Madani

Tentang Kami

AFTER THE JOE BIDEN SUMMIT, THESE 4 THINGS SHOULD BE A GOVERNMENT PRIORITY TO ADDRESS THE GLOBAL CLIMATE CRISIS

AFTER THE JOE BIDEN SUMMIT, THESE 4 THINGS SHOULD BE A GOVERNMENT PRIORITY TO ADDRESS THE GLOBAL CLIMATE CRISIS

[MadaniNews, Jakarta, 23/04/2021] Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate yang diselenggarakan secara virtual pada Kamis, 22 April 2021, menunjukkan bahwa kesadaran global akan mitigasi krisis iklim semakin kuat. Konferensi yang diikuti oleh 41 kepala negara, kepala pemerintahan, dan ketua organisasi internasional ini juga menandai kembalinya Amerika Serikat (AS) pada komitmen Iklim dunia, Paris Agreement (Persetujuan Paris).

Kembalinya Negeri Paman Sam pada barisan perlawanan terhadap krisis iklim dunia ini patut menjadi stimulus dan dorongan bagi banyak negara untuk semakin optimis melawan krisis iklim.  Konferensi yang diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat Joseph Robinette Biden Jr atau Joe Biden juga dapat diartikan sebagai momentum untuk semakin memperkuat komitmen iklim banyak negara, salah satunya Indonesia. 

Terkait dengan komitmen Iklim atau Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030.

Dalam Leaders Summit on Climate, Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan tiga pemikiran terkait dengan isu perubahan iklim. Pertama, menegaskan bahwa Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia melakukan aksi-aksi nyata. Kedua, Jokowi mengajak para pemimpin dunia memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Menurutnya, Indonesia telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim – meski tidak meningkatkan ambisi mitigasi. Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, Presiden Jokowi memandang kemitraan global harus diperkuat. 

Sejalan dengan pemikiran Presiden Jokowi, Yayasan Madani Berkelanjutan mengungkap empat hal yang patut menjadi prioritas pemerintah untuk menangani persoalan krisis iklim;

  1. Transformasi besar di sektor kehutanan. Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menyebut bahwa untuk mampu mencapai target komitmen iklim Indonesia (NDC) dan net zero emission Indonesia, maka transformasi kebijakan penguatan perlindungan hutan dan lahan serta keseriusan dalam perluasan implementasi program rehabilitasi wilayah terdegradasi merupakan keniscayaan. Perlu ada komitmen Indonesia untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut serta mengakui masyarakat adat dan lokal yang mengelola sumber daya alam sebagai pemangku kepentingan kunci dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia.

  1. Mewujudkan Nol Deforestasi. Indonesia berpeluang untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Persetujuan Paris. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan kuota deforestasi Indonesia dalam Updated NDC pada periode 2020-2030 serta memperkuat kebijakan moratorium hutan dengan memasukkan 9,4 juta hektare hutan alam atau setara 16 kali Pulau Bali yang belum terlindungi dan rentan terdeforestasi ke dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB). 

  1. Optimis mewujudkan Netral Karbon di 2050. Dengan mengimplementasikan kuota penurunan dokumen Updated NDC maka seharusnya target net zero emission pada 2050 sangatlah memungkinkan dibanding rencana penggunaan skenario net zero emission pada 2070 . Lemahnya ambisi Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada tahun 2050 tercermin dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dokumen LTS-LCCR 2050 menyebutkan bahwa untuk menjaga agar suhu bumi tidak naik melebihi 1,5℃, pemerintah menargetkan netral karbon di tahun 2070. Hal ini berarti Indonesia terlambat 20 tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris.

  1. Mendorong Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan.  Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menurunkan deforestasi hingga 75% di periode 2019-2020, sebagaimana yang disampaikan dalam siaran pers pada 3 Maret 2021. Menurut Madani, penurunan deforestasi ini adalah titik awal yang baik bagi Indonesia untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan dan lingkungan. Ini membuktikan bahwa langkah nyata yang positif dapat dilakukan dan harapannya hal ini dapat dipertahankan ke depannya.

Related Article

LEADERS SUMMIT ON CLIMATE HOPED TO PROVIDE REAL SOLUTIONS FOR CLIMATE CHANGE

LEADERS SUMMIT ON CLIMATE HOPED TO PROVIDE REAL SOLUTIONS FOR CLIMATE CHANGE

KTT Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate (LSC) yang diselenggarakan pada 22 hingga 23 April 2021 dan dihadiri pemimpin dari 40 negara, ini diharapkan mampu memberikan solusi nyata bagi perubahan iklim yang tengah melanda.

Forum ini digelar untuk membahas kesiapan negara-negara menghadapi perubahan iklim yang ekstrim, di mana emisi gas rumah kaca (GRK) begitu tinggi dan menciptakan dampak iklim bagi berbagai negara-negara di dunia. LSC sebagai wahana diskusi ini juga menjadi tempat persiapan menuju konferensi PBB Perubahan Iklim (COP 26) pada bulan November 2021 mendatang di Glasgow.

Presiden Jokowi hadir bersama beberapa menteri lainnya, yaitu Menko Maritim dan Investasi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Keuangan, dan Menteri ESDM. Dalam forum tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan tiga pemikiran terkait dengan isu perubahan iklim. Pertama, menegaskan bahwa Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia melakukan aksi-aksi nyata. 

