Madani

Tentang Kami

Kesimpangsiuran Informasi di Balik Undang-Undang Cipta Kerja

Kesimpangsiuran Informasi di Balik Undang-Undang Cipta Kerja

Tepat pada 5 Oktober 2020, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Sontak, pengesahan tersebut menuai reaksi yang beragam dari publik. Ada yang merasa bahwa UU ini merupakan kabar baik dan gembira (bagi para investor, saudagar, cukong, pemilik modal dan banyak macam jenis kapitalis lainnya), tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa pengesahan UU ini adalah kabar duka bagi bangsa Indonesia.

Bagaimana tidak, di tengah keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), malah membentang karpet merah bagi para penggelut cuan demi meraup untung sebesar-besarnya. Padahal, seharusnya pemerintah fokus menyelesaikan pandemi, malah regulasi yang tidak berpihak digenjot sejak dini.

Tidak dapat dimungkiri, beragam argumen dari banyak sudut pandang tentang ketidakadilan Omnibus Law Cipta Kerja ini sudah diutarakan sejak RUU Cipta Kerja dilempar kepada publik. Banyak poin penting yang menjadi sorotan dalam RUU Cipta Kerja, misal terkait ketenagakerjaan, banyak pihak menilai bahwa RUU Cipta Kerja bukannya berpihak kepada pekerja malah mengeksploitasi pekerja itu sendiri.

Dalam RUU Cipta Kerja, banyak pasal terkait ketenagakerjaan yang dipermasalahkan publik seperti adanya pasal terkait dengan hak cuti pekerja yang dihilangkan, jam kerja yang semakin eksploitatif, penggajian berdasarkan jam, tidak adanya hak setelah pensiun, dan banyak persoalan lainnya.

Tidak kalah gaduhnya tentang bakal munculnya dampak eksploitasi terhadap pekerja, RUU Cipta Kerja juga dinilai sangat bersifat ekstraktif terhadap lingkungan. Sebelum UU ini disahkan, Yayasan Madani Berkelanjutan menilai bahwa RUU Cipta Kerja mengungkap kajian tentang sangat tidak berpihaknya UU ini terhadap kepentingan lingkungan, bahkan menjadi ancaman bagi keberlangsungan hutan alam dan komitmen iklim di Indonesia.

Berdasarkan temuan Yayasan Madani Berkelanjutan, ada lima provinsi di Indonesia yang semangat terancam akan kehilangan seluruh hutan alam akibat laju penggundulan hutan (deforestasi) berkat RUU Cipta Kerja. Kelima provinsi tersebut yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Jawa Tengah.

Lebih detilnya, Provinsi Riau akan kehilangan seluruh hutan alamnya di 2032, Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan akan kehilangan seluruh hutan alamnya pada 2038, Provinsi Bangka Belitung akan kehilangan seluruh hutan alamnya pada 2054 dan Provinsi Jawa Tengah akan hilang seluruh hutan alamnya pada tahun 2056.

Jelas bahwa kehilangan hutan alam dapat diartikan juga Indonesia kehilangan momentum untuk memperkuat komitmennya melawan krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan. Terkait dengan komitmen iklim yang termaktub dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia memasang target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% dari BAU 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.

NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang berisi pernyataan komitmen banyak negara tentang upaya menghentikan Perubahan Iklim. Terkait dengan ambisi iklim Indonesia, target NDC tersebut banyak dinilai belum ambisius jika melihat dengan potensi yang ada di Indonesia.

Di sisi lain, banyak juga pihak yang mengatakan bahwa target tersebut sulit dicapai jika pemerintah tidak melakukan hal yang luar biasa atau melakukan terobosan untuk melindungi lingkungan, hutan, dan alam. Oleh karena itu, dengan adanya UU Cipta Kerja, target tersebut semakin tidak realistis.

Kesimpangsiuran Informasi

Setelah RUU disahkan menjadi UU, segudang permasalahan yang telah dibeberkan sebelumnya menjadi kurang renyah bahkan kurang relevan. Mengapa demikian? Tentu jawabannya adalah karena draf UU Cipta Kerja yang telah disahkan sulit diakses publik.

Secara rasional, bagaimana mungkin ada pihak yang mampu memberikan pandangan komprehensif kalau barangnya saja (UU Cipta Kerja) tidak diketahui?

Saat ini, semua pihak yang mengkritisi UU Cipta Kerja menggunakan analisis dari RUU. Artinya, semua orang yang berkomentar pasca UU disahkan sampai dengan UU asli disebar kepada publik maka mereka seolah-olah sedang meraba-raba di ruangan yang gelap.

Perumusan UU ini jelas merupakan preseden buruk dalam sejarah perumusan regulasi di negeri ini karena terkesan dikebut dan disembunyikan. Menjadi wajar jika publik menaruh kecurigaan yang besar terhadap UU Cipta Kerja ini.

Ketidakpastian yang berujung pada informasi yang simpang siur di tengah publik, tentu tidak bisa disalahkan. Pemerintah tidak dapat menyalahkan masyarakat dengan pernyataan telah menyebar berita bohong (hoax/hoaks) karena hanya berbekal analisis RUU. Sedangkan masyarakat juga tidak bisa mengkritisi secara substansi karena barangnya saja tidak ada.

Untuk mengurai benang kusut yang saat ini mengapung ke permukaan, alangkah baiknya pemerintah segera merampungkan UU dan menyebarluaskannya kepada publik. Jelas di tengah ketidakpastian saling menyalahkan adalah hal yang tidak baik.

Kita sebagai masyarakat sangat yakin bahwa pemerintah telah bekerja keras untuk melayani masyarakat dengan segudang keterbatasan dan kekurangannya. Namun, prinsip good governance  tidak akan terwujud jika transparansi dan akuntabilitas tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

UU ini tentu sangat penting karena dapat dikakatan sebuah terobosan besar jika benar-benar berpihak kepada rakyat tanpa adanya kepentingan yang menyusupi walaupun agaknya mustahil. Bayangkan saja, untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai sebuah UU yang menggabungkan 79 UU dengan lebih dari seribu pasal yang terdampak. Ini sungguh sebuah terobosan.

