Madani

Tentang Kami

PROMOTING THE IMPLEMENTATION OF GREEN BUDGET TAGGING AND SCORING SYSTEM IN MALUKU PROVINCE

PROMOTING THE IMPLEMENTATION OF GREEN BUDGET TAGGING AND SCORING SYSTEM IN MALUKU PROVINCE

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dalam mendukung aksi pengendalian perubahan iklim adalah dengan pengembangan mekanisme penandaan anggaran (budget tagging) serta mengembangkan instrumen pembiayaan inovatif.

Mekanisme penandaan anggaran merupakan proses identifikasi besaran anggaran yang digunakan untuk membiayai output yang spesifik ditujukan untuk sesuai dengan program tematik yang menjadi target (BKF, 2016). 

Dalam hal ini pemerintah daerah diharapkan dapat mengidentifikasi alokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mengidentifikasi instrumen pendanaan apa yang masih dapat dimanfaatkan dalam mendanai pelaksanaan aksi dan mitigasi perubahan iklim daerah sehingga anggaran perubahan iklim mampu dikelola secara efektif dan efisien serta mendukung efektivitas pelaksanaan aksi dan mitigasi perubahan iklim khususnya. 

Terkait dengan hal ini, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama para  ahli di bidang penandaan anggaran mengadakan pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Maluku pada 30 Juni sampai 1 Juli, di Kota Ambon. 

Program Officer NDC Yayasan Madani Berkelanjutan, Erlangga menyebut bahwa tujuan Yayasan Madani Berkelanjutan mengadakan pelatihan tersebut adalah untuk mendorong Pemprov Maluku menyelaraskan RPJMD dengan RAD GRK agar nantinya dapat mengakses sumber dana hijau lainnya yang dapat mendukung Pemprov Maluku selain dari APBD yang telah dimiliki.

Di kesempatan yang sama, Peneliti dari BKF yang juga bertindak sebagai pelatih di pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Maluku,  Joko Tri Haryanto, mengapresiasi inisiatif yang dilakukan Yayasan Madani Berkelanjutan terkait dengan pelatihan ini. “Pelatihan ini adalah bentuk transfer pengetahuan supaya di masa depan daerah dapat melakukan mekanisme ini secara mandiri dalam penyusunan RPJMD dan APBD” ujar Joko.

Menurut Joko, budget tagging, budget scoring, performance scoring merupakan tools atau serangkaian mekanisme tata kelola administrasi penganggaran. Hal ini sangat penting karena setiap rupiah yang dikeluarkan dari APBD dapat ditelusuri outcomenya. 

Selama ini 30-40% APBD tidak bermanfaat bagi masyarakat, padahal tren anggaran transfer ke daerah dan dana desa itu terus meningkat tiap tahunnya”, tegas Joko.

Melalui pelatihan ini Yayasan Madani Berkelanjutan berharap kapasitas OPD Provinsi Maluku dalam melakukan manajemen penganggaran dan penentuan program prioritas program hijau agar daerah dapat berperan dalam memobilisasi sumber-sumber pendanaan baik publik dan non publik.

Dapatkan informasi terkait dengan pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Maluku dengan mengunduh di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Konsistensi Kebijakan Pemerintah dalam Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan, Gambut dan Mangrove Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Konsistensi Kebijakan Pemerintah dalam Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan, Gambut dan Mangrove Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 28 Juli 2021] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia dalam memperbarui komitmen iklim Indonesia melalui Updated Nationally Determined Contribution (Updated NDC). Dalam dokumen Updated NDC yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada UNFCCC 21 Juli 2021 lalu, pemerintah Indonesia berkomitmen menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata, termasuk adaptasi di sektor kelautan, pengurangan deforestasi dan degradasi, perhutanan sosial, serta integrasi dengan isu-isu penting lainnya seperti keanekaragaman hayati.

Beyond 2030, Updated NDC Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk bertransformasi menuju strategi pembangunan jangka panjang yang rendah karbon dan berketahanan iklim. Menjadikan sektor kehutanan dan lahan menjadi net sink carbon pada 2030, jika serius diterapkan, akan menjadi tambahan motivasi untuk terus mengurangi deforestasi dan degradasi serta menghentikan kebakaran hutan dan lahan serta pengeringan gambut. Selain itu, harus ada konsistensi kebijakan pembangunan sektoral pemerintah agar sejalan dengan upaya penurunan deforestasi dan degradasi, serta pemulihan ekosistem termasuk restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove. Hal ini menjadi kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Updated NDC Indonesia yang diserahkan pemerintah kepada UNFCCC.

Selain itu, pemenuhan target NDC membutuhkan kolaborasi semua pihak. Oleh karenanya, keterbukaan data dan informasi, serta partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan dari pemerintah menjadi sangat penting agar semua pihak termasuk masyarakat, masyarakat sipil dan sektor swasta dalam berpartisipasi dalam pembangunan yang rendah karbon dan berketahanan iklim,” tambah Nadia Hadad. “Bayangan emisi nol karbon (net zero emission) di tahun 2060 juga merupakan langkah lebih maju dari rencana sebelumnya di tahun 2070. Namun akan lebih ideal jika Indonesia berkomitmen pada target yang lebih ambisius untuk emisi nol karbon (net zero emission) agar lebih cepat terjadi transformasi ke energi terbarukan dan perbaikan tata kelola penggunaan lahan di Indonesia.” 

Nadia Hadad menambahkan bahwa berbagai kebijakan pembangunan sektoral harus dibuat selaras dengan Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. Berbagai kebijakan selaras NDC yang dapat diambil pemerintah antara lain menghentikan ekspansi perkebunan sawit ke hutan alam dan lahan gambut dan meninjau ulang izin-izin perkebunan sawit yang masih memiliki hutan alam. Peningkatan produktivitas kelapa sawit dan pemberdayaan petani kecil harus menjadi fokus pemerintah, bukan lagi ekspansi perkebunan. Dalam konteks ini, memperpanjang kebijakan moratorium sawit adalah langkah penting dalam mencapai Updated NDC dan Agenda Indonesia FOLU 2030. 

Selain itu, pemerintah juga perlu meninjau kembali program Food Estate yang dalam proses perencanaannya mencakup banyak area berhutan alam dan gambut. “Sekitar 1,5 juta hektare hutan alam tercakup dalam Area of Interest (AoI) Food Estate di 4 Provinsi dengan estimasi nilai kayu lebih dari 200 triliun rupiah. Jika hutan alam dibuka, kebijakan ini akan bertentangan dengan pencapaian komitmen iklim dan ketahanan pangan di masa depan. Penting juga untuk memperluas dan mempercepat realisasi restorasi gambut di periode 2021-2024 untuk meminimalkan kebakaran hutan dan lahan, tidak hanya yang berada di bawah wewenang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove atau BRGM (di luar konsesi), tapi juga restorasi gambut di dalam konsesi perusahaan. Sangat penting untuk memastikan tidak ada lagi pembukaan dan pengeringan gambut oleh izin dan konsesi, termasuk untuk Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan Energi,” ujar Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan selaras NDC lain yang penting adalah mempercepat realisasi perhutanan sosial dan pengakuan hak-hak masyarakat adat beserta wilayah dan hutan adat, yang diintegrasikan dengan aksi-aksi penurunan emisi GRK dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim di tingkat tapak. Pendanaan lingkungan hidup dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dibentuk Oktober 2019 lalu seyogyanya difokuskan untuk memperkuat hak dan kesejahteraan masyarakat. 

