Madani

Tentang Kami

Pemulihan Gambut dan Mangrove Berbasis Capaian, Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Pemulihan Gambut dan Mangrove Berbasis Capaian, Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 28 Desember 2020] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi dilantiknya Hartono Prawiraatmadja sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), pada 23 Desember 2030. Pelantikan ini berdasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 78/M Tahun 2020 tentang Pengangkatan Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove. Hartono menggantikan Nazir Foead yang telah mengemban amanat sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 2016 – 2020.

Perlindungan dan pemulihan gambut sangat penting untuk dilanjutkan, untuk itu tidak dapat dibatasi oleh hanya 1 periode masa pemerintahan. Mengingat tantangan dan ancaman yang akan datang dari legislasi menambah risiko pelemahan aturan perlindungan hutan dan lingkungan untuk kepentingan investasi lewat UU Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksananya. Indonesia terancam gagal lebih cepat dalam mencapai komitmen, jika gambut rusak,” ungkap Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Perubahan Ikilm, Yayasan Madani Berkelanjutan.

Diperluasnya tugas Badan Restorasi Gambut, selain tetap melakukan restorasi pada kawasan gambut, dan ditambahkan dengan upaya melakukan rehabilitasi mangrove di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang terdegradasi atau kritis, membuat Badan ini tak bisa sekedar menjalankan rutinitas dan biasa-biasa saja. Kelembagaannya harus lebih diperkuat serta tidak dibatasi dalam kurun waktu 1 periode pemerintahan Karena pemulihan ekosistem gambut membutuhkan waktu yang cukup lama dan konsistensi” tambah Yosi.

Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan menganalisis bahwa saat ini luas ekosistem gambut yang terancam sekitar 24 juta hektare. “Selain itu, badan ini juga akan menghadapi sengkarut gambut dengan perizinan yang lain seluas 21,3 juta Hektare. Ancaman lain juga setidaknya ada ekosistem gambut lindung di food estate seluas 838 ribu hektare,” ungkap Fadli Ahmad Naufal.

Tidak hanya itu, tupoksi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove ini juga harus lebih diperjelas, mengingat kewenangan terkait emisi dan reduksi emisi yang terdapat di UU Cipta Kerja tidak lagi dicantumkan. Juga dalam Peraturan Presiden No. 92 Tahun 2020 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak mencantumkan sama sekali fungsi dan tupoksi terkait penurunan emisi gas rumah kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut  yang diamanatkan pada suatu badan tertentu. Selain itu, dalam Perpres 92 Tahun 2020 sudah menghilangkan pasal terkait ‘pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan’ yang sebelumnya ada di Perpres 16 Tahun 2015 menjadi ‘pengendalian’. Hal ini akan berpotensi melemahkan perlindungan ekosistem gambut,” kata Yosi Amelia.

Sesuai dengan rencana pembangunan yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024, bahwa ditargetkan gambut yang harus direstorasi bertambah menjadi 1,5-2 juta hektare dari target pada 2015. Sementara itu, target restorasi 2015-2020 hanya tercapai 8 persen atau 143.448 ha dari target 1.784.353 ha pada kawasan budidaya/konsesi, dan 77 persen atau 682.694 ha dari target 892.248 ha di lahan gambut non-konsesi. Hal ini tentunya harus diperbaiki dan diperkuat kelembagaan dan kewenangan BRG untuk mencapai target yang cukup besar untuk restorasi dan pemulihan ekosistem gambut di 7 provinsi prioritas, kemudian ditambah dengan mangrove” tambah Yosi Amelia. [ ]

Narahubung:

– Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Perubahan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, 08193-2217-1803, yosi@madaniberkelanjutan.id

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815-1986-8887, luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Kontribusi Sawit Tidak Berbanding Lurus dengan Ekonomi Daerah

Kontribusi Sawit Tidak Berbanding Lurus dengan Ekonomi Daerah

Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan bahwa kontribusi sawit tidak berbanding lurus dengan ekonomi daerah. Hal tersebut lantaran hasil dari sawit itu sendiri cenderung dinikmati pusat daripada daerah.

Riset ini telah dirilis di laman Katadata.co.id.

