Madani

Tentang Kami

BPDLH Sebagai Instrumen Pendanaan REDD+

BPDLH Sebagai Instrumen Pendanaan REDD+

Perlunya membentuk instrumen pendanaan untuk membiayai pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+) tercantum dalam Surat Niat Indonesia-Norwegia terkait REDD+ yang ditandatangani pada bulan Mei 2011 dan tercantum dalam Strategi Nasional REDD+ tahun 2012. Setelah delapan tahun berproses, pemerintah Indonesia meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) atau LH-Fund pada 9 Oktober 2019 yang akan mengelola dana lingkungan hidup, termasuk untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di sektor kehutanan, yang di dalamnya termasuk REDD+.

Prinsip menjaga integritas lingkungan hidup, partisipasi efektif masyarakat sipil, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal adalah bagian integral dari inisiatif REDD+ sejak awal sebagaimana tercantum dalam Strategi Nasional REDD+ (Stranas).

Baca selengkapnya dengan mengunduh laporan di bawah ini.

Related Article

Setahun Moratorium, Menuju Perbaikan Tata Kelola Sawit

Setahun Moratorium, Menuju Perbaikan Tata Kelola Sawit

Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia. Namun sejumlah kendala seperti lemahnya tata kelola sawit berkelanjutan, kasus kebakaran hutan dan lahan, hingga konflik agraria membuat perkebunan sawit di Indonesia menjadi sumber masalah.

Pemerintah pusat merespon hal tersebut dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 untuk moratorium sawit, yang berlaku selama 3 tahun. Meski demikian, implementasi Inpres ini belum berjalan mulus di sejumlah daerah.

Setelah berjalan setahun lamanya, Madani Berkelanjutan, menemukan bahwa ada sekitar satu juta hektar perkebunan sawit berada di lahan hutan primer dan lahan prioritas restorasi gambut. “Peninjauan perizinan terhadap 1 juta hektar kebun sawit di Kawasan hutan primer dan Kawasan gambut tersebut mendesak dilakukan karena merupakan kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia dan sebagai wujud konsistensi pemerintah dalam memperbaiki tata kelola hutan dan lahan ”. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Mohammad Teguh Surya. Bersama Katadata.co.id dan beberapa pihak berkepentingan lainnya, Madani Berkelanjutan menemukan beragam macam fakta di lapangan.

Termuan tersebut dapat ditinjau dari laporan yang disajikan Katadata sebagai berikut :
Setahun Moratorium Sawit

Ekspansi Perkebunan Sawit Berlangsung Masif

Ironi di Balik Ekspansi Perkebunan Sawit

Related Article

Urgensi BPDLH

Urgensi BPDLH

Niat baik pemerintah untuk lebih serius memperhatikan serta menjaga lingkungari, hutan, dan alam Indonesia, memang layak kita acungkan jempol. Pasalnya, niat baik tersebut telah diakomodasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLIIK), serta Kementerian Keuangan (Kemkeu), yang secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) beberapa waktu lalu.

Peluncuran badan ini tentu sangat ditunggutunggu. Karena dengan kehadiran BPDLH, diharapkan mampu menjadi katalis untuk mempercepat program-program perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi terus-menerus diterpa bencana akibat krisis iklim yang makin masif. Salah satunya, bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menahun.

BPDLH sendiri adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan lingkungan. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate change), konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal di Indonesia yang harus dilindungi. Untuk pelaksanaannya, BPDLH dijadwalkan akan kick off pada awal tahun mendatang, mulai 1 Januari 2020.

Lembaga ini juga dirancang untuk berkolaborasi bersama kementerian dan lembaga lintas sektor. Sehingga, diharapkan mampu mendorong percepatan Indonesia mencapai komitmen penurunan emisi yang termanifestasi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Pembentukan BPDLH sesungguhnya merupakan mandat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46. Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Dengan keberadaan BPDLH, Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan, langkah Indonesia dalam implementasi Paris Agreement semakin nyata. Dalam upaya mitigasi serta adaptasi, Indonesia telah menyiapkan berbagai instrumen, seperti Sistem Registry Nasional (SRN), Monitoring Reporting dan Verifikasi (MRV) Protocol, Sistem Informasi Safeguards (SIS) REDD+, Sistem Identifikasi Kerentanan (SIDIK), SIGNSMART. Siti Nurbaya juga menegaskan, kehadiran BPDLH melengkapi upaya Indonesia dalam kerja nyata pengendalian dan penanganan dampak perubahan iklim.

