Madani

Tentang Kami

Pesan Jusuf Kalla di Climate Action Summit

Pesan Jusuf Kalla di Climate Action Summit

Hallo Sobat Luluk’s Update, sudah pada tahu apa yang disampaikan Wakil Presiden kita Jusuf Kalla pada Climate Action Summit 23 September ini?

Nah, pada pertemuan bergengsi dan sangat penting perihal perubahan iklim, Jusuf Kalla menyampaikan pidato singkat di Climate Action Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Aksi Iklim di General Assembly Hall, Gedung PBB, New York, pada 23 September 2019

Jusuf Kalla menyampaikan bahwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) memperparah dampak perubahan iklim. Terkait dengan hal ini Indonesia telah mengambil langkah tegas dalam menanganinya.

Jusuf Kalla juga menegaskan bahwa Indonesia telah siap menjawab tantangan dari Perubahan Iklim global. “Kita tidak lagi memiliki keleluasaan maupun pilihan selain meningkatkan ambisi pengendalian perubahan iklim. Dalam menghadapi kenyataan ini, aksi iklim harus konkret dan realistis” ujar Jusuf Kalla.

Selain itu, strategi Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca juga disampaikan pada kesempatan tersebut. Pertama, Indonesia sendiri akan meluncurkan Low Carbon Development Initiative (LCDI), sebuah inisiatif yang berjalan seiring keuntungan ekonomi dan sosial.

Kedua, mengintensifkan aksi iklim, melalui Solusi Berbasis Alam, dengan merestorasi 2 juta ha lahan gambut dan merehabilitasi 12 juta ha lahan kritis pada tahun 2030 dan melestarikan secara intensif daerah bakau dan daerah pesisir.

Ketiga, program transisi energi dengan menghapus subsidi bahan bakar fosil, menetapkan kebijakan biodiesel wajib dan membangun kilang bahan bakar hijau. Keempat, membentuk fasilitas khusus pendanaan lingkungan untuk memfasilitasi pendanaan iklim dan mendukung program lingkungan lainnya.

Kami mendorong peningkatan dukungan pendanaan dan transfer teknologi serta energi terbarukan yang terjangkau dan dapat diakses”, tambah Jusuf Kalla.

Mau tahu pemberitaan pekan ini lebih mendalam? Sobat Luluk’s Update dapat unduh bahan yang telah disediakan ya, monggo.

Related Article

Analisis Wacana Perubahan Iklim dan NDC Indonesia di Media

Analisis Wacana Perubahan Iklim dan NDC Indonesia di Media

Perubahan iklim adalah isu lingkungan hidup yang popular akhir-akhir ini. Indonesia adalah salah satu negara yang bukan hanya terdampak perubahan iklim, namun juga berkomitmen ikut serta mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai penyebab perubahan iklim.


Salah satu sektor yang menjadi target pengurangan emisi GRK dari Indonesia selain dari kehutanan juga dari sektor energi. Apalagi Indonesia telah berkomitmen dengan mencanangkan pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dan 41% dengan bantuan internasional di tahun 2030 dalam dokumen National Determined
Contribution (NDC).

NDC adalah dokumen yang dikembangkan untuk mewujudkan kesepakatan Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang menetapkan batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius atau di bawah 1,5 derajat Celcius (secara optimis) dibandingkan dengan periode pra-industri. Terkait dengan itulah dilakukan analisis jejaring wacana tentang perubahan iklim dan NDC Indonesia. Analisis wacana dilakukan dengan menggunakan tools Discourse Network Analysis (DNA). 

Discourse network analysis merupakan suatu teknik untuk mem-visualkan wacana baik itu wacana politik, sosial, budaya dan lainnya ke dalam sebuah jaringan. Discourse Network Analysis merupakan kombinasi dari category-based content analysis dan social network analysis. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi secara sistematis suatu struktur wacana dalam berbagai dokumen tekstual seperti artikel koran/media cetak, transkrip perdebatan di parlemen, dsb. 

Pentingnya suatu topik, posisi dan argumen dalam sebuah perdebatan dapat diidentifikasi melalui aktor sentral dalam sebuah wacana. Selanjutnya discourse network analysis memungkinkan kita menemukan koalisi wacana berdasarkan kesamaan pernyataan, argumen dan posisi kebijakan. Discourse Network Analyzer (DNA), yang merupakan perangkat lunak berbasis JAVA yang dikembangkan oleh Philip Leifeld dari Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology (Eawag) dan Institute of Political Science, University of Bern. Hasil dari olahan Discourse Network Analyzer (DNA) ini kemudian divisualkan dengan menggunakan perangkat lunak Visone, UCINET, dll.