Kedua, Jokowi mengajak para pemimpin dunia memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Menurutnya, Indonesia telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim – meski tidak meningkatkan ambisi mitigasi. Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, Presiden Jokowi memandang kemitraan global harus diperkuat. 

Pada kesempatan yang sama, konferensi tersebut juga menghasilkan sebuah pembentukan Koalisi LEAF (The Lowering Emissions by Accelerating Forest), sebuah inisiatif baru yang ambisius antara sektor publik dan swasta yang dirancang untuk mengakselerasi aksi iklim. Kedua pihak sepakat untuk menyediakan mekanisme pembiayaan berbasis hasil bagi negara-negara yang berkomitmen untuk melestarikan hutan tropisnya.

Inisiatif ini bertujuan untuk memobilisasi pembiayaan dengan dana sebesar 1 miliar dolar, dan menandai salah satu upaya publik dan swasta dalam skala terbesar guna melestarikan hutan tropis, yang dapat bermanfaat bagi milyaran jiwa sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan.

Dapatkan Pemberitaan Media edisi 19-25 April dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM LEADERS SUMMIT ON CLIMATE TO ASEAN SUMMIT

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM LEADERS SUMMIT ON CLIMATE TO ASEAN SUMMIT

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir ya (19-26 April 2021), berikut cuplikannya:

1. Leader Summit on Climate

Amerika Serikat mengadakan Leaders’ Summit on Climate pada 22-23 April 2021 yang diadakan selama dua hari dan dihadiri 40 negara perwakilan dari seluruh dunia. Leaders’ Summit on Climate membahas pentingnya negara-negara dunia mempertahankan batas kenaikan suhu global di 1,5°C agar tidak menimbulkan dampak kerusakan yang berbahaya.

Indonesia sebagai salah satu negara yang diundang juga hadir dalam pertemuan tersebut. Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi memaparkan upaya Indonesia dalam menangani perubahan iklim. Presiden Jokowi mengatakan Indonesia berhasil menghentikan konversi hutan alam dan lahan gambut seluas 66 juta hektare serta mampu menekan kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, Presiden Jokowi mengajak para pemimpin negara yang hadir untuk memajukan pembangunan hijau. Presiden Jokowi juga menyebutkan, Indonesia telah memutakhirkan NDC untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim.

Sayangnya, dalam pidatonya, tidak seperti beberapa negara lain yang menargetkan net zero emission di tahun yang spesifik, Presiden Jokowi tidak menyatakan secara eksplisit target net zero emission Indonesia yang akan dicapai.

2. Peringatan Hari Bumi

Peringatan Hari Bumi yang jatuh pada 22 April menuai sejumlah kritik terkait komitmen Pemerintah soal Perubahan Iklim. Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana menyebutkan bahwa pemerintah tak responsif dalam beberapa hal.

Salah satunya yaitu sampai saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih mengacu pada standar lama yang membatasi kenaikan suhu hingga 2 derajat Celcius. Padahal Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau panel iklim PBB telah merekomendasikan batas rata-rata kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celcius.

Dampak perubahan iklim ini, telah dirasakan masyarakat. Merujuk pada data-data yang dihimpun Badan Nasional penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim. Bencana tersebut antara lain seperti angin topan, siklon, dan bencana ekologis lainnya. BMKG sendiri mengonfirmasi salah satu faktor yang membuat fenomena siklon tropis terjadi masih di wilayah Indonesia dan berdampak pada bencana hidrometeorologi itu tak lepas dari pemanasan global.

Senada dengan Wahyu, Direktur Lingkungan Hidup Partai Solidaritas Indonesia, Mikhail Gorbachev Dom mengatakan bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini juga merupakan imbas dari kebijakan-kebijakan dan tingkah laku manusia dalam mengelola alam. Global Climate Risk Index 2021 sendiri menempatkan Indonesia dalam ranking 3 dunia untuk resiko bencana. Karena itu, menurut Gorba sangat tidak layak KLHK mengeluarkan target 2070 untuk Indonesia nol emisi dalam Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience Indonesia (LTS LCCR) Indonesia.

3. KTT ASEAN soal Myanmar

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang membahas krisis Myanmar digelar di Jakarta pada Sabtu (24/4) dan dihadiri oleh petinggi-petinggi negara ASEAN termasuk Pemimpin Junta Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing.

Dalam konferensi ini disepakati lima konsensus, yakni kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan, harus ada dialog konstruktif mencari solusi damai, ASEAN akan memfasilitasi mediasi, ASEAN akan memberi bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre, dan akan ada utusan khusus ASEAN ke Myanmar. Terkait pertemuan ini, pihak oposisi junta militer Myanmar bernama NUG, yang merupakan pemerintahan sipil sebagai tandingan dari pemerintahan junta militer menyebut bahwa KTT ASEAN sudah gagal. Menurut NUG, poin-poin perjanjian tadi berpihak pada junta militer yang justru sudah melakukan pelanggaran HAM.

KTT ini juga menjadi sorotan global maupun domestik lantaran dihadiri oleh pemimpin kudeta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing. Di Indonesia sendiri sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat sipil juga menolak kehadiran junta militer. Koalisi itu terdiri dari KontraS, Amnesty International Indonesia, FORUM ASIA, AJAR, Milk Tea Alliance Indonesia, Serikat Pengajar HAM, Human Rights Working Group, Migrant CARE, Asia Democracy Network, Kurawal Foundation, hingga SAFEnet. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid pun menganggap keputusan ASEAN mengundang Aung Hlaing akan menghalangi hubungan blok Asia Tenggara tersebut dengan rakyat Myanmar.