Terkait pendanaan, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemkeu Andin Iladiyanto mengatakan, dana awal yang sudah tersedia untuk dikelola BDPLH sebesar Rp 2,1 triliun. Dalam konteks pendanaan ini, BDPLH akan memberikan kemudahan akses dan menjamin keberlanjutan ketersediaan dana untuk berbagai pihak yang berkepentingan dan berkomitmen melestarikan lingkungan.

Dana APBN

Selama ini, dana untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, hutan, dan alam di Indonesia sangat ketergantungan dengan alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dalam APBN 2018, belanja anggaran berdasarkan fungsi lingkungan hidup terdiri atas pengaturan (pembuatan regulasi terkait), pembinaan, pengawasan, pelaksanaan pengembangan sanitasi dan persampahan, serta pengelolaan pertanahan provinsi. Beberapa poin tersebut sangat menyangkut dengan kinerja kementerian dalam penanganan urusan lingkungan hidup.

Untuk itu, BPDLH diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pendanaan di luar kinerja kementerian. Misalnya, pendanaan badan usaha yang berkomitmen untuk menjaga lingkungan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan. Tidak hanya sekadar menampung pendanaan terkait isu lingkungan, BPDLH juga harus aktif dan progresif mencari dukungan pendanaan dari berbagai sektor, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Berdasarkan perhitungan Kemkeu, BPDLH berpotensi mengelola dana sebesar Rp 800 triliun untuk mengatasi isu permasalahan lingkungan hidup. Bisa jadi, dengan keberadaan BDPLH, komitmen dan target Pemerintah Indonesia dalam rangka mencapai komitmen penurunan emisi dalam NDC sebesar 29% dengan upaya sendiri, atau 41% dengan dukungan intemasional, bisa benar-benar terwujud. Terkait dengan komitmen penurunan NDC tersebut, Indonesia memprioritaskan kepada lima sektor yakni energi, kehutanan, pertanian, proses industri, dan pengelolaan sampah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk menghadapi perubahan iklim (climate budget tagging) meningkat dari tahun ke tahun. Pada APBN Perubahan 2016, anggaran yang terakumulasi untuk perlidungan lingkungan hidup mencapai Rp 72,4 triliun, lalu Rp 95,6 triliun dalam APBNP 2017, dan Rp 109,7 triliun dalam APBN 2018. Secara persentase, sekitar 3,6% di 2016, 4,7% pada 2017, dan 4,9% di 2018 terhadap total anggaran APBN. Namun pada pelaksanaannya, dengan total anggaran yang cukup besar tersebut, realisasi untuk mewujudkan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi di NDC terkesan jauh panggang dari api.

Banyak hal yang menghambat jalan Indonesia dalam mewryudkan komitmen tersebut. Salah satunya, terkait lemahnya penegakan hukum dan rendahnya komitmen dari berbagai pihak termasuk sektor swasta dalam pelestarian lingkungan. Sebagai lembaga yang baru akan mengepakkan sayapnya, tentu saja tantangan yang akan BPDLH hadapi terbilang cukup berat. Beberapa tantangan tersebut yakni: pertama, transparansi dan akuntabilitas. Terkait dengan hal ini, BPDLH harus menjadi lembaga publik yang transparan serta akuntabel karena menyangkut pendanaan yang cukup besar. Persoalan dana terbilang sangat sensitif, potensi penyelewengan pun cukup besar.

Kedua, regulasi yang efektif dan efisien. Aturan penyaluran pendanaan dan penerimaan dana lingkungan harus jelas, dengan persyaratan administrasi yang singkat sehingga lebih efektif dan efisien. Ketiga, penyaluran dana prioritas. Sebagai lembaga yang memegang peran penting dalam pendanaan kepentingan lingkungan, maka BPDLH harus mengetahui sektor-sektor prioritas pendanaan dan diharapkan tidak ada cerita salah sasaran dalam penyaluran dana tersebut. Oleh karena itu, dengan kinerja dan dukungan yang maksimal, kita berharap, BPDLH mampu menjadi salah satu solusi untuk menghadapi krisis iklim global yang telah mengadang di depan mata.

Penulis : Delly Ferdian
Peneliti di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Kontan edisi 26 Oktober 2019 .

