Madani

Tentang Kami

Moratorium Sawit Segera Terbit? Berikut Poin-poin Draf Inpresnya

Moratorium Sawit Segera Terbit? Berikut Poin-poin Draf Inpresnya

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

Setelah hampir dua tahun—sejak April 2016– rencana pemerintah keluarkan aturan tunda sementara (moratorium) izin sawit digodok, tampaknya bakal keluar dalam waktu dekat ini. Dalam rancangan kebijakan itu dikatakan, Instruksi Presiden soal penundaan perizinan kebun sawit paling lama tiga tahun. Berbagai kalangan berikan tanggapan.

Dari draf dokumen yang diperoleh Mongabay, aturan berjudul Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit ini sudah disetujui dan ditandatangani Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian per 22 Desember 2017. Sebelumnya, draf ini sudah melalui Pramono Anung, Sekretaris Kabinet pada 6 November 2017.

Inpres ini dengan tujuan kepada kementerian (lembaga), hingga kepala daerah (gubernur, bupati/walikota). Adapun kementerian dan lembaga itu antara lain Menko Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Menteri Dalam Negeri.

Penundaan dan evaluasi perkebunan sawit serta peningkatan produktivitas kebun sawit ada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian. Untuk pelaksanaan, akan ada tim kerja bentukan Menko Perekonomian.

”Inti arah dari Bapak Presiden adalah perizinan lahan sawit, hilirisasi dan peremajaan tanaman sawit,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di sela Rapat Koordinasi Nasional Hutan Adat di Jakarta, Selasa (23/1/18).

Inpres ini, katanya, menitikberatkan kesejahteraan rakyat dan pembenahan perizinan yang ada. Siti mengatakan, sekitar 4 juta hektar perkebunan sawit milik rakyat memiliki produktivitas rendah.

”Sehabis inpres keluar, tak ada izin baru. Izin-izin yang sudah keluar atau sedang proses dari KLHK untuk pelepasan dilakukan dalam kaitan sudah jadi HGU (hak guna usaha-red) atau belum. Setelah jadi HGU, seperti apa, juga akan dievaluasi,” katanya.

Soal evaluasi izin, katanya, antara lain terhadap usaha-usaha sawit yang sudah berizin tetapi belum ada kegiatan, perubahan penggunaan tanah dan perubahan komoditas dari pengajuan awal.

Kelengkapan perizinan yang sedang berproses pun akan ditelaah, baik terkait tata ruang, sampai budidaya. “Apakah hutan yang diajukan bisa dikonversi? Termasuk perizinan yang sama sekali belum ada usulan izin pelepasan kawasan hutan. ”Itu dipertimbangkan, diperketat dan hati-hati.”

Begitu juga terhadap izin sedang proses apabila masih mempunyai hutan produktif, maka hutan tidak akan dilepaskan.

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik substansi draf inpres ini, meski ada beberapa catatan. Menurut dia, aturan ini memberikan bentuk baru pengelolaan dan perbaikan demi kelestarian ekologi dengan mengembalikan kawasan hutan yang terlanjur jadi perkebunan sawit llegal.

Teguh berharap, temuan dari evaluasi dan pengawasan terhadap perkebunan sawit ini dapat ditindaklanjuti melalui penegakan hukum.

Selain itu, katanya, dalam proses verifikasi perlu memperhatikan indikator sosial, misal, soal free, prior and informed consent (FPIC), konflik masyarakat dan konsultasi publik atau penolakan warga.

Namun, organisasi masyarakat sipil menggarisbawahi soal periode masa moratorium. ”Kami mendesak inpres ini seharusnya berbasis kriteria dan indikator capaian, bukan berbatas waktu,” kata Mardi Minangsari, pegiat Kaoem Telapak.

Indikator capaian yang dimaksud Mardi, seperti terkait tata kelola berkelanjutan, kepastian hukum, penurunan emisi dan lain-lain.

Siti beranggapan, kalau evaluasi berjalan lancar, waktu tiga tahun sudah cukup untuk moratorium. ”Saya malah bilang dua tahun cukup, moratorium tidak ada izin baru, jika evaluasi menyebutkan sawit bagus, peremajaan oke dan lain-lain,” katanya.

Greenpeace Indonesia juga menyambut baik Inpres moratorium izin perkebunan sawit ini. Meskipun begitu, dalam siaran pers, Greenpeace menekankan dua hal penting perlu ada dalam kebijakan ini.