Related Article

Indonesia Kehilangan Kesempatan Memimpin Penyelamatan Iklim Global

Indonesia Kehilangan Kesempatan Memimpin Penyelamatan Iklim Global

[Jakarta, 23 April 2021] Indonesia sangat berpotensi memimpin negara-negara di dunia dalam menangani krisis iklim. Selain merupakan negara ketiga terbesar pemilik hutan hujan tropis di dunia setelah Brazil dan Kongo, Indonesia juga berhasil dalam menurunkan deforestasi hingga 75 persen di periode 2019-2020. “Capaian tersebut adalah wujud komitmen dan aksi nyata  bagi Indonesia dalam menangani krisis iklim dunia. Apalagi Pemerintah Indonesia juga telah menurunkan angka deforestasi hutan alam selama 4 tahun berturut-turut”. Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Pidato Presiden Joko Widodo pada Leaders Summit on Climate tanggal 22 April 2021. 

Namun sangat disayangkan, Pidato Presiden Joko Widodo pada forum Leaders Summit on Climate yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden tak menyiratkan hal tersebut. Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa moratorium izin baru di hutan alam dan lahan gambut telah mencakup 66 juta hektare yang mana lebih besar dari luas gabungan Inggris dan Norwegia. Namun, hanya dengan pencapaian itu saja belum cukup. Masih diperlukan upaya untuk memperkuat komitmen iklim di sektor Penggunaan Lahan dan Perubahan Tata Guna Lahan Kehutanan (LULUCF) tersebut. “Memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru dengan menambahkan 9,4 juta hektare hutan alam yang belum dilindungi dalam PIPPIB, PIAPS, serta di luar izin dan konsesi akan membantu Indonesia menekan kembali angka deforestasinya. Serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang terdepan dalam menangani krisis iklim dunia,” ungkap Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dalam dokumen LTS-LCCR 2050, Indonesia telah menargetkan di sektor kehutanan skenario paling ambisius (LCCP) terhadap laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu hektare per tahun dan di periode tahun 2031-2050 sebesar 99 ribu hektare per tahun. “Dengan skenario ini, Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum 2070, dengan syarat Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated NDC,” tambah Yosi Amelia.

Presiden Joko Widodo pada pidatonya juga menyebutkan mengenai target pemulihan mangrove seluas 620 ribu hektare yang memang patut diapresiasi. “Namun perlu adanya peningkatan target pemulihan gambut untuk membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Dalam Perpres BRGM, target pemulihan gambut hanya mencakup luasan area 1,2 juta hektare untuk periode 2021-2024 dari wilayah prioritas restorasi yang mencapai 2,6 juta hektare dari wilayah prioritas 2016-2020. Sayangnya, target tersebut hanya mencakup pemulihan ekosistem gambut yang berada di luar area izin dan konsesi. Sementara itu di sisi lain 14,2 juta hektare ekosistem gambut telah dibebani izin dan 99% ekosistem gambut Indonesia berada dalam status rusak,” ujar Yosi Amelia.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera merealisasikan target restorasi gambut yang telah ada dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 lalu tidak hanya pada ekosistem gambut yang berada di luar area izin/konsesi namun juga ekosistem gambut yang berada di dalam area izin/konsesi,” tambah Yosi Amelia. 

Presiden Joko Widodo juga menyampaikan terkait peluang dan rencana pengembangan biofuel di Indonesia. “Upaya penurunan emisi karbon sektor energi dengan menggunakan energi terbarukan biofuel harus dilakukan dengan hati-hati, karena jangan sampai upaya pengembangan biofuel ini mengorbankan hutan alam Indonesia dengan menggantikan hutan alam menjadi hutan tanaman energi atau memperluas perkebunan sawit guna memenuhi bahan baku biofuel. Pembukaan hutan dan lahan untuk biofuel akan berisiko meningkatkan deforestasi sehingga Indonesia akan gagal mencapai komitmen iklimnya serta mencapai net zero emission di tahun 2050,” ungkap Yosi Amelia.

Negara-negara peserta KTT telah menyampaikan komitmen yang lebih ambisius mengurangi emisi dalam upaya memerangi krisis iklim, termasuk negara Brasil yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia berkomitmen mencapai netralitas karbon pada tahun 2050. Namun, Indonesia sendiri belum berani menunjukkan komitmen yang ambisius untuk mencapai net zero emission sebelum tahun 2050. “Seharusnya Pertemuan Leaders Summit on Climate ini dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk memimpin negara-negara lain di dunia untuk mengatasi krisis iklim, serta menjadi momentum bagi Indonesia untuk menyampaikan pencapaian netral karbon (net zero emission) di tahun 2050 sebagaimana ditargetkan di dalam Persetujuan Paris,” tutup Nadia Hadad.[ ] 

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Surat Terbuka untuk Presiden Joko Widodo

Surat Terbuka untuk Presiden Joko Widodo

SURAT TERBUKA

Jakarta, 22 April 2021

Kepada
Bapak Ir. H. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta

Dengan hormat,

Pertama-tama, kami mengapresiasi niat dan upaya Bapak untuk menghadiri undangan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Leaders Summit on Climate 2021. Bapak Presiden yang terhormat, kami sangat berharap Indonesia mampu menjadi inspirasi dan contoh bagi negara-negara lain di dalam forum tersebut untuk menunjukkan komitmen dan keseriusan Indonesia dalam melakukan aksi adaptasi dan mitigasi iklim. Kami menghargai hal-hal positif yang sudah dicapai pada beberapa tahun terakhir seperti deforestasi Indonesia yang menurun dan adanya pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Kami percaya bahwa pemerintahan Bapak masih berniat memenuhi komitmen Paris.