Related Article

BENARKAH PEMERINTAH KONSISTEN MENDORONG PEMBANGUNAN RENDAH KARBON?

BENARKAH PEMERINTAH KONSISTEN MENDORONG PEMBANGUNAN RENDAH KARBON?

Halo Sobat Luluk’s Update semua. Pekan ini, Luluk’s Update menemukan pemberitaan menarik terkait dengan pembangunan rendah karbon ni.

Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Multilateral dan Pembiayaan Kemenko Perekonomian, Rizal Edwin Manansang menyebut bahwa sampai saat ini, pemerintah secara konsisten mengembangkan pembangunan rendah karbon di Indonesia.

Satu langkah yang diupayakan terkait dengan hal ini adalah dengan mendorong sektor swasta sebagai pemain utama untuk mengurangi emisi. Terkait dengan hal ini, pemerintah mendorong program Joint Crediting Mechanism (JCM). JCM adalah sistem untuk bekerja sama dengan negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, di mana hasil pengurangan dinilai sebagai kontribusi oleh negara-negara mitra dan Jepang.

JCM juga merupakan wadah untuk upaya tersebut sekaligus bagian dari implementasi kerjasama bilateral ekonomi, teknologi, peningkatan kapasitas, dan investasi antara Pemerintah Indonesia dan Jepang.

Implementasi JCM di Indonesia mendapat predikat termaju di antara 17 negara lain yang juga bekerja sama dengan Pemerintah Jepang, yaitu sebanyak 35 proyek. JCM Indonesia sudah mempunyai infrastruktur yang lengkap sesuai dengan standar internasional serta mengedepankan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.

Nah, ingin tahu lebih banyak tentang isu tersebut dan pemberitaan lainnya yang diangkat media pekan?

Langsung saja, unduh bahannya di tautan yang tersedia di bawah ini ya. Semoga bermanfaat.

Related Article

KPK dan Hutan Kita

KPK dan Hutan Kita

Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin telah dilantik. Untuk Presiden Jokowi, ini adalah hari bersejarah dalam hidupnya karena pelantikan merupakan momentum untuk tancap gas di masa pemerintahannya kali kedua. Rakyat tentu sudah tidak sabar menanti realisasi janji-janji Jokowi pada saat kampanye.

Sedangkan bagi Ma’ruf Amin, pelantikan juga merupakan hari bersejarah, karena langkahnya dari seorang ulama lalu menjadi politisi, harus segera bertransformasi menjadi seorang negarawan. Dalam konteks pemerintahan, Ma’ruf Amin juga harus berani unjuk gigi dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, karena latarbelakangnya yang seorang ulama, diyakini memiliki kemampuan untuk menyejukkan. Oleh karena itu, Ma’ruf Amin juga harus berperan dalam penyelesaian isu-isu strategis, karena sejatinya seorang Wakil Presiden.

Setelah dilantik, rakyat pun menunggu satu hal yang hampir klimaks namun, sampai detik ini masih terombang-ambing dalam ketidakpastian. Anti-klimaks tersebut yakni nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menanti peraturan pengganti undang-undang (Perppu) KPK untuk segera diterbitkan.

Perppu KPK yang seolah mau tidak mau, bahkan malu-malu kucing untuk diterbitkan ini, nyatanya terhambat di banyak sisi sehingga membuat Presiden Jokowi pusing tujuh keliling memikirkannya. Salah satu hambatan yang paling kuat terhadap Perppu KPK datang dari partai pendukungnya sendiri, yakni PDI Perjuangan. Dalam sebuah kesempatan, Politisi PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto mengatakan bahwa jika Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu KPK, maka sama artinya Jokowi tidak menghargai proses politik yang telah dilakukan di DPR.

Teranyar, kita menyaksikan perdebatan sengit Politisi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan dengan Ekonom Senior, Emil Salim terkait dengan Perppu KPK ini. Keras kepala PDI Perjuangan untuk menolak Perppu KPK, tercermin dari sikap Arteria Dahlan yang dianggap publik kurang etis dengan menunjuk dan menyerang personal ketika berdebat dengan sesepuh sekelas Emil Salim pada saat diskusi di acara Mata Najwa beberapa hari yang lalu. Oleh karena itu, banyak yang beranggapan bahwa hanya doalah yang saat ini bisa mendorong Perppu KPK untuk diterbitkan.