Related Article

[1000 gagasan] EKONOMI LAPANG (LAHAN DAN PANGAN)

[1000 gagasan] EKONOMI LAPANG (LAHAN DAN PANGAN)

Isu ketahanan pangan adalah isu yang sangat penting di Indonesia saat ini bahkan dunia. Isu ini sangat erat kaitannya dengan kebutuhan pokok masyarakat atau lebih tepatnya dengan hajat hidup orang banyak. Apalagi, saat pandemi covid-19 melanda, isu ini menjadi sorotan publik lantaran bergulirnya rencana food estate.

Kebutuhan akan pangan adalah kebutuhan mutlak bagi setiap orang, oleh karena itu, kemandirian pangan menjadi kunci dari ketahanan pangan itu sendiri. Akankah kemandirian pangan dapat terwujud?

SIMAK JUGA: Ekonomi Martabak

Simak lebih lengkap gagasan tentang kemandirian pangan berjudul Ekonomi Lapang (Lahan dan Pangan) karya Alya Lihan dan Jovita Chiara di 1000 Gagasan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan di bawah ini

 

Mahasiswa ITB

Related Article

Masukan Konsultasi Publik Ranperpres tentang Instrumen Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian NDC dan Pengendalian Emisi Karbon dalam Pembangunan

Masukan Konsultasi Publik Ranperpres tentang Instrumen Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian NDC dan Pengendalian Emisi Karbon dalam Pembangunan

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sedang menyusun Peraturan Presiden soal Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Perpres ini tentu diharapkan akan menjadi  payung hukum dalam upaya mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca 29% pada 2030, demi pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) dan peengendalian emisi karbon dalam pembangunan.

Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi langkah tersebut dengan memberikan beberapa masukan yang diutarakan dalam konsultasi publik rancangan peraturan presiden tentang NEK tersebut. Berikut beberapa poin yang menjadi perhatian Madani:

1. Baseline emisi GRK untuk sektor NDC menggunakan baseline yang diproyeksikan (business as usual/BAU). Perlu ada mekanisme untuk memastikan transparansi penyusunan dan penetapan baseline sektoral agar tidak terjadi penggelembungan baseline sehingga pengurangan emisi betul-betul terjadi secara aktual.

2. Batas atas emisi GRK sub-sektor dan kegiatan/usaha ditentukan oleh menteri sesuai kewenangannya. Perlu ada mekanisme untuk memastikan transparansi penetapan batas atas emisi GRK untuk sub-sektor dan kegiatan/usaha agar tidak terjadi penggelembungan batas atas emisi GRK yang akan menghasilkan hot air dalam perdagangan emisi.

3. Apakah dapat dilakukan perdagangan emisi di antara pelaku usaha dan/atau kegiatan lintassektor, misalnya dari sektor/sub-sektor hutan dan lahan ke sektor/sub-sektor energi? Pengurangan emisi GRK di sektor hutan dan lahan mengandung risiko pembalikan/risk of reversal atau ketidakpermanenan sehingga tidak cocok digunakan untuk mengimbangi emisi dari pembakaran bahan bakar fosil yang bersifat permanen. 

4. Akan ada pengaturan penggunaan offset emisi dan mekanisme perdagangan emisi. 

o Offset berisiko melemahkan pencapaian target NDC jika dilakukan untuk memenuhi batas atas emisi yang telah ditetapkan/memenuhi kewajiban pengurangan emisi. Offset sebaiknya bersifat tambahan/additional setelah kewajiban pengurangan emisi terpenuhi. 

o Offset lintas-sektor (misalnya antara hutan/lahan dan energi fosil) mengandung risiko pembalikan karena ketidakpastian/ketidakpermanenan pengurangan emisi di sektor hutan/lahan, misalnya jika terjadi bencana alam, karhutla, dll. Oleh karenanya offset ini sebaiknya tidak dilakukan. 

5. Pelaksanaan perdagangan karbon memperhatikan integritas lingkungan dan integritas sosial. Perlu ada definisi integritas lingkungan dan sosial di bagian Ketentuan Umum dan elaborasinya di bagian pasal. 

6. Pelaksanaan pembayaran berbasis kinerja juga harus memperhatikan integritas lingkungan dan sosial, tidak hanya perdagangan karbon saja. 

7. Penyediaan informasi Pasal 73 ayat (2) harus memuat juga bagaimana integritas lingkungan sosial terpenuhi dalam pelaksanaan instrumen Nilai Ekonomi Karbon. 