Sebagai bagian dari Rakyat Indonesia yang berjuang bersama Bapak untuk mencegah bahaya krisis iklim terhadap kehidupan rakyat dan pembangunan bangsa, kami memohon kepada Bapak untuk menggunakan kesempatan ini guna menegaskan kembali kepemimpinan Indonesia dalam upaya global untuk mengatasi krisis iklim dengan:

  1. Memberikan pernyataan di forum ini bahwa Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050 atau bahkan 2045 sebagai cara memperingati sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa. Bapak Presiden yang baik, kita sudah berada di titik kritis dan target National Determined Contribution (NDC) kita saat ini masih akan membawa suhu bumi di 3-4˚ C. Sebagai negara tropis dan kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap ancaman krisis iklim. Hal ini tentunya akan berdampak pada risiko investasi dan juga kesejahteraan masyarakat. Kami percaya komitmen penurunan emisi yang lebih ambisius dan selaras dengan Perjanjian Paris dari kepemimpinan Bapak akan membuka lebih banyak peluang investasi dengan negara-negara G-7 ataupun negara lainnya yang hadir dalam forum tersebut mengingat posisi kontribusi kita yang sangat strategis terhadap pencegahan krisis iklim.
  2. Menegaskan bahwa Indonesia akan mempercepat proses transisi energi ke arah energi terbarukan. Bapak Presiden yang baik, kami percaya forum ini juga merupakan momen yang tepat untuk menyatakan bahwa Indonesia tidak ketinggalan tren sistem energi global – bahwa Indonesia akan mempercepat proses transisi energi ke arah energi terbarukan. Oleh karena itu, Indonesia harus segera melakukan moratorium PLTU Batubara baru yang berada pada rencana pembangunan sehingga tercipta ruang bagi energi terbarukan untuk berkembang di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, perubahan ini juga akan membantu Indonesia sehubungan dengan adanya kesepakatan antara AS dan Cina yang akan menyediakan dana hijau untuk membantu negara berkembang melakukan transisi energi. Dengan berbenah dalam sektor Environmental, Social, and Good Governance (ESG) maupun NDC, niscaya Indonesia akan menjadi pilihan utama penerima pendanaan dari skema kerja sama tersebut. 
  3. Memastikan agar Indonesia tidak terjebak dalam solusi turunan energi fosil. Bapak Presiden, kami sangat khawatir mengenai kebijakan “energi baru”, seperti nuklir, batubara tergaskan, dan batubara tercairkan yang sejatinya hanya merupakan solusi semu karena sumber tersebut akan habis sebelum Indonesia mencapai umur 100 atau 150 tahun. Kesemuan energi “baru” tersebut juga hanya mengalihkan Indonesia dari pengembangan energi terbarukan dalam pemenuhan komitmen iklim sekaligus penguatan ketangguhan masyarakat Indonesia dalam menghadapi dampak krisis iklim. Untuk mengundang investasi yang benar-benar membangun bangsa, dalam forum ini Bapak harus menunjukkan keseriusan Indonesia dalam memberikan ruang sepenuhnya bagi energi terbarukan serta dalam melakukan perbaikan tata kelola perkebunan sawit, sertifikasi berkelanjutan, dan memastikan moratorium sawit benar-benar dijalankan dan diteruskan. 
  4. Mengundang investasi global yang lebih keberlanjutan. Hal ini tentunya merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan ambisi iklimnya sekaligus menjadi pusat pertumbuhan ekonomi rendah karbon dunia. Oleh karena itu, kami mohon kepada Bapak Presiden untuk menggunakan kesempatan yang diberikan dalam forum ini sebaik-baiknya untuk mengundang investasi hijau ke Indonesia. Selain itu, forum ini juga kesempatan baik bagi Indonesia untuk menagih komitmen para investor yang berinvestasi di Indonesia agar mampu menggunakan sumber energi yang berasal dari 100% energi terbarukan untuk proses produksinya. Agar Indonesia lebih menarik bagi para investor berkelanjutan, Indonesia perlu menerapkan skema-skema disinsentif yang jelas dan konkrit terhadap pengembangan energi fosil, baik pada sektor pembangkitan listrik, transportasi, maupun industri, untuk menciptakan iklim usaha yang baik bagi energi terbarukan. 
  5. Menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk mengurangi deforestasi melalui perlindungan hutan alam secara menyeluruh. Bapak Presiden, sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang berjuang bersama Bapak dalam upaya menjaga hutan Indonesia, kami melihat bahwa komitmen di atas harus terus berlanjut pada tataran perubahan kebijakan. Penurunan angka deforestasi harus dipertahankan melalui penyelamatan hutan primer dan gambut – salah satunya dengan mengeluarkan kedua tutupan lahan tersebut dari wilayah perizinan dan memperkuat status perlindungannya melalui sebuah Peraturan Presiden. Langkah nyata ini penting untuk meningkatkan komitmen dari yang sebelumnya berbentuk moratorium izin hutan dan gambut menjadi produk hukum yang lebih kuat. Indonesia akan dapat tampil sebagai pemimpin Solusi Berbasis Alam (Nature-Based Solutions) apabila pemerintahan Bapak berkomitmen melindungi hutan alam tersisa secara menyeluruh – baik hutan alam primer maupun sekunder. Penyelamatan hutan alam yang berada di dalam konsesi kehutanan maupun perkebunan melalui inovasi kebijakan dan insentif REDD+ juga menjadi hal yang perlu dilakukan. Tidak kalah penting, Indonesia harus menjaga luas hutan mangrove tersisa dan meningkatkan rehabilitasi kawasan lindung mangrove sebagai solusi dalam mengurangi kerentanan masyarakat pesisir atas dampak krisis iklim.
  6. Menegaskan komitmen Indonesia untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut. Bapak Presiden yang terhormat, kami percaya bahwa rakyat Indonesia akan dapat terhindar dari bahaya kesehatan dan kerugian ekonomi yang sangat besar akibat kebakaran hutan dan lahan jika Bapak berkomitmen untuk melindungi dan merehabilitasi semua kawasan hidrologis gambut, melakukan penguatan kebijakan yang melindungi gambut, serta meningkatkan keseriusan penegakan hukum pada kejadian kebakaran hutan dan lahan secara transparan. 
  7. Memperhatikan masyarakat adat dan lokal yang mengelola sumber daya alam sebagai pemangku kepentingan kunci dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Bapak Presiden yang kami hormati, saat ini masyarakat adat dan lokal masih menghadapi ketidakpastian tenurial yang tinggi meskipun pemerintah Indonesia telah menerapkan inisiatif kebijakan untuk memenuhi hak-hak mereka seperti perhutanan sosial. Mempercepat pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat akan membantu Indonesia memenuhi bukan hanya amanat konstitusi untuk melindungi keamanan dan kehidupan rakyat Indonesia, tetapi juga kewajiban internasionalnya, termasuk Persetujuan Paris yang memandatkan perlindungan masyarakat adat.
  8. Membentuk Dewan Anak Muda di tingkat nasional sebagai wadah penyaluran untuk menyatukan gerakan anak muda dari lintas komunitas dan wilayah untuk menyalurkan aspirasi generasi muda dalam merencanakan masa depan yang lebih berkelanjutan. Menyambut bonus demografi, Indonesia memiliki peluang dan sumber daya manusia yang besar dari lingkup akademisi, startup, entrepreneur, komunitas dan gerakan yang diinisiasi oleh anak muda untuk dilibatkan dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan untuk Indonesia.