Sikap pesimistis tersebut tentu cukup berdasar, sebab, mayoritas anggota dewan di DPR menyetujui revisi UU KPK. Sehingga hampir mustahil bagi masyarakat mengharapkan kekuatan parlemen untuk menyelamatkan KPK. Dengan Ketidakpastian nasib KPK saat ini, membuat nasib lingkungan dan alam khususnya nasib hutan kita, ikut gelap gulita. Sederhananya, ketika KPK tidak punya taring untuk menggembosi oknum-oknum yang merusak hutan, maka harapan agar hutan lebih lestari di Tanah Air semakin utopis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa KPK adalah garda terdepan penyelamatan lingkungan, hutan, dan alam Indonesia dari oknum-oknum yang haus akan pundi-pundi rupiah tanpa memikirkan keberlanjutan lingkungan, hutan, dan alam tersebut.

Tak dapat dimungkiri bahwa KPK memiliki peran penting untuk mencapai visi Indonesia yang bebas dari korupsi. Faktanya, selama ini berbagai sektor termasuk lingkungan yang berbau korupsi, berhasil diendus KPK. Menjadi wajar jika banyak oknum-oknum tak bertanggungjawab kebakaran jenggot karena lihainya KPK. Alhasil KPK pun dikebiri.

Jika kita amati, peran KPK dalam penyelamatan sumber daya alam sangat besar. Mulai dari kerugian negara dalam hal penerimaan pajak, kepatuhan para investor dan penggelut usaha konsesi lahan, pelanggaran perizinan, serta kerusakan lingkungan, tidak luput dari sorot tajam KPK. Dalam isu lingkungan serta penyelamatannya, KPK benar-benar hadir sebagai patriot.

Sangat kita ketahui bahwa dampak korupsi terhadap lingkungan membuat kualitas lingkungan itu sendiri menurun drastis. Perusakan alam yang kian masif, memberikan kerugian yang cukup besar terhadap lingkungan maupun terhadap pendapatan negara dari sisi sumber daya alam. Ketergantungan Indonesia yang besar terhadap pendapatan negara dari sisi biofuel, menjadi sektor yang cukup seksi untuk digeluti orang-orang yang tak bertanggungjawab. Dari kasus ilegal loging saja disinyalir kerugian negara mencapai 30-42 triliun rupiah per tahun.

Berdasarkan temuan KPK dalam Nota Sintesis Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, kasus suap menyuap di sektor kehutanan mencapai Rp 688 juta- Rp 22 miliar per tahun. Pada 1998-2013, Perhutani diperkirakan kehilangan asset tegakkan hutannya Rp998 miliar per tahun. Di sektor perkebunan (sawit), tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) Orang Pribadi hanya 6,3 persen dan WP Badan sebesar 46,3 persen.

Bukan hanya terkait kerugian secara materil, penyelewengan yang dilakukan oknum yang menggeluti sektor sawit juga begitu masif, padahal Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres Moratorium Sawit) telah diterbitkan. Namun, masih saja ada oknum-oknum yang tidak mematuhi Inpres tersebut. Dari pantauan citra satelit NASA, Madani Berkelanjutan menemukan ada sebanyak 1.001.474,07 ha perkebunan sawit milik 724 perusahaan berada di dalam hutan primer dan lahan prioritas restorasi gambut yang tersebar di 24 provinsi di Tanah Air. Lebih rincinya, terdapat 384 perusahaan yang memiliki 540.822 ha perkebunan sawit yang berada di lahan gambut, kemudian 102 perusahaan dengan total kepemilikan sebanyak 237.928 ha perkebunan sawit di hutan primer, dan ada 238 perusahaan dengan total luasan perkebunan sawit sebanyak 222.723 hektare yang berada di kawasan hutan.

Dari jumlah itu, 333 perusahaan memiliki perkebunan sawit dengan total 506.333 ha yang berada di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut. Bukan hanya itu, Madani Berkelanjutan juga menemukan lima perusahaan yang memiliki kebun sawit di daerah prioritas restorasi gambut yang masih tetap beroperasi sampai saat ini walaupun perusahaan tersebut sempat terjerat kasus pembakaran hutan tahun 2016, tahun 2017, dan tahun 2019. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya KPK tanpa revisi UU KPK, penyelewengan di sektor sumber daya alam masih sangat besar. Apalagi jika KPK sampai tak punya taring nantinya. Bisa-bisa KPK jadi “macan ompong” yang hanya bisa mengaum tanpa bisa menggigit.