Tidak kalah penting adalah memastikan kebijakan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bagian dari bauran energi (energy mix) termasuk biodiesel, agar tidak meningkatkan deforestasi, degradasi, dan kebakaran melalui perencanaan penggunaan lahan yang terintegrasi, memasang safeguards yang kuat bagi pengembangan biofuel untuk tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, dan yang  terpenting adalah pemanfaatan feedstock biofuel yang tidak menimbulkan persaingan dengan pangan dan pakan, misalnya dari sampah/limbah,” kata M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan.

Transformasi sistem energi dan penggunaan lahan harus dimulai dari sekarang untuk mencapai visi Net Zero Emission lebih cepat, tidak bisa menunggu setelah 2030 untuk mengurangi emisi secara drastis. Hal ini harus dimulai dengan menyelaraskan kebijakan-kebijakan pembangunan sektoral pemerintah dengan komitmen iklim yang telah ditetapkan. [ ]

oooOOOooo

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Eksekutif  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • M. Arief Virgy, Junior Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0859 2614 0003
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Perlu Perpanjangan dan Penguatan Moratorium Sawit Untuk Membantu Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Perlu Perpanjangan dan Penguatan Moratorium Sawit Untuk Membantu Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 26 Juli 2021] Perpanjangan Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau biasa disebut dengan Moratorium Sawit penting untuk dilakukan oleh pemerintah. Langkah ini dapat memberikan dampak positif berupa dukungan pasar global terhadap produk sawit Indonesia, memicu peningkatan produktivitas lahan, penyelesaian tumpang tindih dan konflik lahan, serta berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim (NDC). Demikian disampaikan oleh Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi tersebut masih berasal dari sektor kehutanan dan lahan, dengan target penurunan emisi sebesar 17,2% hingga 38% pada tahun 2030 mendatang. Dalam kick-off persiapan delegasi Indonesia menuju Glasgow Climate Change Conference 19 Juli 2021 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan telah mengumumkan Agenda “Indonesia FOLU 2030” dimana Indonesia dibayangkan akan mencapai net sink karbon di sektor kehutanan dan lahan pada 2030. Perpanjangan moratorium sawit akan mendorong tercapainya ambisi iklim tersebut dengan menahan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin sawit. Perpanjangan ini akan memperkuat langkah korektif pemerintah untuk menurunkan laju deforestasi secara signifikan.

Masih ada sekitar 5,7 juta hektare hutan alam di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang dapat dilepaskan untuk perkebunan. Jika Moratorium Sawit tidak diperpanjang dan diperkuat, laju deforestasi akan kembali meningkat dan Indonesia dapat terancam gagal untuk mencapai komitmen iklimnya,” ujar Trias Fetra. Pada 2019-2020, di antara 6 jenis izin dan konsesi, deforestasi hutan alam terbesar terjadi di wilayah izin perkebunan sawit yakni sebesar 19.940 hektare.

Luas hutan alam yang berada di wilayah izin sawit juga cukup signifikan. Berdasarkan tutupan lahan 2019, tercatat 3,58 juta hektare hutan alam berada di izin sawit, dan 1 juta hektare-nya tercatat sebagai hutan primer. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,43 juta hektare tercatat berada di pelepasan kawasan hutan yang merupakan objek evaluasi perizinan dalam kebijakan moratorium sawit. Implementasi moratorium sawit memberikan harapan bahwa hutan alam yang masih ada di dalam izin sawit akan dievaluasi dan dikembalikan menjadi kawasan hutan. Hasil analisis Madani menemukan setidaknya terdapat dari 24,2 juta hektare ekosistem gambut di Indonesia dan di antaranya ada 6,2 juta hektare ekosistem gambut yang masuk ke dalam izin sawit, dengan detail lahan gambut seluas 3,8 juta hektare. Instrumen evaluasi dan review izin yang ada di dalam moratorium sawit dapat menyelamatkan luasan gambut tersebut. Keberadaan lahan gambut harus dilindungi dan dipulihkan, mengingat 99,3% lahan gambut di Indonesia mengalami kerusakan dan sangat beresiko terbakar saat musim kering. Hasil analisa kami, dengan menyelamatkan 3,8 juta hektare luas gambut pada fungsinya alamnya dapat menghindari pelepasan 11,5 juta ton/tahun karbon akibat aktivitas pembakaran ataupun konversi lahan yang tentunya akan berkontribusi pada komitmen iklim Indonesia,” tambah Trias Fetra.

Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, memberikan catatan khusus terkait transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan Inpres. “Perlu dicatat bahwa masih ada permasalahan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Semestinya pemerintah tidak ragu membuka data dan capaiannya dalam Inpres ini. Misalnya berapa banyak data sawit dalam kawasan hutan yang telah dikonsolidasikan dan diverifikasi, berapa banyak izin sawit yang telah direview, hingga berapa banyak pelanggaran yang telah ditindak dan diberikan sanksi. Bentuk transparansi seperti ini tentunya akan semakin membuka ruang partisipasi dan kolaborasi yang lebih luas, tidak hanya dengan organisasi masyarakat sipil tapi juga pemerintah daerah yang sudah memiliki inisiatif baik untuk menjalankan Inpres. Jika memang pekerjaan rumah dalam Inpres belum diselesaikan, maka sudah selayaknya Inpres diperpanjang.”

Dari pengalaman selama 3 tahun ini, Pemerintah baru bisa menyelaraskan data terkait tutupan dan luas izin sawit.  Pemerintah dan para pihak mesti sadar bahwa indikator keberhasilan bukan hanya soal tidak adanya pemberian izin baru selama masa tenggat waktu, namun juga harus bisa menyelesaikan persoalan produktivitas, keberterimaan pasar, deforestasi, kepastian hukum petani sawit serta tumpang tindih dan konflik lahan. Pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dengan melaksanakan perpanjangan moratorium ini sebagai langkah tindak lanjut pembenahan tata kelola industri perkebunan kelapa sawit secara keseluruhan,” ujar Agung Ady, Juru Kampanye FWI.  

Terpilihnya Indonesia sebagai Co Chair COP 26 bersama dengan Inggris mengindikasikan bahwa kepercayaan dunia bernilai positif terhadap implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Indonesia walaupun pandemi dan perubahan iklim sedang berjalan. Momentum ini harus dijaga melalui serangkaian penguatan aturan dan tata kelola di sektor FOLU (Forestry and other Land Use), salah satunya perkebunan kelapa sawit.  Sehingga perpanjangan dan penguatan Moratorium kelapa sawit sangat penting diimplementasikan guna menghindari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit hingga akhirnya dapat mencapai target netral emisi pada tahun 2030,” tutup Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak. [ ]

 

Kontak Media:

  1. Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan (fetra@madaniberkelanjutan.id / 0877-4403-0366)
  2. Agung Ady Setiyawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia  (agung_ady@fwi.or.id / 085334510487)
  3. Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak (rahmadha.syah@kaoemtelapak.org / 081288135152)
  4. Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL (adri@icel.or.id / 081386299786)

Related Article

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM G20 COMMITMENT HURDLES TO THE OMBUDSMAN'S FINDINGS OF KPK’S CIVIC KNOWLEDGE TEST

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM G20 COMMITMENT HURDLES TO THE OMBUDSMAN'S FINDINGS OF KPK’S CIVIC KNOWLEDGE TEST

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (20 Juli 2021 – 26 Juli 2021), berikut cuplikannya:

1. Poin yang Menghambat G20 Membuat Komitmen untuk Atasi Perubahan Iklim

Konferensi tingkat menteri G20 gagal menyepakati kata-kata komitmen utama dalam mengatasi perubahan iklim. Menteri Transisi Ekologi Italia, Roberto Cingolani, Jumat (23/7), menyatakan, poin yang belum disepakati itu akan diteruskan untuk dibahas di pertemuan puncak G20 di Roma, pada Oktober mendatang.

