Madani

Tentang Kami

Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Hutan Mendesak Diwujudkan

Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Hutan Mendesak Diwujudkan

[Jakarta, 28 Mei 2020] Pembayaran pertama sebesar 56 juta dollar AS atau Rp 840 miliar dari Norwegia untuk keberhasilan Indonesia dalam menekan angka deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia ini harus menjadi penyemangat bagi semua pihak untuk lebih serius lagi  mewujudkan pembangunan ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan. Arahan Presiden Joko Widodo agar dana ini digunakan untuk program-program pemulihan hutan dan lingkungan hidup berbasis masyarakat sangatlah tepat. Program perhutanan sosial, misalnya, berpotensi berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap pencapaian target NDC Indonesia dari pengurangan deforestasi jika difokuskan pada wilayah-wilayah dengan risiko deforestasi tinggi dan diberi pendampingan maksimal untuk pengembangan ekonomi lokal yang sejalan dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sejalan dengan hal tersebut, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup yang diberi mandat untuk mengelola dana tersebut pun harus segera memastikan adanya perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya –  termasuk masyarakat sipil dan masyarakat adat/lokal –  agar program-program pengurangan deforestasi dan degradasi yang dijalankan betul-betul tepat sasaran dan bermanfaat bagi komunitas.

 

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam menanggapi satu dekade kerja sama pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Setelah satu dekade melalui fase persiapan dan transformasi, tahun ini Indonesia memasuki fase pembayaran berbasis hasil yang ditandai dengan pembayaran pertama sebesar 56 juta dollar AS dari Pemerintah Norwegia atas keberhasilan Indonesia mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2016-2017 sebesar 11,2 juta ton CO2e. Dana tersebut akan disalurkan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang resmi diluncurkan pada Oktober tahun lalu.

 

Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengumumkan angka deforestasi kotor (bruto) Indonesia tahun 2018-2019 yaitu 465,5 ribu hektare dan angka deforestasi bersih (netto) sebesar 462,4 ribu hektare.

 

Madani mengapresiasi penurunan angka deforestasi Indonesia meskipun tidak terlalu signifikan sebagai hasil dari berbagai kebijakan korektif yang dikeluarkan pemerintah serta kerja sama internasional yang baik dengan berbagai negara sahabat, termasuk Norwegia. Kemitraan yang setara dan saling menghormati ini harus dilanjutkan dan diperkuat dengan lebih menekankan pada aspek keterbukaan data dan informasi, partisipasi, serta penghormatan terhadap dan hak-hak masyarakat adat dan lokal terhadap hutan dan sumber daya alam,” tambah M. Teguh Surya.

 

Untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam Kemitraan tersebut, berbagai kebijakan korektif yang sangat penting seperti penghentian pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut, penundaan dan evaluasi izin perkebunan kelapa sawit, perhutanan sosial – termasuk pengakuan hutan adat -, penyusunan peta jalan untuk mencapai komitmen iklim (Roadmap NDC), serta implementasi peraturan perlindungan ekosistem gambut harus dilanjutkan dan lebih diperkuat lagi karena meskipun deforestasi Indonesia telah berkurang, angka tersebut masih berada di atas ambang batas untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, yakni maksimal 450 ribu hektare/tahun sebelum tahun 2020 dan maksimal 325 ribu hektare per tahun dalam periode 2020-2030. Artinya, Indonesia masih memiliki PR cukup besar untuk memenuhi komitmen dan target yang telah ditetapkannya sendiri. Belum lagi tantangan atau bahkan ancaman yang datang dari upaya legislasi yang berisiko melemahkan aturan perlindungan hutan dan lingkungan untuk kepentingan investasi, yakni RUU Cipta Kerja, yang berpotensi membuat Indonesia gagal mencapai komitmen iklimnya,” tutur Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan

Berdasarkan analisis Madani terhadap data deforestasi KLHK, angka deforestasi bruto Indonesia menunjukkan tren penurunan selama periode 2003-2018, namun terdapat lonjakan besar pada periode 2014-2015, yakni saat momentum politik Pemilihan Umum.