Pertama, harus ada evaluasi izin yang sudah keluar. Ratri Kusumohartono, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, seharusnya pemerintah evaluasi bukan hanya perizinan yang berproses, juga yang sudah diberikan.

“Izin yang bermasalah harus dicabut, dan kawasan hutan harus dilindungi,” katanya.

Evaluasi izin, katanya, seharusnya bisa membantu pemerintah dalam merealisasikan kebijakan Satu Peta. Satu Peta, kata Ratri, sangat penting sebagai efek gentar mencegah pembukaan hutan dan lahan gambut ilegal.

Dengan Satu Peta, titik api yang kerap di wilayah perkebunan sawit, bisa mudah diketahui. Pemerintahpun, katanya, bisa segera menegur dan memberikan sanksi bagi pelanggar aturan.

Kedua, inpres seharusnya mengatur tak hanya perizinan perkebunan di kawasan hutan, juga areal penggunaan lain (APL), termasuk kawasan pangan. “Ini penting karena makin marak kawasan pangan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.”

Berbagai penelitian, katanya, menyebutkan, beberapa tahun belakangan makin banyak lahan sawah jadi perkebunan sawit terutama di Sumatera dan Kalimantan Dia contohkan, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Dalam periode 2006-2014, konversi lahan sawah jadi perkebunan sawit mencapai 15.616 hektar. Awalnya, perubahan itu terjadi seiring program satu juta hektar lahan sawit tahun 2000.

Harus transparan

Mengenai tim kerja untuk pelaksanaan penundaan, dan evaluasi izin kebun sawit, Teguh memberikan masukan komposisi tim. ”Kita berharap tim kerja harus independen dan perwakilan masyarakat sipil masuk di dalamnya.”

Terpenting lagi, katanya, membangun sistem kerja transparan mulai dari evaluasi, rekomendasi hingga tindak lanjut penegakan hukum.

Kemenko, katanya, juga perlu menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sebelumnya menginisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam pada 2015. Temuan-temuan KPK pun seharusnya bisa menjadi dasar dalam evaluasi dan verifikasi perizinan sawit.

”Moratorium ini harus melacak usulan pelepasan kawasan hutan oleh perusahaan sawit yang tak memilki HGU atas nama perhutanan sosial dan reforma agraria, sebagai salah satu modus.”

Dalam draf inpres itu tim kerja bertugas verifikasi data pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit, peta izin usaha perkebunan atau surat tanda daftar usaha perkebunan, izin lokasi dan HGU, serta sinkronisasi pelaksanaan kebijakan Satu Peta.

Tim juga memiliki kewenangan rekomendasi kepada menteri, gurbernur, bupati/walikota terkait penetapan kembali areal dari kawasan hutan yang telah pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan. Juga, penetapan tanah terlantar dan penghentian proses penerbitan atau pembatalan HGU dan langkah-langkah hukum atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Rekomendasi tim ini, berdasarkan hasil verifikasi data dan evaluasi dari setiap kementerian dan lembaga.

Ada pengecualian

Sementara itu, KLHK memiliki tugas untuk penundaan pelepasan ataupun tukar menukar kawasan hutan untuk sawit, memverifikasi dan mengevaluasi data pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan pada perkebunan sawit yang telah terbit. Juga menindaklanjuti rekomendasi tim kerja soal penetapan kembali areal dari kawasan hutan yang telah pelepasan atau tukar menukar dan melaksanakan langkah hukum.

Teguh mengatakan, ada jebakan dalam moratorium ini, terkait pengecualian penundaan pelepasan ataupun tukar menukar bagi permohonan pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang telah ditanami dan diproses. Adapun itu berada dalam ketentuan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 104 /2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

”Pasal pengecualian ini seharusnya dihapus dan tak diberikan di awal tapi ditentukan setelah evaluasi dan verifikasi. Pasal ini jadi penawar dalam moratorium.” Untuk Menteri Pertanian, bertugas menyusun dan verifikasi data serta peta izin usaha perkebunan sawit dan pendaftaran surat tanda daftar usaha perkebunan sawit. Lalu, evaluasi proses pemberian izin dan pelaksanaan kewajiban perusahaan perkebunan yang sudah mengantongi izin.

Mentan wajib meningkatkan pembinaan kelembagaan petani sawit guna optimalisasi dan intensifikasi pemanfaatan lahan untuk produktivitas sawit. Mentan juga bertugas memastikans setiap perkebunan sawit menerapkan standar wajib sawit berkelanjutan (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO).

