Madani

Tentang Kami

Dana GCF Peluang Pengakuan dan Penguatan Hak Masyarakat Adat dalam Mencapai Komitmen Iklim

Dana GCF Peluang Pengakuan dan Penguatan Hak Masyarakat Adat dalam Mencapai Komitmen Iklim

[Jakarta, 30 Agustus 2020] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi disetujuinya proposal pendanaan yang diajukan pemerintah Indonesia ke Green Climate Fund (GCF) dalam rangka pembayaran kinerja penurunan emisi dari pengurangan deforestasi dan degradasi (REDD+). Dana GCF ini dapat menjadi peluang untuk mendorong pengakuan dan penguatan hak Masyarakat Adat dan lokal dalam mencapai komitmen iklim Indonesia. Dana GCF ini hendaknya betul-betul diprioritaskan untuk menurunkan deforestasi dan degradasi di tingkat tapak lewat penguatan Perhutanan Sosial dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Kedua inisiatif ini dapat memperkuat hak tenurial masyarakat adat dan lokal serta berkontribusi pada pengurangan deforestasi dan degradasi hutan apabila dijalankan dengan baik berdasarkan pelibatan aktif para pemangku kepentingan.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan berkaitan Sidang Dewan Green Climate Fund (GCF) yang menyetujui proposal pembayaran berbasis hasil REDD+ Indonesia sebesar USD 103,8 juta. Proposal yang diajukan pemerintah Indonesia menyajikan hasil kinerja REDD+ Indonesia untuk periode 2014-2016 dengan volume pengurangan emisi sekitar 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Kami menyambut baik bahwa dana yang diterima oleh Pemerintah Indonesia akan digunakan sesuai arahan Presiden untuk pemulihan lingkungan berbasis masyarakat. Untuk itu, implementasi program dan penyaluran dana ini harus benar-benar transparan dan program-program prioritas yang akan dijalankan harus dikonsultasikan secara luas dengan elemen organisasi masyarakat adat dan lokal serta masyarakat sipil,” kata Teguh.

Agar penyaluran dana betul-betul tepat sasaran, perlu dibentuk segera organ multi pemangku kepentingan dalam kelembagaan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dengan perwakilan organisasi masyarakat adat dan lokal serta organisasi masyarakat sipil. Selain itu, perlu ada kejelasan soal peran dan tanggung jawab kelembagaan program yang akan mengelola dana yang diterima, terutama untuk memberdayakan BPDLH yang akan beroperasi tahun ini,” tambah Teguh.

Program prioritas yang didanai harus betul-betul untuk memulihkan lingkungan berbasis masyarakat, termasuk untuk percepatan dan penguatan perhutanan sosial dan pengakuan wilayah adat. Program perhutanan sosial dan penguatan KPH juga harus disinergikan dengan program adaptasi-mitigasi perubahan iklim, restorasi gambut, rehabilitasi lahan kritis, dan pengurangan deforestasi serta degradasi yang merupakan aksi utama mitigasi NDC di sektor kehutanan,” kata Anggalia Putri Permatasari, Manager Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat peran KPH di tingkat tapak dengan mandat dan sumber daya untuk menyelesaikan konflik tenurial dan memfasilitasi upaya pencegahan dan penyelesaian pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan lokal, juga untuk menegakkan aturan terhadap perizinan kehutanan.

Ada keprihatinan mendalam bahwa kemajuan pengakuan hutan dan wilayat adat sangat jauh dibandingkan dengan skema-skema perhutanan sosial lainnya. “Untuk mengakselerasi pencapaian perhutanan sosial dan pengakuan wilayah adat, pemerintah juga perlu melakukan harmonisasi segera antara Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) dan Peta Wilayah Masyarakat Adat serta dengan berbagai izin penggunaan atau pemanfaatan lahan lain terkait pembangunan,” tambah Anggalia Putri.

Pemerintah juga harus lebih aktif mendorong disahkannya RUU Masyarakat Adat yang akan memberikan pengakuan formal terhadap Masyarakat Adat dan hak-haknya, termasuk hak atas sumber daya hutan. Karena selain merupakan kewajiban konstitusi, memperkuat hak atas tanah dan ketahanan tenurial masyarakat adat dan lokal adalah kondisi pemungkin yang harus diwujudkan agar Indonesia berhasil mengurangi deforestasi dan degradasi serta mencapai komitmen iklim. [ ]

Kontak Media:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 9480 1453

Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 856-21018-997

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

Pemerintah Butuh Investasi 3.500 Triliun Rupiah Untuk Turunkan Emisi Karbon 314 Juta Ton

Pemerintah Butuh Investasi 3.500 Triliun Rupiah Untuk Turunkan Emisi Karbon 314 Juta Ton

Pemerintah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton karbon dioksida atau CO2 pada tahun 2030. Hal tersebut sesuai dengan ratifikasi Paris Agreement pada bulan November 2016 lalu. Indonesia berkomitmen untuk mengurasi emisi gas rumah kaca hingga tahun 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.


Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukkan Dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari mengatakan, untuk merealisasikan target tersebut, pemerintah membutuhkan biaya investasi hingga Rp 3.500 triliun.

Targetnya, pembangkit listrik berbasis EBT dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 156,6 juta ton CO2 atau 49,8 persen dari total aksi mitigasi sektor energi, dengan kebutuhan investasi sebesar Rp 1.690 triliun.


ESDM akan menyelaraskan target porsi EBT dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025 dengan upaya menekan kenaikan suhu rata-rata global di kisaran 1,5-2 derajat celcius. Kementerian ESDM mencatat, sampai dengan paruh pertama tahun ini, kapasitas pembangkit listrik terpasang berbasis EBT mencapai 10,4 giga watt (GW). Jumlah tersebut didominasi oleh energi hidro dengan komposisi sekitar 6,07 GW dan selanjutnya diikuti oleh energi panas bumi sebesar 2,13 GW.

Dapatkan pemberitaan media lebih lengkap dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

[1000 gagasan] PEMBANGUNAN SEBAGAI PEMERDEKAAN: INSTITUSIONALISASI NILAI PEMERDEKAAN DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA

[1000 gagasan] PEMBANGUNAN SEBAGAI PEMERDEKAAN: INSTITUSIONALISASI NILAI PEMERDEKAAN DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA

Kata pembangunan yang diambil dari bahasa Inggris development merupakan kata yang mengandung makna sangat penting dalam konteks politik-ekonomi. Dalam ruang lingkup tersebut pembangunan dapat diartikan sebagai pilihan politik Negara. Pilihan politik tersebut merupakan pilihan yang syah walaupun bisa saja bersifat Non-Pareto, yaitu Negara syah atas kebijakannya walaupun kebijakan tersebut merugikan bagi sekelompok masyarakat yang terdampak kebijakan tersebut, bahkan bisa saja termasuk kelompok masyarakat yang belum dilahirkan. 

Di sini tampak kata pembangunan dan kebijakan menyatu dalam satu nafas. Implementasi konkritnya dapat dibaca dalam bentuk peraturan-perundangan seperti undang-undang dan turunannya. Karena itu, sangatlah penting melihat pembangunan itu dari sudut pandang institusionalisasi dari serangkaian nilai di balik peraturan perundangan yang dilahirkan. 

Pertanyaan penting yang menjadi bahan uji objyektivfitas dari peraturan perundangan (kebijakan) yang akan ditetapkan atau telah ditetapkan (untuk dievaluasi) adalah apakah peraturan perundangan tersebut, sesuai dengan ruh atau jiwa Pembukaan di atas? 

BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Versus Lingkungan: Siapa yang Mesti Menang?

Nilai pertama yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah kemerdekaan atau anti-penjajahan. Dengan demikian, langkah pengujian dalam seleksi perencanaan pembuatan kebijakan atau dalam proses evaluasi dari suatu atau serangkaian kebijakan adalah apakah nilai pemerdekaan sudah dijadikan dasar utama dalam penyusunan peraturan perundangan atau kebijakan tersebut, Siapa mendapat apa berapa banyak kapan dan dimana setelah Indonesia merdeka selama 75 tahun merupakan pertanyaan penting untuk menjadi bahan evaluasi dari suatu proses pembangunan yang telah dijalankan. Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

Jadi, siapa mendapat apa berapa banyak subyeknya adalah rakyat Indonesia. Di sinilah letak pentingnya falsafah pembangunan sebagai pemerdekaan. Prediksi-prediksi apa yang akan dicapai pada 2050, misalnya, sebagaimana yang banyak dilakukan selama ini, juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan melihatnya dari perspektif pemerdekaan sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan mengkaji pengalaman empiris kondisi Indonesia setelah merdeka selama 75 tahun dibandingkan dengan pengalaman negara lain seperti Korea Selatan atau Malaysia, atau bahkan dibandingkan dengan Jepang, RRT atau Amerika Serikat, juga akan memberikan input penting dalam mencari upaya meraih masa depan Indonesia yang lebih baik sesuai dengan yamanah Pembukaan UUD 1945 di atas.