Terkait dengan UU Cipta Kerja sendiri, pemerintah mengklaim bahwa tujuan UU ini salah satunya adalah untuk menyederhanakan proses perizinan. Pasalnya, izin yang bak benang kusut dinilai merupakan salah satu penghambat proses investasi.

Padahal, persoalan yang dihadapi dalam proses perizinan, apalagi yang terkait dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA) adalah korupsi yang merajalela. Dalam Global Competitivences Report 2017-2018, tercatat bahwa permasalahan utama dalam kemudahan berusaha di Indonesia adalah korupsi.

Kalau saja semua kritik terhadap UU Cipta Kerja, benar adalah hoax seperti diungkap oleh sebagian anggota DPR, pemerintah dan banyak para pemangku kepentingan lainnya yang pro, maka mungkin banyak pihak yang telah memberikan kritik malah mengacungkan jempol. Namun, lagi-lagi kita semua berada dalam ketidakpastian, tidak hanya masyarakat tapi juga pemerintah. Padahal, kepastian adalah sebuah keniscayaan untuk saat ini, apalagi bagi sebuah investasi dan mau dibawa kemana arah bangsa ini.

Related Article

Membedah Penggunaan Dana RBP REDD+ dari Green Climate Fund

Membedah Penggunaan Dana RBP REDD+ dari Green Climate Fund

“Dana GCF akan digunakan untuk mendukung arsitektur REDD+ yang lebih kuat dan tata kelola hutan yang terdesentralisasi, terutama untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan yang berakar pada pendekatan hak asasi manusia.” (Proposal Pendanaan REDD+ GCF, Mei 2020)

Pada 21 Agustus 2020, Green Climate Fund (GCF) atau dikenal juga sebagai Dana Iklim Hijau menyetujui proposal pemerintah Indonesia untuk mengakses dana pembayaran berbasis hasil atau results-based payment (RBP) sebesar 103,8 juta dollar AS atau sekitar 1,54 triliun rupiah. Dana ini diberikan sebagai pembayaran atas keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2014-2016 sebesar 20,3 juta tCO2e.

Keberhasilan Indonesia dalam mengakses dana ini adalah indikator kepercayaan dunia terhadap Indonesia. Namun, Indonesia tidak hanya akan dinilai atas keberhasilan menurunkan deforestasi dan degradasinya di masa lalu, tetapi juga konsistensi untuk mencegah deforestasi di masa depan. Belakangan ini, konsistensi ini dipertanyakan banyak kalangan dengan disahkannya RUU Cipta Kerja yang berisiko melemahkan perlindungan hutan dan lingkungan hidup serta berbagai berita yang menyebutkan peningkatan deforestasi di era pandemi. 

Selain komitmen politik di atas, publik juga akan menyoroti efektivitas pemerintah Indonesia dalam menyalurkan dana ini secara tepat sasaran, terutama dari sisi manfaatnya untuk masyarakat rentan, yang sangat membutuhkan dukungan di era pandemi ini.  Yang akan menjadi entitas pelaksana utama dalam penyaluran dana ini adalah Kementerian Keuangan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai co-entitas pelaksana.

Dapatkan Madani’s Update Membedah Penggunaan Dana RBP REDD+ dari Green Climate Fund dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Perpres Perdagangan Karbon dan Tarif Energi Baru Terbarukan (EBT)

Perpres Perdagangan Karbon dan Tarif Energi Baru Terbarukan (EBT)

Pemerintah tengah menyiapkan dua peraturan presiden (Perpres) mengenai perdagangan karbon dan tarif energi baru terbarukan (EBT) sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan ekonomi berbasis lingkungan alias hijau supaya emisi karbon ke dunia bisa dikurangi. Kedua aturan ini diumumkan saat Menteri Keuangan Inonesia berbicara di Konferensi Iklim 2020 yang diadakan oleh Green Climate Fund (GCF) pada 14 Oktober 2020.


Selain itu, barita lain berkaitan dengan Konsep Ekonomi Hijau. Menteri Keuangan Sri Mulyani berbicara terkait green recovery pada forum High Level Opening Dialogue of the Green Climate Fund Private Investment for Climate Conference. Menkeu juga menyampaikan komitmen Indonesia di bidang lingkungan hidup, yakni mengurangi emisi karbon. 

Indonesia telah menetapkan peta jalan keuangan berkelanjutan yang mewajibkan lembaga keuangan untuk meningkatkan portofolionya pada proyek hijau. Kementerian Keuangan sedang mengembangkan Climate Change Fiscal Framework (CCFF) yang akan menetapkan strategi dan kerangka kebijakan fiskal dalam mencapai target global Indonesia dalam pengurangan emisi dan ketahanan terhadap perubahan iklim.


Berita lainnya terkait Analisis Kesenjangan Kebijakan Iklim yang dilakukan WALHI. Diperkirakan Indonesia akan menghabiskan sisa anggaran karbonnya pada 2027. Hal itu berdasarkan estimasi bahwa Indonesia sampai dengan akhir abad ini memiliki anggaran karbon 14,8 GtCO2 untuk 66 persen peluang atau 20,5 GtCO2 untuk 50 persen peluang atau sekitar 3,5 persen dari sisa anggaran karbon dunia. 

