Pada era digital ini, kemajuan teknologi berkembang dengan sangat pesat. Aktivitas manusia pada saat ini tidak dapat lepas dari peralatan elektronik. Semakin banyak produk-produk elektronik yang dihasilkan dengan fitur yang lengkap dan harga yang cukup terjangkau. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan produksi industri komputer, barang elektronika dan optik terutama mikro dan kecil sebesar 22,03% (BPS, 2019). Perkembangan kemajuan teknologi tentunya semakin memudahkan konsumen dalam beraktivitas. Namun demikian, kemajuan teknologi tersebut juga berdampak negatif terhadap pola hidup masyarakat yang menjadi lebih konsumtif. Sebagai contoh, godaan untuk selalu membeli model telepon baru karena memiliki fitur yang lebih canggih atau karena yang lama rusak. Dengan demikian, telepon genggam yang sudah tidak terpakai tersebut menjadi sampah elektronik.
Sampah elektronik adalah peralatan elektronik yang sudah tidak dapat digunakan, tidak terpakai atau tidak diminati lagi dan menjadi barang bekas dan perlu dibuang, dalam keadaan utuh ataupun tidak. Sampah elektronik ini dapat berupa baterai, kabel listrik, bola lampu pijar, telepon genggam, televisi, setrika, dan barang-barang elektronik lainnya yang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan data The Global E-waste Monitor 2020, timbulan sampah elektronik selama tahun 2019 mencapai 53,6 juta ton. Dari 53,6 juta ton sampah elektronik yang dihasilkan oleh seluruh dunia, Asia (termasuk Indonesia) menyumbang sampah paling tinggi, yaitu sebesar 24,9 juta ton. Bahkan, Indonesia menjadi penyumbang sampah elektronik tertinggi di Asia Tenggara. Untuk kasus Indonesia, dilansir dari Greenpeace, negara ini menghasilkan 812 kiloton sampah elektronik pada tahun 2014. The Global E-waste Monitor 2020 (Forti et al., 2020), menyebutkan bahwa di tahun 2019 Indonesia menghasilkan 1618 kiloton sampah elektronik. Peningkatan timbulan sampah elektronik ini cukup signifikan, dimana hanya dalam kurun waktu 5 tahun sampah elektronik yang dihasilkan meningkat dua kali lipat.
BACA JUGA: Program Eco-Woman Dalam Mewujudkan Pembangunan Ekonomi Berbasis Kepedulian Terhadap Lingkungan
Selain pola hidup masyarakat yang konsumtif, peningkatan timbulan sampah elektronik juga disebabkan dari sisi produksi, dimana di Indonesia masih belum fokus untuk membuat desain produk elektronik yang tahan lama dan mudah diperbaiki dengan komponen-komponen yang mudah dicari. Terlebih di Indonesia mayoritas hanya berupa distributor sehingga tidak membuat produknya sendiri, terutama untuk smartphone dan device untuk Internet of Things (Ramdhini, 2019), dimana jenis elektronik ini justru yang paling banyak diminati dan dibeli.
Selain itu, sistem pengelolaan sampah elektronik di Indonesia juga masih belum mumpuni padahal sampah elektronik tergolong sebagai sampah bahan berbahaya dan beracun (B3). Setelah menunggu 12 tahun, Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan payung hukum pengelolaan sampah elektronik. Dalam jangka waktu tersebut, selain peningkatan kesadaran masyarakat yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan beberapa instansi Pemerintah Daerah, upaya konkrit pengelolaan sampah elektronik di Indonesia kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Pedoman untuk pengelolaan sampah elektronik di rumah tangga dan sumber lainnya masih belum tersedia. Pengumpulan sampah elektronik oleh Pemerintah Daerah masih sangat minim, walaupun perlu diingat bahwa upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengelola sampah elektronik melalui program “Penjemputan Limbah Elektronik” yang diinisiasi pada tahun 2017 (DLH DKI Jakarta, 2017) dan penyebaran beberapa wadah khusus atau dropbox untuk sampah elektronik di tempat umum patut diberi apresiasi. Belum lagi isu tentang dorongan Pemerintah kepada para produsen dan distributor produk elektronik untuk mengembangkan skema take-back dalam model bisnis mereka untuk mengakomodir pengembalian produk-produk yang sudah lewat masa guna untuk memastikan pengelolaan sampah elektronik yang bertanggung jawab.