Baca lebih lengkap tentang Pembangunan Sebagai Pemerdekaan: Institusionalisasi nilai pemerdekaan dalam pembangunan Indonesia dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Oleh: Agus Pakpahan

Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI 2000-2003)

Related Article

Madani’s Update: Penanganan Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional -19 (Perpres 82/2020), Hutan Harapan Hingga Rencana Peraturan Nilai Ekonomi Karbon

Madani’s Update: Penanganan Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional -19 (Perpres 82/2020), Hutan Harapan Hingga Rencana Peraturan Nilai Ekonomi Karbon

Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (Perpres 82/2020)

Melalui Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2020 yang diundangkan pada 20 Juli 2020, pemerintah secara resmi menggabungkan penanganan Covid-19 dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang akan ditangani oleh Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Komite ini memiliki tiga struktur, yaitu Komite Kebijakan, Satuan Tugas Penanganan Covid-19, dan Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional. Komite Kebijakan diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan Menteri BUMN sebagai Ketua Pelaksana. Sementara itu, Satgas Penanganan Covid-19 diketuai oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional diketuai oleh Wakil Menteri BUMN I. Kedua Satgas ini memiliki kewenangan untuk mengeluarkan keputusan yang mengikat kementerian dan lembaga pemerintah lain, termasuk pemerintah daerah. Perpres 82/2020 juga membubarkan 18 lembaga pemerintah, termasuk empat (4) lembaga terkait industri pertambangan dan kehutanan.

Nasib Badan Restorasi Gambut

Mandat Badan Restorasi Gambut (BRG) akan berakhir pada 31 Desember 2020 kecuali diperpanjang oleh Presiden. Wakil Ketua Komisi Lingkungan DPR RI dan juga beberapa organisasi masyarakat sipil termasuk Pantau Gambut dan Yayasan Madani Berkelanjutan meminta pemerintah untuk mempertahankan BRG karena perannya yang penting dalam menyelamatkan gambut, memberdayakan masyarakat desa, dan merestorasi gambut dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta mitigasi perubahan iklim. BRG menyebutkan beberapa tantangan dalam menjalankan mandat mereka. Selain banyaknya kepentingan di lahan gambut, yang menjadi tantangan adalah kewenangan yang terbatas, keterbatasan data, informasi, dan teknologi, serta kebijakan sektoral. BRG telah hampir menyelesaikan kegiatan restorasi gambut yang ditargetkan di wilayah- wilayah yang berada di bawah kewenangan mereka, yaitu di luar area konsesi. Akan tetapi, realisasi restorasi di dalam area konsesi masih jauh dari target.

Kelanjutan Kerja Sama Indonesia-Norwegia terkait REDD+

Setelah 10 tahun bekerja sama untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, Indonesia dan Norwegia akan menambahkan Adendum ke dalam Surat Niat (Letter of Intent) untuk memperpanjang kerja sama kedua negara selama 10 tahun ke depan, yakni hingga tahun 2030. Adendum ini dikatakan akan mencakup beberapa penyesuaian, termasuk penyesuaian dengan Persetujuan Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), penyesuaian dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh Indonesia, dan penegasan atas partisipasi masyarakat di tingkat tapak seperti Program Kampung Iklim (ProKlim). Meskipun demikian, yang saat ini menjadi prioritas adalah pembayaran pertama bagi capaian penurunan emisi Indonesia sebesar 11,2 ton CO2e dalam periode 2016-2017 dengan nilai 56 juta dollar yang akan disalurkan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.

Rencana Peraturan Nilai Ekonomi Karbon

Pemerintah Indonesia tengah menyusun peraturan terkait Nilai Ekonomi Karbon untuk Mendukung Pencapaian Target NDC, yang ditargetkan akan selesai pada bulan Agustus 2020. Mekanisme Nilai Ekonomi Karbon domestik yang akan dibentuk mencakup perdagangan emisi (cap-and-trade), offset karbon, dan pembayaran berbasis kinerja serta pungutan karbon. Mekanisme Nilai Ekonomi Karbon internasional yang akan diatur mencakup perdagangan karbon internasional, kredit karbon internasional, dan pembayaran berbasis kinerja internasional. Terdapat beberapa isu terkait hak masyarakat dan offset yang dikemukakan masyarakat sipil, termasuk ketidakpastian hak tenurial dan hak atas karbon. Untuk mengatasi hal ini, perlu ada safeguards sosial dan lingkungan yang spesifik (termasuk FPIC), mekanisme keluhan yang dijalankan oleh lembaga independen, dan partisipasi para pihak dalam perencanaan maupun implementasi proyek karbon untuk mencegah dampak negatif bagi masyarakat. Terdapat pula permasalahan terkait pengggunaan offset, khususnya dari sektor hutan dan lahan, karena sifatnya yang tidak permanen dan dapat membahayakan pencapaian tujuan jangka panjang Persetujuan Paris.