Penulis : Delly Ferdian
Peneliti di Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat pada Harian Padang Ekspres edisi 21 Oktober 2019

Related Article

LIMA PRIORITAS PRESIDEN JOKOWI DI PERIODE KEDUA INI, APA AJA YA?

LIMA PRIORITAS PRESIDEN JOKOWI DI PERIODE KEDUA INI, APA AJA YA?

Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Ma’ruf Amin akhirnya dilantik sebagai Presiden serta Wakil Presiden  pada Minggu (20/10/2019), di Gedung DPR/MPR, Jakarta.

Tentu, momen ini adalah momen yang paling ditunggu-tunggu banyak orang. Wuihh, selamat Pak De Jokowi untuk pelantikannya ya.

Ngomong-ngomong, apa saja sih menjadi prioritas Presiden Jokowi di periode kedua pemerintahnya?

Nah, kali ini Luluk’s Update menemukan bahwa lima prioritas Presiden Jokowi disorot oleh media pekan ini. Artinya, lima prioritas ini lagi hot-hotnya dibicarakan publik. Apakah lima poin di dalamnya dapat terealiasikan atau sekadar pajangan saja?

Dalam pidato perdananya, Jokowi menyampaikan langkah prioritas tersebut yakni pertama, pembangunan SDM. Membangun SDM yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, pembangunan infrastruktur. Infrastruktur yang menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi, yang mempermudah akses ke kawasan wisata, yang mendongkrak lapangan kerja baru, yang mengakselerasi nilai ekonomi.

Ketiga, Pemerintah akan mengajak DPR menerbitkan 2 undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM. Keempat, penyederhanaan birokrasi. Investasi untuk penciptaan lapangan kerja akan diprioritaskan.

Kelima, transformasi ekonomi. Bertransformasi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa, demi keadilan sosial, bagi seluruh rakyat Indonesia. Menarik ya gak ni?

Lebih lengkap terkait dengan pemberitaan media pekan ini, kamu dapat mengunduh materinya yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat, sampai jumpat di Luluk’s Update minggu depan ya.

Related Article

Sisa Luas Tutupan Hutan dalam Wilayah Perkebunan Sawit di 10 Provinsi

Sisa Luas Tutupan Hutan dalam Wilayah Perkebunan Sawit di 10 Provinsi

Hingga 2018, luasan tutupan hutan di dalam wilayah perkebunan sawit di 10 provinsi tersisa 3,02 juta ha. Sebelumnya luas tutupan hutan mencapai 5,4 juta ha pada 2001. Rata-rata penurunan luas tutupan hutan sebesar 3 persen setiap tahunnya. Berkurangnya tutupan hutan ini membuat perkebunan sawit bertambah luas 2,3 juta ha.

 

Berdasarkan data yang dikompilasi Madani, Papua memiliki tutupan hutan terluas yang berada di dalam kawasan perkebunan sawit. Area tutupan hutannya mencapai 1,2 juta ha pada 2018. Kemudian di posisi kedua diduduki oleh Papua Barat sebesar 389 ribu ha. Namun, kehilangan tutupan hutan terbesar dalam kawasan konsesi sawit ini terjadi di provinsi Riau, yaitu sebesar 366 ribu ha atau 9,3 persen dari luasnya pada 2001 yang sebesar 453 ribu ha.

Melalui Inpres Moratorium Sawit yang dikeluarkan pada 2018, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengindentifikasi perkebunan kelapa sawit. Terutama yang terindikasi berada dalam kawasan hutan. Selain itu melakukan penetapan kembali areal yang berasal dari kawasan hutan sesuai ketentuan perundang-undangan. 

Data ini sudah dirilis di laman Katada.co.id.

Related Article

Tutupan Hutan yang Hilang di Wilayah Perkebunan Sawit

Tutupan Hutan yang Hilang di Wilayah Perkebunan Sawit

Selama hampir dua dasawarsa, luas tutupan hutan Indonesia tersisa sebesar 3,2 juta ha, dari sebelumnya sebesar 5,7 juta ha pada 2001. Tutupan hutan yang hilang tersebut otomatis menambah luas perkebunan sawit di wilayah kawasan hutan menjadi sebesar 2,5 juta ha pada 2018.