Pengelolaan sampah elektronik seharusnya dilakukan dengan benar-benar cermat serta tepat. Sampah elektronik tidak dapat diperlakukan sama halnya dengan sampah organik atau sampah lainnya. Jika mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dimana sampah elektronik termasuk di dalamnya, pengelolaannya harus secara khusus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki izin. Walaupun saat ini sudah ada beberapa perusahaan pengolah sampah elektronik yang tersertifikasi di Indonesia, jumlahnya masih tergolong sedikit. Recycling rate dari sampah elektronik tersebut pun masih cukup kecil, sebagai contoh di Jakarta sebagai ibukota negara masih sebesar 2% saja (Siringo, 2019). Pengelolaan sampah elektronik di Indonesia masih didominasi oleh sektor informal, yaitu para pemulung atau tukang loak.
Komunitas EwasteRJ membuktikan bahwa dominasi pengelolaan sampah elektronik di Indonesia oleh sektor informal melalui kuisioner yang disebar pada pertengahan tahun 2020. Hasil survei mendapati bahwa sebanyak 14,84% masyarakat memberikan sampah elektroniknya kepada pemulung atau tukang loak, selain dibuang dan bercampur dengan sampah jenis lainnya atau hanya disimpan di rumah. Keberadaan sektor informal memang sangat membantu mengurangi sampah elektronik namun tidak dapat menjamin apakah sampah elektronik tersebut terdaur-ulang dengan baik. Proses pengumpulan dan pengolahan sampah elektronik yang mereka lakukan seringkali tidak menggunakan alat pelindung diri dan hanya mengambil material yang bernilai jual tinggi saja, sementara sisanya dibuang kembali atau bahkan dibakar. Dengan demikian, akan tetap ada pencemaran dari proses pengolahan sampah elektronik tersebut.
Dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang harus kita capai bersama-sama pada tahun 2030, terdapat salah satu goal yang sangat erat kaitannya dengan sampah elektronik, yaitu memastikan adanya pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Indikatornya adalah adanya pemanfaatan kembali, pengurangan dan pendauran ulang dari sampah termasuk sampah elektronik sebagai bagian dari sampah bahan berbahaya dan beracun.
BACA JUGA: Green Millennialnomic: Mendorong Milenial Bangun Ekonomi Berbasis Ekologi
Komunitas EwasteRJ hadir dengan gerakan EwasteRJdropzone di mana kami mendorong masyarakat untuk memperlakukan sampah elektroniknya dengan tepat melalui dropbox yang sudah kami sediakan di beberapa titik yang tersebar di beberapa kota. Setelah sampah elektronik terkumpul, EwasteRJ akan menyerahkan kepada perusahaan pendaur-ulang sampah elektronik untuk diolah lebih lanjut. Proses pendauran-ulang dimulai dari dismantling hingga pemilahan dan pengolahan setiap jenis material untuk menjadi raw material kembali. Sebagai contoh, tembaga dari PCB yang dilebur untuk menjadi tembaga batangan kembali. Sedangkan untuk limbah B3 akan diproses melalui proses stabilisasi-solidifikasi (untuk mengurangi kandungan logam berat) dan landfill atau thermal treatment.
Namun, sebelum masuk ke tahapan pemanfaatan kembali dan pendauran ulang tentunya harus dimulai dari mengurangi kemungkinan timbulnya sampah elektronik terlebih dahulu. Untuk itu, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan: desain dan manufaktur produk, serta pembentukan gaya hidup. Tahap perencanaan dan desain produk elektronik yang dilakukan oleh para produsen merupakan garda terdepan dalam pengelolaan sampah elektronik. Alangkah baiknya jika produk tersebut didesain agar mempunyai durabilitas yang tinggi dan juga spare part komponen yang disediakan secara merata agar proses reparasi dapat dilakukan dengan mudah oleh konsumen. Manufaktur produk elektronik juga dapat menggunakan material dari hasil proses daur ulang produk lainnya agar dapat mengurangi ekstraksi sumber daya alam yang semakin terbatas dan terkadang mengorbankan hak-hak komunitas tertentu.
Pendekatan dari pembentukan gaya hidup dengan pola pikir konsumsi teknologi yang berkelanjutan di Indonesia juga menjadi sangat penting untuk dilakukan. Konsumen diharapkan dapat semakin bijak dalam membeli dan menggunakan barang elektronik yang dimiliki serta bijak memperlakukan barang elektronik yang sudah menjadi sampah elektronik.
Menjadi konsumen yang bijak yang disinergikan dengan peran serta produsen dan pemerintah, akan menjadi solusi bagi permasalahan sampah elektronik di Indonesia. Keterlibatan semua pihak dapat mengurangi timbulan sampah, memperbaiki pengelolaan sampah, meningkatkan tingkat recycling di Indonesia, dan tentunya dapat meminimalisir pencemaran dari bahaya dan sampah elektronik terhadap kesehatan manusia.
Oleh: Pranandya Wijayanti, Martina Solya, Indah Anandya, Yorkie Sutaryo