Laporan Koalisi Masyarakat Adat kepada Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial

Pada 9 Juli 2020, 14 organisasi masyarakat adat dan HAM bersama Forest People Programme menyerahkan laporan kepada Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial (UN-CERD) dan meminta Komite tersebut untuk memperhatikan situasi yang saat ini dihadapi masyarakat adat Dayak dan masyarakat adat lain di Kalimantan. Laporan ini menyebutkan ancaman yang dihadapi oleh masyarakat adat di Kalimantan akibat pembangunan jalan dan operasi perkebunan kelapa sawit serta pertambangan, termasuk penggusuran paksa. Laporan ini menyebutkan antara lain kasus konflik antara PT Ledo Lestari dan masyarakat adat Dayak Iban Semunying di Kabupaten Bengkayang serta mega proyek KBOP yang dirancang untuk membuka 18 perkebunan kelapa sawit dengan luasan masing-masing 100 ribu hektare di sepanjang perbatasan internasional Indonesia-Malaysia. Dalam laporan ini, koalisi masyarakat adat mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek KBOP yang diperluas serta pembangunan kelapa sawit, penebangan kayu, dan infrastruktur terkait di wilayah tersebut hingga pemerintah mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk FPIC. Koalisi juga mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Ancaman terhadap Hutan Harapan di Jambi dan Sumatra Selatan

Pada 17 Oktober 2019, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan izin pembangunan jalan tambang batubara yang akan membelah Hutan Harapan di Jambi dan Sumatra Selatan, yang saat ini dikelola oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia untuk dipulihkan. Jalan tersebut disebutkan akan mengorbankan hutan sekunder seluas 157 hektare dengan nilai kayu lebih dari 436,7 miliar rupiah. Pembangunan jalan ini dinilai akan mengancam keanekaragaman flora dan fauna di area restorasi serta masyarakat adat yang hidup di dalamnya, juga membuka celah bagi perambah untuk masuk ke area hutan. Investigasi Majalah Tempo mengungkap indikasi terjadinya regulatory capture dalam pemberian izin yang diberikan kepada PT Marga Bara Jaya, cicit usaha Rajawali Corpora milik taipan Peter Sondakh melalui revisi peraturan terkait Pedoman Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari P.27/2018 menjadi P/7/2019. Di sisi lain, KLHK menjamin akan mengawasi pembangunan jalan tambang tersebut agar tak mengganggu flora dan fauna di Hutan Harapan.

Dapatkan analisis lengkap Madani’s Update Juli 2020 dengan mengunduh materi yang terlampir di bawah ini. Semoga bermanfaat. 

Related Article

[1000 gagasan] MEMPERKUAT PERHUTANAN SOSIAL DENGAN KEHATI DAN KEMBALI KE KEARIFAN TRADISIONAL

[1000 gagasan] MEMPERKUAT PERHUTANAN SOSIAL DENGAN KEHATI DAN KEMBALI KE KEARIFAN TRADISIONAL

Keberlanjutan hutan alami termasuk berbagai proses ekosistem dan manfaatnya adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah, pihak swasta, maupun seluruh lapisan masyarakat semuanya merupakan pemangku kepentingan eksosistem hutan. Perhutanan Sosial merupakan program yang memberi ruang bagi para pihak untuk mewujudkan perolehan manfaat seefektif dan seefisien mungkin, dengan demikian mendukung keberlanjutan sumber daya hutan.

Sering kita mendengar “seeing the forest for the trees”. Hutan bukan hanya pohon. Lebih dari sekedar memfasilitasi perbaikan tenurial maupun penanaman vegetasi, maka program Perhutanan Sosial juga memberikan kesempatan pendayagunaan Keanekaragaman hayati (Kehati) dan Kearifan Lokal untuk keberlanjutan ekologi. Dengan penalaran bahwa Perhutanan Sosial yang saat ini mulai menjadi gerakan dapat diperkuat dengan pengarusutamaan keanekaragaman hayati dan kearifan lokal, makalah ini menyoroti bagaimana dalam pelaksanaan di lapangan Perhutanan Sosial dapat diperkaya dengan pendekatan-pendekatan Kehati dan Kearifan Lokal. 

Pertama-tama akan dijelaskan mengenai kebijakan Perhutanan Sosial. Selanjutnya dijelaskan mengenai konsep Kehati dikaitkan dengan Kearifan Lokal. Pada akhirnya, digambarkan prospek sinergi antara Perhutanan Sosial dengan Kehati, dan Kearifan Lokal.

BACA JUGA: Pembangunan Berkelanjutan

Perhutanan Sosial

Kebijakan Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria secara resmi dijalankan semenjak 5 tahun terakhir, yaitu setelah diterbitkannya Peraturan Menteri LHK No 83 Tahun 2016 mengenai Perhutanan Sosial, dan Peraturan Presiden No 86/ 2018 mengenai Reforma Agraria. Kebijakan dan Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) dirancang untuk mewujudkan akses yang berkeadilan terhadap lahan beserta sumber daya lahan, dimana kesemuanya demi untuk mendukung aspek penghidupan masyarakat sekaligus keberlanjutan sumber daya hutan. Dalam praktiknya Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial tersebut akan memberikan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk  berpartisipasi dan berinovasi dalam pembangunan berbasis sumber daya alam dan manusia yang bersifat berkelanjutan.