Sedangkan, poin penting tugas Menteri ATR/BPN adalah menghentikan dan pembatalan HGU dan perlu percepatan penerbitan hak tanah kepada masyarakat–dalam pelaksanaan 20% alokasi buat warga dari luas HGU kebun sawit.

Untuk tugas Mendagri, melakukan pembinaan dan pengawasan kepada gubernur dan bupati/walikota. Sedangkan, tugas kepada kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) agar lebih tegas memoratorium dan pengumpulan data, evaluasi dan verifikasi ke lapangan.

Buat Kepala BKPM, mendapat instruksi perlu penundaan permohonan penanaman modal baru untuk perkebunan sawit atau perluasan perkebunan. Tugas dalam moratorium dan evaluasi perizinan dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit lintas kementerian dan lembaga di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Menko wajib melaporkan pelaksanaan inpres kepada presiden setiap enam bulan atau sewaktu-waktu kalau diperlukan.

Sumber: Mongabay

Related Article

Indikator Capaian Kembali Didorong

Indikator Capaian Kembali Didorong

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN – Hamparan perkebunan kelapa sawit di kawasan Sei Kijang, Kabupaten Palalawan, Riau.

JAKARTA, KOMPAS —Sejumlah lembaga masyarakat sipil memberikan catatan pada isi draf instruksi presiden moratorium sawit. Mereka mendorong agar moratorium dilakukan berdasarkan indikator capaian, bukan waktu.

Hal itu agar tujuan instruksi presiden (inpres) untuk menertibkan kebun sawit di areal hutan dan membenahi tata kelola perkebunan serta produktivitasnya tercapai. Jika mengandalkan batasan waktu, itu tak tuntas menyelesaikan soal sawit di kawasan hutan yang berlangsung lama.

”Kami mendesak pelaksanaan inpres ini berbasis kriteria dan indikator capaian tertentu, bukan batas waktu,” kata Mardi Minangsari, aktivis Kaoem Telapak, Selasa (23/1), di Jakarta.

Dalam draf Inpres tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang disetujui Menteri Koordinator Perekonomian, penerapan moratorium tiga tahun. Jeda waktu itu tak cukup menuntaskan tata kelola kebun sawit yang semrawut.

Apalagi, inpres diharapkan meningkatkan produktivitas kebun sawit. Di sisi lain, indikator capaian bisa memakai peningkatan produktivitas sawit.

Indikator selanjutnya adalah tak ada lagi tumpang tindih lahan sawit di areal hutan dan peruntukan lain. Itu termasuk kewajiban perkebunan sawit untuk membagi 20 persen dari hak guna usaha-nya bagi perkebunan masyarakat.

Franky Yafet Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka, mengingatkan agar inpres menyentuh masalah sosial di masyarakat. ”Harus bisa mengungkap apakah pembangunan kebun itu ada konsultasi publik ataukah ada penolakan warga,” ujarnya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, inpres ini memberikan tugas kepadanya untuk mengevaluasi izin pelepasan areal hutan yang diterbitkan KLHK. Tujuannya agar pelepasan sesuai peruntukan. ”Evaluasi, misalnya, sudah ada izin, tapi belum ada kegiatan, berubah penggunaan tanahnya, dan perubahan komoditas dari pengajuan,” katanya.

Evaluasi ini juga membuka potensi izin pelepasan itu dikoreksi karena hutan terbukti produktif. Contohnya, hasil evaluasi KLHK di Papua dan Papua Barat, ada izin pelepasan sejak 5-10 tahun lalu, tapi penanamannya rendah (15-20 persen) dan kondisi tutupan hutan lebat. ”Hal ini akan kita koreksi dan hutan lebatnya harus jadi hutan produksi. Hutan ini bisa jadi area perhutanan sosial,” ujarnya. (ICH)

Sumber: Kompas

Related Article

INPRES Moratorium Disiapkan

INPRES Moratorium Disiapkan

Rancangan Instruksi Presiden Moratorium Sawit tinggal menunggu tanda tangan presiden. Semangat inpres ini untuk menertibkan perkebunan kelapa sawit, terutama yang berada di kawasan hutan.

Jakarta, Kompas Janji Presiden Joko Widodo untuk menghentikan sementara perizinan perkebunan sawit pada April 2016 siap direalisasikan melalui instruksi presiden. Regulasi internal pemerintah kepada menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota ini dalam waktu dekat diajukan ke Istana.