Dapatkan pemberitaan media edisi 12-18 Oktober 2020 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

[1000 gagasan] BLUE ECONOMY SEBAGAI MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR

[1000 gagasan] BLUE ECONOMY SEBAGAI MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR

Lingkungan pada hakikatnya dimaknai sebagai keanekaragaman segala jenis sumber  daya yang dibutuhkan dalam perencanaan kehidupan yang berkelanjutan. Lingkungan dalam hal ini bukan hanya berbicara mengenai sumber daya yang dibutuhkan secara fisiologis tetapi  mengarah pada sebuah perbuatan untuk membentuk dan merencanakan konsepsi dan rencana kehidupan. Ironisnya hakikat lingkungan dalam kenyataannya menggambarkan kondisi hutan  dataran rendah dan hutan mangrove yang memprihatinkan. Jika ditinjau kembali pada  peranannya, ekosistem mangrove memiliki fungsi yang vital sebagai pelindung pantai dari abrasi  yang diakibatkan oleh gelombang pasang air laut, selain itu ekosistem mangrove memiliki  manfaat secara tidak langsung dan manfaat secara langsung. Hutan mangrove sebagai non economic value memberikan kontribusi sebagai berikut; a) menangkap endapan dan  membersihkan kandungan zat kimia dari air yang datang dari daratan dan mengalir ke laut, b)  memberikan zat makanan dan menjadi daerah nursery bagi ikan dan hewan invertebrata yang  berada di sekitarnya. Namun hal ini tidak selaras dengan orientasi dan praktik dalam menjaga  kelestarian mangrove di Indonesia. 

Bappenas (1993) menjelaskan bahwa hutan mangrove di Indonesia mulai lenyap sekitar  satu juta ha antara tahun 1969-1980. Konversi hutan mangrove di Provinsi Jawa Timur banyak  digunakan sebagai kawasan berbasis komersial. Keadaan tersebut menjadi memicu kerusakan  hutan mangrove di Jawa Timur sebesar 40 persen. Wilayah pantai timur Kota Surabaya  (Parmubaya) merupakan salah satu wilayah yang terindikasi mengalami kerusakan. 

Kawasan  mangrove di wilayah Parmubaya telah banyak diubah menjadi kawasan real estate, budidaya  ikan payau pada kawasan wilayah pesisir Surabaya Timur, kawasan industri pada wilayah Surabaya Utara. Fenomena ini memicu turunnya kualitas lingkungan pesisir sehingga berdampak pada terganggunya ekosistem dan lebih dari 50 persen kawasan tidak berfungsi dengan optimal.  

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Prokonservasi

Eksploitasi dan konversi ekosistem hutan mangrove yang terus terjadi di wilayah  Kecamatan Sukolilo dan Gununganyar Kota Surabaya merupakan salah satu kondisi menurunnya luasnya ekosistem mangrove. Permasalahan ini dipicu oleh disorientasi tujuan tata kelola wilayah  mangrove yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya sehingga dapat mengancam  keberlanjutan hutan mangrove itu sendiri. Konsep pengembangan konversi mangrove Wonorejo  menjadi ekowisata mangrove tidak sesuai dengan orientasi ramah lingkungan. 

Ekowisata  mangrove yang dikembangkan sebaliknya merusak mangrove di kawasan tersebut. Hal ini  disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; (a) penebangan banyak dilakukan pada jenis  mangrove Sonneratia Alba, Avicennia Alba, dan Rhizopora Apiculata. Ketiga jenis tanaman ini  mempunyai akar yang kuat dan tahan terhadap terjangan air laut. (b) minimnya kontrol  penanaman mangrove pada kawasan ekowisata, (c) sarana dan prasarana yang dikembangkan  seperti suara mesin perahu yang dikembangkan untuk wisatawan mengganggu habitat burung pemakan serangga di pantai timur Surabaya (Parmubaya), (d) desain pengembangan ekowisata yang tidak berpihak pada petani lokal. Fenomena yang terjadi menjelaskan bahwa adanya  tumpang tindih antara arah kebijakan pelestarian ekosistem mangrove dengan tujuan tertentu dari  kepentingan kelompok dalam sistem politik.  

Upaya pengembangan ekowisata seakan menjadi bentuk tindakan pemusnahan ekosistem  mangrove di kawasan Surabaya Utara. Hal ini menyebabkan dampak negatif bukan hanya pada  ekosistem mangrove namun juga berimbas pada rusaknya ekosistem lainnya yang bergantung  pada keberadaan mangrove, seperti ekosistem ikan dan udang yang menjadikan mangrove  sebagai tempat reproduksi, ekosistem burung baik itu burung asli Indonesia maupun burung – burung dari luar negeri yang bermigrasi pada pohon mangrove. Sedangkan permasalahan lainnya  yang akan timbul meluasnya tindakan ilegal masyarakat yang menjadikan kawasan tambak ikan  dan udang. Fakta yang terjadi kemerosotan ekosistem mangrove di kawasan pantai timur Surabaya ini mengindikasikan kegagalan tata ekonomi dalam mewujudkan pembangunan sumber  daya yang berkelanjutan.  

Ekosistem mangrove memiliki dwi fungsi dalam pembangunan wilayah pesisir  berkelanjutan yaitu fungsi ekologi dan fungsi ekonomi. Mangrove secara ekologi berperan sebagai tempat perkembangbiakan biota akuatik dan berfungsi sebagai sabuk hijau kawasan  pesisir. Keberadaan ekosistem mangrove berperan besar dalam meminimalisir dampak abrasi dan menjaga kelestarian lingkungan. Sedangkan ditinjau dari aspek ekonomi, serangkaian produk  turunan dari mangrove dapat dihasilkan antara lain; (1) produk olahan: makanan, minuman, obat  – obatan dan bahan pewarna pakaian. (2) Kawasan sentra budidaya biotik akuatik, sehingga dapat mendorong roda-roda perekonomian kawasan pesisir. Pembangunan wilayah pesisir harus  mengintegrasikan keberlanjutan fungsi ekologi dan fungsi ekonomi. Blue economy merupakan  model ekonomi strategis yang dapat diimplementasikan pada kawasan wilayah pesisir. 