Cingolani mengatakan negosiasi G20 dengan China, Rusia dan India terbukti sangat sulit. Menurut Cingolani, pada akhirnya China dan India menolak untuk menandatangani poin yang dipermasalahkan. Salah satu poin itu adalah menghapus secara bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara. Sebagian besar negara anggota G20 ingin tujuan itu tercapai pada tahun 2025. Namun beberapa negara lainnya menyatakan, target itu mustahil mereka penuhi.

Poin lain yang diperdebatkan seputar batas kenaikan suhu global, yang menurut Perjanjian Paris 2015 berkisar 1,5 derajat Celcius hingga 2 derajat Celcius. Beberapa negara ingin lebih cepat dari apa yang disepakati di Paris dan bertujuan untuk membatasi suhu pada 1,5 derajat dalam satu dekade. Tetapi yang lain, dengan lebih banyak ekonomi berbasis karbon, mengatakan mari kita tetap berpegang pada apa yang disepakati di Paris.

Kegagalan G20 untuk menyepakati bahasa yang sama menjelang pertemuan itu kemungkinan akan dilihat sebagai kemunduran bagi harapan dunia untuk mengamankan kesepakatan yang berarti di COP 26.

2. ADB Siapkan US$80 Miliar untuk Pendanaan Program Perubahan Iklim

Asian Development Bank (ADB) menyampaikan komitmen untuk terus membantu usaha negara-negara berkembang dalam melakukan transisi ke ekonomi hijau, secara adil dan terjangkau. Presiden ADB Masatugu Asakawa mengatakan akan menyediakan US$80 miliar secara kumulatif dari 2019 hingga 2030, untuk pembiayaan program perubahan iklim.

Tidak hanya itu, Asakawa menyebut ADB mendorong program sponsor dari sektor swasta untuk mengambangkan Energy Transition Mechanism (ETM) di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Asakawa lalu menyebut ETM sebagai metode yang berbasis pasar dan adil untuk mempercepat transisi dari pembangkit tenaga batu bara, serta memulai pertumbuhan penggunaan energi terbarukan.

3. Persiapan Indonesia Hadapi Konferensi Dunia Tentang Perubahan Iklim

Menjelang perundingan COP UNFCCC ke 26 yang akan diselenggarakan di Glasgow, Britania Raya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya secara virtual pada awal pekan ini memberikan arahan kepada para calon Delegasi Republik Indonesia (DELRI) yang akan menjadi negosiator dalam berbagai persidangan COP-26 UNFCCC.

Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (21/07/2021), Menteri Siti menyampaikan beberapa hal yang dapat menjadi wawasan bagi para calon Delri. Pertama, adalah terkait pembaruan Nationally Determined Contributions (Updated NDC) Indonesia.

Pada updated NDC yang telah disusun, Indonesia berkomitmen menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim, dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata, adaptasi di sektor kelautan, serta lebih terintegrasi dengan isu-isu penting lainnya, seperti keanekaragaman hayati dan desertifikasi.

Menteri Siti menyampaikan lebih lanjut, Updated NDC secara implisit menunjukkan ambisi 41% target yang akan dicapai, dengan memperkuat langkah-langkah implementasi kerjasama teknis luar negeri dalam hal teknologi dan pengembangan sektor swasta. Misalnya, dalam kegiatan electric-mobility yang telah dirintis dan dimulai seperti pengembangan listrik solar panel.

Kemudian juga mempertegas peran teknologi dan kerja sama internasional swasta dan dukungan internasional seperti dalam hal proyeksi rehabilitasi mangrove hingga 600.000 Ha sampai dengan akhir 2024, peningkatan peran rehabilitasi lahan oleh swasta hingga hingga lebih dari 200.000 hektar, hingga pengembangan kompleks green industry supported by green energy di Kalimantan Utara seluas 12.000 Ha.

Kedua, Pemerintah Indonesia telah menyusun strategi jangka panjang yang akan menjadi pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta komitmen NDC lima-tahunan selanjutnya. Sejak tahun 2020, Indonesia telah berproses untuk menyusun dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050), menuju net-zero emissions dengan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi yang bertumbuh, berketahanan iklim dan berkeadilan. Sektor Agriculture, Forestry dan Land Use (AFOLU) dan sektor energi akan sangat menentukan pathways yang akan dituju pada tahun 2050. Dengan skenario paling ambisius yaitu Low Carbon Compatible with Paris Agreement (LCCP), secara nasional Indonesia akan mencapai peaking pada tahun 2030 dengan sektor FOLU sudah mendekati net sink.

Ketiga, Menteri Siti kemudian menyakinkan kepada calon delegasi, bahwa Indonesia cukup baik dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Pada forum multilateral, Indonesia seringkali menjadi sorotan atas capaian, prestasi, dan kebijakan yang menawarkan solusi. Sedangkan secara bilateral, Indonesia di berbagai kesempatan didekati oleh negara yang dengan maksud untuk menjadi mitra dalam menangani perubahan iklim.

4. Bappenas: Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Perubahan Iklim Rp 115 T

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024. Oleh sebab itu, pemerintah terus mendorong adanya pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Staf Ahli Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan kerugian itu berasal dari empat sektor yakni air, kesehatan, laut pesisir, dan pertanian.

Untuk itu, sangat penting bagi Indonesia mengadopsi langkah-langkah guna menuju pembangunan rendah karbon dan mengimplementasikan konsep ekonomi sirkular. Pasalnya, ekonomi sirkular menawarkan potensi yang cukup besar untuk Indonesia.

Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengadopsi konsep ekonomi sirkular ke dalam visi Indonesia 2045, dan telah diprioritaskan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Ekonomi sirkular menurut dia dapat meningkatkan ketahanan dan manfaat ekonomi jangka panjang. Penerapan ekonomi sirkular di lima sektor prioritas mampu menambah Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai Rp 642 triliun.

Di samping itu ekonomi sirkular juga membantu Indonesia dalam mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 126 juta ton CO2 pada tahun 2030. Selain itu, pihaknya juga mengestimasikan bahwa limbah makanan (food loss dan food waste) periode 2000-2019 menghasilkan kerugian ekonomi hingga Rp 551 triliun.

5. Ombudsman: 75 Pegawai KPK Harus Dilantik Jadi ASN Sebelum 30 Oktober

Ombudsman RI mengungkap temuan maladministrasi dalam proses tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).  Ketua Ombudsman Mokhammad Najih mengatakan pihaknya memfokuskan pemeriksaan pada tiga isu, yakni rangkaian proses pembentukan kebijakan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN, dan pada tahap penetapan hasil asesmen tes wawancara kebangsaan (TWK).Tiga hal ini yang oleh Ombudsman RI ditemukan potensi maladminstasi.

Terkait temuan itu, Ombudsman memberikan catatan perbaikan untuk KPK. Salah satunya adalah pelaksanaan alih status harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK. Selain itu, alih status juga harus berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan pernyataan presiden Joko Widodo serta temuan Ombudsman terkait maladministrasi.

Berdasarkan hal tersebut, Ombudsman menilai 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK berhak menjadi ASN. Maladministrasi itu ditemukan Ombudsman RI setelah menyelesaikan serangkaian proses pemeriksaan atas pengaduan perwakilan 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat adanya kebijakan tersebut. Catatan lainnya adalah KPK harus memberikan penjelasan kepada pegawai perihal konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya dalam bentuk informasi atau dokumen sah.