 

Bapak Presiden yang baik, demikian surat terbuka ini kami sampaikan untuk kepentingan masyarakat Indonesia dan juga keluarga yang Bapak cintai, yang sama-sama dihadapkan pada ancaman krisis iklim. Besar harapan kami Bapak Presiden mau menerima masukan yang disampaikan dalam surat ini. Kami percaya pembangunan berkelanjutan Indonesia membutuhkan komitmen dan kerjasama semua pihak.

Hormat kami,

Related Article

Open Letter Joe Biden

Open Letter Joe Biden

Open Letter

April 21, 2021 

The Honorable Joseph R. Biden 

President of the United States of America 

The White House 

Washington DC

Dear Mr. President, 

First, we would like to offer our sincere congratulations to you and to Vice President-elect Kamala Harris. We greatly appreciate your action on convening global leaders by inviting 40 world leaders to the Leaders Summit on Climate promptly after you took office. This has been such a difficult time for so many around the world to limit the planetary warming to 1.5 degrees Celsius in order to stave off the worst impacts of climate change and with your commitment to bring the United States back to the global race against time we believe you will be able to bring positive impacts to other global leaders to take more earnest actions against climate crisis which impacts we are already experiencing.  

Representing the other 270 million people of Indonesia, we offer you our gratitude for taking the time to pay attention to the status of Indonesia’s climate commitment. You are right, Indonesia is in a grave need to up its climate policy. Believing in your and the US power to spread positive impacts throughout the world, we are asking you to: 

1. Consistently be a role-model for sustainable development for the world. As a major economic country, the US is also the second largest contributor for global emissions. The US must enhance its own mitigation ambition and support vulnerable countries to adapt to climate crisis. It is undeniable that the US has a large investment value in Indonesia in both the private and public sectors. Therefore, we urge you to transform US foreign investment into green investments. US investment must rapidly shift from the fossil fuel industry to renewable energy. We also need you to encourage the implementation of policies on the use of 100% renewable energy in every investment made in Indonesia. Accordingly, Indonesia’s emissions from the energy sector will also be reduced. 

2. Proactively ask Indonesia to commit to achieve net zero emissions in 2050. According to scientists, Indonesia’s NDC target needs to be ramped up to achieve the 1.5 degree target. In addition, our government has not yet officially stated when Indonesia will achieve its net zero emissions target. If recent seminars and discussions that are held by our government are true, and the government is not willing to change its target, Indonesia will achieve its net zero emissions target by 2070. It is indubitably too late and the climate crisis will certainly win the race against time. During the Leaders Summit on Climate, we are asking you to support Indonesia’s President, Mr. Joko Widodo, to expedite Indonesia’s net zero emission target. 