Berdasarkan data yang diperoleh Kompas, dalam draf per 22 Desember 2017 yang ditandatangani Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, rancangan instruksi presiden itu berjudul Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Isinya memberi perintah Menko Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Dalam Negeri, gubernur, dan bupati/wali kota untuk menjalankan sejumlah tugas dan kewenangan.

Asisten Deputi Tata Kelola Hutan Kemenko Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo, Senin (22/1), di Jakarta, mengatakan, secara prinsip isi rancangan inpres ini telah disetujui Menko Perekonomian Darmin Nasution. ”Mudah-mudahan dalam waktu dekat sampai ke Presiden,” katanya.

Ia mengatakan, semangat dalam inpres tersebut adalah menertibkan perkebunan kelapa sawit, terutama yang berada dalam kawasan hutan. Berdasarkan data KLHK, sekitar 1,6 juta hektar perkebunan sawit di kawasan hutan belum mengantongi izin pelepasan kawasan hutan.

Moratorium sawit ini akan memperkuat Inpres Penundaan Pemberian Izin Baru di Kawasan Hutan Primer dan Gambut yang dijalankan sejak 2011.

Iklim investasi
Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono mengatakan akan taat pada setiap kebijakan pemerintah. Hanya saja, ia berharap pemerintah tetap menjaga iklim investasi agar tidak terhambat aturan-aturan baru.

Ia pun berharap Inpres Moratorium Sawit ini bisa menyelesaikan ketelanjuran historis perkebunan-perkebunan sawit. Ia mencontohkan perubahan kebijakan dan regulasi yang tumpang tindih membuat izin hak guna usaha (HGU) sawit di banyak perkebunan di Kalteng dinyatakan bermasalah. Padahal, katanya, perkebunan mendapatkan HGU sebelum area itu ditetapkan sebagai kawasan hutan.

”Penyelesaian ketelanjuran jangan sampai mempersulit seperti misalnya diminta mencari lahan pengganti,” katanya.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya mengapresiasi informasi terbaru moratorium sawit ini. Inpres ini antara lain membuka ruang pengembalian kawasan hutan yang telah berbentuk perkebunan sawit tanpa mengantongi prosedur jelas.

Selain itu, katanya, rancangan inpres memberikan perintah untuk mengevaluasi izin HGU ataupun izin pelepasan kawasan hutan di masa lalu. Langkah ini diharapkan bisa mengurai tuntas serta mendapatkan solusi ataupun penegakan hukum atas berbagai pelanggaran.

Namun, Teguh memberi catatan, antara lain, terkait amanat pembentukan Tim Kerja oleh Menko Perekonomian. Tim Kerja yang memiliki tugas vital di antaranya memverifikasi data pelepasan, peta izin perkebunan, HGU, sinkronisasi Satu Peta, dan memberi rekomendasi kepada menteri/gubernur ini tak jelas kriterianya. Ia berharap Tim Kerja itu juga diisi perwakilan seperti masyarakat sipil ataupun pakar yang independen. (ICH)

Sumber: Kompas

Related Article

Presiden Segera Keluarkan Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit

Presiden Segera Keluarkan Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit

Ilustrasi lahan perkebunan sawit di Riau dilihat dari udara. (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta – Presiden Joko Widodo bakal segera menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara atau moratorium perizinan perkebunan sawit.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, Inpres itu mengatur kebijakan moratorium yag akan diberlakukan selama tiga tahun. Selama masa itu, tidak boleh ada izin baru perkebunan kelapa sawit, atau penambahan luas lahan perkebunan kelapa sawit.

Siti Nurbaya mengatakan saat ini fokus pemerintah adalah meningkatkan produktivitas sawit rakyat, salah satunya dengan melakukan peremajaan.

“Di dalam Instruksi Presiden itu yang kepada menteri LHK, pertama, karena sudah ada 13 juta hektar hutan sawit dan yang lebih empat jutaan hektar yang punya rakyat, produktivitasnya masih rendah. Karena itu jangan dulu ada izin baru. Jadi nanti, saat Inpres keluar, nggak boleh ada izin baru,” kata Siti di Jakarta, Selasa (23/1/2018).

Siti Nurbaya mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup juga diinstruksikan untuk mengevaluasi perizinan sawit yang sedang berjalan. Sementara, izin yang sudah terbit tidak akan dievaluasi.