Lalu, Ombudsman menilai hasil TWK hendaknya menjadi bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat. Catatan lainnya, terhadap pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat diberikan kesempatan untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.

Related Article

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM PPKM EXTENSION TO RIAU VICE GOVERNOR'S COMMITMENT TO PALM OIL MORATORIUM

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM PPKM EXTENSION TO RIAU VICE GOVERNOR'S COMMITMENT TO PALM OIL MORATORIUM

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (13 Juli 2021 – 19 Juli 2021), berikut cuplikannya: 

 
1. PPKM Darurat Diperpanjang, Anggaran PEN Naik Jadi Rp 744,75 T

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Penanganan Covid-19 di tengah pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat yang diperpanjang hingga akhir Juli 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, dana PEN dan penanganan Covid-19 dari sebelumnya Rp 699,43 triliun, naik menjadi Rp 744,75 triliun.

Secara rinci, pada dana perlindungan sosial naik dari Rp 153,86 triliun naik jadi Rp 187,84 triliun. Kemudian dana kesehatan naik dari Rp 193,93 triliun naik dari Rp 214,95 triliun. Kemudian untuk insentif usaha tetap sebesar Rp 62,83 triliun. Program Prioritas naik dari Rp 117,04 triliun menjadi Rp 117,94 triliun. Lalu kemudian Dukungan UMKM dan korporasi menjadi turun, dari Rp 171,77 triliun menjadi Rp 161,20 triliun.

2. Ekonomi Melambat, S&P Ingatkan Beban Utang RI

Economist Asia-Pacific S&P Global Ratings Vishrut Rana memperkirakan defisit pemerintah secara umum sebesar 6% dari PDB pada tahun 2021 sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang lebih lemah di tengah wabah virus yang parah. Proyeksi defisit APBN 6% dari PDB tersebut karena pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh 2,3% – 3,4% tahun ini. Adapun proyeksi defisit APBN 2021 dari S&P Global Ratings tersebut jauh dari target pemerintah yakni 5,7% dari PDB.

Vishrut mengungkapkan bahwa adanya pelebaran defisit APBN 2021 ini akan berdampak signifikan terhadap kerangka fiskal jangka menengah Indonesia, mengingat peringkat utang Indonesia saat ini berada pada level BBB/Negatif/A-2. Pemerintah pun diminta untuk hati-hati, karena pemulihan ekonomi yang berlarut-larut akan semakin memperburuk fiskal Indonesia keseluruhan, terutama beban utang Indonesia.

3. LSI: Kepuasan Warga Terhadap Kerja Jokowi Lawan Pandemi Turun

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi dalam menangani wabah virus corona (Covid-19) cenderung menurun dalam enam bulan terakhir. Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi memang masih cukup tinggi pada Juni 2021 dengan 59,6 persen. Namun, angka itu menurun dibandingkan Desember 2020 yang mencapai 68,9 persen.

Hal tersebut diketahui dari hasil survei yang dilakukan pihaknya pada 22-25 Juni 2021 terhadap 1.200 responden dari 34 provinsi. Survei dilakukan menggunakan metode simple random sampling dengan tingkat kesalahan sekitar 2,8 persen. Lebih lanjut, menurut Djayadi, tingkat ketidakpuasan masyarakat itu malah cenderung lebih besar terjadi di masyarakat yang daerahnya melaksanakan PPKM Darurat. Ia menyatakan, dari hasil survei, sebanyak 49,4 persen yang menyatakan tidak puas merupakan masyarakat DKI Jakarta. Berikutnya tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja Jokowi di Jawa Barat 43,7 persen; Jawa Tengah 40,9 persen; dan Sulawesi 44,7 persen.

4. Pengesahan RUU Otsus Papua

DPR resmi mengesahkan RUU Otsus Papua menjadi UU lewat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (15/7). Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait Revisi UU Otsus Papua Komarudin Watubun mengungkapkan tujuh hal penting yang diubah dalam UU tersebut. Adapun UU Otsus Papua hasil revisi ini, kata dia, telah mengubah atau merevisi 18 pasal yang terdiri dari 3 pasal usulan pemerintah, dan 15 pasal di luar usulan pemerintah. Di luar 18 pasal tersebut, Pansus dan pemerintah juga menyepakati adanya tambahan 2 pasal dalam RUU Otsus Papua. Dengan demikian, total pasal dalam RUU tersebut sejumlah 20 pasal.

Pertama, RUU ini mengakomodasi perlunya pengaturan kekhususan bagi Orang Asli Papua dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perekonomian serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat. Khususnya untuk masyarakat adat, pada Pasal 36 ayat (2) huruf (d) menegaskan bahwa sebesar 10 persen dari dana bagi hasil dialokasikan untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat.

Kedua, terkait dengan lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP. Dalam RUU ini, diklaim bakal memberikan kepastian hukum bahwa MRP dan DPRP berkedudukan di masing-masing ibu kota provinsi dan dengan memberikan penjelasan mengenai penamaan masing-masing lembaga.

Ketiga, terkait dengan partai politik lokal. RUU Otsus Papua menghapus dua ayat dalam Pasal 28 UU Otsus Papua. Pansus dan Pemerintah selama ini menilai Pasal 28 telah menimbulkan kesalahpahaman antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait partai politik lokal. Maka, agar tidak terjadi perbedaan pandangan, RUU ini mengadopsi Putusan MK Nomor 41/PUU-XVII/2019 dengan menghapus ketentuan pada ayat (1) dan (2) Pasal 28.

Keempat, terkait dengan Dana Otsus yang diubah dari 2 persen menjadi 2,25 persen. Kelima, hadirnya sebuah Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3). BK-P3 diketuai langsung oleh Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Bappenas, dan Menteri Keuangan, serta masing-masing perwakilan dari setiap provinsi yang ada di Papua.

Keenam, terkait dengan pemekaran provinsi di Papua. Pansus dan Pemerintah menyepakati bahwa pemekaran provinsi di Papua selain dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, juga dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Pemerintah dan DPR juga dapat melakukan pemekaran provinsi tersebut tanpa melalui tahapan daerah persiapan. Ketujuh, terkait dengan percepatan peraturan pelaksanaan dari UU Otsus Papua yang terbaru.

Beberapa pasal dalam revisi itu disebut sebagai pasal siluman, salah satunya oleh Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Christian Warunussy. Yan menyampaikan RUU Otsus Papua hanya berisi tiga pasal saat draf diserahkan ke DPR RI. Namun, ada 17 pasal baru yang ditambahkan ke revisi undang-undang tersebut sebelum disahkan. Selain itu, sebanyak 714.066 orang Papua dan 112 organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) diklaim menolak pengesahan Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 21 Tahun 2001 tersebut.

5. Komitmen Wagub Riau Terhadap Inpres Moratorium Sawit


Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution mengatakan tidak akan ada izin baru bagi pengusaha yang ingin membuka lahan perkebunan kelapa sawit di Riau. Dia mengatakan hal itu dilakukan sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi), tepatnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 mengatur soal penundaan dan evaluasi perizinan kebun kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.

Selain itu, Edy berharap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bisa memberi arah yang lebih jelas tentang perhutanan dan lahan. Terutama, katanya, untuk penyelesaian kasus terkait hutan yang sudah beralih menjadi kebun.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengaku sependapat dengan ucapan Edy Natar. Dia menilai Riau harus mendapat lebih dari perkebunan kelapa sawit seluas 4,170 juta hektare yang disebutnya terluas di Indonesia.

