Madani

Tentang Kami

Analisis Substansi Inpres Moratorium Sawit 2018

Analisis Substansi Inpres Moratorium Sawit 2018

Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres Moratorium Sawit) adalah langkah awal yang strategis untuk menyelesaikan silang-sengkarut perizinan perkebunan sawit, termasuk tumpang tindih dengan kawasan hutan dan penyelamatan hutan alam yang tersisa di kawasan hutan, apabila para pejabat penerima Instruksi konsisten menjalankan Instruksi tersebut dan ada kepemimpinan politik yang kuat dari Presiden. Dukungan dan pengawalan para pihak sangat dibutuhkan mengingat seluruh proses evaluasi perizinan dan berbagai tugas lain yang dimandatkan Presiden harus selesai dalam waktu tiga tahun.

Sebagai sambutan baik atas inisiatif ini, Madani menyoroti sejumlah hal terkait Inpres Moratorium Sawit, khususnya hak petani sawit, keberlanjutan, alur pelaksanaan, pengecualian penundaan izin, koordinasi, pemantauan, dan peran masyarakat sipil. Baca Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit selengkapnya:

Related Article

Moratorium Sawit Perlu Dukungan dan Pengawalan Para Pihak

Moratorium Sawit Perlu Dukungan dan Pengawalan Para Pihak

SIARAN PERS – Untuk disiarkan segera

Jakarta, 21 September 2018
Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres Moratorium Sawit) adalah langkah awal yang strategis untuk menyelesaikan silang-sengkarut perizinan perkebunan sawit, termasuk tumpang tindih dengan kawasan hutan dan penyelamatan hutan alam yang tersisa di kawasan hutan, dengan catatan para pejabat penerima Instruksi konsisten menjalankan Instruksi tersebut dan ada kepemimpinan politik yang kuat dari Presiden. Dukungan dan pengawalan para pihak sangat dibutuhkan mengingat seluruh proses evaluasi perizinan dan berbagai tugas lain yang dimandatkan Presiden harus selesai dalam waktu tiga tahun.

“Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah, khususnya 8 pejabat yang menerima instruksi, harus dapat bekerja cepat bersama para pemangku kepentingan lainnya dengan mengedepankan keterbukaan data dan informasi perizinan,” ujar Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dalam Inpres yang telah ditunggu selama lebih dari dua tahun ini, inisiatif baik pemerintah terlihat dalam beberapa hal, di antaranya ditundanya pelepasan/tukar menukar kawasan hutan untuk permohonan perkebunan kelapa sawit, dilakukannya evaluasi terhadap SK pelepasan/tukar menukar kawasan hutan yang telah diberikan untuk perkebunan kelapa sawit, serta penindakan hukum terhadap perkebunan kelapa sawit ilegal yang beroperasi di kawasan hutan. Kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit bahkan bisa dikembalikan menjadi kawasan hutan apabila memenuhi kriteria.

“Inpres ini memperlihatkan inisiatif baik untuk lebih mengutamakan peningkatan produktivitas lahan ketimbang berekspansi ke kawasan hutan,” ujar Anggalia Putri, Direktur Program Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Presiden juga memandatkan evaluasi atas pelaksanaan ketentuan alokasi 20 persen untuk perkebunan rakyat dan percepatan penerbitan hak atas tanah untuk kebun sawit rakyat. Meskipun demikian, ketentuan alokasi 20 persen ini perlu lebih diperjelas karena saat ini para pemangku kepentingan masih memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang hal ini, juga guna menghindari ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar dengan mengatasnamakan kebun rakyat.

Madani menegaskan bahwa implementasi Inpres ini akan menghadapi tantangan berat yang harus dijaga bersama. Yang pertama adalah momentum Pilpres 2019; dikhawatirkan 8 pejabat negara yang menerima Instruksi tidak fokus dalam melaksanakan Inpres karena terlibat dalam politik elektoral dan dukung-mendukung Capres/Cawapres. Pasca-Pilpres, besar kemungkinan terjadi perubahan formasi kabinet dan instruksi ini berisiko tidak ditransformasikan secara utuh ke dalam rencana kerja pemerintahan yang baru atau bahkan tidak lagi menjadi prioritas.

Kedua, hasil kebijakan satu peta belum jelas dan bahkan terkesan semakin tertutup, baik dari segi proses maupun terkait kewenangan mengakses data. Pembatasan akses ini tertuang dalam Keppres No. 20 Tahun 2018 tentang kewenangan akses untuk berbagi data dan informasi geospasial melalui jaringan informasi geospasial nasional dalam kegiatan percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta.