Konsep  blue economy berorientasi pada empat prinsip yaitu; (a) kekuatan dan potensi dari wilayah  Wonorejo tersebut. (b) Nilai tambah ekosistem mangrove yang dapat menunjang pembangunan  wilayah pesisir. Kebijakan pemerintah kota di wilayah pesisir harus dipadukan dengan kondisi  wilayah pesisir tersebut. Sehingga industri yang dikembangkan pada kawasan konservasi  mangrove berbasis pada perikanan, perairan dan produk olahan mangrove di wilayah Wonorejo.  (c) Pemberdayaan berorientasi pada penguatan ekonomi masyarakat secara mikro. Masyarakat  dalam hal ini bertindak sebagai subyek pembangunan. Perlunya penguatan kapasitas,  pengetahuan dan keterampilan rumah tangga masyarakat pesisir dalam penguasaan faktor – faktor produksi dalam lahan perikanan dan kehutanan. Oleh sebab itu, penguatan ekonomi rakyat  harus mampu menyentuh penguatan atas faktor – faktor produksi. (d) Prinsip berkelanjutan,  konsep pembangunan kawasan wilayah pesisir pantai Timur Surabaya harus mengintegrasikan komponen ekonomi, ekologi dan sosial secara adil. Sehingga terjaminnya pertumbuhan ekonomi,  kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.  

BACA JUGA: Memperkuat Perhutanan Sosial dengan Kehati dan Kembali Ke Kearifan Tradisional

Model blue economy dalam pembangunan wilayah pesisir dapat diaktulisasi melalui  pendekatan Triple CoTriple co mengarah pada tiga prinsip utama yaitu co-ownership di mana wilayah pesisir dan kawasan mangrove merupakan wilayah yang dimiliki bersama oleh  masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Hal ini menjelaskan bahwa kawasan ekosistem  mangrove dan wilayah pesisir merupakan tanggung jawab bersama. Pengembangan kawasan  strategis wilayah pesisir harus melibatkan peran aktif masyarakat pesisir, karena tanpa dukungan  masyarakat lokal bukan hanya aktualisasi pembangunan yang gagal, namun juga memicu konflik  yang berkepanjangan. Co-determination, adanya keterlibatan stakeholder dalam proses  perencanaan pembangunan wilayah pesisir. 

Masyarakat pesisir harus bertindak sebagai subyek  pembangunan wilayah pesisir pantai timur Surabaya, sehingga akan memperkuat jaringan dan  daya dukung dalam memelihara kualitas lingkungan pesisir. Co–responsibility, pengelolaan  ekosistem mangrove bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga masyarakat  pesisir. Pemerintah pusat, daerah, dunia usaha dan masyarakat pesisir harus secara terpadu  merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pada  kawasan ekosistem mangrove. 


Oleh: Ayu Dwidyah Rini

Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Trilogi

Related Article

OMNIBUS LAW ON JOB CREATION: INJURING CLIMATE COMMITMENT, ACCELERATING FOREST LOSS, PERPETUATING DISASTERS

OMNIBUS LAW ON JOB CREATION: INJURING CLIMATE COMMITMENT, ACCELERATING FOREST LOSS, PERPETUATING DISASTERS

[Jakarta, October 7, 2020] The signing of Omnibus Bill on Job Creation into law by the House of Representatives of Republic of Indonesia on October 5, 2020 is an injury to Indonesia’s climate commitment and forest protection efforts that have been carried out for 9 years. The newly enacted Law has the potential to perpetuate Indonesia’s deforestation. Referring to Madani’s analysis on the Risks of Omnibus Bill on Job Creation for Natural Forests and the Achievement of Indonesia’s Climate Commitment, if enacted, some articles in the Bill that weaken forest and environmental protection could increase the risks of natural forests loss. There are five provinces in Indonesia that could lose their natural forests completely in the future based on the current deforestation rates, namely: Riau Province in 2032; Jambi and South Sumatra Provinces in 2038, Bangka Belitung Province in 2054, and Central Java Province in 2056.

Spatial analysis conducted by Madani shows that around 3.4 million hectares of natural forests exist in palm oil permits area (Land Use Right/HGU, Plantation Business Permit/IUP, and other permits that are not yet definitive, including location permit). Such forests could be saved based using the momentum of evaluation of palm oil plantation licenses mandated by the Presidential Instruction (INPRES) No. 8 Year 2018 (palm oil moratorium). The largest natural forests within palm oil permits area exist in Papua Province with a total of 1.3 million hectares, followed by East Kalimantan with 528 thousand hectares. With the additional demand for CPO from the biodiesel policy and the ease of palm oil permits’ expansion into the forest zone, Indonesia’s chance for saving its natural forests in the palm moratorium period is slim. If the 3.4 million hectares of natural forest are lost, Indonesia’s climate commitment will not be met as it will exceed the deforestation ‘quota’ of 3.25 million hectares by 2030. Thus was conveyed by Teguh Surya, Executive Director of Yayasan Madani Berkelanjutan, in response to the signing of the Job Creation Bill into law on October 5, 2020.

Moreover, according to Madani’s analysis, the total disputed or overlapping area between permits and forest and land protection in Indonesia reaches 75.6% or 143 million hectares from the total 189 million hectares of Indonesia’s land area. Teguh Surya added that “From the total 143 million hectares of disputed area in Indonesia, 11.3 million hectares are industrial timber plantation permits/IUPHHK HT, 18.9 million hectares are logging permits/IUPHHK HA, 622 thousand hectares are ecosystem restoration permits/IUPHHK RE, 11 million hectares are indicative social forestry area/PIAPS, 22.7 million hectares are palm oil permits, 66.3 million hectares are permanent moratorium area/PIPPIB, 14.9 million hectares are onshore mineral and coal permits and 31.9 million hectares are onshore oil and gas concession area.”

READ ALSO: UU Cipta Kerja Mencederai Komitmen Iklim, Mempercepat Kehilangan  Hutan, Melanggenggkan Bencana

The dispute or overlap between permits and area of forest and land protection in Indonesia shows that the Omnibus Law on Job Creation is not the correct answer to Indonesia’s investment and economic growth in the future,” said Teguh Surya. “The Government and Parliament should have prioritized improvement of environment and natural resources governance and strengthened the Corruption Eradication Commission/KPK to improve the economy. This is clear from the result of Natural Resources and Environment Laws Harmonization study by the KPK in 2018, which mandates the harmonization of 26 Laws related to Natural Resources and the Environment based on natural resources and environmental management principles“, explained Teguh.

The newly enacted law ignores ten major barriers to investment in Indonesia, including, corruption, bureaucratic inefficiency, access to financing, inadequate infrastructure, policy instability, government instability, tax rates, poor work ethics, tax regulation, and inflation. Instead of bringing hope for stronger economic growth, the law is a bad sign.