Related Article

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM INDONESIA'S DROPPING TO LOWER-MIDDLE INCOME COUNTRY TO INEFFECTIVE CORRUPTION PREVENTION BY KPK

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM INDONESIA'S DROPPING TO LOWER-MIDDLE INCOME COUNTRY TO INEFFECTIVE CORRUPTION PREVENTION BY KPK

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (6 Juli 2021 – 12 Juli 2021), berikut cuplikannya:

1. Indonesia turun kelas jadi negara lower-middle income

Bank Dunia (World Bank) memasukkan Indonesia ke negara penghasilan menengah ke bawah, alias lower middle income country. Padahal, pada 1 Juli 2020, Bank Dunia sudah menaikkan status Indonesia menjadi upper middle income country. Penurunan kelas ini disebabkan Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia tahun 2020 turun menjadi US$ 3.870, dari GNI per kapita pada tahun 2019 yang sebesar US$ 4.050. Selain Indonesia, ada tiga negara yang memiliki kasus serupa, seperti Mauritius, Romania, serta Samoa.

Bank Dunia setiap tahun memang mengubah klasifikasi GNI per kapita untuk menentukan peringkat tiap negara. Di tahun 2019, klasifikasi GNI per kapita terdiri dalam 4 kategori, yaitu low income dengan GNI per kapita US$ 1.035, lower-middle income country US$ 1.036 – US$ 4.045. Lalu, upper-middle income country dengan GNI per kapita US$ 4.046 – US$ 12.535, serta high income country dengan GNI per kapita di atas US$ 12.535.

Sementara di tahun 2020, klasifikasi berubah. Yakni, low Income country dengan GNI per kapita US$ 1.045, kemudian lower-middle income country US$ 1.046 – US$ 4.095, upper-middle income country dengan GNI per kapita US$ 4.096 – US$ 12.695, serta high income country dengan GNI per kapita di atas US$ 12.695.

2. KLHK Batalkan 2 Proyek Karbon Milik LSM Internasional

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membatalkan dua proyek karbon milik lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional. Dua proyek tersebut rencananya akan dilakukan di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah; dan Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan deklarasi proyek-proyek karbon di Indonesia yang melibatkan kawasan hutan negara, tidak boleh dibiarkan berlangsung secara ilegal.

Sebagai tindak lanjut atas arahan menteri tersebut, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno telah memerintahkan Kepala UPT Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Taman Nasional di seluruh Indonesia untuk melakukan inventarisasi dan investigasi. Jika terbukti melanggar aturan, dia meminta kegiatan-kegiatan yang terkait deklarasi proyek karbon yang melibatkan kawasan konservasi dan hutan lindung, dihentikan.

3. Presiden Jokowi Didorong Perpanjang Inpres Moratorium Sawit

Moratorium izin perkebunan sawit yang ditetapkan pemerintah pada 2018 akan berakhir 19 September 2021. Sejumlah pihak meminta kebijakan ini diperpanjang, mengingat perbaikan tata kelola sawit masih belum tercapai.

Permasalahan itu mulai dari kebun di kawasan hutan hingga rendahnya produktivitas. Apabila hal-hal ini bisa diselesaikan, dampak positif yang didapatkan di antaranya dukungan pasar global, peningkatan produktivitas, ataupun pencapaian komitmen iklim.

Untuk mendorong hal-hal ini tercapai, Koalisi Moratorium Sawit meminta presiden untuk memperpanjang kembali kebijakan penghentian sementara izin kelapa sawit. Dasar hukum moratorium pun perlu diperkuat dan diiringi dengan target yang lebih spesifik.

Selama 2,5 tahun kebijakan berjalan, implementasi moratorium sawit masih jauh dari target. Contohnya seperti sinergisitas data konsesi sawit antarsesama lembaga atas kementerian yang hingga kini tak berjalan optimal.

Berdasarkan kertas kebijakan yang disusun koalisi, faktor penghambat implementasi moratorium sawit lainnya, yakni tidak tersedianya alokasi anggaran dan sumber daya manusia khusus di tingkat daerah. Di sisi lain, sosialisasi kebijakan kepada pemerintah daerah masih minim. Ada pula temuan ego sektoral antar-kementerian dan pergantian jabatan di tengah implementasi kebijakan. Pada aspek sosial dan politik, penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dianggap turut melemahkan semangat perbaikan tata kelola sawit.

Kebijakan moratorium sawit sendiri dapat menjadi jalan bagi tuntutan pasar internasional dalam memenuhi produk sawit yang berkelanjutan. Melalui implementasi kebijakan ini, pemerintah dapat melakukan perbaikan tata kelola untuk menghasilkan produk sawit yang dapat diterima pasar global.

Desakan untuk melanjutkan moratorium sawit sebelumnya juga disampaikan asosiasi petani sawit yang tergabung dalam Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi). Melalui siaran pers, Ketua Umum Popsi Pahala Sibuea meminta pemerintah untuk fokus meningkatkan produktivitas petani sawit melalui program peremajaan sawit rakyat, menangani harga jual rendah, membantu pemetaan, dan menyelesaikan tumpang tindih lahan.

4. Harga Batu Bara Bangkit, Produsen Ajukan Kenaikan Produksi

Terus menanjaknya harga batu bara dimanfaatkan oleh produsen komoditas berjuluk emas hitam itu untuk meningkatkan produksinya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri menetapkan harga batubara acuan (HBA) Indonesia pada Juli 2021 sebesar US$ 115,35 per ton. Angka ini naik US$ 15,02 per ton dibandingkan Mei yang sebesar US$ 100,33 per ton.

Kementerian ESDM mencatat kurang lebih ada 100 perusahaan tambang batu bara yang mengajukan kenaikan target produksi. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan beberapa perusahaan telah mengajukan perubahan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2021.

Kenaikan target produksi ini juga seiring dengan penambahan kuota produksi di tahun ini. Pemerintah menambah kuota target produksi batubara nasional tahun ini sebesar 75 juta ton menjadi 625 juta ton. Kuota produksi batu bara tahun ini awalnya ditetapkan sebesar 550 juta ton.

5. BPK: Pencegahan Korupsi oleh KPK Era Firli Bahuri Belum Efektif

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyatakan pelaksanaan pencegahan korupsi dan pengelolaan atas benda sitaan dan barang rampasan oleh Firli Bahuri Cs belum efektif. Hal itu termuat dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020 BPK yang dikutip dari situs resmi BPK pada Minggu (11/7). BPK telah menyelesaikan pemeriksaan kinerja atas efektivitas fungsi pencegahan dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan tindak pidana korupsi (Tipikor) tahun 2015-semester I tahun 2020 pada Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK) dan instansi terkait lainnya.

BPK menemukan 10 permasalahan yang dirumuskan menjadi tiga permasalahan utama. Pertama, perubahan peraturan KPK belum sepenuhnya mendukung tugas dan fungsi koordinasi bidang pencegahan dan pengelolaan atas benda sitaan dan barang rampasan. Di antaranya, tutur BPK, penyusunan Peraturan KPK (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja (Ortaka) BPK belum didukung kajian, analisis, dan penyelarasan yang memadai. Berikutnya, terdapat tugas dan fungsi yang tidak lagi diatur dalam Perkom 7 Tahun 2020. Antara lain yaitu kewenangan dan unit kerja pelaksana tugas koordinasi pencegahan KPK, tugas dan fungsi Direktorat Pelacakan Aset Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi), pelaksana fungsi pengembangan aplikasi sistem informasi dan data Direktorat Labuksi, serta uraian pekerjaan/job description terkait pengelolaan titipan uang sitaan dan uang gratifikasi.