“Kalau yang sudah keluar izinnya, apanya yang dievaluasi?” kata Siti Nurbaya.

Menurut Siti, di dalam Inpres juga memuat tentang pembentukan tim kerja yang akan dipimpin Kementerian Koordinator Perekonomian. Tim tersebut berisi sejumlah pihak terkait, namun ia enggan merinci pihak mana saja yang akan dilibatkan.

Pada Mei 2017 lalu, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi yang menyerukan penghentian sawit dan biodiesel berbasis sawit karena mengakibatkan masalah lingkungan, korupsi, HAM dan perdagangan anak.

Editor: Agus Luqman

Sumber: KBR

Related Article

Dua Tahun Memulihkan Gambut Klaim Keberhasilan Merestorasi 1,2 juta Hektar Gambut Tidak Terbukti

Dua Tahun Memulihkan Gambut Klaim Keberhasilan Merestorasi 1,2 juta Hektar Gambut Tidak Terbukti

Jakarta, 21 Januari 2018. Upaya pemulihan ekosistem gambut telah memasuki tahun kedua, merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang Pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) dengan target restorasi lahan gambut seluas 2 juta hektar dalam jangka waktu 5 tahun. Pemerintah melalui BRG mengklaim hingga akhir tahun 2017, lahan gambut seluas 1,2 juta hektar telah dipulihkan. Madani mengapresiasi upaya yang telah dilakukan oleh BRG selama ini, termasuk beberapa agenda lain untuk mendukung agenda restorasi seperti ketahanan pangan melalui program Desa Peduli Gambut, pariwisata dan budidaya tanaman untuk bahan bakar alternatif. Namun sangat disayangkan berbagai capaian yang diungkap BRG ke ruang publik sulit untuk diverifikasi kebenarannya.

Publik dan organisasi masyarakat sipil sangat menaruh perhatian pada keberhasilan upaya pemulihan ekosistem gambut, namun di sisi lain masih sulit untuk mengetahui secara pasti di mana lokasi restorasi, berikut informasi data pendukung lainnya yang dibutuhkan dalam format yang sesuai. Sehingga ownership terhadap komitmen pemulihan eksoistem gambut belum terbangun hingga di tahun Kedua ini. Yayasan Madani Berkelanjutan mensinyalir bahwa informasi dan data selama ini hanya dikuasi sepihak oleh pelaksana proyek. Hal tersebut terungkap dalam banyak pertemuan yang dilakukan dengan organisasi masyarakat sipil dan perwakilan masyarakat gambut di tujuh propinsi prioritas restorasi gambut saat mendorong inisiatif pemantau independen kinerja restorasi gambut www.pantaugambut.id bersama dengan 19 organisasi masyarakat sipil lainnya.

Yayasan Madani Berkelanjutan khawatir jika situasi tersebut terus berlanjut maka target yang telah ditetapkan oleh presiden sulit untuk dicapai dan Indonesia berpotensi kembali mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan (Bencana Kabut Asap). Sebagaimana yang terjadi di penghujung tahun 2015 dan telah menimbulkan banyak korban serta merugikan negara hingga 220 triliun rupiah.

Di tahun 2016 dalam rangka mendorong percepatan pencapaian target restorasi, BRG telah mengidentifikasi sembilan peraturan yang dibutuhkan untuk mencapai target restorasi akan tetapi belum terlihat ada upaya yang dilakukan hingga tahun kedua ini dalam rangka mendorong terbitnya kebijakan yang dibutuhkan tersebut. Sebaliknya yang terjadi adalah berbagai aksi pelemahan kebijakan gambut, baik yang dilakukan oleh beberapa pimpinan daerah maupun pengusaha.

Yayasan Madani menyambut baik dan mengapresiasi upaya kerja keras Pemerintah untuk perlindungan dan pemulihan ekosistem gambut. Presiden perlu mengingat bahwa keberhasilan pemerintah Indonesia dalam memulihkan eksosistem gambut sangat bergantung pada integrasi program, kebijakan dan dukungan dari K/L terkait. Perlindungan dan pemulihan ekosistem gambut bukanlah kewajiban BRG semata. Sebagaimana dikutip dalam platform pantaugambut.id, terdapat enam komitmen lain dengan tujuan yang sama. Untuk itu kami bersama-sama dengan jejaring Pantau Gambut akan terus mendorong dan memantau kinerja restorasi bersama masyarakat agar program dapat berjalan tepat sasaran.