 

Secara kumulatif, deforestasi bruto tertinggi pada periode 2003-2018 terjadi di Provinsi Riau (1,8 juta hektare), disusul Kalimantan Tengah (1,4 juta hektare), Kalimantan Timur (1,2 juta hektare), dan Kalimantan Barat (1,16) juta hektare). Sementara itu, hutan alam tersisa Indonesia pada 2018 paling luas terdapat di Provinsi Papua (24,9 juta hektare), Papua Barat (8,8 juta hektare), Kalimantan Tengah (7,2 juta hektare), Kalimantan Timur (6,5 juta hektare), Kalimantan Utara (5,6 juta hektare), dan Kalimantan Barat (5,4 juta hektare). Meskipun hutan alam yang tersisa terlihat luas, hutan alam di luar PIPPIB dan PIAPS yang belum dibebani izin/konsesi (IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, perkebunan sawit, migas, dan minerba) sesungguhnya sangat kecil, yakni hanya 9,5 juta (10,7%) dari 88,7 juta hektar hutan alam tersisa di tahun 2018 , yang terluas berada di Papua (1,3 juta hektare), Maluku (912 ribu hektare), NTT (857 ribu hektare), Kalimantan Tengah (855 ribu hektare), Sulawesi Tengah (821 ribu hektare), Kalimantan Timur (586 ribu hektare), dan Maluku Utara (581 ribu hektare),” terang Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Hutan alam dengan luas mencapai 9,5 juta hektare ini perlu segera dilindungi oleh kebijakan penghentian izin baru yang diperluas cakupannya agar tidak lenyap akibat perluasan izin/konsesi skala besar, yang akan menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia dan kebijakan penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dijadwalkan berakhir tahun depan harus diperpanjang serta diperluas cakupannya menjadi penghentian izin sawit ke seluruh area yang masih memiliki hutan alam, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Hal ini sangat penting agar sawit Indonesia dapat terlepas dari stigma deforestasi yang mencoreng citranya di pasar global,” tutup M. Teguh Surya. [ ]

 

oooOOOooo

 

  • Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, +62 812-9480-1453
  • Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, +62 856-2118-997
  • Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, +628 151-986 -8887

 

Silahkan download file yang berkaitan di bawah ini:

Related Article

JOB CREATION BILL, COVID-19, AND INDONESIA’S CLIMATE COMMITMENT

JOB CREATION BILL, COVID-19, AND INDONESIA’S CLIMATE COMMITMENT

Mau Ikut Jelajah Alam bersama Madani Berkelanjutan di Ujung Kulon? Gratis, Lho!

Madani Berkelanjutan mengajak orang-orang muda yang peduli terhadap lingkungan untuk ikut kegiatan jelajah alam bernama “Panggilan Alam 2023: Jelajah Alam, Apresiasi Hubungan Alam dengan Manusia” ke Taman Nasional Ujung Kulon pada 16-23 Juli 2023.

Selain gratis, para peserta juga tentunya bisa memperkaya pengetahuan tentang perubahan iklim, krisis iklim, dan hubungannya dengan masyarakat lokal LANGSUNG dari masyarakat Ujung Kulon. 

Peserta juga akan diajak berpetualang ke berbagai lokasi indah dan must-visit di Taman Nasional Ujung Kulon, termasuk pantai & hutan 😍 

Kegiatan ini bisa menjadi wadah untuk mengembangkan diri, memperluas relasi, dan membangun jiwa kepemimpinan. Tentunya, kalian juga akan menjadi bagian dari #SobatMadani yang dekat dengan kami! 

Yuk, daftarkan dirimu segera untuk ikut dalam “Panggilan Alam 2023: Jelajah Alam, Apresiasi Hubungan Alam dengan Manusia” dan mari jelajahi Ujung Kulon! Daftarkan dirimu sebelum 3 Juli 2023, ya!

Isi survey ini terlebih dahulu lalu daftarkan dirimu sekarang juga melalui https://forms.gle/sYSnoDx4oJpzXJEN7

“Saat ini, Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim.” Demikian pembukaan yang disampaikan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 yang diselenggarakan pada 15 Juni 2023.

“Saat ini, terdapat sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya,” terang Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memantik diskusi. “Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen,” kata Salma.

“Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan,” tambahnya. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma memaparkan bahwa, saat ini terdapat 16,6 juta ha hutan alam berada di area izin PBPH-HA (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Alam), 3,5 juta ha berada di area konsesi minerba, 3,1 juta ha berada di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha berada di area PBPH-HT (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Tanaman). Apabila hutan alam yang berada di dalam izin-izin tersebut tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit untuk mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menambahkan kekhawatirannya tentang tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. “Beberapa Pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar. Ini terjadi pada zaman Soeharto dan SBY. Di akhir era orde baru dan pemerintahan SBY terjadi pelepasan hutan sekitar 275 ribu ha (Orde Baru) dan sekitar 291 ribu ha (SBY) sesaat sebelum pergantian presiden,” tutur Mufti Barri. “Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik, kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

“Kami juga berharap Menteri LHK yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir,” tambah Mufti Bahri.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, bercerita tentang tanah adatnya seluas 32 ribu hektare yang digusur sebuah perusahaan. “Prosesnya dilakukan secara sepihak oleh Kepala Suku yang dibujuk, padahal masyarakat tidak menerima pemberitahuan apapun. Dan akan ada ancaman tenggelamnya wilayah Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime jika hutan di lembah tersebut habis. Dan kami lebih khawatir lagi jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pada pengusaha,” jelas Regina Bay.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, “Penegakkan hukum menjadi kunci untuk dapat mengimplementasikan safeguard meskipun standar safeguard yang ada di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan Presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan,” kata Yuyun Indradi.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, menyampaikan bahwa politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik sehingga penting adanya transparansi pendanaan yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dan juga calon anggota legislatif. “Kandidat calon Presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.” Selain itu, Ferdian Yazid mengingatkan bahwa para pemilih jangan mau terfragmentasi pada saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” tutupnya.

Related Article

Bagaimana Rencana Cetak Sawah di Lahan Gambut?

Bagaimana Rencana Cetak Sawah di Lahan Gambut?

Pemerintah lewat Menko Perekonomian menyiapkan pembukaan sawah baru di lahan gambut. Dalam Rapat Terbatas, disampaikan bahwa rencana tersebut akan dikembangkan di atas lahan 255 ribu hektare di Kalimantan Tengah.

Saat ini sedang dilakukan studi selama minggu, dengan luas potensi 164.598 ha dari jumlah tersebut yang sudah ada jaringan irigasi 85.456 ha dan ada 57.195 ha yang sudah dilakukan penanaman padi selama ini oleh transmigran dan keluarganya dan ada potensi ekstensifikasi 79.142 ha

Akan dilakukan kajian lingkungan hidup strategis, kemudian meninjau ulang inventarisasi pengawasan pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kajian ketersediaan tenaga kerja di lokasi tersebut.

Menteri Pertanian menghitung kebutuhan tenaga kerja yang akan menggarapnya. Jika 1 hektare lahan gambut membutuhkan minimal 2-3 orang petani, maka untuk 200 ribu hektare dibutuhkan tidak kurang dari 300 ribu orang yang akan bermukim di sana.

Untuk pemberitaan media di Minggu III Mei 2020 selengkapnya dapat dilihat di lampiran.

Related Article

Diserbu Titik Api: Ulasan Kebakaran Hutan dan Lahan 2019 serta Area Rawan Terbakar 2020

Diserbu Titik Api: Ulasan Kebakaran Hutan dan Lahan 2019 serta Area Rawan Terbakar 2020

Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan 10 temuan kunci terkait dengan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) 2019 serta area yang rawan terbakar di 2020. Berikut kesepuluh temuan tersebut;