Kedua, upaya pencegahan korupsi melalui fungsi koordinasi dan monitoring pada kegiatan Monitoring Center for Prevention (MCP) belum dilaksanakan secara memadai. Di antaranya mencakup tiga bagian. Ketiga, pelaksanaan fungsi penindakan dan eksekusi belum mendukung pengelolaan benda titipan/sitaan, barang rampasan dan benda sita eksekusi secara memadai. Di antaranya, tutur BPK, pada Direktorat Penyelidikan yang belum optimal dalam melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan benda/barang titipan yang masih dikuasai oleh penyelidikan/satgas penyelidikan.

Related Article

ENERGY AND FORESTRY SECTORS KEY TO ACHIEVING NDC TARGETS

ENERGY AND FORESTRY SECTORS KEY TO ACHIEVING NDC TARGETS

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen melalui kerjasama internasional pada tahun 2030. Sektor energi dengan target sebesar 11 persen merupakan sektor utama yang memegang peran penting dalam pencapaian NDC Indonesia setelah sektor kehutanan, yaitu sebesar 17 persen.

Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Agus Justianto, menyampaikan bahwa sinergi energi dan perubahan iklim merupakan kata kunci yang harus dimaknai sebagai upaya bersama dalam membentuk transisi energi secara inklusif.  “Kita semua dapat menjadi aktor dan berperan aktif dalam transisi tersebut. Kesadaran untuk meminimalkan penggunaan sumber energi fosil dengan mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan akan memberikan kontribusi positif dalam menekan perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya” .

KLHK menyampaikan bahwa sektor energi dan kehutanan menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC).

Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Ditjen PPI KLHK, Emma Rachmawati. Sektor energi adalah sektor kedua yang merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Di saat yang bersamaan, sektor energi juga menjadi kontributor kedua dalam menurunkan emisi GRK sehingga perlu melakukan upaya signifikan dalam mengurangi emisi GRK.

Kalau kita bisa menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan sektor kehutanan maka NDC kita sudah pasti dapat tercapai sesuai dengan apa yang ditargetkan“, ujar Emma Rachmawati.

Merujuk peta jalan NDC Indonesia, sektor energi ditargetkan menyumbang sebesar 314 juta CO2e (ekuivalen karbon dioksida) untuk penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030.

Target itu kemudian dirinci ke dalam subsektor energi efisiensi. Dari masing-masing subsektor itu di tetapkan juga dalam bentuk CO2e.

Lima Negara Yang Menjadi Ancaman Gagalnya Paris Agreement

Laporan terbaru Think Tank Carbon Tracker Initiative dalam judul laporan Do Not Revive Coal menyebutkan bahwa ada 5 negara yang menjadi ancaman gagalnya Paris Agreement. Ancaman tidak tercapainya target Perjanjian Paris ini berasal dari lima negara yaitu Jepang, Indonesia, India, Vietnam, dan Tiongkok.  Alasan utama ancaman gagalnya Perjanjian Paris ini karena persoalan rancangan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Kelima negara ini berencana membangun 600 PLTU batu bara baru yang mencakup sekitar 80 persen dari porsi batu bara baru global. Kapasitas dari seluruh PLTU itu melebihi 300 gigawatt (GW). Hal ini dianggap mengkhawatirkan, karena tak menghiraukan seruan Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres untuk membatalkan PLTU batu bara baru.

Pasalnya, negara Jepang, Indonesia, India, Vietnam, dan Tiongkok mengoperasikan 3/4 PLTU yang ada di seluruh dunia. Sebanyak 55 persen adalah negara Tiongkok dan 12 persen adalah India. Sekitar 27 persen kapasistas PLTU batu bara global tidak dapat menghasilkan keuntungan, dan 30 persen hampir mencapai titik breakeven. Indonesia sendiri masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan penggunaan PLTU batu bara ini.Di mana kapasitasnya mencapai 45 GW dan 24 GW pembakit baru sudah direncanakan untuk dibangun.

Energi terbarukan ditargetkan akan mengalahkan seluruh tambang baru yang ada pada tahun 2024. PT Pembangkit Listrik Negara (PLN Persero) sendiri masuk ke dalam daftar perusahaan dengan aset yang terancam menjadi aset terlantar dalam skema B2DS (Below 2 Degrees). Dari 22,529 MW kapasitas, PLN berisiko kehilangan 15,41 miliar USD miliar dari asset terbengkalai dengan patokan B2DS.

Inggris Akan Mempercepat Target Penghentian Penggunaan Batu Bara

Mulai 1 Oktober 2024, Inggris tidak akan lagi menggunakan batubara untuk menghasilkan listriknya. Ini satu tahun lebih cepat dari rencana awal. Hal ini diumumkan oleh Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris, Anne-Marie Trevelyan, pada Rabu, 30 Juni.

Langkah ini merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Inggris untuk melakukan transisi dari bahan bakar fosil dan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dalam rangka menghapus peran serta Inggris terhadap perubahan iklim pada 2050. Pengumuman ini menegaskan niatan yang disampaikan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tahun lalu untuk mempercepat tenggat waktu mengakhiri penggunaan batu bara dalam sistem produksi listrik.

Hal Ini juga berarti bahwa Pemerintah Inggris mempercepat batas waktu penghapusan batu bara dari sistem energi Inggris satu tahun lebih cepat. Tekad ini menegaskan kepemimpinan Inggris untuk bergerak lebih jauh dan lebih cepat dalam menurunkan emisi serta memimpin dengan memberikan keteladanan dalam memerangi perubahan iklim jelang perannya menjadi tuan rumah COP26 di Glasgow pada November mendatang. Inggris mengajak negara-negara di dunia untuk turut mempercepat penghapusan batubara dari sistem ketenagalistrikan.

Rencana Penerapan Pajak Karbon Pada 2022

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana menerapkan pajak karbon pada tahun 2022. Pajak karbon menjadi salah satu rencana yang tertuang dalam Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang dibahas bersama DPR.

Tarif pajak karbon masih didiskusikan hingga ke ranah internasional. Sri Mulyani bersama koalisi Menteri Keuangan dari berbagai negara masih mendiskusikan praktek penerapan harga yang lebih seragam. “Ini sebagai salah satu pembahasan kami, pimpinan dari koalisi Menteri Keuangan untuk perubahan iklim, bersama Finlandia membahas mengenai bagaimana praktek dari penerapan harga karbon yang lebih seragam sehingga menimbulkan kepastian“, tegas Sri Mulyani.

Memang, tarif pajak karbon di dunia saat ini sangat tidak seragam karena berada pada rentang yang lebih luas.

Indonesia dan Perancis Sepakat Memperkuat Pembangunan Rendah Karbon

Indonesia dan Perancis sepakat untuk memperkuat kerja sama pembangunan rendah karbon, green and blue economy, hingga kerja sama pembiayaan pembangunan proyek-proyek pemerintah. Disampaikan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa saat menerima kunjungan pejabat senior dari The Agence Française de Développement (AFD) dan pejabat senior dari Kementerian Ekonomi dan Keuangan (French Treasury) di KBRI Paris, Prancis.

Kementerian PPN/Bappenas telah menyiapkan strategi transformasi ekonomi. Kerja sama AFD dengan Kementerian PPN/Bappenas adalah salah satunya bentuk usaha untuk pelaksanaan strategi transformasi ekonomi Indonesia, khususnya green economy.

