sebagai lokasi produksi pupuk kimia, karbit dan vinyl chlorida. Setelah beberapa lama, tiba-tiba di tahun 1956 menjangkit penyakit aneh yang merusak muka dan tubuh nelayan dan keluarga mereka. Suatu penyakit yang tak pernah dikenal itu kemudian  dijuluki “penyakit Minamata”. 

Baru beberapa waktu kemudian para ahli menemukan bahwa penyakit ini disebabkan akibat pembuangan unsur organo-mercury dalam limbah yang dibuang ke laut oleh pabrik- pabrik kimia lokal, sehingga mencemari ikan dan karang yang dikonsumsi oleh penduduk lokal dan keluarganya. Dan penyakit Minamata akibat pencemaran air laut adalah peristiwa polusi industri yang pertama menggugah keprihatinan publik dunia yang membangkitkan gerakan perlindungan lingkungan.

Industri pertanian di Amerika Serikat sudah sejak beberapa lama di tahun lima-puluhan menggunakan insektisida dan pestisida secara intensif dalam memicu kenaikan produksinya. Dampak cara produksi ini pada kehidupan alami luput dari perhatian orang. Sampai seorang penulis yang juga ahli biologi di Amerika Serikat menulis buku “Silent Spring” (1962) yang menggugah publik terhadap dampak negatif penggunaan racun kimia terhadap kehidupan alami. Burung-buung berhenti berkicauan dan alam bagaikan membisu di musim semi. Publik mulai menggugat pola pertanian yang mencemari lingkungan.

Dua kasus ini, pencemaran laut dan darat, menjadi pemicu tumbuhnya keprihatinan terhadap pola pembangunan yang mencemari lingkungan. Sehingga mendorong Perserikatan Bangsa2 mengambil prakarsa menyelenggarakan United Nations Conference on Human Environment di Stockholm, Swedia di bulan Juni 1972. Keputusan penting konferensi ini adalah membentuk United Nations Environment Program ( UNEP) berkedudukan di Nairobi, Kenya. Selama 10 tahun UNEP bekerja memperkenalkan masalah-masalah lingkungan di dunia. Namun bagaimana menanggulangi permasalahan lingkungan belum ditemukan jawabannya. Sehingga dirasa perlu membentuk World Commission on Environment and Development (WCED) atau yang dikenal kemudian dengan “Brundtland Commission”, sebuah komisi terdiri dari 12 peserta wakil-wakil negara dipimpin oleh Perdana Menteri Norwegia, Gro Harlen Brundtland dan menerbitkan laporan Our Common Future (1987).

BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Versus Lingkungan: Siapa yang Mesti Menang

Inti gagasan dalam laporan ini adalah mengusulkan perubahan pola pembangunan menjadi Sustainable Development, yakni “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” (WCED, “1987).  Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima laporan ini untuk dijabarkan lebih lanjut dalam program kerja untuk dibahas dalam Pertemuan Puncak PBB (UN Summit on Environment and Development” yang direncanakan berlangsung pada Hari Lingkungan 5 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. 

Suatu Preparatory Committee dibawah pimpinan dibentuk dibawah pimpinan Maurice Strong, salah satu anggota WCED dan mantan Ketua UN Conference on Human Environment, Stockholm, Swedia, 1992. Komite inilah melaksanakan rangkaian pertemuan di tahun-tahun 1988-1992 menyiapkan program kerja berjudul “Agenda 21 yang bertujuan harmonisasi berbagai kebijakan dan rencana di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan yang berlaku di negara-negara untuk menjamin pembangunan ekonomi yang secara sosial bertanggung-jawab sambil melindungi basis sumber daya alam dan lingkungan bagi kemaslahatan generasi-generasi masa depan. 

Sementara itu juga dirundingkan secara terpisah oleh kelompok Perubahan Iklim, suatu rancangan konvensi tentang pengendalian hayati, serta  perubahan iklim, dan kelompok Keanekaragaman Hayati yang menyiapkan rancangan konvensi tentang perlindungan keanekaragaman serta kelompok yang menyusun rencana pengelolaan hutan secara berkelanjutan. 

Apa Itu Pembangunan Berkelanjutan?