With the enactment of the Omnibus Law on Job Creation, the chance to better protect natural forests by strengthening the permanent moratorium policy (expanding the scope of Presidential Instruction No. 5 of 2019) is threatened to never materialize. Natural forests outside PIPPIB protection in four main provinces are threatened, namely in Central Kalimantan with 3.5 million hectares, West Kalimantan with 1 million hectares, Aceh with 342 thousand hectares and West Sumatra with 254 thousand hectares.

Madani’s latest analysis shows that the Indicative Map of Termination of License Granting in Natural Primary Forest and Peatland or PIPPIB of 2020 (1st period) with the total area of 66.3 million hectares is still crisscrossed with various permits and other land and forest allocations. The largest permits overlapping with PIPPIB are onshore mineral and coal permits with 7.2 million hectares and onshore oil and gas permits with 6.4 million hectares. PIPPIB also overlap with the indicative social forestry area/PIAPS (4.7 million hectares), palm oil permits (1.2 million hectares), logging permits (386.000 hectares), industrial timber plantation permits (123.000 hectares) and ecosystem restoration permits (4,748 hectares),” said Fadli Naufal, GIS Specialist of Yayasan Madani Berkelanjutan.

Moreover, Indonesia risks failing to achieve its climate commitment in the forestry sector, especially from reducing deforestation if the 3.25 million hectares deforestation threshold (from 2020-2030) is exceeded by 2025, a projection based on potentially increasing deforestation rate due to weakened forest and environmental protection. “In the first Nationally Determined Contribution/NDC, it is mentioned that Indonesia has a target to reduce deforestation to below 3.25 million hectares by 2030 or a maximum of 325,000 hectares/year during 2020 to 2030 by its own efforts and with international assistance. We risk missing the target if the deforestation-triggering articles in the Job Creation Law are implemented,” said M. Arief Virgy, Insight Analyst of Yayasan Madani Berkelanjutan.

On average, Indonesia’s deforestation rate in the 2006-2018 period is 688,844.52 hectares/year. From such number, we can calculate that Indonesia will exceed its deforestation quota of 2030 NDC target by 2025,” M. Arief Virgy added.

Therefore, the Omnibus Law on Job Creation clearly is not the answer for economic growth and efforts to save forest and peatland and achieve Indonesia’s climate commitments. It rather harms the efforts that have been made by the government in saving Indonesia’s remaining forests as well as the country’s climate commitment. [ ]

oooOOOooo

Media Contacts:

 

– M. Teguh Surya, Executive Director of Yayasan Madani Berkelanjutan, Ph. 0812 9480 1453, email: teguh@madaniberkelanjutan.id

– M. Arief Virgy, Insight Analyst of Yayasan Madani Berkelanjutan, Ph. 0877 0899 4241, email: virgy@madaniberkelanjutan.id

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication of Yayasan Madani Berkelanjutan, Ph. 0815 1986 8887, email: luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

[1000 gagasan] GREEN MILLENNIALNOMIC: MENDORONG MILENIAL BANGUN EKONOMI BERBASIS EKOLOGI

[1000 gagasan] GREEN MILLENNIALNOMIC: MENDORONG MILENIAL BANGUN EKONOMI BERBASIS EKOLOGI

Di tengah krisis multidimensi yakni krisis kesehatan yang disebabkan oleh penyebaran coronavirus disease (covid-19), kemudian dampaknya terhadap ekonomi yang menyebabkan krisis berujung resesi, dan krisis lingkungan salah satunya krisis iklim yang begitu mengkhawatirkan, membuat peran milenial sebagai kelompok masyarakat yang dianggap sang pembawa perubahan menjadi keniscayaan.

Pasalnya, banyak yang percaya bahwa kaum milenial adalah sekumpulan anak muda yang kaya akan gagasan, berpikir out of the box, dan identik dengan inovasi pembawa perubahan. Oleh karena itu, lompatan untuk melawan krisis multidimensi ini tidak akan berjalan lancar tanpa peran sentral dari milenial. 

Bukan kaleng-kaleng, anggapan bahwa milenial memiliki kemampuan untuk membawa perubahan telah diakui dunia, karena pada kenyataannya milenial benar-benar telah membawa disrupsi besar pada peradaban dunia saat ini. Disrupsi yang paling signifikan dari kontribusi milenial terhadap perekonomian dunia, tidak lain adalah pemanfaatan teknologi khususnya teknologi finansial atau financial technology (Fintech). 

Terkait dengan hal itu, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bersama Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) merilis riset tentang kontribusi fintech peer to peer lending terhadap ekonomi Indonesia. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa fintech peer to peer lending alias pinjaman online telah berkontribusi sebesar Rp 60 triliun pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Fintech di Indonesia

Secara umum, fintech yang digarap perusahaan rintisan atau startup begitu akrab dengan masyarakat bahkan seolah tak terpisahkan. Apapun startupnya, baik startup dari perusahaan dengan produk jasa layanan peminjaman (lending) secara peer to peer atau pemimjaman online, fintech pembiayaan (crowdfunding), perencanaan keuangan (personal finance), proses jual beli saham, dan startup jasa pembayaran, semuanya begitu bermanfaat dalam aktivitas sehari-hari. Dapat dikatakan pula bahwa hampir tidak ada sektor krusial saat ini yang tidak tersentuh dengan fintech.

BACA JUGA: Hutan dan Milenial

Misalnya, jika ingin bepergian dalam jarak dekat maupun jauh, anda bisa bisa langsung menghubungi penyedia jasa transportasi online seperti Go-Jek, Grab, Maxim, dan banyak lainnya. Sementara, jika ingin berpergian menggunakan moda transportasi antar kota atau ingin pergi menghilangkan penat (berwisata), perusahaan rintisan seperti Traveloka, Tiket.com, PegiPegi, serta platform lainnya, siap memanjakan anda dengan kemudahan dan tentunya harga yang kompetitif. Kemudian, fintech jasa pembayaran seperti OVO, DANA, LinkAja, juga Go-Pay, Shopeepay, dan bermacam-macam brand lainnya, juga begitu giat memberikan promosi agar transaksi non-tunai semakin diminati. 