 

Dalam 17 tahun terakhir, hilangnya tutupan hutan di wilayah perkebunan sawit terbesar terjadi pada 2012. Ketika itu, luas tutupan hutan yang hilang mencapai 266 ribu ha dengan Kalimantan sebagai penyumbang kehilangan terbesar. Hilangnya luas tutupan hutan tersebut cenderung berkurang dalam lima tahun terakhir. Pada 2018, tutupan hutan yang hilang sebesar 66,8 ribu ha. 

Dikutip dari Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit dari KPK, pembukaan hutan yang dijadikan perkebunan sawit telah diraup manfaatnya oleh beberapa perusahaan. Namun potensi pajak yang ada tidak pernah terhitung dan tidak dibayarkan kepada negara. Hal ini merugikan Indonesia dari segi finansial, lingkungan, dan sosial di masa mendatang. 

Data ini sudah dirilis di lama Katadata.co.id.

Related Article

BPDLH DILUNCURKAN, AKANKAH LINGKUNGAN, HUTAN, DAN ALAM LEBIH LESTARI?

BPDLH DILUNCURKAN, AKANKAH LINGKUNGAN, HUTAN, DAN ALAM LEBIH LESTARI?

Tahukah kamu, pada 9 Oktober 2019 ini, pemerintah meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau yang disingkat BPDLH.

Nah, BPDLH ini didasari oleh PP 46/2017 tentang Instrumen ekonomi Lingkungan Hidup dan Perpres 77/2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup. Aturan teknisnya yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.137/2019 tentang Organisasi dan Tata Kelola Dana Lingkungan Hidup.

BPDLH sendiri akan menjadi pengelola dana-dana terkait bidang kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan bidang lainnya terkait lingkungan hidup. Nah, sebelumnya, anggaran tersebut tersebar di beberapa Kementerian dan Lembaga (K/L) dengan beragam program yang tersebar pula di beberapa K/L yang berbeda.

BPDLH secara sistematis akan menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan serta penyalurannya. Pendanaan di BPDLH ini akan bersumber baik dari dana publik dan swasta di dalam negeri maupun di luar negeri termasuk dukungan bilateral, lembaga internasional, swasta, maupun filantropi. Orientasi penyalurannya akan mencakup kegiatan small grant (hibah kecil), investasi hijau/ramah lingkungan, dan peningkatan kapasitas bagi masyarakat dan juga bagi aparat.

Pengarusutamaan (isu perubahan iklim dalam program pembangunan nasional telah dan akan terus dilaksanakan, sehingga diharapkan isu lingkungan hidup dan perubahan iklim menjadi bagian dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional.

Untuk tahu banyak tentang pemberitaan media pada pekan ini, sobat Luluk’s Updater dapat mengunggah materi di tautan di bawah ini ya. Semoga bermanfaat.

Related Article

Hutan, Gambut, Masyarakat Adat, dan Perubahan Iklim Dalam RPJMN 2020-2024

Hutan, Gambut, Masyarakat Adat, dan Perubahan Iklim Dalam RPJMN 2020-2024

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah tahapan terakhir dalam pencapaian visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) Indonesia 2005-2025. RPJMN yang diterbitkan setiap 5 tahun memetakan permasalahan yang sedang dihadapi dan merumuskan solusi melalui agenda pembangunan nasional prioritas yang akan diimplementasikan dalam kurun waktu 5 tahun mendatang.

RPJMN tidak hanya menjadi pedoman bagi pemerintah, tetapi juga seluruh komponen bangsa, termasuk masyarakat maupun sektor usaha, untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional secara sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi.1 Dengan demikian, RPJMN 2020-2024 yang akan disahkan pada akhir tahun 2019 atau awal tahun 2020 ini menjadi hal yang penting untuk ditinjau dan dikawal guna mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua, terdapat beberapa permasalahan mendesak terkait lingkungan hidup dan masyarakat adat yang harus segera diselesaikan, di antaranya: berulangnya bencana kebakaran hutan dan lahan yang masif, belum tercapainya target perhutanan sosial dan reforma agraria, belum efektifnya perlindungan hutan alam dan lahan gambut tersisa, belum tercapainya target restorasi gambut, dan belum tercapainya target pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Baca selengkapnya dengan mengunduh laporan di bawah ini.

Related Article

en_USEN_US