Ketiga, Presiden perlu memastikan Perpres ISPO yang akan segera diterbitkan memiliki standar (Prinsip dan Kriteria) yang kuat dan meliputi aspek-aspek berikut: kepatuhan hukum; manajemen perkebunan yang baik; perlindungan hutan alam, gambut dan lingkungan; tanggung jawab terhadap pekerja; tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat; perbaikan yang berkelanjutan; ketelusuran dan transparansi; serta penghargaan terhadap HAM.

Keempat, Tim Kerja yang akan dibentuk harus independen dan berisi keterwakilan masyarakat sipil dan masyarakat adat, serta harus bisa dipastikan bebas dari intervensi korporasi sawit untuk menghindari risiko korupsi, transaksi politik, dan pemutihan pelanggaran yang dilakukan korporasi maupun pemberi izin. Transparansi proses, data, dan informasi perizinan menjadi penting dan merupakan benteng terakhir bagi keberhasilan Inpres. Kelima, pemerintah perlu menetapkan indikator yang akan dijadikan tolak ukur keberhasilan kebijakan moratorium sawit dalam tiga tahun ke depan, berapa luasan penundaan izin atau evaluasi terhadap izin pelepasan/tukar menukar kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai perkebunan kelapa sawit, baik yang belum dikerjakan, dibangun, yang teridentifikasi tidak sesuai dengan tujuan pelepasan/tukar menukar dan dipindahtangankan, maupun terkait pelaksanaan pembangunan hutan yang bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest/HCVF).

Mengingat besarnya tantangan dan pentingnya kebijakan ini, Madani kembali menegaskan pentingnya pengawalan dari berbagai pihak untuk menyukseskan pelaksanaan Inpres ini, termasuk pemantauan internal di dalam pemerintah dan akomodasi peran serta masyarakat sipil.

“Moratorium sawit ini barulah langkah awal. Tidak ada jalan lain kecuali bekerja sama bahumembahu dalam memperbaiki tata kelola kelapa sawit kita demi terjaganya hutan dan tercapainya kesejahteraan masyarakat,” tutup Teguh Surya.

***Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
teguh.surya@madaniberkelanjutan.id / +62 819-1519-1979

Anggalia Putri Permatasari, Direktur Program Hutan dan Perubahan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan
anggalia.putri@madaniberkelanjutan.id / +62 856-2118-997

Melodya Apriliana, Juru Kampanye Komunikasi Digital Yayasan Madani Berkelanjutan
melodya.a@madaniberkelanjutan.id / +62 838-4227-2452

Related Article

Mengupas Status Hutan Indonesia 2018, Mempertegas Langkah Koreksi Pengelolaan Hutan Indonesia

Mengupas Status Hutan Indonesia 2018, Mempertegas Langkah Koreksi Pengelolaan Hutan Indonesia

Terbitnya buku status hutan Indonesia (SoIFO) tahun 2018 sebagai satu landasan baru dalam mewujudkan tata kelola hutan Indonesia yang berkelanjutan layak diapresiasi. Buku tersebut dengan jujur memaparkan kondisi kekinian tentang bagaimana hutan kita dikelola dengan berbagai ketimpangan yang dimanja dari zaman ke zaman. Langkah koreksi (corrective action) yang dikomandoi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan awal yang baik, namun belum cukup kuat jika menekankan pada bagi-bagi pengelolaan lahan hutan semata. Kontradiksi pembangunan kehutanan sebagai penopang ekonomi dengan komitmen perlindungan lingkungan harus bisa diselesaikan dengan mempertegas langkah koreksi pengelolaan hutan Indonesia melalui transparansi data dan informasi pengelolaan hutan, perumusan kebijakan yang inklusif dan akuntabel, perketat pengawasan dan penegakkan hukum yang proporsional, serta penyelesaian konflik. Hal ini diungkapkan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan (Madani) dalam temu jurnalis pagi ini di Tjikinii Lima, Jakarta Pusat.

Direktur Program Hutan dan Perubahan Iklim Madani, Anggalia Putri Permatasari menyatakan SoIFO memperlihatkan masih adanya celah yang cukup lebar bagi terjadinya deforestasi dan perlu mendapat koreksi lebih lanjut dari KLHK. Celah deforestasi dimungkinkan setidaknya oleh lima hal, yakni alokasi izin pemanfaatan hutan baru seluas 5 juta hektare, penetapan 2,5 juta hektare hutan primer dan 3,8 juta hektare hutan sekunder sebagai Hutan Produksi Konversi yang dapat dilepaskan untuk pembangunan nonkehutanan, kebijakan moratorium yang tidak melindungi hutan alam sekunder yang masih tidak berizin, adanya hutan alam yang berada di Area Penggunaan Lain (APL) seluas 6,9 juta hektare, dan kebijakan land-swap yang meliputi hutan alam seluas 362.390 hektare, sebagaimana dikutip dari kajian Koalisi Anti Mafia Hutan.”