*** Narahubung:

  1. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya <teguh.surya@madaniberkelanjutan.id>, +62 819-1519-1979
    </teguh.surya@madaniberkelanjutan.id>
  2. Nadia Hadad, Strategic Engagement Director Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad <nadia.hadad@madaniberkelanjutan.id>, +62 811-132-081
    </nadia.hadad@madaniberkelanjutan.id>

Catatan untuk Editor;

  1. Pantau Gambut “www.pantaugambut.id” adalah media daring (online) yang menggabungkan teknologi, kolaborasi data, dan jaringan masyarakat untuk memberikan informasi bebas biaya seputar restorasi lahan gambut di Indonesia. Inisiatif Pantau Gambut bersandar pada kemitraan yang terus berkembang antara organisasi masyarakat sipil dan saat ini memiliki jejaring pemantau di tujuh propinsi diantaranya; Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Papua, dan Papua Barat, dengan keanggotaan sebanyak 19 organisasi lingkungan.
  2. Sembilan peraturan yang telah di identifikasi BRG untuk mendorong percepatan restorasi gambut, di antaranya: Peraturan yang mengizinkan penanaman modal pada lahan gambut eks-budidaya yang telah diubah menjadi lahan gambut perlindungan di bawah skema restorasi ekosistem atau pengelolaan oleh masyarakat setempat berdasarkan kearifan lokalnya (Peraturan Menteri); Peraturan yang memberikan insentif bagi konsesi yang secara sukarela mengubah zona budidaya mereka menjadi zona lindung; Peraturan yang memprioritaskan integrasi kawasan KHG dan lahan gambut ke rencana tata ruang kabupaten dan provinsi (RTRWP/K); Peraturan yang memprioritaskan lahan gambut dengan fungsi budidaya yang berkonflik menjadi obyek perhutanan sosial, hutan adat, skema kemitraan, dan reforma agraria; Peraturan yang memungkinkan perpindahan fiskal kepada pemerintah daerah yang berhasil menerapkan perlindungan dan pengelolaan lahan gambut; Peraturan yang mengizinkan skema perdagangan karbon untuk restorasi lahan gambut bagi masyarakat; Peraturan yang mengatur identifikasi dan perlindungan keanekaragaman hayati di ekosistem gambut; Peraturan untuk mengoperasionalkan Perjanjian ASEAN tentang Polusi dan Pencemaran Lintas Batas; Peraturan untuk penghargaan atas peran ekosistem gambut dalam mitigasi perubahan iklim berkaitan dengan layanan lingkungannya.

Related Article

Rancangan Instruksi Presiden untuk Penundaan dan Evaluasi Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit

Rancangan Instruksi Presiden untuk Penundaan dan Evaluasi Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit

Rencana moratorium sawit dan pertambangan telah diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada bulan April 2016, dan terdengar kabar bahwa Presiden akan segera menandatangani Instruksi Presiden tersebut yang drafnya telah beredar sejak bulan Desember 2017. Dalam sebuah pertemuan konsolidasi yang digagas oleh Madani Berkelanjutan pada bulan Januari 2018, berbagai organisasi masyarakat sipil menganggap bahwa secara umum, Inpres tersebut penting untuk segera dikeluarkan meski terdapat sejumlah kekhawatiran mengenai rincian isinya. Kendati demikian, selama proses Inpres bergulir, beberapa izin kelapa sawit justru dikeluarkan, terutama di wilayah Papua dan Papua Barat.

Untuk membaca selengkapnya, sila unduh laporan di bawah ini.

Related Article

Ajari Aku Mencintai Sawit

Ajari Aku Mencintai Sawit

Perkebunan sawit dipercaya dapat menjadi salah satu tonggak ekonomi negara, sehingga perkembangannya menanjak lebih cepat dalam satu dekade terakhir. Percepatan perkembangan perkebunan sawit tidaklah selicin minyaknya. Status perizinan, praktik konversi hutan alam dan lahan gambut, kebakaran hutan dan gambut, serta konflik tenurial masih jadi pertanyaan besar untuk dijawab. Jika perkebunan sawit diharapkan menjadi bagian dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang rendah karbon dan ramah secara sosial, tentu saja persoalan-persoalan mendasar itu tidak bisa ditunda lagi penyelesaiannya.