Dalam pertemuan dengan AFD tersebut, terdapat kesepahaman untuk memperkuat kerja sama pembangunan rendah karbon atau green economy dengan fokus pada energy transition, waste management, green industry termasuk green tourism. Beberapa proyek potensial untuk dikembangkan adalah waste to energy project dan AFD juga akan mendukung penuh langkah Indonesia dalam mengusung pilot project pencanangan Bali sebagai blue island.

Dapatkan pemberitaan media edisi 28 Juni – 4 Juli dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Presiden Harus Memperpanjang dan Memperkuat Inpres Moratorium Sawit Sebagai Wujud Komitmen Perbaikan Tata Kelola Sawit

Presiden Harus Memperpanjang dan Memperkuat Inpres Moratorium Sawit Sebagai Wujud Komitmen Perbaikan Tata Kelola Sawit

[Jakarta, 6 Juli 2021] Inpres Moratorium Sawit merupakan instrumen penting yang memberi peluang besar bagi Indonesia untuk menguraikan dan menyelesaikan persoalan tata kelola industri sawit. Buruknya tata kelola industri sawit Indonesia selama ini menjadi hambatan utama bagi terwujudnya industri sawit yang berkelanjutan dan keberterimaan sawit di pasar global. Inpres Moratorium Sawit itu sayangnya akan berakhir pada 19 September 2021. Padahal Inpres tersebut belum tuntas dilaksanakan dan belum sepenuhnya mencapai tujuannya. Namun dampak positif dari pelaksanaan Inpres sudah tampak di beberapa daerah yang memberikan respon positif terhadap pelaksanaan Inpres tersebut. Karena itulah Inpres Moratorium Sawit penting dan mendesak bukan hanya untuk diperpanjang tetapi juga untuk diperkuat agar dapat mencapai tujuan. Demikian sampaikan oleh Sri Palupi, peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights menanggapi akan berakhirnya Inpres Moratorium Sawit.

 

Secara konseptual kebijakan ini sangat strategis, hanya saja belum optimal dalam tataran implementasi. Belum optimalnya implementasi moratorium sawit  disebabkan berbagai hal yang menghambat seperti belum adanya target spesifik. Sehingga diperlukan penguatan produk hukum dengan disertai target yang spesifik seperti peningkatan produktivitas maupun review izin dengan ukuran target  yang jelas.

Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak menyampaikan bahwa saat ini Pemerintah Indonesia telah berada di jalur yang tepat dalam mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan yang tercermin melalui Inpres Moratorium Sawit. Inilah esensi dari penerimaan pasar minyak sawit Indonesia di pasar global. Namun peluang strategis tersebut berpeluang hilang jika aturan ini tidak diperpanjang. Persoalan seperti review izin dan konflik sosial yang belum tuntas dapat menciptakan sentimen negatif bagi pasar global. Apalagi proyeksi konsumsi sawit Indonesia sampai tahun 2024 masih didominasi oleh pasar ekspor.

Kepercayaan masyarakat global terhadap komoditas minyak sawit Indonesia yang berkelanjutan adalah hal terpenting yang terus dijaga dan ditingkatkan oleh pemerintah Indonesia. Mengingat setiap tahunnya, sebesar 19% konsumsi dan permintaan dari total CPO global berasal dari sawit bersertifikat berkelanjutan.  Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch menambahkan, Inpres Moratorium Sawit juga menjadi jawaban bagi tuntutan pasar internasional akan produk sawit yang berkelanjutan. Kebijakan ini menjadi tools bagi pemerintah Indonesia dalam melakukan perbaikan tata kelola untuk menghasilkan produk sawit yang dapat diterima pasar global. Juga jika tata kelola perkebunan sawit menjadi lebih baik maka iklim investasi di Indonesia akan semakin positif.

Tidak hanya untuk pemerintah pusat, perpanjangan moratorium sawit juga dibutuhkan oleh daerah untuk mengurai permasalahan tumpang tindih lahan. Salah satu langkah yang perlu diapresiasi adalah komitmen Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah kaji ulang terhadap izin 30 perusahaan perkebunan sawit dalam dua tahun terakhir. Hasilnya, pencabutan 14 izin perusahaan sawit oleh Bupati dan rencana mencabut izin empat perusahaan di provinsi konservasi tersebut. Langkah ini juga yang semestinya dapat dilakukan pemerintah daerah yang lain untuk mengurai permasalahan serupa.

Lebih dari semata pencabutan izin, kebijakan Moratorium Sawit mendatang sudah semestinya mampu bekerja sebagai langkah korektif bagi penyelesaian sawit dalam kawasan hutan. Salah satunya meminta semua tutupan hutan tersisa dalam izin untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan atau ditetapkan sebagai HCV atau melalui skema hutan adat. Hal yang perlu ditekankan lagi ialah kebijakan Moratorium mendatang tidak hanya dilaporkan pada Presiden tetapi juga harus dipublikasi ke publik untuk menjamin keterbukaan informasi,” terang Arie Rompas Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace.[]

Kontak Media:

  • Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, HP. 0811 5200 822
  • Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, HP. 0811448677
  • Sri Palupi, Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, HP. 0813 1917 3650
  • Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak, HP. 081288135152

Related Article

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM THE EUROPEAN UNION ENVIRONMENTAL AGREEMENT TO INDONESIA'S ECONOMIC GROWTH STRUGGLING TO REACH 5 PERCENT

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM THE EUROPEAN UNION ENVIRONMENTAL AGREEMENT TO INDONESIA'S ECONOMIC GROWTH STRUGGLING TO REACH 5 PERCENT

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (30 Juni 2021 – 5 Juli 2021), berikut cuplikannya:

1. Uni Eropa Capai Kesepakatan Lingkungan, Targetkan Nol Emisi pada 2050

Dewan Uni Eropa mengadopsi undang-undang perubahan iklim pada Senin (28/6/2021). UU ini secara hukum mewajibkan 27 negara anggota Uni Eropa untuk secara kolektif memangkas emisi rumah kaca sebesar 55 persen pada tahun 2030. Uni Eropa juga menargetkan kawasannya menjadi nol-emisi pada tahun 2050.

Uni Eropa dan beberapa negara lain, memang sudah meningkatkan janji untuk mengurangi gas rumah kaca dan mencapai netralitas karbon. Kesepakatan diambil saat pertemuan puncak perubahan iklim virtual pada April lalu. Meski demikian, ada kekhawatiran bahwa janji tersebut benar-benar dipenuhi menjadi Undang-Undang. Sebagai informasi, baru lima negara yang benar-benar membuat janji yang mengikat secara hukum, yakni Inggris Raya dan Selandia Baru, serta anggota Uni Eropa Hongaria, Luksemburg, dan Prancis.

2. Indonesia-Belanda Perluas Kerja Sama Sawit Berkelanjutan

Pemerintah Indonesia dan Belanda sepakat memperluas kerja sama di bidang sawit berkelanjutan dan minyak nabati lainnya. Salah satu program yang didukung yaitu pemberian program pengembangan kapasitas bagi petani-petani di Sumatera dan Kalimantan. Program kerja sama ini senilai 5 juta euro dan mencakup juga dukungan kepada petani-petani kecil untuk memenuhi sertifikasi ISPO. Belanda sendiri merupakan importir terbesar minyak sawit Indonesia di Uni Eropa. Sebanyak 15% ekspor Indonesia ke Belanda merupakan kelapa sawit.

3. Indonesia Terima Dana Hibah Rp 1 Triliun dari Jerman

Indonesia mendapatkan dana hibah sebesar Rp 1 Triliun atau 59,4 Juta Euro dari Jerman yang akan akan digunakan untuk pendanaan 16 proyek kerja sama teknis di berbagai bidang, termasuk bidang lingkungan hidup dan ketahanan perubahan iklim. Perwakilan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Federal Jerman secara resmi menandatangani nota kesepakatan untuk sejumlah proyek kerja sama teknis bilateral pada Rabu, 23 Juni 2021.