“Kawasan konservasi dan lindung pun belum aman, mengingat terdapat 10,8 juta hektare hutan konservasi telah berubah menjadi kawasan tidak berhutan. Bahkan pada tahun 2016-2017, sebanyak 20 persen dari deforestasi terjadi di kawasan konservasi dan lindung.” tambah Anggalia.

Madani turut menerangkan bahwa dalam SoIFO pemerintah menyebutkan langkah-langkah untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan, salah satunya berupa kebijakan moratorium yang melindungi 66,2 juta hektare hutan primer dan lahan gambut yang belum dibebani izin. Namun, kebijakan ini masih berupa perlindungan sementara dalam bentuk Instruksi Presiden yang telah diperpanjang tiga kali tanpa adanya penguatan substansi, mengandung banyak pengecualian, dan akan berakhir Juli 2019. Jika Presiden terpilih nantinya tidak memberikan perhatian pada kebijakan ini, nasib jutaan hektare hutan primer dan lahan gambut semakin dipertaruhkan.

Untuk mempertegas langkah koreksi pengelolaan hutan yang sedang dijalankan oleh KLHK, Madani kembali menyerukan kepada pemerintah untuk: (i) melindungi hutan alam (primer dan sekunder) dari penerbitan izin baru yang dapat mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan; (ii) meningkatkan status perlindungan sementara moratorium menjadi perlindungan permanen sehingga dapat bertahan dari pergantian rezim pemerintah; dan (iii) menyusun peta jalan terpadu menuju Indonesia bebas deforestasi yang dapat mengintegrasikan upaya-upaya yang telah ada saat ini untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, ungkap Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani. Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga diharapkan memiliki sistem pengawasan yang efektif dan aktif melakukan penegakkan hukum, mengingat masih terdapat banyak konsesi yang melanggar aturan dan masih beroperasi di lapangan.“

Komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk memperbaiki tata kelola hutan Indonesia sangat dibutuhkan, mengingat silang sengkarut pengelolaan yang terjadi hari ini. Harapannya, kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden berani memiliki visi dan misi yang jelas terkait pengelolaan dan perlindungan hutan dan gambut, sebab 63 persen dari luas daratan Indonesia adalah hutan. Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
teguh.surya@madaniberkelanjutan.id / +62 819-1519-1979

Anggalia Putri Permatasari, Direktur Program Hutan dan Perubahan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan
anggalia.putri@madaniberkelanjutan.id / +62 856-2118-997

Melodya Apriliana, Juru Kampanye Komunikasi Digital Yayasan Madani Berkelanjutan
melodya.a@madaniberkelanjutan.id / +62 838-4227-2452

YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN
Satu lembaga nirlaba yang bertujuan untuk memperkuat berbagai inisiatif nasional dan lokal dalam menyelamatkan hutan Indonesia dengan strategi menjembatani hubungan antar pemangku kepentingan (pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil) untuk mencapai solusi inovatif terkait tata kelola hutan dan lahan.
Situs web: www.madaniberkelanjutan.id
Facebook: Madani Berkelanjutan
Twitter: @yayasanmadani
Instagram: @madaniberkelanjutan.id

Related Article

Laporan Terkini: Mengupas Status Hutan Indonesia 2018

Laporan Terkini: Mengupas Status Hutan Indonesia 2018

Laporan ini menampilkan poin-poin yang patut disoroti dalam SoIFO (State of Indonesia’s Forests 2018) yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). SoIFO adalah publikasi yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak, karena di dalamnya KLHK menerbitkan banyak data terbaru mengenai tutupan hutan, kawasan hutan, izin kehutanan, deforestasi, perhutanan sosial, dan langkah-langkah untuk mengurangi emisi dari sektor kehutanan (REDD+) beserta capaiannya hingga hari ini. Publikasi ini juga membahas arah kebijakan pemerintah Indonesia (termasuk langkah-langkah korektif di bidang lingkungan) dan menegaskan kembali paradigma pengelolaan hutan Indonesia saat ini yang menurut pemerintah sedang mengalami “pergeseran besar” menuju perspektif keberlanjutan yang baru untuk menyeimbangkan nilai-nilai pembangunan, sosial, lingkungan, dan ekonomi menuju pendekatan pengelolaan hutan yang lebih berorientasi pada masyarakat.

Baca selengkapnya dengan mengunduh laporan di bawah ini.

Related Article

en_USEN_US