Tidak habis sampai di situ, jika anda adalah seorang maniac belanja, maka alternatif belanja online melalui marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Blibli, dan berbagai platform lainnya dapat dikatakan sebagai pilihan terbaik selama pandemi covid-19 berlangsung. 

Fintech dan Lingkungan

Pengaruh besar fintech saat ini dapat dikatakan sebagai bukti nyatanya bahwa ekonomi milenial (milennialnomic) benar-benar dapat diandalkan. Namun, banyak pihak mulai bertanya-tanya terkait dengan kontribusi milenial dalam pembangunan berkelanjutan maupun pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan.

Terkait dengan hal tersebut, fakta mengejutkan pun mengapung ke permukaan, hasil studi dari Pusat Penelitian Oseanografi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut bahwa aktivitas di rumah selama pandemi, membuat peningkatan penggunaan plastik sekali pakai akibat aktivitas berbelanja online meroket. 

Dalam penelitian yang berjudul ‘Dampak PSBB dan WFH Terhadap Sampah Plastik di Kawasan Jabodetabek’, terungkap bahwa masyarakat yang biasanya belanja online 1 sampai 5 kali dalam sebulan, meningkatkan menjadi 1 sampai 10 kali dalam sebulan selama anjuran beraktivitas di rumah. Kemudian, 96 persen paket yang dikirimkan oleh penjual kepada konsumen selalu dibungkus dengan plastik yang tebal bahkan ditambah dengan bubble wrap sebagai pelindung tambahan. Di kawasan Jabodetabek sendiri, jumlah sampah plastik dari bungkus paket hasil belanja online masyarakat jauh mengungguli jumlah sampah plastik dari kemasan.

Karena begitu tidak terkendali, belanja online malah memiliki dampak lingkungan yang cukup signifikan. Padahal, jika dapat dielaborasi dengan baik bersama milenial maka peluang untuk menciptakan ekonomi tanpa merusak lingkungan, terbuka begitu lebar. 

Pemahaman Ekologis

Tidak dapat dimungkiri, kontribusi milenial dalam pembangunan berkelanjutan atau pembangunan yang lebih ramah lingkungan atau juga pembangunan yang tidak memberikan kerusakan terhadap lingkungan, masih terbilang sangat minim. Padahal, pengetahuan milenial terkait dengan kondisi lingkungan, seperti halnya krisis iklim, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), energi terbarukan, dan banyak lainnya, terbilang sangat baik. 

Dalam laporan survei yang dirilis Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org Indonesia tentang krisis iklim di mata anak muda, menyebut bahwa 90 persen anak muda (responden) khawatir atau sangat khawatir tentang dampak krisis iklim, dan tidak ada satupun (0 persen) anak muda yang menyangkal dampak dari krisis iklim tersebut. Kekhawatiran teratas meliputi krisis air, krisis pangan, dan pandemi lainnya. 

BACA JUGA: Pembangunan Berkelanjutan

Kemudian, disebutkan juga bahwa hampir setengah responden melihat deforestasi dan karhutla sebagai sumber terbesar emisi gas rumah kaca (GRK), sepertiga responden menyebut asap kendaraan bermotor dan pabrik, dan seperlima dari responden menyebut pembangkit listrik berbahan bakar fosil sebagai penghasil GRK. 

Mendorong Ekonomi Milenial Ekologis

Pengetahuan yang memadai tentang dampak lingkungan seharusnya dapat menjadi pedoman bagi milenial untuk mendorong terwujudnya ekonomi yang lebih berkelanjutan dengan berbagai gaya ala milenial itu sendiri.

Menurut hemat saya, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan milenial untuk mewujudkan pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan ala milenial itu sendiri. Pertama, menciptakan tren lifestyle yang ramah lingkungan. Sebuah kenyataan bahwa milenial selalu terdepan dalam hal menciptakan tren bagi masyarakat. Dalam hal ini, milenial harus menjadi trendsetter gaya hidup yang ramah lingkungan seperti menggunakan peralatan yang ramah lingkungan atau tidak menggunakan plastik sekali pakai, menciptakan budaya tidak membuang sampah sembarang, menciptakan kebiasaan untuk mengurangi emisi kendaraan bermotor, dan banyak kebiasaan hidup lainnya yang kekinian.

Kedua, memaksimalkan peran media sosial untuk kampanye lingkungan. Milenial yang melek teknologi sangat lihai untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi. Misalnya, dalam kasus karhutla, milenial dapat memberikan edukasi terkait dengan karhutla kepada publik melalui vlog, infografik, gambar, dan banyak lainnya, agar tercipta kesadaran bahwa merusak lingkungan itu sangat tidak baik. Kemampuan tersebut seharusnya juga digunakan untuk mempromosikan kepada publik bahwa menjaga lingkungan merupakan sebuah keharusan bagi siapa saja. 

Ketiga, mengembangkan startup berbasis lingkungan. Karena sangat unggul dalam pengembangan fintech, milenial dapat merambah bisnis jasa lingkungan dengan memanfaatkan teknologi kekinian. Bisnis tersebut bisa berupa jasa pengelolaan sampah seperti halnya bank sampah, social entrepreneur pengembangan UMKM perhutanan sosial, pariwisata, dan banyak macam bisnis lingkungan lainnya. Tentu semua itu dapat dilakukan karena bisnis jasa lingkungan adalah bisnis masa depan.

Sangat diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki salah satu bonus demografi terbesar di dunia. Untungnya lagi, sebagian besar akan dipenuhi oleh milenial sangat produktif sebagai pendorong kehidupan yang lebih baik. Tentu untuk mewujudkan berbagai angan-angan yang selama ini dianggap mustahil, peran milenial sebagai garda terdepan perubahan itu sangat dibutuhkan.