Terdapat beberapa proyek pembangunan di bidang lingkungan hidup dan ketahanan perubahan iklim. Pertama, proyek Pembangunan Infrastruktur Hijau (Green Infrastructure Development) yang akan berfokus untuk mempromosikan pembangunan infrastruktur ramah iklim di Indonesia. Ada tiga sektor utama, yaitu pengelolaan sampah padat, pengelolaan air limbah dan angkutan umum perkotaan. Kedua, proyek Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan yang akan mendukung Indonesia mengurangi laju deforestasi melalui peningkatan tata kelola hutan dan pencegahan korupsi, termasuk memerangi kejahatan di sektor kehutanan di Papua.

Ketiga, proyek Perlindungan Sosial Adaptif yang akan mendukung Indonesia dalam melindungi dan mempersiapkan penduduknya, memperkuat ketahanan masyarakat terutama kelompok pendapatan rendah dan miskin yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, kejadian cuaca ekstrem dan bencana alam.

Keempat, proyek Rantai Pendingin Berbasis Energi Tenaga Surya untuk Ekonomi Ramah Lingkungan yang bertujuan untuk menciptakan kerangka teknologi dan pasar untuk pengurangan emisi CO2 jangka panjang di sektor pendinginan dan energi di Indonesia.

Terakhir, proyek Climate and Biodiversity Hub Indonesia, bertujuan untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam memperkuat pengarusutamaan dan implementasi kebijakan iklim dan keanekaragaman hayati.

4. Menteri Keuangan Menerbitkan Aturan Baru Mengenai PSN

Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan aturan untuk jaminan pelaksanaan PSN terbaru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 30/PMK.08/2021 tentang Tata Cara Pemberian Jaminan Pemerintah Pusat untuk Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, pada 31 Maret 2021 dan telah diundangkan pada 1 April 2021.

Sebelumnya terdapat PMK 60/PMK.08/2017 dan digantikan dengan PMK terbaru yang diterbitkan untuk mengakomodir dinamika perkembangan dan kebutuhan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang memerlukan jaminan pemerintah yang lebih efisien, efektif, transparan dan dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk berperan dalam pembangunan PSN.

Setelah diperbaharui, PMK terbaru ini melibatkan Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) dalam pemberian jaminan pemerintah. Keterlibatan BUPI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ditujukan agar proses dukungan pemerintah terkait penjaminan dapat dilaksanakan secara efektif dan profesional, dengan tetap mempertimbangkan tujuan pembangunan PSN.

Lebih lanjut, PMK ini juga mengatur ruang lingkup risiko politik dalam penjaminan PSN yang lebih tegas. Pengaturan ini diharapkan dapat memberikan kepastian pengaturan kepada Penanggung Jawab Proyek Strategis Nasional (PJPSN) dan Badan Usaha pelaksana PSN atas risiko-risiko politik apa saja yang dapat diberikan penjaminannya oleh pemerintah.

5. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Sulit Kembali ke Level 5%

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai akan sulit kembali tumbuh di level lima persen sebagaimana sebelum terjadinya pandemi covid-19 pada 2019. Pasalnya, nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia terbilang cukup tinggi, bahkan berada di atas pertumbuhan ekonomi.

Melansir Badan Pusat Statistik (BPS), ICOR juga bisa diartikan sebagai dampak penambahan kapital terhadap penambahan sejumlah output (keluaran). Ini merupakan parameter ekonomi makro yang menggambarkan rasio investasi kapital/modal terhadap hasil yang diperoleh (output), dengan menggunakan investasi tersebut.

Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef M. Rizal Taufikurahman mengatakan, nilai ICOR yang di atas Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan perbaikan iklim usaha dan pertumbuhan industri sangat berat untuk mendongkrak ekonomi kedepannya. Untuk itu ia menyebut, industrialisasi menjadi urgent dalam menjawab tantangan perekonomian ke depan. Rizal menyarankan pemerintah untuk lebih efektif meningkatkan ekspor dari komoditas yang memiliki daya saing cukup tinggi di pasar global. Selain itu, Rizal juga mengusulkan ada kebijakan dari pemerintah untuk menurunkan ICOR melalui peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), peningkatan nilai tambah melalui dorongan teknologi, dan mendorong produktivitas dari industri pengolahan.

Related Article

MADANI BERKELANJUTAN INTRODUCES THE CONCEPT OF POTENTIALLY BURNED AREAS IN A PUBLIC HEARING OF THE WORKING COMMITTEE OF DPR ON FOREST AND LAND FIRE MITIGATION AND CONTROL

MADANI BERKELANJUTAN INTRODUCES THE CONCEPT OF POTENTIALLY BURNED AREAS IN A PUBLIC HEARING OF THE WORKING COMMITTEE OF DPR ON FOREST AND LAND FIRE MITIGATION AND CONTROL

[MadaniNews] Pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Komisi IV DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) bersama pakar dan Lembaga Swada Masyarakat (Senin,28/06/2021), Yayasan Madani Berkelanjutan memperkenalkan konsep Area Potensi Terbakar (APT) sebagai solusi dalam upaya pencegahan karhutla di tanah air.

Giorgio Budi Indrarto, selaku Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan yang hadir dalam RDPU tersebut menyampaikan bahwa APT merupakan salah satu bentuk kontribusi Madani dalam upaya pemerintah dalam melakukan pengendalian dan penindakan karhutla. 

Pengendalian dini dalam kasus karhutla adalah garis kunci yang harus menjadi perhatian utama dalam upaya penanganan karhutla. Oleh karena itu, agar kita lebih cepat menentukan tindakan yang akan kita lakukan, Madani menghadirkan konsep APT sebagai bentuk dukungan nyata kepada pemerintah berupa cara untuk mengevaluasi kejadiaan kebakaran hutan yang pernah terjadi di tahun sebelumnya dan juga melihat dari kasus lima bulan ke belakang”, ujar Giorgio Budi Indrarto atau yang akrab dipanggil Jojo. 

Secara garis besar APT adalah sebuah pendekatan untuk memperkirakan area yang berkemungkinan tinggi mengalami Karhutla berdasarkan jumlah, sebaran, dan lama bertahan

titik panas (hotspot). 

Jojo juga mengatakan pentingnya penggunaan APT adalah agar pemerintah mendapatkan bacaan yang cepat sehingga dapat bergerak cepat berdasarkan data yang akurat. “APT ini juga dikembangkan dengan korelasi data yang cukup besar dengan SiPongi yakni antara 92-95% sehingga kalau kita bicara margin of error dapat dikatakan sangat kecil sekali”, pungkas Jojo. 

Dalam RDPU Panja Komisi IV DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Karhutla ini, hadir beberapa pakar seperti Prof.Dr.Bambang Hero Saharjo, M.Agr selaku pakar forensik kebakaran Indonesia di Institut Pertanian Bogor, kemudian hadir pula Prof.Dr.Ir.Azwar Maas, M.sc selaku Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Sementara itu, bersama Yayasan Madani Berkelanjutan, hadir beberapa organisasi masyarakat sipil seperti Perkumpulan Kaoem Telapak, Greenpeace Indonesia, dan Kemitraan. 

Dapatkan bahan presentasi Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Komisi IV DPR RI Mengenai Pengendalian Serta Penindakan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan mengunduh di lampiran yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

en_USEN_US