3. Continuously increase the opportunities for green investments in Indonesia. The agreement between the US and China to provide green funds is a great stepping stone to help other countries in energy transition. Currently, Indonesia is facing obstacles to phase out from fossil fuel to renewable energy as 85% of our energy production is still generated from fossil fuels. The existence of green investment financial support will unquestionably encourage Indonesia to accelerate our transformation to renewable energy development and enhance the Environmental, Social, and Good Governance (ESG) sector and Indonesia’s NDC. 

4. Support sustainable development programs from the Land-Use Change and Forestry (LULUCF) sector by investing on conservation programs and through technology and knowledge transfer. Although we are grateful on your administration’s advice for Indonesia to try reducing emissions to 43% and 48% for 2030 outside the Land-Use Change and Forestry (LULUCF) sector, it is important to note that the LULUCF sector is still the biggest contributor for the entirety of Indonesia’s greenhouse gas emissions. Your support for Indonesia to achieve its climate commitment from the energy and LULUCF sector will definitely be welcomed. As important as it is to start transitioning to renewable energy, our entire ecosystem will also be saved from the dreadful future of the climate crisis if our government ensures zero deforestation of forests and peatland. Your support for Indonesia to save and rehabilitate its remaining natural forests, peatland, and mangrove will certainly contribute to creating more resilient communities against climate crisis. It is imperative, however, that your support in this sector is not used as an excuse to slow down transition in the energy sector in the US. 

5. Guarantee the survival of indigenous peoples and the sustainability of local resources through socially and environmentally responsible investments. We believe that US investments in Indonesia can have a positive impact and support the welfare of indigenous peoples and not take away the rights to manage local resources. 

We believe that now is the time for the US to go hand in hand with Indonesia in an equal partnership to transition to green investment and create a more sustainable development and more resilient communities, the first step of which is by stepping up US and Indonesia’s climate ambition. Quoting your statement in the Executive Order, “Together, we must listen to science and meet the moment.” Indeed, listening to science and meeting the moment requires global collaboration to stave off the worst impacts of the climate crisis and we believe that US timely leadership can help the world win the race against time.


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

A MASSIVE TRANSFORMATION IS NEEDED TO ACHIEVE NDC AND NET ZERO EMISSIONS

A MASSIVE TRANSFORMATION IS NEEDED TO ACHIEVE NDC AND NET ZERO EMISSIONS

[MadaniNews, Jakarta, 21/04/2021] Untuk mampu mencapai target komitmen iklim Indonesia atau Nationally Determined Contribution (NDC) dan net zero emisi Indonesia, maka transformasi besar-besaran merupakan keniscayaan. Pernyataan tersebut disampaikan Strategic Engagement Director Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam diskusi virtual Earth Day Forum yang mengangkat tema “Melestarikan Hutan untuk Mitigasi Perubahan Iklim” pada Rabu, 21 April 2021.

Diskusi virtual Earth Day Forum ini diadakan oleh Katadata yang membahas strategi dan upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan terkait program perhutanan sosial untuk mendukung upaya pemerintah dalam mitigasi perubahan iklim, termasuk ide pembuatan Kampung Iklim. 

Keberhasilan KKI WARSI dalam menerapkan program Perhutanan Sosial di Jambi untuk penyimpanan karbon bisa menjadi contoh sukses yang diharapkan mampu memberikan semangat bagi banyak daerah dengan luas tutupan hutan alam yang besar untuk lebih menjaga hutan. 

Di kesempatan yang sama, Nadia Hadad juga menyampaikan bahwa Program Kampung Iklim (Proklim) yang dikembangkan saat ini adalah contoh nyata bahwa menjaga hutan bukan hanya dapat melestarikan lingkungan tapi juga mampu meningkatkan perekonomian. “Yayasan Madani Berkelanjutan sangat mendukung kegiatan mitigasi perubahan iklim ini melalui Proklim, saat ini kami telah mendukung kegiatan ini di Desa Lampo, Donggala, Sulawesi Tengah dan juga di Nagari Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang bekerjasama dengan Komunitas Warsi”, ujar Nadia.

Diskusi yang membahas upaya mitigasi perubahan iklim ini juga dihadiri oleh Djoko Hendratto selaku Direktur Utama BPDLH Kementerian Keuangan, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam, dan Direktur KKI WARSI, Rudy Syaf. 

Direktur KKI WARSI, Rudy Syaf menyebut bahwa perhutanan sosial benar-benar merupakan program yang mampu menjaga hutan. Rudy menegaskan bahwa pada saat masyarakat diberikan hak dan akses untuk mengelola hutan, maka disaat yang bersamaan hutan semakin terlindungi.  “Setelah dapat izin pengelolaan hutan desa, dari 2013 sampai sekarang yang dulunya masih ada deforestasi sekarang zero deforestasi”, ujar Rudy.

Sementara itu, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam mengatakan bahwa pemerintah sudah memiliki fokus terkait masalah lingkungan dan perubahan iklim sebagaimana yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Menurutnya, pemerintah telah menyusun prioritas nasional terkait perubahan iklim, lingkungan hidup dan ketahanan nasional. 