Perhutanan Sosial dibagi atas 5 skema:

1) Hutan Kemasyarakatan

Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Kelompok masyarakat diberi ijin resmi untuk mengelola hutan negara, yaitu bercocok tanam di kawasan hutan. Tanggung jawab terkait adalah bahwa masyarakat berperan aktif mendukung pengelolaan hutan lestari dan perlindungan jasa-jasa lingkungan.

2) Hutan Desa

Hutan Desa adalah Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan Desa. Dalam hal ini Desa diberikan ijin resmi untuk mengelola kawasan hutan di sekitar desa. Masyarakat desa diperkenankan untuk memanen hasil hutan, dengan perhatian utama diberikan pada wana tani, dan pengelolaan hutan lestari serta penerapan praktik-praktik pengelolaan adat. Hutan Desa memiliki landasan hukum Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 dan No. 3 Tahun 2008.

3) Hutan Tanaman Rakyat

Hutan Tanaman Rakyat dibangun dan dikelola oleh kelompok masyarakat. Untuk membantu meningkatkan pasokan kayu berkelanjutan maka kelompok masyarakat baik secara mandiri maupun dengan pendampingan diberikan ijin resmi untuk mengembangkan perkebunan kayu di Kawasan Hutan. Perkebunan kayu ini dapat diselingi dengan jenis-jenis kayu lainnya maksimal hingga 30 persen dari luas areal izin,serta untuk dua-tiga tahun pertama diperkenankan mengembangkan tumpang sari berupa tanaman tahunan yang sesuai.

BACA JUGA: Madani’s Update Mei 2020: Deforestasi, PIPPIB, Karhutla, Perhutanan Sosial, dan Pembaruan NDC

4) Hutan Adat

Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, maka masyarakat hukum adat diberi hak untuk menguasai dan mengelola hutan sesuai dengan adat budaya setempat. UU 41 / 1999 tentang Kehutanan mengakui keberadaan hutan adat, serta mendefinisikan hutan adat sebagai hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Selanjutnya, Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 memutuskan bahwa hutan adat merupakan hutan milik masyarakat (hutan hak), dan bukan hutan negara. Berdasarkan UU 41/ 1999 penetapan hutan adat perlu didahului oleh sebuah peraturan daerah atau keputusan kepala daerah (tingkat provinsi atau kabupaten), untuk kemudian dilegalisir oleh Keputusan Menteri (LHK). Proses pengakuan hutan adat dirinci dalam Peraturan Menteri LHK No. 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, yang mengatur tata cara bagi masyarakat hukum adat untuk mengajukan permohonan pengakuan terhadap hutan komunal mereka sebagai hutan adat.

5) Kemitraan Kehutanan

Kemitraan Kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang ijin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, ijin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan. Melalui program Kemitraan Kehutanan, maka perusahaan pemegang konsesi (baik BUMN atau swasta) diwajibkan untuk memberikan hak akses bagi masyarakat setempat. Dalam skema Kemitraan ini, masyarakat lokal diberikan hak untuk memanen hasil hutan bukan kayu (HHBK). Perusahaan tetap berhak atas hasil hutan kayu pada area konsesi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan untuk pelaksanaan pembalakan hutan alam dan mengembangkan hutan tanaman.

Untuk mendapatkan gagasan lengkap Memperkuat Perhutanan Sosial dengan Kehati dan Kembali Ke Kearifan Tradisional, silakan unduh materi yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat. 

Tim Penulis: Mochamad Indrawan, Rina Yowei dan Mariana Peday 

Related Article

Siapkah Kita Hadapi Karhutla?

Siapkah Kita Hadapi Karhutla?

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali mengancam Tanah Air. Di tahun 2020 ini, ancaman karhutla kembali hadir di tengan pandemi Covid-19. Kondisi ini berdampak pada turunnya anggaran KLHK untuk karhutla dari Rp56 miliar menjadi Rp34 miliar dikarenakan seluruh aspek termasuk alokasi anggaran fokus untuk penanganan pandemi.

Meski Covid-19 baru saja terjadi di tahun ini, jumlah anggaran karhutla terus menurun sejak tahun 2017. Padahal, tren karhutla sempat mengalami peningkatan dan membakar seluas 1,6 juta hektare lahan pada 2019 lalu. Tak hanya dari sisi anggaran, penanganan karhutla ditengah pandemi juga menghadapi sejumlah tantangan diantaranya adalah porsi pencegahan dari pusat dan daerah yang semula 70:30 berbalik menjadi 30:70.