Untuk dapat mengetahui lebih lanjut terkait dengan analisis ini, silakan download laporan yang tersedia di tautan di bawah ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

Ekspansi Perkebunan Sawit Berlangsung Masif

Ekspansi Perkebunan Sawit Berlangsung Masif

Setiap 10 menit, Indonesia kehilangan hutan hampir seluas 4 kali lapangan sepak bola.

Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus bertambah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, sampai tahun 2017, luas perkebunan sawit mencapai 12,3 juta hektare, bertambah 7,6 juta hektare dibanding tahun 2001. Ekspansi perkebunan kelapa sawit besar-besaran terjadi pada tahun 2006 seluas 1,1 juta hektare, kemudian tahun 2013 sebanyak 892 ribu hektare, dan tiga tahun kemudian seluas 655 ribu hektare.


Hasil riset Kemen Austin dari RTI International bersama Amanda Schwantes dari Duke University yang dimuat dalam jurnal Environmental Research Letters pada Fabruari 2019 lalu menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan sawit dalam kurun waktu 2001-2016 menyebabkan hilangnya 23 persen tutupan hutan Indonesia. Selebihnya, deforestasi disebabkan semak belukar 20 persen, pertanian skala kecil 15 persen, industri perkayuan 14 persen, dan penyebab lainnya 28 persen.


Ekspansi perkebunan sawit selama 2001-2016 tersebut, apabila dirata-rata telah menyebabkan deforestasi 130.061 ha per tahunnya. Angka ini membuat Indonesia kehilangan hutan hampir seluas 4 kali lapangan bola setiap 10 menit. Kalau ekspansi kebun sawit terus dibiarkan, maka luas hutan Indonesia makin berkurang, bahkan suatu ketika nanti, bisa jadi tinggal sejarah.

Related Article

Ironi di Balik Ekspansi Perkebunan Sawit

Ironi di Balik Ekspansi Perkebunan Sawit

Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 (Perpres 98/2021) tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional merupakan cerminan serius Pemerintah Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan sekaligus sebagai landasan hukum dalam mewujudkan kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi Gas Rumah Kaca.

Selain untuk mengakselerasi dan mengukur pemenuhan target NDC Indonesia, penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) juga diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan strategi pembangunan jangka panjang yang rendah karbon dan berketahanan iklim.

Namun, dari kebijakan Perpres 98/2021, kami menganalisis masih terdapat hal-hal yang perlu diperjelas terkait dengan 1) peran dan posisi masyarakat penjaga hutan dalam penyelenggaraan NEK; 2) kepastian legalitas dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal untuk mengelola hutan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan NEK; dan 3) pengintegrasian skema jasa lingkungan dalam tata laksana penyelenggaraan NEK.

Berangkat dari permasalahan di atas, kami memberikan rekomendasi kebijakan untuk pelaksanaan penyelenggaraan NEK kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Menteri Keuangan untuk 1) memperkuat posisi dan peran masyarakat penjaga hutan dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon melalui peraturan pelaksana Perpres 98/2021; 2) mengakselerasi pemberian hak legal-formal perhutanan sosial sekaligus memperkuat kapasitas masyarakat penjaga hutan agar dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon; dan 3) merekognisi skema imbal jasa lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat penjaga hutan dalam penyelenggaraan NEK sehingga bermanfaat bagi masyarakat desa pada umumnya dan masyarakat pengelola hutan pada khususnya.

Kejelasan pengaturan dan mekanisme NEK untuk masyarakat penjaga hutan menjadi sangat penting untuk memastikan perolehan manfaat karbon dan pelaksanaan mekanisme pembagian manfaat yang setara bagi masyarakat penjaga hutan yang telah berkontribusi dalam melindungi hutan, mempertahankan cadangan karbon hutan, serta mengurangi pelepasan emisi ke atmosfer.