 

United Nations Summit on Sustainable Development di Rio de Janeiro, Ibu Kota Brazil Juni 1992 adalah muara dari persiapan, sidang komite, diskusi dan rangkaian pertemuan dan dihadiri oleh ratusan kepala Negara dan Pemerintahan, termasuk Presiden Soeharto. UN summit ini menyepakati (1) Rio Declaration on Environment and Development mencakup 27 prinsip pembangunan; (2) program kerja Agenda 21 mencakup 120 program aksi dengan biaya US$ 600 miliar setahun; (2) Konvensi tentang Perubahan Iklim; (3) Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati; dan (4) Kesepakatan tentang pengelolaan hutan tropis secara berkelanjutan.

Lengkap dan menyeluruh hasil keputusan Rio Summit on Sustainable Development sehingga semua peserta kembali ke tanah-air dengan hati gembiran dan penuh optimisme. Dan dunia sepakat untuk bertemu kembali dalam Rio Summit on Sustainable Development kedua, Juni 2002 di Rio de Janeiro, Brazil. Sejak 1990 dunia berada dalam suasana euphoria dengan penanda-tanganan mutual nonaggression pact November 1990 oleh Presiden George Bush (senior) dan Pemimpin Soviet, Mikhail Gorbachev, yang mengakhiri perang dingin antara negara-negara Barat dengan negara-negara Komunis. Re-unifikasi Jerman menjadi satu negara terpulihkan kembali. Di akhir Februari 1991 Amerika Serikat memimpin pasukan sekutu terhadap tentera Irak dan menundukkannya dalam Perang Teluk Persia yang pertama.

Sejak 2001 Presiden USA, George Herbert Walker Bush (senior) diganti oleh putranya, George Walker Bush (junior) sebagai Presiden USA selama dua periode di tahun-tahun 2001-2009. Di masa inilah terjadi perubahan penting yang membenamkan optimisme tentang kebangkitan pembangunan berkelanjutan. Presiden Bush, yang latar belakangnya adalah pengusaha minyak di Midland, Texas, memutuskan untuk membatalkan kesepakatan untuk menurunkan gas rumah-kaca. Dan ketika terjadi “serangan 11 September 200” menghancurkan gedung Twin Peak di New York oleh teroris, meletuslah di Amerika Serikat gerakan counter-terorisme terhadap Osama bin Laden dengan jejaringnya al-Qaeda yang menyeretnya ke dalam sengketa bersenjata. Perubahan orientasi dan semangat yang ditimbulkan oleh Presiden Bush ke arah “perang terhadap terorisme” mendesakkan pelaksanaan program Agenda 21 terdesak ke belakang di panggung politik ekonomi dunia. Dengan latar belakang ini, maka praktis tak banyak dari Agenda 21 bisa diwujudkan.

Sementara itu negara-negara berkembang prihatin bahwa masalah kemiskinan agak tertinggal dalam derap pemikiran pembangunan berkelanjutan. Karena itu tumbuh dalam masyarakat global usaha untuk meningkatkan segi pembangunan sosial yang memuat usaha memberantas kemiskinan, mengembangkan segi sosial pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, kesehatan ibu, dan menurunkan tingkat kematian bayi. Usaha yang berat menekankan dimensi pembangunan sosial mencapai momentumnya pada Konferensi Global tahun 2000 yang  mendeklarasikan “Millennium Development Goals

Sehingga ketika berlangsung World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan, Juni 2002,10 tahun sesudah Rio Summit 1992, maka hasil Konferensi Global 2000 yang melahirkan “Millennium Development Goals” banyak mewarnai kesimpulan Summit Johannesburg dalam Political Declaration and Johannesburg Plan of Implementation” (JPOI). Kesimpulan JPOI ini terdiri dari 170 paragraf dan memuat program penurunan angka kemiskinan, mengubah pola konsumsi dan produksi ke arah pembangunan berkelanjutan, disertai lengembangan tata-kelola good governance. 

Iklim politik dunia di masa pasca 2002 ditandai oleh berbagai sengketa politik dan konflik bersenjata dengan Amerika Serikat sebagai pelopornya. Hal ini mengakibatkan bahwa peranan Amerika Serikat menyusut baik dalam JPOI maupun  dalam pelaksanaan Konvensi Perubahan Iklim yang tak kunjung mencapai kesepakatan. Pada masa politik sengketa antar negara berkembang tinggi, aktifitas pembangunan berkelanjutan seperti yang disepakati dalam berbagai summit terdesak ke belakang.

BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau

Dalam suasana minor inilah “Summit Rio + 20”, Juni  2012 berlangsung kembali di Rio de Janeiro, Brazil. Dokumen utama adalah “The Future We Want”. Namun suasana tertekan oleh panasnya pergolakan politik perang dan semangat peserta dalam Summit Meeting ini kurang bergairah. Dan ini tidak menguntungkan negara berkembang yang sedang bergelut dengan kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan. Karena itu tindak lanjut mengisi dokumen “The Future We Want”  menjadi penting. Dan disepakati pembahasan ditindaklanjuti dalam “Open Group of 30 Nations on Sustainable Development Goals” yang akan membahas tiga sumber pemikiran: 1. High Level Panel of Eminent Persons; 2. UN Sustainable Development Network yang dipimpin Jeffrey Sachs; 3. Konsultasi Global yang dikoordinasi oleh UNDP.High Level Panel of Eminent Person dibentuk oleh Sekjen PBB dan yang berdiri menjadi Co-chairs adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Indonesia), Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Sirleaf Johnson. 

Disamping ini juga dibentuk Open Working Group on Sustainable Development Goals untuk menjabarkan 27 kelompok isu hasil Summit Rio +20 tahun 2012 yang dijadikan bagian dari Agenda Pembangunan Global Pasca 2015. Semua kegiatan ini menggabungkan Millennium Development Goals dalam kerangka luas pembangunan berkelanjutan untuk kemudian tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDG). Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di bulan September 2015, sebanyak 193 negara-negara anggota PBB  menyepakati Resolusi PBB nomor 70/1 untuk menerima  Agenda Pembangunan Global Pasca 2015: Transforming Our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development.

Isi Pembangunan Berkelanjutan

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dikenal dengan singkatan SDG memuat pola pembangunan yang mencakup 3 pilar utama pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan serta pilar hukum dan tata-kelola. Pilar pembangunan sosial memiliki 5 tujuan: mengakhiri kemiskinan; menghilangkan kelaparan, membangun kehidupan yang sehat dan sejahtera; menjamin kualitas pendidikan yang inklusif; mencapai kesetaraan gender.

Pilar pembangunan ekonomi dengan 5 tujuan: menjamin ketersediaan air dan fasilitas sanitasi; menjamin akses energi; meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif; membangun infrastruktur yang tangguh; mengurangi kesenjangan intra dan antar-negara. Pilar pembangunan lingkungan dengan enam tujuan: penyediaan air bersih dan sanitasi layak; pengembangsan kota dan permukiman berkelanjutan, konsumsi dan produksi secara berkelanjutan; penanganan dampak perubahan iklim, ekosistem lautan dan daratan; Pilar pembangunan hukum dan tata-kelola untuk menyalurkan arus ekonomi-sosial dan lingkungan dalam kerangka umum menegakkan “Good Governance.” Ke empat pilar pembangunan diperinci lebih detail dalam 169 sasaran dengan 320 indikator yang dirangkum dalam Metadata Indikator SDG Agenda Global 2015-2030.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 59/2017 tentang “Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”  maka sejak 5 Juni 2018 dibentuk Tim Koordinasi Nasional terdiri atas Dewan Pengarah yang dipimpin Presiden yang sehari-hari dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan Nasional/Ketua Bappenas. Sedangkan di daerah juga dibentuk Tim Koordinasi Daerah melaksanakan Rencana Aksi Daerah untuk SDG dibawah pimpinan Gubernur. Dengan mekanisme ini diharap agar pelaksanaan SDG di Indonesia diharapkan dapat terwujud.

Semula gagasan pembangunan memuat hanya dimensi ekonomi, namun perkembangan kehidupan nyata di masyarakat dunia menunjukkan bahwa pembangunan bidang ekonomi saja tida cukup. Peristiwa lahirnya penyakit Minamata dan musnahnya kehidupan makhluk alami mengakibatkan senyapnya kicauan burung  di musim semi, mengakibatkan bahwa hakekat pembangunan yang hanya mengutamakan segi pembangunan perlu dikoreksi dengan memperhitungkan segi-segi kehidupan lingkungan.