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, pemerintah memprioritaskan ketiga persoalan ini yakni perubahan iklim, lingkungan hidup, dan ketahanan nasional”, ujar. Perwujudan dari komitmen pemerintah tersebut menurut Medrizal telah dimanifestasikan melalui pembangunan rendah karbon. 

Di sisi lain, masalah pendanaan menjadi faktor penting untuk melakukan sejumlah upaya mitigasi perubahan iklim. Direktur Utama BPDLH, Kementerian Keuangan, Djoko Hendratto mengatakan dalam mengukur efektivitas penggunaan dana untuk pengendalian perubahan iklim, BPDLH memiliki beberapa poin penting, yakni, jika dana bersumber dari APBN, maka poin ketepatan sasaran adalah hal utama. Sedangkan bila dana bersumber dari pendonor sudah pasti ada kesepakatan-kesepakatan tentang target dan ukurannya menerunkan emisinya seperti apa dan disetujui Kementerian/Lembaga (K/L) terkait.

Dapatkan materi narasumber dari diskusi virtual Earth Day Forum yang mengangkat tema “Melestarikan Hutan untuk Mitigasi Perubahan Iklim” dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES, FROM CABINET RESHUFFLE TO COP26

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES, FROM CABINET RESHUFFLE TO COP26

Yayasan Madani Berkelanjutan menyajikan rangkuman beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi politik pada (12 April 2021 – 19 April 2021), sebagai berikut:

1. Penggabungan Kementerian dan Kementerian Baru serta Isu Reshuffle Kabinet

Pemerintah menghapus Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan menggabungkannya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek). Penggabungan tersebut telah disetujui oleh DPR melalui Rapat Paripurna yang digelar Jumat (9/4/2021). Di saat yang sama, pemerintah juga membentuk Kementerian Investasi yang tidak lepas dari keberadaan UU Cipta Kerja.

Lantaran ada perubahan struktur kementerian, beberapa nama Menteri dirumorkan akan direshuffle. Nama-nama Menteri yang dirumorkan akan direshuffle seperti Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, hingga Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro.

2. Koalisi Baru Partai Islam

Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa menggelar pertemuan pada Rabu (14/4/2021). Pertemuan tersebut merupakan penjajakan awal untuk pembentukan poros tengah koalisi Partai Islam pada 2024. Akan tetapi, wacana tersebut ditolak oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Menurut Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, wacana ini kontraproduktif dengan upaya rekonsiliasi seluruh elemen masyarakat yang cukup terbelah saat Pemilihan Presiden 2019.

Menurut pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Siti Zuhro, koalisi ini bisa menjadi kekuatan politik yang baru dan bisa mengubah konstruksi politik di Indonesia dengan syarat para elit politik partai-partai tersebut harus memiliki perspektif yang sama dalam menyatukan kekuatan parpol Islam. Di sisi lain, menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari koalisi ini akan menemui tantangan dalam menyatukan pandangan pada satu platform lantaran karakter akar rumput pendukung yang berbeda.

3. Harga CPO Meroket

Harga CPO naik tajam di pekan ini, bahkan diramal masih akan tetap tinggi hingga Juni nanti. Data dari dari Refinitiv menunjukkan bahwa harga CPO di bursa derivatif Malaysia untuk kontrak Juli melesat 4,56% ke 3.716 Ringgit per ton sepanjang pekan ini. 

Menurut Menteri Perdagangan M. Lutfi, tingginya harga CPO hingga Juni nanti lantaran ada gangguan dari panen kacang kedelai dunia yang menyebabkan produksi minyak nabati rendah sehingga permintaan minyak sawit menjadi tinggi. Penyebab lain meningkatnya harga CPO menurut Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono adalah produksi biodiesel yang meningkat terutama lantaran komitmen penggunaan biodiesel oleh beberapa negara seperti Indonesia, Amerika Serikat, Brasil, dan Jerman. Oil World memperkirakan produksi biodiesel dunia pada 2021 akan mencapai 47,5 juta ton atau 2,2 juta ton lebih tinggi dari 2020 dan 1,5 juta ton lebih tinggi dari 2019.

 

4. AS-China Sepakat Kerja Sama Perangi Perubahan Iklim

 

Amerika Serikat dan China bersepakat untuk bekerja sama di bidang perubahan iklim setelah kedua utusan negara yakni Xie Zhenhua dan John Kerry mengadakan pertemuan dua hari pada 15-16 April 2021 di Shanghai. Kedua negara tersebut menyatakan keyakinannya untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris. Kesepakatan itu menggarisbawahi perlunya tindakan pencegahan perubahan iklim untuk jangka pendek. Selain itu, Amerika Serikat dan China juga akan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim pada 22-23 April 2021. Diketahui kesepakatan ini muncul pasca adanya ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China lantaran masalah Laut China Selatan, ketegangan atas hak asasi manusia, serta masalah perdagangan.

 

5. Indonesia Siap Berperan di KTT Perubahan Iklim COP 26

 

Pemerintah Indonesia menyatakan kesiapannya berperan sebagai co-chair mendampingi Inggris yang berperan sebagai presiden pada sidang COP26 (Conference to the Parties ke-26) KTT Perubahan Iklim. Hal itu dinyatakan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat memberi sambutan pada pertemuan Forest, Agriculture and Commodity Trade (FACT) Dialogue yang dihadiri oleh 26 negara pada Kamis (15/4/2021). 