 Oleh: Delly Ferdian

Digital Media Specialist di Yayasan Madani Berkelanjutan

Related Article

UU Cipta Kerja Mencederai Komitmen Iklim, Mempercepat Kehilangan Hutan, Melanggengkan Bencana

UU Cipta Kerja Mencederai Komitmen Iklim, Mempercepat Kehilangan Hutan, Melanggengkan Bencana

[Jakarta, 7 Oktober 2020] Pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR pada 5 Oktober 2020 kemarin mencederai Komitmen Iklim dan upaya perlindungan hutan Indonesia yang telah diupayakan sejak 9 tahun lalu. Penerapan UU Cipta Kerja ini berpotensi melanggengkan penggundulan hutan Indonesia. Dalam analisa Madani terkait risiko RUU Cipta Kerja terhadap Hutan Alam dan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia, jika pasal-pasal yang melemahkan aturan perlindungan hutan dan lingkungan hidup dalam UU Cipta Kerja diterapkan, maka risiko hilangnya hutan alam akan semakin meningkat. Ada lima provinsi di Indonesia yang terancam akan kehilangan seluruh hutan alamnya akibat laju penggundulan hutan (deforestasi), yaitu Provinsi Riau yang akan kehilangan seluruh hutan alamnya di tahun 2032, Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan akan kehilangan seluruh hutan alamnya pada tahun 2038, Provinsi Bangka Belitung akan kehilangan seluruh hutan alamnya pada tahun 2054 dan Provinsi Jawa Tengah akan hilang seluruh hutan alamnya pada tahun 2056.

 

Analisis spasial Madani menunjukkan adanya 3,4 juta hektare tutupan hutan alam di dalam izin sawit (HGU, IUP, dan izin lain yang belum definitif termasuk izin lokasi), yang seharusnya dapat diselamatkan berdasarkan evaluasi perizinan perkebunan yang dimandatkan INPRES 8/2018 (moratorium sawit). Papua adalah provinsi dengan luas hutan alam dalam izin perkebunan sawit tertinggi yaitu 1,3 juta hektare, disusul oleh Kalimantan Timur dengan luas hutan alam di dalam izin sawit sebesar 528 ribu hektare. Dengan adanya tambahan permintaan CPO yang begitu besar akibat kebijakan biodiesel serta semakin dipermudahnya izin sawit untuk ekspansi ke kawasan hutan, kesempatan Indonesia untuk menyelamatkan hutan alam dalam periode moratorium sawit akan hilang. Apabila 3,4 juta hektare hutan alam tersebut hilang, Indonesia akan gagal mencapai komitmen iklimnya karena akan melampaui kuota deforestasi sebesar 3,25 juta hektare pada 2030. Demikian disampaikan oleh Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi disahkannya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi, analisa Madani menunjukkan 75,6%  atau setara 143 juta hektare dari seluruh luas daratan Indonesia yang mencapai 189 juta hektare adalah area silang sengkarut izin dan perlindungan hutan serta lahan di Indonesia. Teguh Surya mengatakan, “Dari 143 juta hektare area silang sengkarut izin dan perlindungan hutan dan lahan di Indonesia ini, 11,3 juta hektare merupakan IUPHHK HTI, 18,9 juta hektare adalah IUPHHK HA, 622 ribu hektare adalah IUPHHK RE, 11 juta hektare adalah PIAPS, 22,7 juta hektare adalah izin sawit, 66,3  juta hektare adalah area PIPPIB, 14,9 juta hektare adalah izin mineral dan batubara di daratan dan 31,9 juta hektare adalah area konsesi migas di daratan.”

 

Dengan silang sengkarutnya izin dan perlindungan hutan serta lahan di Indonesia ini menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja jelas bukan jawaban yang diharapkan oleh  investasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan,” tambah Teguh Surya. “Harusnya pemerintah dan DPR memprioritaskan untuk melakukan perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan Sumber Daya Alam serta melakukan penguatan KPK dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional. Sudah terang benderang dalam hasil kajian harmonisasi Undang-Undang di bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh KPK di tahun 2018 memandatkan untuk melakukan harmonisasi pada 26 Undang-Undang yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup dengan pemenuhan prinsip-prinsip pengelolaan SDA-LH”, terang Teguh.

 

Terdapat sepuluh hambatan utama investasi di Indonesia yang diabaikan dan tidak diakomodasi dalam UU Cipta Kerja diantaranya korupsi, inefisiensi birokrasi, akses ke pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, instabilitas kebijakan, instabilitas pemerintah, tarif pajak, etos kerja yang buruk, regulasi pajak, dan inflasi. Alih-alih berharap ada pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, UU Cipta Kerja justru merupakan mimpi buruk.

 

Upaya perlindungan hutan alam melalui kebijakan penghentian pemberian izin baru yang diperkuat (penguatan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2019) terancam tidak bisa dilakukan dengan diterapkannya UU Cipta Kerja tersebut. Ada empat provinsi yang terancam akan kehilangan hutan alam di luar PIPPIB dengan luasan terbesar, yaitu Kalimantan Tengah sebesar 3,5 juta hektare, Kalimantan Barat sebesar 1 juta hektare, Aceh sebesar 342 ribu hektare dan Sumatera Barat sebesar 254 ribu hektare.