8. Hak atas karbon adalah penguasaan oleh negara yang dapat dipindahkan kepada usaha dan/atau kegiatan melalui perizinan. Apakah perizinan ini melekat pada kepemilkan atau hak legal formal terhadap lahan atau hutan? Jika ya, maka masyarakat khususnya masyarakat adat dan lokal yang hak legal formalnya belum terakui akan termarjinalkan dalam kepemilikan hak atas karbon sehingga perlu ada afirmasi untuk hak atas karbon masyarakat, terutama masyarakat adat dan lokal.

Dapatkan dokumen masukan Konsultasi Publik Ranperpres tentang Instrumen Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian NDC dan Pengendalian Emisi Karbon dalam Pembangunan, dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

[1000 gagasan] MENGINISIASI RUANG TERBUKA HIJAU KOTA YANG BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] MENGINISIASI RUANG TERBUKA HIJAU KOTA YANG BERKELANJUTAN

Feeling good, like I should” lirik lagu dari Band Surfaces ini sempat viral di media sosial beberapa waktu yang lalu. Bukan hanya karena lagunya yang easy listening, tetapi karena jadi latar sebuah video dengan pemandangan alam yang hijau nan segar dengan latar gunung yang indah yang berada di Ranu Manduro, Mojokerto. Setelah viral, lokasi objek wisata dadakan itu lalu dibanjiri wisatawan yang berburu keindahannya dan menyandingkannya dengan pemandangan ala-ala New Zealand. 

Bila ditilik, menjadi menarik mengapa orang rela dari tempat yang jauh antri bermacet-ria untuk dapat bisa mengunjungi area tersebut, atau mengapa di akhir pekan, jalur puncak, Bogor selalu dipadati oleh wisatawan asal Kota Jakarta dan sekitarnya, atau mengapa harus berlibur ke Raja Ampat dan Bali untuk dapat menikmati pemandangan alam nan hijau dan masih asri.

Penelitian dari Universitas Warwick dan Universitas Sheffield tahun 2018 sedikit memberikan gambaran tentang hal ini, bahwa interaksi manusia dengan alam sekitarnya bisa menimbulkan nyaman sehingga kesehatan mental membaik. “Lari” dari kepenatan kota dan menuju daerah suburban menjadi jawaban karena kota-kota besar kini dipenuhi gedung tinggi bertingkat, permukiman, perkantoran dan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) tersedia.  

Tantangan Penyediaan RTH

Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan, sampai saat ini, baru 13 dari 174 kota di Indonesia yang mengikuti Program Kota Hijau dan memiliki Porsi RTH sebanyak 30% atau lebih. Padahal ketentuan pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 sudah jelas mengatur proporsi setiap kota, yakni paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.

BACA JUGA:  Sampah Elektronik: Jadi Ancaman Jangan Kita Lupakan

Tapi, menyediakan Ruang Terbuka Hijau di tengah peningkatan pertumbuhan kawasan permukiman, dan perkantoran tak semudah membalikkan tangan. Persoalan pertama terletak pada minimnya ruang terbuka hijau yang tersisa. Tingginya laju pertumbuhan penduduk di suatu daerah pasti akan diikuti dengan laju pertumbuhan kawasan terbangun seperti pemukiman, dan perkantoran. Alih fungsi lahan menjadi hal yang tak terelakkan dan akibatnya ruang terbuka hijau menjadi minim. 

Kedua, persoalan kesulitan pemerintah kota untuk mengalokasikan anggaran untuk penyediaan RTH di wilayah perkotaan. Jamak diketahui, harga pasaran tanah per meter di kawasan perkotaaan semisal Jakarta begitu mahal, sedangkan di satu sisi alokasi anggaran untuk pembebasan tanah tentu terbatas. Belum lagi proses pengadaan tanah juga memakan waktu yang tidak sebentar. 

Persoalan ketiga, alasan pragmatis pemilik lahan untuk membangun menjadi permukiman atau pertokoan karena lebih menguntungkan ketimbang sekedar menjadi ruang terbuka hijau. Apalagi bila tanah tersebut berada di wilayah yang strategis. 