Tak hanya itu, adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta PHK turut meningkatkan kegiatan pembakaran untuk membuka lahan. Masyarakat di sekitar lokasi karhutla turut terancam kesehatannya karena asap karhutla meningkatkan kerentanan infeksi Covid-19. Guna menghadapi ancaman ganda karhutla dan Covid-19, pemerintah menyiapkan berbagai strategi antisipasi. Salah satunya adalah pengintegrasian data kasus suspek Covid-19 di zona berisiko kabut asap untuk dilakukan evakuasi terpisah dengan orang sehat.

Adapun strategi lainnya adalah antisipasi titik api melalui pengawasan aparat daerah serta pemanfaatan sistem dashboard untuk mengawasi area rawan hotspot. Pemerintah juga melakukan penataan ekosistem gambut termasuk mengerahkan instasi terkait untuk menjaga tinggi air gambut.

Riset ini merupakan hasil kerjasama Madani Berkelanjutan bersama Katadata Insight.

Related Article

Webinar “Ancaman Kebakaran Hutan Di Tengah Pandemi”

Webinar “Ancaman Kebakaran Hutan Di Tengah Pandemi”

Musim kemarau menjadi pertanda hadirnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Sejak tahun 1990-an hingga sekarang, bencana ini masih menjadi bencana rutin hampir setiap tahunnya. Lahan yang terbakar mencapai 1,6 juta hektare pada 2019.

Pemerintah telah mengambil tindakan menangani Karhutla. Para pihak yang disinyalir sebagai pelaku juga ditangkap. Ke depan, penanganan Karhutla tidak cukup hanya dengan tindakan, melainkan juga perlu upaya mitigasi agar Karhutla bisa dicegah.

Karena itu, komitmen dan sinergi berbagai pihak menjadi sangat penting untuk mencegah karhutla sedini mungkin. Apalagi, ada ancaman lain yang tengah dihadapi masyarakat, yakni pandemi Covid-19.

Perpaduan karhutla dan pandemi virus Corona akan mengkhawatirkan masyarakat di sekitar wilayah rawan kebakaran karena sejumlah faktor. Bersama Katadata, Yayasan Madani Berkelanjutan menyelenggarakan Webinar “Ancaman Kebakaran Hutan di Tengah Pandemi” dengan narasumber Kepala BNPB Doni Monardo, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu dan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya, dan dipandu oleh Arie Mega dari Katadata. Diskusi ini dilaksanakan pada 13 Agustus 2020.

Materi-materi TalkShop dapat diunduh di link berikut:

Related Article

Manfaat Instrumen Ekonomi Karbon Bagi Masyarakat, Hutan, dan Iklim

Manfaat Instrumen Ekonomi Karbon Bagi Masyarakat, Hutan, dan Iklim

[MadaniNews, Jakarta] Dalam Ratas 6 Juli 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan rencana pemerintah untuk mengeluarkan instrumen kebijakan Nilai Ekonomi Karbon untuk mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia dalam bentuk Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Instrumen kebijakan ini didasarkan pada perlunya keterlibatan seluruh pihak, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat di tingkat global, nasional, dan lokal untuk menjaga peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius menuju 1,5 derajat celcius dari tingkat suhu pra industrialisasi. Dalam rencana kebijakan ini, manfaat bagi komunitas disebutkan akan menjadi salah satu penekanan.

Untuk membahas lebih mendalam terkait dengan nilai ekonomi karbon, Yayasan Madani Berkelanjutan yang bekerja sama dengan KKI Warsi, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), dan Kemitraan menggelar diskusi virtual yang mengangkat tema “Rencana Kebijakan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon: Potensi Manfaat serta Dampaknya bagi Masyarakat, Hutan, dan Iklim?” pada 12 Agustus 2020.

Dalam diskusi tersebut, Direktur Pengembangan Strategis Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, mengungkap bahwa ada 4 hal yang perlu dipastikan dalam aturan mengenai nilai ekonomi karbon. Keempat nilai tersebut yakni transisi cepat ke ekonomi rendah karbon, pengurangan emisi secara actual, hutan alam dan keanekaragaman hayati terlindungi, dan masyarakat menjadi subjek bukan objek.

Diskusi ini dihadiri oleh beberapa narasumber yakni, Peneliti dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Joko Tri Haryanto, Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rudy Syaf, dan Presiden Direktur PT.Rimba Makmur Utama (RMU), Dharsono Hartono. Kemudian, hadir juga sebagai penanggap diskusi, Perwakilan dari Yayasan Mitra Hijau, Dicky Edwin Hindarto, dan Perwakilan Komunitas Pengelola Hutan, Rio Laman Panjang Kabupaten Bungo, Jamris.