  • Tutupan lahan yang paling banyak terbakar di 2019 adalah lahan non-hutan, yang terbanyak adalah semak/belukar rawa dengan area terbakar seluas 538.742,99 hektare, disusul savana seluas 179.978,19 hektare, dan perkebunan seluas 159.656,90 hektare. Luas hutan alam yang terbakar relatif kecil dibandingkan lahan non-hutan, yaitu 74.997 hektare atau 4,6 persen dari total area terbakar pada 2019. Hal ini menunjukkan bahwa hutan alam yang kondisinya baik harus dipertahankan untuk menjaga agar lahan tidak mudah terbakar di musim kering. Sementara itu, lahan yang sudah terbuka atau hutan yang terdegradasi terbukti berisiko lebih tinggi untuk terbakar, terutama yang berada di Ekosistem Gambut.
  • Empat puluh empat persen (44%) kebakaran 2019 terjadi di areal Fungsi Ekosistem Gambut dengan luas mencapai 727.972 hektare, mayoritas (54,71 persen) terjadi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung (FLEG). Kebakaran di ekosistem gambut  sangat berbahaya karena sangat sulit untuk dipadamkan dan menimbulkan polusi karbon (emisi Gas Rumah Kaca) yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kebakaran di lahan mineral. Selain itu, kebakaran di gambut juga menimbulkan asap yang sangat beracun dan membahayakan bagi kesehatan manusia.
  • Lebih dari 1 juta hektare (63,28 persen) area yang terbakar pada tahun 2019 adalah wilayah kebakaran baru dalam periode 2015-2019 (Area Baru Terbakar). Kebakaran baru ini paling banyak terjadi di Kalimantan Tengah dengan luas 202.486,86 hektare, disusul Sumatera Selatan seluas 185.125,12 hektare, dan Kalimantan Barat seluas 125.058,60 hektare. Ketiga provinsi ini juga merupakan provinsi dengan laju penambahan luas sawit tertanam yang sangat tinggi dalam periode 2015-2018, yang tertinggi adalah Kalbar dengan laju 129.471 hektare per tahun, disusul Kalteng dengan laju 123.444 hektare per tahun, dan Sumatera Selatan dengan laju 78.607 hektare per tahun. Hal ini mengindikasikan adanya korelasi antara tingginya laju penambahan luas sawit dengan besarnya luas Area Terbakar Baru di ketiga provinsi ini.
  • Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah adalah dua provinsi dengan area terbakar terluas pada tahun 2019, yakni 40,12 persen dari total area terbakar 2019. Kedua provinsi tersebut memiliki ekosistem gambut yang luas dan merupakan provinsi prioritas restorasi gambut pada periode 2016-2020. Di tingkat kabupaten, lima kabupaten dengan luas area terbakar terbesar berturut-turut adalah Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan), Merauke (Papua), Ketapang (Kalimantan Barat),  Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), dan Kapuas (Kalimantan Tengah).
  • Mayoritas kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 (54,88 persen) terjadi di kawasan hutan. Kebakaran di kawasan hutan didominasi oleh kebakaran di hutan produksi (tetap, terbatas, konversi) yang luasnya mencapai 61,5 persen. Namun, kawasan hutan konservasi dan lindung pun masih mengalami kebakaran, yakni berturut-turut 25,2 persen dan 13,3 persen. Mayoritas kebakaran di hutan produksi (58,97 persen) terjadi di wilayah yang telah dibebani izin atau konsesi skala besar, yaitu perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri/IUPHHK HT, dan logging/IUPHHK HA. Di antara ketiga jenis izin/konsesi tersebut, kebakaran terbesar terjadi di wilayah izin Hutan Tanaman Industri (51,57 persen). Mayoritas kebakaran di hutan produksi juga terjadi di areal yang ditetapkan sebagai Fungsi Ekosistem Gambut (51,44 persen) dengan proporsi area terbakar di Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut (FBEG) sedikit lebih besar dibandingkan dengan area terbakar di Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG).
  • Meskipun seharusnya dilindungi, masih terjadi kebakaran di areal Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) 2019, yakni sebesar 31,35 persen. Kebakaran di areal PIPPIB paling banyak terjadi di areal yang ditetapkan sebagai Fungsi Ekosistem Gambut (64,41 persen), mayoritas di fungsi lindung (FLEG). Mayoritas lokasi kebakaran di areal PIPPIB (53,23 persen) relatif berdekatan dan bahkan tumpang tindih dengan izin/konsesi perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri/IUPHHK-HT. Dari segi tutupan, 65,84 persen kebakaran di dalam PIPPIB merjadi di tutupan non-hutan.
  • Delapan persen (8%) kebakaran hutan dan lahan 2019 terjadi di areal Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Terjadinya kebakaran di areal PIAPS disinyalir antara lain karena cukup banyak areal PIAPS (37,67 persen) yang berdekatan dan bahkan tumpang tindih dengan izin/konsesi, terutama sawit dan Hutan Tanaman Industri. Temuan ini sejalan dengan studi Truly et al. (2020) yang menyebutkan bahwa sekitar 40 persen areal di bawah skema Perhutanan Sosial berlokasi dekat dengan konsesi sawit dan Hutan Tanaman Industri. Mayoritas (57,46 persen) areal PIAPS yang terbakar pada tahun 2019 berada di dekat izin perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri.
  • Di antara ketiga jenis izin, yaitu perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (IUPHHK HT), dan logging (IUPHHK HA), kebakaran hutan dan lahan terbesar terjadi di wilayah izin sawit sebesar 217.497 hektare, disusul oleh HTI sebesar 190.831 hektare, dan logging sebesar 30.813 hektare. Kebakaran yang terjadi di wilayah izin sawit didominasi oleh kebakaran di Fungsi Ekosistem Gambut (59,66 persen), sebagian besar yang berstatus budidaya (FBEG). Sementara itu, luas Fungsi Ekosistem Gambut yang terbakar di wilayah izin HTI pada tahun 2019 mencapai 38,66 persen, sebagian besar juga di fungsi budidaya (FBEG).
  • Lima provinsi perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan sedari dini karena daerah-daerah tersebut memiliki luas Area Rawan Terbakar (ART) 2020 terbesar, yakni: Kalimantan Tengah dengan luas ART 2020 sebesar 12.841.157,58 hektare, Kalimantan Barat dengan luas ART sebesar 11.278.709,32 hektare, Papua dengan luas 10.796.019,78 hektare, Kalimantan Timur dengan luas 9.529.942,71 hektare, dan Sumatera Selatan dengan luas 8.251.872,47 hektare.
  • Selama periode pengamatan Januari hingga Maret 2020, sudah tercatat 12.488 hotspot di Indonesia dengan Area Potensi Terbakar (APT) seluas 42.312,44 hektare. Tiga provinsi dengan Area Potensi Terbakar tertinggi adalah Riau, Kepulauan Riau, dan Sumatera Utara dengan luas masing-masing 16.728 hektare, 3.550 hektare, dan 3.235 hektare.