Para ilmuwan mulai sadar bahwa kehidupan makhluk hidup berada dalam lingkungan bumi yang memiliki kendala (ecological constrains) yang bersifat fundamental. Steffen W.I. Rockstrom dan R. Constanza dalam artikel “How Defining Planetary Boundaries Can Transform Our Approach to Growth” dalam Solution, volume 2, nomor 3 May 2011 mengungkapkan fundamental ecological constraints yang mencakup (1) perubahan iklim, (2) ancaman terhadap berlanjutnya siklus biogeo-kimia dan nitrogen; (3) kehidupan keanekaragaman hayati. Ketiga unsur ini kini diketahui sudah melampaui ambang batas sehingga mengancam keberlanjutan kehidupan alami. Tetapi juga ada unsur-unsur yang belum diketahui ambang batasnya tetapi sudah mengancam kehidupan, seperti (1) pencemaran kimia; (2) muatan aerosol atmosphere; (3) acidifikasi samudera; (4) deplesi Ozon Stratospheric; (5) terganggunya siklus phosphor dalam biogeokimia; (6) terancamnya ketersediaan air tawar global; (7) terganggunya keberlanjutan ekosistem dalam penggunaan lahan.

Semua unsur lingkungan alamiah menderita tekanan dan kerusakan akibat pola pembangunan ekonomi yang dijalankan manusia. Sehingga teknologi dan proses pembangunan ekonomi telah menimbulkan tekanan bagi ancaman keberlangsungan berfungsinya ecological ceiling yang aman bagi perikehidupan manusia. Berturut tumbuh rangkaian gangguan alami buatan manusia yang menekan ecological ceiling  dalam kehidupan planet bumi kita berupa: perubahan iklim, deplesi ozone, polusi udara, kehilangan keanekaragaman hayati, pengalihan fungsi lahan, penyedotan air tawar secara berlebihan, pelepasan zat nitrogen dan fosfor, polusi kimia, dan acidifikasi samudera. Berbagai kerusakan unsur-unsur ini merupakan  ecological ceiling yang semakin menekan ruang hidup manusia.

Pembangunan ekonomi juga dipengaruhi oleh fondasi sosial bagi kehidupan, seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan, perdamaian dan keadilan, hak berpolitik, kesetaraan sosial, kesetaraan gender, pemukiman, energi, air dan jejaring sosial. Terdapat landasan sosial di atas mana peri kehidupan manusia berlangsung dan menentukan kualitas hidup. Sehingga K. Raworth dalam bukunya Doughnut Economics (Oxfam International, 2012) mengumpamakan bahwa “the safe and just space for humanity” terletak antara ecological ceiling dan social foundation — bagaikan roti donat yang terdiri dari dua belah roti yang menghimpit daging.

 

Yang mencemaskan adalah bahwa perkembangan pembangunan global mengakibatkan ecological ceiling dijebol sehingga ambang batasnya dilampaui, sedangkan social foundation tertekan sehingga menderita kekurangan. Sehingga keberlanjutan kehidupan manusia terancam dalam jangka panjang. Yang mendorong terancamnya keberlanjutan kehidupan manusia adalah mainstream teori ekonomi yang bertolak dari homo economicus yang rasional berperhitungan, berorientasi pada ego kepentingan diri dan bertujuan maksimalisasi manfaat dan keuntungan. Sehingga melahirkan teori dan kebijakan pembangunan yang senantiasa tertuju pada tahapan take off menuju sustained growth. Sukses pembangunan diukur pada laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Tingginya per capita income menjadi dambaan pembuat kebijakan pembangunan, sementara dampaknya pada sistem sosial dan alam pendukung kehidupan terabaikan.

Dalam iklim pembangunan ekonomi seperti inilah tumbuh reaksi perlawanan yang ingin melestarikan sistem penunjang kehidupan lingkungan sosial dan alam demi keberlanjutan kehidupan manusia. Arus semangat dan pikiran inilah yang mendorong lahirnya paradigma pembangunan berkelanjutan dengan tiga jalur ekonomi-sosial-lingkungan.