Peneliti BKF, Joko Tri Haryanto menyebut bahwa prinsip dasar dari nilai ekonomi karbon (NEK) adalah sebagai instrumen untuk mendukung pencapaian target NDC. Joko juga mengatakan bahwa perlu adanya kesempatan bagi banyak pihak untuk berkolaborasi, hal ini disebabkan oleh kapasitas fiskal negara yang terbatas. Opsi insentif bagi para pemangku kepentingan yang berperilaku positif dalam mendukung target pemenuhan komitmen perubahan iklim juga harus menjadi perhatian khusus.

Direktur Eksekutif KK Warsi, Rudy Syaf menyampaikan pentingnya keterlibatan komunitas dalam mekanisme pasar karbon. Rudy Syaf mengatakan bahwa keterlibatan tersebut bukan hanya memberikan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat, tapi juga memberikan kelestarian untuk lingkungan khususnya hutan.

Sementara itu, Presiden Direktur PT.Rimba Makmur Utama (RMU), Dharsono Hartono menyampaikan perspektif dari pelaku usaha terhadap nilai ekonomi karbon. Sebagai pegelut usaha yang memberikan jasa lingkungan, Dharsono mengatakan bahwa mengubah cara pandang dan perilaku di tingkat masyarakat dan pemerintah adalah kesulitan utama dalam menjalankan bisnis jasa lingkungan.

Dhasono juga menyebut bahwa kebiasaan petani membakar lahan adalah salah satu persoalan yang ingin dirubah olehnya. Oleh karena itu, RMU pendorong edukasi dengan membuka sekolah agroekologi. Keberlangsungan hidup manusia bergantung pada alam dan kita harus memberikan nilai pada alam. []

Related Article

Talkshop Nilai Ekonomi Karbon “Rencana Kebijakan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon: Potensi Manfaat Serta Dampaknya Bagi Masyarakat, Hutan, Dan Iklim?”

Talkshop Nilai Ekonomi Karbon “Rencana Kebijakan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon: Potensi Manfaat Serta Dampaknya Bagi Masyarakat, Hutan, Dan Iklim?”

Dalam Ratas 6 Juli 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan rencana pemerintah untuk mengeluarkan instrumen kebijakan Nilai Ekonomi Karbon untuk mencapai target NDC Indonesia dalam bentuk Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. 

Instrumen kebijakan ini didasarkan pada perlunya keterlibatan seluruh pihak, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat di tingkat global, nasional, dan lokal. Dalam rencana kebijakan ini, manfaat bagi komunitas disebutkan akan menjadi salah satu penekanan.

Inilah yang menjadi dasar Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Kemitraan, KKI-WARSI dan LTKL mengadakan Talkshop Nilai Ekonomi Karbon “Rencana Kebijakan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon: Potensi Manfaat Serta Dampaknya Bagi Masyarakat, Hutan, Dan Iklim?”. 

TalkShop ini dilaksanakan pada 12 Agustus 2020 dengan menghadirkan narasumber Joko Tri Hartanto, S.E., M.S.E. (Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan), Rudi Syaf (Direktur Eksekutif KKI WARSI) dan Dharsono Hartono (President Director PT Rimba Makmur Utama- RMU).

Hadir juga sebagai penanggap adalah Dicky Edwin Hindarto (Yayasan Mitra Hijau), Nadia Hadad (Direktur Pengembangan Strategis Yayasan Madani Berkelanjutan) dan Jamris (Perwakilan Komunitas Pengelola Hutan Rio Laman Panjang Kabupaten Bungo).

TalkShop ini dipandu oleh Gita Syahrani (Kepala Sekretariat LTKL)

Materi-materi TalkShop dapat diunduh di link berikut:

Related Article

Penanganan Bahaya Karhutla dan Covid-19 Harus Berfokus Pada Mitigasi

Penanganan Bahaya Karhutla dan Covid-19 Harus Berfokus Pada Mitigasi

[Jakarta, 13 Agustus 2020] –Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah menjadi bencana yang terus berulang setiap tahun. Bukan hanya terjadi dalam periode singkat, tapi sudah berlangsung lebih dari tiga dekade. Pada 2020 bahaya karhutla kembali mengancam dan kali ini datang bersamaan dengan pandemi Covid-19.

Pemerintah sudah menyadari potensi bencana tersebut. Secara khusus Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melihat ancaman ganda tersebut berpotensi menyerang orang-orang yang sangat rentan, seperti para lansia dan penderita penyakit bawaan atau komorbid seperti hipertensi, diabetes, jantung, dan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).

Menghadapi karhutla tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena kita menghadapi pandemi Covid-19 juga,” kata Kepala BNPB Doni Monardo dalam Katadata Forum Virtual Series “Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi“, Kamis (13/8). Oleh karenanya, kata dia, perlu ada upaya lebih serius dan lebih optimal untuk menyampaikan ke seluruh lapisan masyarakat. “Jangan ada yang membiarkan terjadinya kebakaran,” ujarnya menegaskan.