Dapatkan Kertas Kebijakan Afirmasi Masyarakat Penjaga Hutan dalam Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Ayo Ulurkan Tanganmu, Bantu Korban Asap Sekarang Juga

Ayo Ulurkan Tanganmu, Bantu Korban Asap Sekarang Juga

Kabut asap sudah semakin pekat. Saudara-saudara kita di Sumatera dan Kalimantan, kini terpaksa menghirup udara yang penuh dengan polusi. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang tak kunjung usai, membuat bencana ini semakin tak terhindari. Padahal sejatinya, udara adalah kenikmatan termurah yang dapat dinikmati siapapun, namun kabut asap yang melanda malah membuat udara seolah menjadi barang mahal.

Pada 2019 ini, karhutla sendiri telah muncul sejak awal tahun. Di Januari 2019, titik api ditemukan sebanyak 1.609. Kemudian, Februari sebanyak 5.060 titik api, Maret sebanyak 9.227 titik api, April sebanyak 2.943 titik api, Mei sebanyak 4.286 titik api, Juni sebanyak 4.207 titik api, Juli sebanyak 15.571 titik api, dan mencapai puncaknya pada Agustus dengan 22632 titik api.

Titik api yang kian meluas tersebut mengakibatkan kabut asap semakin mengkhawatirkan. Sekarang, karhutla telah membuat 6 Provinsi yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan berstatus siaga darurat. Sudah saatnya kita ulurkan tangan untuk saudara-saudara kita yang terdampak. Menyumbangkan yang kita miliki adalah salah satu upaya kongkrit yang dapat kita lakukan saat ini.

Yayasan Madani Berkelanjutan saat ini menggalang dukungan yang akan disalurkan langsung kepada korban-korban terdampak di beberapa daerah di Tanah Air. Ayo tunjukkan kalau kamu peduli. Kami menerima donasi berupa masker N95, oksigen portable, suplemen vitamin, susu murni kaleng dan dana. Donasi dapat dikirimkan ke

Rekening : 127 0007567082, An. Yayasan Madani Berkelanjutan (Bank Mandiri)

Atau langsung salurkan ke Creative Hub #TemenanLagi, Kantor Yayasan Madani Berkelanjutan, Komplek Debdikbud, Blok B4 No.21, Pejaten Barat, Jakarta Selatan.

Informasi Donasi Hubungi: Widi Rosmiati (0822-1079-7027) Ruth Stephanie (0822-1589-8935)

Related Article

Forest City Jangan Sekadar Jadi Angan-Angan

Forest City Jangan Sekadar Jadi Angan-Angan

[Berita MADANI, 10 September 2019] Konsep “Forest City” untuk Ibu Kota Negara baru saat ini baru sebatas ungkapan simbolis di hadapan publik. Demikian yang disampaikan pengamat Tata Kota Institute Teknologi Kalimantan, Farid Nurrahman dalam acara TalkShop dengan tema “Ecofriendly Capital of Indonesia” yang digelar Yayasan Madani Berkelanjutan pada 9 September 2019 di Creativehub #TemenanLagi, Jakarta Selantan.

Saya tidak pernah melihat konsep kota yang jelas dalam rencana tata ruang kota mana pun di Indonesia. Karena ini hanya simbolis yang disampakan ke publik aja,” ujar Farid.

Farid juga mengatakan, konsep perkotaan akan berbeda di pikiran setiap orang. “Jadi daripada bicara soal kota hutan, mending diperjelas 180.000 hektar ini yang boleh dibangun berapa, yang tidak boleh dibangun berapa,” ucap Farid.

Juru bicara Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bidang Lingkungan dan Perkotaan, Mikhail Gorbachev, pun menangkap hal yang sama. Ia bahkan mengatakan pemerintah lebih baik mengusung konsep compact city daripada forest city yang belum jelas designnya.

Compact city sendiri adalah suatu desain dan perencanaan perkotaan yang terfokus terhadap pembangunan berkepadatan tinggi dengan penggunaan yang beragam dan bercampur jadi satu dalam suatu lahan yang sama untuk mengefisienkan lahan semaksimal mungkin.

Di sisi lain, Mikhail Gorbachev menilai kebijakan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan penting dilakukan. “Ada beberapa pertimbangan, salah satunya aspek pemisahan administrasi pemerintahan dengan industrialisasi harus dilakukan,” ujar pria yang akrab disapa Gorba ini.

Menurutnya, Indonesia harus berani memisahkan antara pusat administrasi negara dengan zona industrialisasi. Hal itu dilakukan untuk menekan polusi, kepadatan penduduk dan lainnya yang terfokus di satu titik.