Pemerintah juga tak pernah mengeluarkan fakta dan data yang komprehensif tentang nilai ekonomi sawit. Tidak cukup adil rasanya jika yang dimunculkan selama ini hanyalah angka pendapatan devisa negara dari pajak ekspor minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO). Lantas bagaimana dengan nilai kerugian negara atas praktik-praktik sawit ilegal yang masih berlangsung hingga saat ini?

Ekspansi perkebunan sawit di kawasan hutan juga diyakini memberikan kontribusi signifikan pada laju deforestasi Indonesia. CIFOR mencatat setidaknya empat juta hektare perkebunan sawit yang masih produktif dibangun melalui deforestasi. Mengutip laporan Greenpeace yang berjudul “Certifying Destruction, Why Consumer Companies Need to Go Beyond the RSPO to Stop Forest Destruction”, perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota asosiasi minyak sawit berkelanjutan alias Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) turut terlibat dalam praktik tersebut, dan telah merusak sekitar 20 ribu hektare lahan gambut kaya karbon pada tahun 2009.

Saya melihat ada dua hal yang akan terus memicu terjadinya deforestasi di perkebunan sawit. Pertama, alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Sebagian besar perkebunan sawit tidak mengantongi izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta cenderung tidak memiliki Hak Guna Usaha. Situasi ini juga menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara dalam jumlah besar. Dalam laporan “Merampok Hutan dan Uang Negara” (ICW, 2011), praktik di atas telah merugikan negara sebesar Rp169,8 triliun pada periode 2004-2010. Kedua, pun jika izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit diberikan, hal tersebut dilakukan ketika pemerintah telah menerapkan kebijakan penundaan pemberian izin baru di atas hutan alam primer dan lahan gambut sejak Mei 2011 melalui INPRES Nomor 10 Tahun 2011 dan INPRES Nomor 6 Tahun 2013. Mari kita lihat, pada periode Januari – Juli 2013 Kementerian Kehutanan telah merealisasikan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit seluas 120.669,18 hektare di provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua, dan Papua Barat .

Ancaman penghilangan hutan alam sudah di depan mata. Niat pemerintah untuk menggandakan produksi CPO menjadi 40 juta ton per tahun dilakukan dengan menambah 4 juta hektare luas perkebunan sawit . Jika tidak diantisipasi sedari awal, penjarahan hutan secara masif untuk perkebunan sawit akan terus terjadi. Dan untuk kesekian kalinya, pemerintah akan gagal memenuhi komitmen perlindungan hutan berikut keanekaragaman hayati yang dimilikinya.

Kasus perambahan Taman Nasional Tesso Nilo seluas 36.353 hektare untuk perkebunan sawit ilegal seharusnya bisa menjadi guru bagi perlindungan hutan dan pembangunan sawit yang lebih bertanggung jawab, tanpa harus saling menyalahkan tentang mengapa hal tersebut terjadi dan masih berlangsung.

Praktik perkebunan sawit ilegal dalam arti mengonversi hutan dan gambut kaya karbon telah merusak citra Indonesia di pergaulan internasional, di tengah kuatnya komitmen perlindungan hutan dan penurunan emisi yang disampaikan oleh Presiden sejak 2009. Tak heran bila seruan Sekretaris Jenderal GAPKI pada harian Bisnis Indonesia tanggal 8 Oktober 2013 menjadi sangat relevan dan mendesak untuk ditindaklanjuti:

“Oleh karena itu, GAPKI meminta agar pemerintah sebagai penentu kebijakan segera melakukan tindakan terhadap berbagai temuan yang menyebutkan adanya perkebunan yang dilakukan di lahan yang tidak semestinya, seperti di kawasan hutan.” – Joko Supriyono, Sekretaris Jendral GAPKI

Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan yang meminta pihak terkait mata rantai CPO untuk bertindak memerangi perambahan hutan dan tidak membeli bahan baku yang berasal dari kebun sawit yang merambah taman nasional .

Dua pernyataan di atas bisa menjadi sebuah awal yang baik jika para pihak bersepakat untuk merealisasikannya. Satu kemenangan kecil hari ini adalah seruan untuk tidak membeli minyak sawit ilegal dan merusak lingkungan turut dikumandangkan oleh pemerintah dan kalangan pengusaha sawit itu sendiri.

Bisakah kita mencintai sawit dengan jujur dan tanpa paksaan? Tentunya hal itu sulit dijawab saat ini. Mungkin nanti, atau bahkan tidak akan pernah sama sekali.

Related Article

en_USEN_US