Padahal, sejatinya tata ruang kota tidak hanya untuk kawasan budidaya atau terbangun, fungsi RTH diperlukan untuk menyeimbangkan kondisi ekologis kota karena pohon dan tanaman akan membantu dalam penyerapan karbon dioksida sekaligus menyimpan air, dan parahnya fungsi ini makin menurun di kota-kota besar dan makin jauh dari kesan teduh. Pada akhirnya, persoalan dan bencana seperti: banjir, longsor, dan kekeringan menjadi mudah dirasakan oleh masyarakat kota. 

Di sisi yang lain, Analisa Bank Dunia perlu jadi perhatian serius di mana diproyeksikan bahwa 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2045. Ini artinya urbanisasi  akan terus meningkat dari 56% menjadi 70% dari total populasi secara keseluruhan. Dan ini mengartikan juga bahwa kebutuhan akan lahan terbangun semakin tahun akan semakin meningkat.   

Peluang Penyediaan RTH  

Di tengah tantangan masalah kota yang makin kompleks, sebenarnya masih ada secercah harapan yang bisa diinisiasi untuk melihat kemungkinan penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Setidaknya, ada tiga skema menurut hemat penulis yang dapat diinisiasi dalam penyediaan ruang terbuka hijau.  Pertama, pemberian insentif pajak pada lahan yang belum terbangun atau lahan tidur. Pembebanan pajak tinggi pada lahan tidur kerap membuat pemilik lahan mengambil jalan pintas untuk segera menjual ke pihak lain untuk menjadikan kawasan terbangun. Padahal, bila tetap dibiarkan tidak terbangun, kota terbantu untuk tetap menghadirkan daerah resapan dari lahan tidur tersebut. Oleh karena itu, insentif ini diharapkan membantu pemilik lahan untuk tidak mengalihfungsikan lahannya. Dari skema ini, pemerintah kota sejatinya akan terbantu dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau karena tidak perlu membebaskan tanah, tapi cukup dengan memberikan insentif pajak.  

BACA JUGA: Ekonomi Martabak

Kedua, skema pemanfaatan lahan tidur untuk pengelolaan kewirausahaan kecil menengah. Bila sebelumnya, pemilik lahan hanya mendapatkan insentif keringanan pajak atas lahan tidak terbangun, pada skema ini, pemilik lahan mendapatkan keuntungan ekonomis dari lahan yang dibiarkan tidur. Dengan bekerjasama dengan pihak lain, seperti Event Organizer, lahan tersebut bisa dimanfaatkan sebagai lokasi sentra UMKM nonpermanen dengan tetap memberikan porsi besar pada lahan terbuka. Praktek ini akrab dijumpai seperti pada kegiatan pasar malam, atau pasar pagi dadakan, di mana pemilik lahan mendapatkan keuntungan dari peminjam lahan dari penyewa usaha.   

Ketiga, pengembangan potensi ekowisata. Bila pada dua skema sebelumnya, pemanfaatan ruang terbuka dari lahan tidur hanya bersifat sementara, pada skema ini pemanfaatan lahan bisa berkelanjutan. Kebutuhan ruang untuk rekreasi hijau yang dekat menjadi peluang investasi jangka panjang. Terlebih di kondisi pandemi yang belum memungkinkan orang untuk pergi jauh dan masih khawatir tertular virus. Lahan tidur dapat dikelola sebagai sarana rekreasi yang menarik. Penyediaan danau, kebun buah, mini zoo, labirin dan fasilitas gazebo menjadi tempat yang tepat untuk membebaskan diri dari tekanan kerja dan tentunya minim resiko dari kemacetan bila dibandingkan harus ke daerah suburban seperti kawasan puncak, dll.   

Pada akhirnya, skema pengelolaan ruang terbuka hijau perkotaan ini menjadi alternatif bagi pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan fungsi ekologis suatu kawasan dan dapat memberdayakan masyarakat sekitar. 

Oleh: Muhammad Wahdini

Penggerak Gerakan BangSaku, Warga Balikpapan


Related Article

[1000 gagasan] MEWUJUDKAN INDONESIA MERATA (MODAL EKONOMI MASYARAKAT SEJAHTERA) MELALUI FINTECH DALAM PENINGKATAN INOVASI MODEL PEMBIAYAAN DAN PELATIHAN UMKM

[1000 gagasan] MEWUJUDKAN INDONESIA MERATA (MODAL EKONOMI MASYARAKAT SEJAHTERA) MELALUI FINTECH DALAM PENINGKATAN INOVASI MODEL PEMBIAYAAN DAN PELATIHAN UMKM