BACA JUGA: Melihat Indonesia Sebagai Satu Kesatuan; Kebutuhan Perubahan Paradigma Pembangunan

Pada hakikatnya pembangunan ekonomi perlu mengandalkan kemajuan ilmu sains dan teknologi untuk bisa menaikkan nilai tambah dari sumber daya alam. Dalam kerangka ini ikhtiar menaikkan produktivitas manusia dan masyarakat menjadi penting agar produksi bisa berlangsung dengan penggunaan sumber daya alam yang semakin sedikit. Pola pembangunan harus juga memperhitungkan dampak pengelolaan sumber daya alam agar tidak melampaui ambang batas keberlanjutannya. Begitu pula agar dampak pengelolaan sumber daya alam tidak mengurangi keberlanjutan fungsi alam. Ringkasnya pembangunan perlu dijalankan bagaikan “melempar bahan ke danau” begitu rupa sehingga gelombang dampak yang ditimbulkannya tidak tinggi dan terpulihkan kembali dalam waktu singkat. Sehingga perencanaan penggunaan sumber daya alam perlu memperhitungkan daya dukung ekosistem melalui perencanaan pengembangan tata-ruang dan teknologi yang eco-friendly dengan tingkat produktivitas manusia yang tinggi.

Dan ini membawa kita pada dimensi sosial dalam pembangunan. Pembangunan ekonomi tidak berlangsung dalam social vacuum, tetapi dalam kehidupan sosial yang hidup dan dinamis. Manusia memiliki potensi kemampuan kreatif dan produktif asal dikembangkan secara sungguh-sungguh. Karena itu maka pembangunan juga memiliki  dimensi sosial mengembangkan potensi kreativitas yang hidup dalam masyarakat. 

Banyak negara berkembang menderita kemiskinan yang dianggap karena ketidak mampuan sang miskin melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Sesungguhnya penduduk yang miskin adalah bagaikan “orang yang terperosok ke lubang yang dalam”. Ia memiliki otot, otak dan tenaga, namun lubangnya terlalu dalam sehingga kemampuan diri tidak cukup untuk mengeluarkan dirinya dari “lubang kemiskinan.” Sehingga untuk “mengeluarkan” diri dari lubang dalam itu, yang diperlukan adalah seutas tali yang bisa menariknya keluar dari lubang dalam ini. Maka yang dibutuhkan sang miskin untuk keluar dari “lubang kemiskinannya”adalah “tali” berupa fasilitas infrastruktur angkutan, listrik, air minum, fasilitas pendidikan dan perbankan, pemberdayaan masyarakat — ringkasnya segala faktor yang bisa membantu sang miskin untuk mengembangkan potensinya mengentaskan kemiskinan.  Karena itu usaha mengatasi kemiskinan adalah dengan memberinya kelengkapan infrastruktur fisik dan intelektualitas agar bisa mengeluarkan diri dari lubang kemiskinan. Inilah justifikasi mengapa pembangunan ekonomi harus disertai dengan dimensi sosial. 

Tetapi pembangunan tidak berlangsung dalam kehampaan alam. Alam memiliki berbagai ragam ekosistem alami yang berfungsi sebagai life-support system. Karena itu kegiatan pembangunan harus memperhitungkan dampak jejak pembangunan pada ekologi lingkungan yang harus berada dibawah kapasitas bio dan life support system.

Sistem ekologi alam dirusak oleh pola pembangunan yang terkonsentrasi hanya pada kepentingan ekonomi. Proses ekonomi berlangsung dalam “pasar dengan mekanisme harga yang mempengaruhi alokasi sumber daya pembangunan”. Kelemahan pasar adalah bahwa hanya sinyal ekonomi yang terukur bisa ditampung dalam pasar, sedangkan “sinyal kepentingan ekologi” berada di luar radar daya tangkap mekanisme ekonomi sehingga tidak tertangkap oleh ekonomi pasar. Karena itu biaya atau manfaat ekologi bersifat eksternalitas dalam ekonomi pasar dan tidak masuk dalam perhitungan ekonomi. Sehingga dibutuhkan intervensi hukum dan peranan Pemerintah untuk menjalankan kebijakan internalisasi faktor eksternalitas lingkungan dalam pola perhitungan biaya dan manfaat.

Maka jelas bahwa pembangunan ekonomi yang berlangsung selama ini tidak memperhitungkan dimensi sosial dan lingkungan. Sehingga menghasilkan buah pembangunan yang merusak tatanan sosial, tidak menggubris penduduk miskin dan disertai kerusakan lingkungan dalam ekosistem nasional dan global yang mengancam kelangsungan kehidupan manusia.

Untuk mengentahui lebih lengkap gagasan dari Emil Salim, silakan unduh lampiran yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Oleh: Emil Salim

Pendiri dan Dewan Pembina Yayasan KEHATI

 

Related Article

[related_posts]