Analisis terbaru Madani menunjukkan bahwa PIPPIB 2020 Periode 01 yang luasnya 66,3 juta hektare ini bersilang sengkarut dengan berbagai izin dan perlindungan hutan dan lahan. Paling besar upaya perlindungan hutan dan lahan lewat PIPPIB ini bersilang sengkarut dengan izin minerba di daratan yang mencapai 7,2 juta hektare, kemudian dengan izin migas di daratan yang mencapai 6,4 juta hektare. Upaya perlindungan hutan dan lahan lewat PIPPIB ini juga bersengkarut dengan area PIAPS sebesar 4,7 juta hektare serta dengan izin sawit sebesar 1,2 juta hektare, IUPHHK HA sebesar 386 ribu hektare, IUPHHK HTI sebesar 123 ribu hektare dan IUPHHK RE sebesar 4.748 hektare,” papar Fadli Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Tak hanya itu, dalam upaya pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan, khususnya dari pengurangan deforestasi, Indonesia terancam akan gagal total karena ambang batas deforestasi pada periode 2020-2030 sebesar 3,25 juta hektare akan terlampaui pada tahun 2025 jika laju deforestasi semakin meningkat akibat perlindungan hutan dilemahkan. “Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang pertama disebutkan bahwa Indonesia memiliki target untuk menekan angka deforestasi hingga berada di bawah 3.250.000 hektare pada tahun 2030 atau maksimal 325.000 hektare/tahun selama tahun 2020 hingga 2030 dengan upaya sendiri maupun dengan bantuan internasional. Namun, target tersebut terancam tidak akan tercapai jika pasal-pasal yang berpotensi memicu deforestasi dalam UU Cipta Kerja diterapkan,” kata M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Secara rata-rata, laju deforestasi Indonesia dari tahun 2006 hingga 2018 adalah 688.844,52 hektare/tahun. Maka kita bisa berhitung dengan angka tersebut, di tahun 2025 Indonesia akan melampaui kuota deforestasi untuk mencapai target NDC tahun 2030,” tambah M. Arief Virgy.

 

Dengan fakta-fakta di atas, terlihat jelas bahwa UU Cipta Kerja bukan jawaban pertumbuhan ekonomi yang diharapkan atas upaya penyelamatan hutan dan lahan serta pencapaian komitmen iklim Indonesia,namun justru sebaliknya mencederai upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menyelamatkan hutan serta komitmen iklim Indonesia. [ ]

oooOOOooo 

Kontak Media:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453, email: teguh@madaniberkelanjutan.id

M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0877 0899 4241, email: virgy@madaniberkelanjutan.id 

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887, email: luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Menjaga Hutan, Merawat Iklim: Praktik Terbaik Perhutanan Sosial dalam Menjaga Iklim Bumi

Menjaga Hutan, Merawat Iklim: Praktik Terbaik Perhutanan Sosial dalam Menjaga Iklim Bumi

Gelak senyum tampak dari wajah puluhan orang tua yang anaknya mengikuti sunatan massal di Desa Laman Panjang, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Mereka bahagia karena anak laki-lakinya bakal memasuki usia akil balig. Acara yang diadakan pada 16 Juli 2018 diikuti anak-anak dari empat desa tetangga, yaitu Senamat Ulu, Lubuk Beringin, Sangi Letung Dusun Buat dan Sungai Telang. Tiap desa mengirim 15 anak mengikuti khitanan massal dan belasan anak lainnya untuk mendapatkan hadiah tas sekolah.

Biaya hajatan tersebut berasal dari TUI Airways, perusahaan penerbangan di Eropa. Perusahaan ini membayar US$ 36 ribu (sekitar Rp 400 juta) untuk 6.000 ton cadangan karbon (carbon sink) dari kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo.

Selain sunatan massal, dana itu juga digunakan untuk pengayaan tanaman – membeli bibit durian, duku dan lainnya – juga meningkatkan patroli perlindungan hutan. Sisanya, dibagikan ke setiap desa yang masing-masing mendapat Rp 32 juta. “Di desa kami, uang itu untuk membeli tiga ekor sapi dan membiayai kegiatan ibu-ibu,” kata Fadli, Sekretaris Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Senamat Ulu1 . Dia menjelaskan, kelompok perhutanan sosial di wilayahnya, baru pertama kali memperoleh dana dari perusahaan swasta. 

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, yang menjadi pendamping masyarakat, memang mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo. Dari perhitungan KKI Warsi pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton C/hektare atau 1,052 ton CO2 e/hektare. “Perusahaan TUI Airways hanya membeli 6.000 ton di mana satu ton seharga US$ 6 kata Direktur Eksekutif KKI Warsi Rudi Syaf pada 23 April 2019.

Kepada Plan Vivo, Warsi juga melampirkan keberhasilan lima LPHD di Bujang Raba mencegah deforestasi berdasarkan interpretasi citra satelit Landsat tahun 1993 dan 2013. Laju deforestasi di reference area (wilayah rujukan) mencapai rata-rata 1,6 persen per tahun. Mereka membandingkannya dengan interpretasi citra satelit tahun 2015 di mana LPHD mendapat izin dari pemerintah untuk mengelola hutan desa selama 35 tahun. “Saat diberikan izin hutan desa, kerusakan tutupan hutannya pada 2018 adalah nol persen. Dapat dikatakan, perhutanan sosial mencegah kerusakan hutan,” ujar Rudi Syaf. 

Sejak 2015, ada 20 komunitas yang tergabung dalam The Indonesia Community Payment for Environment Service Consortium (Konsorsium Pengelola Jasa Lingkungan Indonesia) yang memakai standar Plan Vivo (Dian, 2015). Antara lain Hutan Desa Laman Satong, Ketapang Kalimantan Barat; Hutan Desa Durian Rumbun, Merangin, Jambi; Hutan Kemasyarakatan Aik Bual, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat; dan Hutan Nagari Padang Limau Sundai–Solok Selatan. 

Selain Plan Vivo, skema lain yang mengikuti pasar karbon sukarela adalah Verified Carbon Standard (VCS), Gold Standard (GS), Panda Standard, American Carbon Registry dan sebagainya. Di Indonesia, hanya Plan Vivo (untuk skala kecil) dan VCS yang digunakan oleh lembaga atau perusahaan yang mengelola hutan. Ada dua perusahaan swasta yang mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) selama 60 tahun dari Kementrian Kehutanan, yang mengikuti skema VCS. Yaitu PT Rimba Makmur Utama (RMU) dengan luas 149.800 hektare di Kabupaten Katingan dan Kotawaringin Timur (Kalimantan Tengah), yaitu PT Rimba Raya Conservation seluas 64 ribu hektare di Kabupaten Seruyan (Kalimantan Tengah). 

Dapatkan buku Menjaga Hutan, Merawat Iklim: Praktik Terbaik Perhutanan Sosial dalam Menjaga Iklim Bumi dengan mengunduh di lampiran yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

en_USEN_US