Indonesia tentunya memiliki karakteristik yang unik dan strategi untuk menghadapi revolusi industri 4.0 melalui pemerintahan saat ini. Namun jika dikaji lebih dalam upaya yang dilakukan masih belum optimal karena kepadatan penduduk di kota-kota besar semakin tinggi. Di sisi lain hal itu dapat menyebabkan ketimpangan yang signifikan antara perkotaan dan pedesaan, kemudian juga dihadapkan dengan bonus demografi yang akan terjadi dan jika bisa dimanfaatkan potensinya sesuai dengan strategi maka bonus demografi akan memberikan kontribusi yang besar untuk bangsa ini. Fenomena sharing economy juga dapat dioptimalkan melalui digitalisasi secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Fenomena sharing economy yang optimal dapat diimplementasikan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas Usaha Mikro Kecil Menengah, karena faktanya sektor UMKM telah banyak memberikan kontribusi terhadap perekonomian di Indonesia dimana tercatat pada tahun 2015 sektor UMKM turut berkontribusi sebesar 57% terhadap PDB dan dapat menyerap tenaga kerja sebesar 97 persen. Angka tersebut diprediksikan akan terus meningkat seiring terus bertumbuhnya jumlah pelaku hal tersebut melanjutkan tren bahwa sebesar 99.99% pangsa usaha di Indonesia. Bonus demografi akan sangat mendukung implementasi tersebut secara optimal. 

Hal dasar namun sangat besar yang sangat perlu diperhatikan adalah kemampuan untuk menguasai teknologi baru dan kesiapan secara finansial sebagai modal utama dalam menciptakan usaha, baik berupa barang atau jasa berupa produk yang mampu berdaya saing global. Kemudian dibandingkan dengan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, era digitalisasi saat ini dan tantangan di masa depan dibutuhkan bisnis yang berkelanjutan memiliki orientasi terhadap ekonomi kreatif yang memanfaatkan peran penting pola pikir sumber daya manusia.

Ekonomi Inklusif

Menurut World Economic Forum mendefinisikan ekonomi inklusif sebagai strategi yang memberikan akses yang luas kepada lapisan-lapisan masyarakat guna untuk meningkatkan kemakmuran serta kinerja perekonomian. Hal ini juga bertujuan untuk memberikan jaminan kepada masyarakat agar dapat merasakan akses perekonomian yang dapat meningkatkan kesejahteraan agar lebih baik.

BACA JUGA: Pembangunan Berkelanjutan

Financial Technology

Financial Technology atau Fintech memiliki definisi sebagai suatu penggunaan teknologi yang merujuk pada penggunaan di bidang keuangan yang dimana jika dijelaskan secara detail bahwa perkembangan era digital membuat pengaplikasian teknologi secara tingkat lanjut untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan intermediasi keuangan. World Bank juga mengatakan bahwa Fintech itu sendiri berupa industri-industri pada suatu perusahaan yang memanfaatkan teknologi dalam sistem penyelesaian layanan keuangan agar menjadi efektif dan efisien.

Usaha Mikro Kecil Menengah

Keberadaan UMKM ini sendiri dapat dijadikan sebagai jalan alternatif untuk menyelesaikan isu ketimpangan yang ada di Indonesia. Namun, permasalahan yang besar pada UMKM ini adalah akses dari permodalan dan bahkan jaminan usaha yang sulit. Hal ini menyebabkan UMKM di Indonesia khususnya sulit untuk berkembang. Seiring dengan mengikuti zaman banyak sekali inovasi-inovasi yang ada dengan mengikuti perkembangan era digital, contohnya seperti perkembangan dari ekonomi kreatif.

Sharing Economy

Menurut Benita Matofska dari The People Who Share menjelaskan bahwa sharing economy merupakan bagian dari ekosistem sosial-ekonomi yang dibangun untuk menciptakan sesuatu yang membagi berbagai aspek, mulai dari sumber daya manusia, hingga kedalam intelektual. Aspek yang dibagi di dalam fenomena ini berupa kreativitas produk, jual beli barang, proses konsumsi, proses produksi dan distribusi, bahkan layanan. Fenomena ini menjadi suatu tantangan besar yang terjadi di kalangan pelaku usaha dalam proses mencapai pengembangan pasar. 