Jakarta sudah dan penuh, pembangunan tersentralisasi. Pemindahan ini juga bentuk komitmen Pak Jokowi mewujudkan Indonesia sentris”, ungkap Gorba.

Sementara itu, Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan pemerintah pusat harus tetap menyelesaikan berbagai masalah lingkungan di Jakarta meskipun ibu kota negara dipindahkan ke Kalimantan Timur.

Pindah ibu kota negara itu ada dua hal yang disiapkan, pertama tempat tinggal baru dan kedua menyelesaikan persoalan di ibu kota lama,” ujar Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya.

Teguh juga berharap bahwa ibu kota negara nantinya benar-benar memperhatikan aspek-aspek lingkungan, sehingga konsep forest city tersebut bukan hanya sekadar simbol dan angan-angan belaka. [ ]

Kunjungi juga tautan menarik tentang pemindahan ibu kota berikut ini ya

https://www.instagram.com/p/B2OwmOAn8aZ/

Related Article

Hutan dan Milenial

Hutan dan Milenial

Peneliti Muda Yayasan Madani BerkelanjutanTak dapat dimungkiri bahwa narasi tentang hutan beserta segudang permasalahannya yang begitu kompleks, agaknya terpinggirkan dalam dilalog milenial kekinian, baik daring (dalam jaringan/online) maupun offline.

Hal tersebut terjadi lantaran secara konteks maupun konten, persoalan hutan dinilai terlalu ilmiah, advokatif, atau lebih sederhananya, berat untuk dinikmati oleh milenial atau juga lebih tepatnya disebut kurang populis. Oleh karena itu wajar jika persoalan hutan hanya dilirik oleh pihak-pihak yang berkepentingan saja, seperti halnya lembaga swadaya masyarakat (LSM), peneliti atau akademisi, maupun pihak pemerintah itu sendiri. Padahal seharusnya, persoalan hutan menjadi persoalan sosial yang teramat krusial untuk diperhatikan, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Membicarakan hutan, artinya kita sedang membicarakan “alam”, dan alam menyangkut kehidupan.

Selain karena konteks dan konten yang kurang populis, milenial juga menganggap bahwa permasalahan hutan adalah murni persoalan yang harus dituntaskan oleh pemerintah sebagai pemangku kepentingan.

Anggapan demikianlah yang membuat akhirnya muncul apatisme terhadap hutan dari kalangan milenial. Sungguh sangat disayangkan, jika milenial apatis terhadap hutan, karena pada dasarnya, milenial adalah generasi penerus bangsa yang akan menikmati hutan dan lingkungan di masa yang akan datang.

Dalam konteks tersebut, Madani Berkelanjutan, ingin sekali mengajak milenial untuk aktif memperhatikan hutan dalam konteks apapun sehingga hutan di masa depan yang akan dinikmati oleh milenial itu sendiri, tetap lestari. Madani yakin milenial adalah investasi penyelamat dan perlindung hutan di Tanah Air.

Segudang Permasalahan Hutan

Permasalahan hutan sejatinya erat dengan kehidupan manusia maupun banyak mahkluk hidup lainnya. Jika hutan dibabat tanpa pertimbangan yang matang, risikonya bukan hanya bertampak pada populasi satwa di dalamnya, tapi juga akan bertampak kepada perubahan iklim dunia.

Bukan hanya itu, persoalan yang paling dekat dengan hidup kita saat ini, adalah terkait polusi udara akibat dari hilangnya banyak hutan kita. Terburuk, polusi udara yang rutin hadir menyapa kita dalah polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat luas karhutla sejak Januari-Juli 2019 mencapai 135.747 hektare. Karhutla itu terdiri dari lahan gambut seluas 31.002 hekatre dan lahan mineral 1047.746 hektare. Mendiang Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho pernah mengungkap fakta, luas area karhutla yang terjadi tahun 2015 sudah setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta atau empat kali Pulau Bali.

Pernyataan tersebut berdasarkan pada data Terra Modis per 20 Oktober 2015 silam, dengan total hutan dan lahan yang terbakar sebesar 2.089.911 hektare. Terkait Karhutla sendiri, Madani Berkelanjutan pun menghimpun data, sepanjang Januari hingga Juli 2019, tercatat ada 35.945 titik panas di Indonesia. Persoalan ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Ingatkah anda, belum lama ini warga DKI Jakarta dipaksa untuk menikmati udara yang tak layak. Benar jika Gubernur DKI Jakarta menyebut bahwa udara yang tak layak yang kian mengkhawatirkan tersebut disebabkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor di beberapa ruas jalan maupun di tol ketika terjadi kemacetan. Namun, di sisi lain, persoalan minimnya ruang terbuka hijau di ibu kota juga menjadi penyebab utamanya.