 

Menurut Airlangga, keinginan untuk ikut memimpin proses dialog perubahan iklim merupakan salah satu komitmen Indonesia untuk turut aktif secara global dalam menghentikan dampak buruk perubahan iklim. Dia menuturkan, Indonesia telah mengambil langkah konkret sebagai negara pertama yang mengimplementasikan Voluntary Partnership Agreement (VPA) on Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) bersama Uni Eropa dan Inggris. Selain itu, pada 2020, menurut Airlangga, Indonesia juga telah berhasil menurunkan 91,84 persen kebakaran lahan dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk itu, diperlukan kesamaan informasi, pengetahuan, dan persepsi dari seluruh negara agar tiadanya tindakan yang bersifat diskriminasi terhadap upaya mewujudkan produksi dan perdagangan yang berkelanjutan.

Related Article

INDONESIA'S COMMITMENT TO REDUCE GREENHOUSE GAS EMISSIONS THROUGH CLEAN ENERGY IMPLEMENTATION

INDONESIA'S COMMITMENT TO REDUCE GREENHOUSE GAS EMISSIONS THROUGH CLEAN ENERGY IMPLEMENTATION

Dalam Dialog Iklim Tingkat Tinggi Tri Hita Karana yang bertajuk Transisi Energi Bersih Indonesia dan Ambisi Iklim untuk Emisi Nol Bersih, yang digelar secara virtual pada 15 April 2021, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui penerapan energi bersih.

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen dengan menggunakan sumber daya dalam negeri dan hingga 41 persen dengan bantuan internasional, termasuk keuangan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas dengan skenario bisnis seperti biasa pada tahun 2030. Luhut menyampaikan bahwa pemerintah berencana mengurangi 198,27 juta ton pada tahun 2025 dan hingga 314 juta ton pada tahun 2030. Hingga saat ini gugus tugas lintas Kemenko Marves sedang menyiapkan peta jalan Nationally Determined Contributions (NDC) atau kontribusi yang ditentukan secara nasional.

Sektor energi tercatat menyumbang 11 dari 29 persen dalam NDC tersebut. Sektor energi berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sekitar 314 juta ton CO2 hingga 398 juta ton CO2 atau sekitar 38 persen pada tahun 2030 melalui energi terbarukan pengembangan, efisiensi energi, dan konservasi energi. Saat ini, pemerintah tengah merancang bauran energi nasional untuk mencapai 23 persen dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada 2025 dan 31 persen pada 2050.

Strategi energi terbarukan meliputi panas bumi, tenaga air, solar PV, bioenergi, dan angin. Dan berkomitmen untuk mempercepat pengembangan proyek energi terbarukan di Indonesia dan membuka calon investor untuk berpartisipasi dalam proyek energi terbarukan di masa depan. Pemerintah akan melakukan segala upaya untuk mempercepat kemajuan, termasuk menjajaki kemungkinan mencapai Emisi Nol Bersih lebih awal dari yang direncanakan. Kawasan Bali, Danau Toba, dan kawasan ekonomi khusus, dapat menjadi percontohan upaya percepatan tersebut.

Dapatkan Pemberitaan Media edisi 12-18 April 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Madani’s Insight: Peraturan Presiden No. 120 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove dan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Madani’s Insight: Peraturan Presiden No. 120 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove dan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Pada 22 Desember 2020, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden No. 120 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menyusul berakhirnya mandat Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 31 Desember 2020.

Keluarnya Perpres ini memberi harapan baru bagi Indonesia untuk mencapai komitmen iklimnya. Sebelumnya, UN Environment Programme telah merilis laporan senjang emisi dan menyatakan bahwa proyeksi keberhasilan pencapaian target NDC Indonesia pada 2030 belum dapat disimpulkan atau inkonklusif.

Sebagai masukan terhadap upaya restorasi gambut dan mangrove yang akan dijalankan pada periode 2021-2024, Yayasan Madani Berkelanjutan berupaya menganalisis target restorasi gambut dan mangrove BRGM dari sudut pandang pencapaian komitmen iklim Indonesia serta mengulas berbagai pembelajaran dari pelaksanaan restorasi gambut pada periode 2016-2020.

Dalam rilis Madani’s Insight kali ini terdapat tiga bagian, bagian pertama mengulas kondisi gambut Indonesia terkini, mulai dari status kerusakan ekosistem gambut, jejak terbakar 2019, area prioritas restorasi 2016-2020, dan target restorasi 2019 yang kemudian diikuti dengan telisik ekosistem gambut di lima jenis izin/konsesi (migas, minerba, IUPHHK HT, IUPHHK HA, perkebunan sawit) serta di area Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS), dan wilayah adat. 

Bagian kedua mengulas target restorasi gambut dan mangrove yang diberikan kepada BRGM dari sudut pandang pencapaian komitmen iklim Indonesia. Bagian ketiga mengulas berbagai pembelajaran dan tantangan dalam pelaksanaan restorasi gambut pada periode 2016-2020 dan menyandingkannya dengan struktur, tugas, fungsi, dan target BRGM sesuai Peraturan Presiden No. 120 Tahun 2020.  

Dapatkan Madani’s Insight: Peraturan Presiden No. 120 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove dan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

en_USEN_US