Mewujudkan Indonesia Merata

Perkembangan era modern yang sangat cepat ini menyebabkan transformasi ekonomi yang begitu besar, saat ini inovasi hal yang paling utama dalam kegiatan bisnis. Persaingan besar pun terjadi di tingkat wilayah, nasional, bahkan internasional. Era bisnis saat ini juga banyak melibatkan sumber daya manusia sehingga potensi sumber daya manusia pada suatu negara juga harus dikelola dengan baik. Dengan adanya tantangan dan permasalahan yang dihadapi saat ini maka perlunya mewujudkan Indonesia Merata (Modal Ekonomi Masyarakat Sejahtera) melalui fintech yang memiliki 2 fitur utama yaitu pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kemampuan sumber daya manusia dalam menguasai teknologi, digitalisasi dan ide bisnis kemudian dapat memahami pengelolaan keuangan dengan bijak

Inovasi model pelatihan dan pembiayaan memiliki konsep bahwa pihak pengelola akan bekerja sama dengan pemerintah provinsi di seluruh wilayah Indonesia hal itu bertujuan agar saling bersinergi, menghindari tumpang tindih antar kebijakan. Hal ini mengandung 6 karakteristik seperti Easy: dengan saling bersinergi dan dalam bentuk digitalisasi maka terciptanya interaksi komunikasi secara rutin, detail dengan pendampingan dan pelatihan akan lebih optimal dengan masyarakat di masing-masing wilayah. Kemudian Affordable: Karena program ini memiliki tujuan pemerataan maka dengan adanya kerjasama berikut akan memberikan keterjangkauan terhadap masyarakat di setiap daerah.

BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Kota yang Berkelanjutan

Selanjutnya karakteristik lain seperti Proportional: Fitur pertama memberikan pelatihan pengembangan inovasi atau ide bisnis dan penguasaan teknologi baru yang dapat disesuaikan dengan kemampuan, potensi dan kapasitas masing-masing individu setiap daerah. Lalu Low Interest: Fitur kedua memberikan pinjaman atau kredit biaya usaha dengan yang paling rendah diantara lembaga keuangan lainnya, hal itu karena program melalui Fintech ini memiliki orientasi pada sosial bisnis, pemerataan ekonomi dan tidak melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian karakteristik selanjutnya yaitu Convenience: ketika 2 fitur tersebut dapat dioptimalkan oleh masyarakat maka setiap individu akan mampu bersaing dengan bijak tanpa mengkhawatirkan risiko besar yang terjadi, karena sudah memiliki dasar modal yang utama dalam melakukan bisnis. Selanjutnya yang terakhir adalah Secure and Reliable: legalitas, perizinan sudah diperoleh serta faktor ekonomi sudah dimiliki maka dapat menciptakan produk bisnis yang kompetitif dan dikomersilkan untuk memperoleh keuntungan yang optimal.  

Berkaitan dengan era digitalisasi saat ini dan menggunakan teknologi yang tinggi, maka program ini memiliki fokus kepada inovasi dan kreativitas sumber daya manusia dalam mengelola setiap potensi ekonomi yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya masing-masing. Karena program ini juga mengacu pada ekonomi kreatif maka akan mengurangi risiko kerusakan lingkungan dan eksploitasi terhadap sumber daya alam. Peningkatan kualitas melalui pelatihan, pembinaan, dan sosialisasi terhadap penggunaan teknologi yang baik dan benar, serta pengelolaan keuangan yang bijak dapat mempermudah dalam peningkatan potensi dari masyarakat itu sendiri. 

Akses permodalan dan keuangan non-tunai yang dipermudah tentu meminimalisir proses administrasi dan diyakini dapat menjadi pendukung besar untuk para pelaku usaha ketika kemauan untuk mempelajari teknologi maupun pengelolaan keuangan lebih ditingkatkan. Di jangka pendek dapat menumbuhkan kerjasama antara pelaku usaha dengan investor. Jangka menengah dapat mengoptimalkan bonus demografi agar memberikan potensi yang besar melalui pelatihan, pendidikan, dan pembinaan penguasaan teknologi dan pengelolaan keuangan serta dapat menerapkannya. Di jangka panjang memiliki tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, serta dapat menumbuhkan kualitas dan kuantitas UMKM yang dapat bersaing secara global.

Oleh: Dzikir Abdul Aziz

Creative Team Molfane.co

Related Article

en_USEN_US