Narasi Hutan

Pada kenyataannya, Milenial yang melek teknologi yang artinya juga aktif berselancar di media sosial, lebih melirik isu-isu seputar ekonomi, maupun politik yang tersaji di dalam gawai mereka. Hal itu disebabkan oleh prilaku dan pola pikir milenial yang gemar dengan hal-hal mikro seperti halnya perekonomian yang disajikan melalui isu seperti e-commerse, teknologi finansial, rupiah, dan banyak persoalan finansial lainnya.

Sama halnya dengan isu politik. Dalam kasus ini, apa yang disajikan di depan panggung (front stage) politik seperti halnya kontestasi pemilihan umum atau juga kasus korupsi yang dikemas dengan begitu menarik, membuat timbul keyakinan pada milenial bahwa keterlibatan mereka dalam isu tersebut begitu penting karena efeknya akan berdampak kepada diri mereka sendiri.

Sederhananya, milenial akan mengeluarkan sikapnya maupun mengekpresikan apa yang mereka pikirkan ketika sebuah permasalahan terasa begitu dekat dan akan memengaruhi kehidupan mereka ke depan.

Sedangkan isu hutan itu sendiri, selama ini belum dikemas dengan menarik ketika disajikan di panggung depan. Menjadi wajar jika milenial kurang tertarik pada isu-isu hutan yang dibangun oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Alhasil, milenial terkesan abai saat permasalahan hutan dan lingkungan begitu mengkhawatirkan.

Aksi Milenial

Jika kita berpatokan dalam konteks marketing, maka esensinya, sebuah produk yang akan dipasarkan haruslah sesuai dengan selera dari pasar itu sendiri. Ketika hutan tidak begitu dilirik oleh milenial, artinya produk hutan yang selama ini dipasarkan “kurang milenial”. Oleh karena itu, isu-isu terkait hutan perlu “diekstrak” atau disulap, atau bahkan “direcehkan” sedemikian rupa agar menarik bagi milenial.

Hemat saya, ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk membuat hutan lebih milenial yang artinya hutan yang sesuai dengan target pasar yakni milenial. Pertama, pendidikan kehutanan. Gerakan dasar yakni menyadarkan milenial untuk peduli kepada hutan adalah gerakan prioritas yang harus dilakukan. Oleh karena itu, penting dirancang sebuah Pendidikan kehutanan secara masih, bahkan jika perlu pendidikan tersebut masuk dalam kurikullum pembelajaran.

Kedua, kampanye milenial. Pola komunikasi yang menarik tentu menjadi bagian penting untuk menggaet milenial agar terlibat aktif menjaga dan melestarikan hutan. Pemerintah, LSM, maupun stakeholder yang berkepentingan terkait hutan, wajib melakukan kampanye yang menarik dan tentunya ala milenial khususnya di media sosial. Misalnya saja melalui berbagai konten menarik seperti video singkat (vlog) tentang hutan yang dikemas dengan bahasa yang akrab dengan milenial, kemudian bisa juga melalui iven olahraga seperti iven “run to forest”, atau kampanye nol sampah plastik, dan metode kampanye lainnya.

Madani Berkelanjutan sendiri menyentuh milenial melalui media sosial khususnya Instagram dengan pola komunikasi yang “receh”. Di media sosial, Madani Berkelanjutan tampil dengan design menarik, kegiatan yang interaktif, serta menggunakan bahasa-bahasa yang akrab dengan milenial.

Ketiga, kolaborasi. Permasalahan hutan sejatinya bukan hanya urusan pemerintah saja, tapi urusan semua orang yang hidup sampai saat ini. Oleh karena itu, setiap persolan hutan yang terjadi, harus dituntaskan dengan kolaborasi. Pemerintah dapat melakukan tugasnya dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kelestarian hutan. Sedangkan, private sector harus selalu berpedoman kepada analisis dampak lingkungan (amdal) ketika melakukan ekspansi bisnis yang bersangkut paut dengan hutan dan alam.