Lebih lanjut Doni menjelaskan, fokus BNPB tahun ini akan lebih banyak turun langsung ke unsur-unsur masyarakat untuk mencegah terjadinya karhutla. “Pencegahan merupakan langkah terbaik,” katanya.

Merujuk Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Doni menjabarkan ada tiga langkah preventif yang akan didorong. Pertama, mengembalikan kodrat gambut yang basah, berair, dan berawa. Kedua, mengubah perilaku agar masyarakat mengintervensi pihak yang berupaya membakar lahan untuk membuka lahan. Ketiga, membentuk satgas di setiap daerah untuk memantik kepedulian dalam penanganan bencana.

Senada dengan komitmen BNPB untuk memperkuat langkah mitigasi karhutla, Yayasan Madani Berkelanjutan mengambil inisiatif untuk melakukan analisis mengenai pemetaan Area Rawan Terbakar (ART) dan Area Potensi Terbakar (APT).  Data yang dikumpulkan dan diolah ini kemudian disilangkan dengan data Indeks Kewaspadaan Provinsi (IKP) dari Kawal Covid-19 untuk memetakan besaran ancaman karhutla dan Covid-19 di berbagai daerah.

Serangan ganda Karhutla dan Covid-19 ini telah nyata di depan mata,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya dalam kesempatan yang sama.

Menurut Teguh, perlu ada kerja sama dan komitmen yang serius dari semua pihak, seperti pemerintah, swasta, masyarakat serta penggiat lingkungan dalam mencegah berulangnya kejadian karhutla, baik pada tahun ini maupun tahun mendatang.

Senada dengan BNPB, Teguh juga menekankan agar penanganan karhutla tidak hanya fokus di penanggulangan dan pemadaman api, tapi lebih pencegahan.

Perlu upaya untuk menghentikan bencana karhutla dengan berfokus pada upaya pemullihan lahan gambut dan menghentikan pengrusakan hutan,” kata Teguh menambahkan.

Adapun temuan Madani mendapatkan empat provinsi dengan tingkat potensi terbakar paling luas, yakni Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Setiap provinsi juga diwakilkan setidaknya tiga kabupaten/kota dengan luas area potensi terbakar antara 169 hektare (Kabupaten Karimun) sampai 6.152 hektare (Kabupaten Natuna).

Madani juga menemukan provinsi dengan kerentanan karhutla tertinggi tahun ini, yang juga memiliki kewaspadaan Covid-19 tinggi. Ditemukan bahwa provinsi Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jambi merupakan provinsi dengan ancaman ganda yang cukup tinggi atas karhutla dan Covid-19. “Apabila tidak diantisipasi, asap karhutla akan memperparah infeksi Covid-19,” kata Teguh lagi.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P3ML) Wiendra Waworuntu yang turut hadir dalam diskusi menerangkan di masa karhutla akan timbul dampak kesehatan dalam munculnya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Dampaknya kalau masa kebakaran hutan, ada beberapa jurnal yang mengatakan terjadi peningkatan juga kasus Covid-19 di udara panas, yang akan berdampak pada peningkatan kasus,” kata Wiendra.

Dia menjelaskan karhutla meningkatnya peluang virus melayang lebih lama di udara karena adanya aerosol yang diciptakan asap. Oleh sebab itu respons penanggulangan pada wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan menjadi penting.

Wiendra juga merasa pada situasi karhutla diperlukan protokol tersendiri untuk mencegah penularan serta penyebaran ISPA dan Covid-19.

Pada forum diskusi turut hadir pula Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, sebagai perwakilan salah satu wilayah yang dari tahun ke tahun kerap terdampak karhutla. Dalam paparannya, Sutarmidji menyebut penegakan hukum dan pemberian sanksi kepada perusahaan yang di lahan konsesinya terdapat titik api.

Namun, di sisi lain pelibatan masyarakat dalam menjaga dan pemanfaatan lahan gambut juga ditekankan menjadi salah satu kunci dalam mendukung upaya pencegahan karhutla.

Sebenarnya kalau mau melibatkan masyarakat dalam menjaga dan memanfaatkan gambut kita harus mulai konsep membangun desa,” katanya seraya menegaskan bahwa lahan gambut memang harus dijaga. “Saya sependapat dengan Doni Monardo (Kepala BNPB) kalau lahan gambut harus ditanami jenis-jenis tanaman bernilai ekonomi, seperti pisang dan lidah buaya.”  [ ]

***

Kontak lebih lanjut terkait temuan Madani dapat menghubungi:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Kontak Katadata: Jeany Hartriani, jeany@katadata.co.id, HP. 082154811993

Related Article

en_USEN_US