Dalam hal ini, tugas milenial adalah berkolaborasi dengan membawa ide-ide kreatif tentang penyelamatan hutan dan alam. Ide-ide segar ala milenial, diharapkan mampu mendobrak bahkan meruntuhkan stigma tentang hutan yang kurang dilirik milenial.

Kini, sudah saatnyalah, milenial berwawasan hutan dan lingkungan. Pasalnya, milenial dan hutan adalah investasi bagi kehidupan bangsa ke depan. Inilah momentum, hutan menjadi milenial yang artinya segala sesuatu tentang hutan menarik bagi milenial. Isu-isu tentang hutan sudah seharusnya diangkat dengan mengikuti tren yang berkembang, hal dilakukan tersebut agar hutan lebih diperhatikan.

Oleh Delly Ferdian

Artikel ini telah dimuat di Harian Haluan edisi 10 September 2019.

Related Article

Madani Menemukan 1 Juta Hektare Perkebunan Sawit di Hutan Alam Primer dan Prioritas Restorasi Gambut

Madani Menemukan 1 Juta Hektare Perkebunan Sawit di Hutan Alam Primer dan Prioritas Restorasi Gambut

Diperlukan Kebijakan Terintegrasi, Kunci Pembenahan Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut


[Jakarta, 10 September 2019]
Dalam kurun waktu setahun terakhir, pemerintah telah menunjukkan langkah positif dalam pembenahan tata kelola hutan dan lahan. Hal ini ditunjukan dengan dikeluarkannya dua kebijakan, yakni kebijakan terkait moratorium sawit dan kebijakan penghentian pemberian izin baru di hutan alam dan lahan gambut.

Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang akan berumur satu tahun pada 19 September 2019 ini. Dan pada 5 Agustus 2019 lalu, Presiden juga mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dua kebijakan ini merupakan langkah positif dan memiliki benang merah dengan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut dalam pembenahan tata kelola hutan dan lahan gambut. Sehingga pelaksanaannya pun haruslah terintegrasi dengan dasar hukum yang lebih kuat”.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Bincang Media “Menelisik 1 Juta Hektare Kebun Sawit di Hutan Primer dan Lahan Gambut” yang dilaksanakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada 10 September 2019.

Sebelumnya, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyampaikan temuan bahwa terdapat 3,47 juta hektare sawit berada di kawasan hutan. Untuk mendorong optimalisasi Inpres moratorium sawit dan memperkuat temuan GNPSDA, Madani melakukan analisis spasial tumpang susun perizinan di wilayah PIPPIB Revisi XV (lima belas). Hasil analisis menemukan 1.001.474,07 hektare perkebunan sawit, milik 724 perusahaan yang berada di dalam Hutan Primer dan Lahan Gambut yang tersebar di 24 propinsi. Ada 384 perusahaan dengan total luasan 540.822 hektare berada di lahan gambut, 102 perusahaan dengan total luasan 237.928 hektare berada di hutan primer, dan ada 238 perusahaan dengan total luasan 222.723 hektare berada di kawasan hutan. Dan dari jumlah tersebut, hampir separuhnya (333 Perusahaan) dengan luasan 506.333 hektare berada di 7 provinsi prioritas restorasi gambut.

Peninjauan perizinan terhadap 1 juta hektar kebun sawit di Kawasan hutan primer dan Kawasan gambut tersebut mendesak dilakukan karena merupakan kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia dan sebagai wujud konsistensi pemerintah dalam memperbaiki tata kelola hutan dan lahan. ” sambung Teguh.

Terhadap keberadaan perkebunan sawit 1 juta hektare di kawasan hutan primer dan kawasan gambut ini adalah tantangan bagi Tim kerja moratorium sawit untuk menyelesaikan dan mencari solusi terbaiknya,” kata sambung Achmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch.

Selama satu tahun ini tim kerja moratorium sawit masih melakukan persiapan baseline data. Padahal sudah banyak data yang dimiliki oleh kementerian/lembaga terkait. Konsolidasi data yang memakan waktu lama menunjukkan bahwa koordinasi antar Kementerian/Lembaga masih kurang baik. Sangat disayangkan waktu satu tahun dihabiskan hanya untuk persiapan data, mengingat Inpres moratorium sawit ini hanya berumur tiga tahun,” tambah Achmad Surambo.

Terkait temuan Madani bahwa ada 1 juta hektare sawit berada di dalam PIPPIB Revisi XV patut diduga ada konflik tenurial di dalamnya. Sawit Watch mencatat, hingga 2019 terdapat 822 komunitas berkonflik dengan perkebunan sawit,” sambung Achmad Surambo.

Dalam analisis Greenpeace masih ada wilayah seluas 33,3 juta hektare tutupan hutan alam primer dan 6,5 juta lahan gambut yang belum terlindungi diluar peta moratorium dan di luar kawasan hutan lindung dan konservasi, sementara wilayah moratorium masih terancam dengan keberadan konsensi perusahaan termasuk ijin perkebunan sawit.

Satu juta hektar konsesi sawit dalam hutan alam primer dan lahan gambut adalah ujian nyata bagaimana moratorium permanen dijalankan, dengan mencabut izin tersebut pemerintah menunjukan keseriusan untuk melindungi hutan dan lahan gambut tersisa dan bukan sekedar propaganda,” kata Arie Rompas, Forest Campaigner Team Leader, Greenpeace Indonesia.

Sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan 4,5 juta hektare hutan alam primer dan lahan gambut selama moratorium hutan dimana 1,6 juta hektare telah diberikan izin untuk perkebunan kelapa sawit, kayu pulp, penebangan hutan dan pertambangan. Jika izin-izin ini tidak dievalusi dan dicabut maka hal yang sama akan terjadi pada 1 juta hektare sawit di hutan alam primer dan lahan gambut tersebut. [ ]



Kontak Narasumber:

● M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0819 1519 1979, email teguh@madaniberkelanjutan.id

● Achmad Surambo, Deputi Direktur Eksekutif Sawit Watch, HP. 0812 8748 726, email rambo@sawitwatch.or.id

● Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, HP. 0811 5200 822, email arie.rompas@greenpeace.org.

● Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887, luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Kebijakan Pemerintah Kunci Pencapaian Target NDC Indonesia

Kebijakan Pemerintah Kunci Pencapaian Target NDC Indonesia

Pekan ini, media menyorot pemberitaan terkait upaya terjal Indonesia mencapai target NDC. Dalam hal ini, Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen jika dilakukan bersama dengan pihak atau negara lain.

Nationally Determined Contribution (NDC) merupakan bagian penting dari Kesepakatan Paris yang berisi pernyataan komitmen negara para pihak melalui UNFCCC. Terkait dengan upaya pemerintah untuk mencapai target NDC, 6 kementerian diidentifikasi akan memiliki peran penting untuk berkolaborasi mencapai target tersebut. Keenam kementerian tersebut yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Setiap kementerian yang telah ditetapkan tersebut harus menentukan berapa besaran emisi yang bisa mereka kurangi, kemudian mengikatnya dalam bentuk regulasi. Regulasi tersebut nantinya akan sepenuhnya dikembalikan kepada pemerintah, baik berupa Peraturan Menteri (Permen) atau Peraturan Presiden serta bersifat lintas sektoral.

Sebagai contoh penurunan emisi di sektor kehutanan jika merujuk pada undang-undang terdapat tingkatan level nasional dan subnasional. Jika pemerintah hanya mengatur pengurangan emisi di tingkat nasional maka hutan yang dikelola oleh subnasional akan terabaikan dari target pengurangan emisi tersebut. Selain itu, upaya penurunan emisi di tingkat provinsi juga harus diikat dengan peraturan. Jika tidak target pengurangan emisi Indonesia tidak akan tercapai.

Bukan hanya itu, Luluk’s Update juga menemukan pemberitaan terkait dengan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur (Kaltim).

Dalam berita yang ditemukan, penetapan Kaltim sebagai lokasi Ibu Kota Negara (IKN) belum matang sehingga perlu pengkajian mendalam karena IKN membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Jika membangun dengan penebangan hutan secara masif, maka akan menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca di area Kecamatam Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara yang ditetapkan sebagai wilayah IKN.

Hal ini tentu sangat mempengaruhi Penjam Paser Utara yang selama ini merupakan wilayah terbuka dengan stok karbon rendah. Artinya jika dibangun di wilayah tersebut tidak akan berpengaruh signifikan kecuali jika pelaksanaannya membabat hutan primer dan sekunder.

Ingin tahu lebih dalam pemberitaan yang disajikan Luluk’s Update, sobat sekalian dapat mengunduh materi yang sudah disediakan. Semoga Bermanfaat ya.

Related Article

en_USEN_US