Untuk mendapatkan bahan lengkap terkait dengan ulasan ini, silakan unduh bahan yang terlampir di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Karhutla 2019 dan Potensi Area Terbakar di 2020

Karhutla 2019 dan Potensi Area Terbakar di 2020

Tidak dapat dimungkiri bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi telah momok bagi pencapaian komitmen iklim Indonesia. Sejak 2010 hingga 2017, kasus karhutla khususnya di lahan gambut merupakan satu dari tiga penyumbang utama emisi Gas Rumah Kaca dari sektor hutan dan lahan.


Berdasarkan data Sistem Informasi Deteksi Dini Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Web atau disebut SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tercatat seluas 1.649.258 hektare karhutla di 33 provinsi di tanah air. Luas kebakaran tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya (2018), bukan hanya itu BNPB menyatakan total kerugian ekonomi akibat karhutla 2019 mencapai Rp 75 Triliun.

GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, Fadli Naufal dalam diskusi virtual bertema “Menyelisik Karhutla 2019 dan Area Potensi Terbakar 2020” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 13 Mei 2020, menyebut bahwa lebih dari 1 juta hektare atau 63 persen area terbakar 2019 adalah hutan dan lahan yang baru terbakar pertama kali pada tahun 2019 (Area Baru Terbakar). Mayoritas atau 56,84 persen Area Baru Terbakar ditemukan di dalam dan sekitar wilayah izin, khususnya izin sawit dan Hutan Tanaman Industri.

Dari sebaran provinsi, Area Baru Terbakar terluas ada di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, tiga provinsi dengan laju peningkatan luas sawit tertanam yang sangat tinggi dalam periode 2015-2018”, ujar Fadli.

Dalam diskusi yang sama, Direktur Perbaikan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Medi Herlianto selaku narasumber mengatakan bahwa penanganan kebakaran hutan pada tahun lalu sangat terlambat sehingga penyebarannya sudah begitu luas. Hal ini terjadi karena lamanya proses penetapan status darurat yang dilakukan pemerintah setempat. Akibatnya BNPB Pusat tidak dapat segera turun tangan menangani permasalahan.

Untuk mendapatkan bahan diskusi virtual “Menyelisik Karhutla 2019 dan Area Potensi Terbakar 2020”, silakan unduh selengkapnya di tautan di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Cegah Kebakaran 2020: Lima Provinsi dengan Area Rawan Terbakar Tinggi Perlu Menjadi Perhatian Khusus

Cegah Kebakaran 2020: Lima Provinsi dengan Area Rawan Terbakar Tinggi Perlu Menjadi Perhatian Khusus

Jakarta, 13 Mei 2020. Kebakaran hutan dan lahan yang menyerbu Indonesia tahun 2019 lalu adalah yang terburuk kedua sejak 2015, menghanguskan 1,6 juta hektare hutan dan lahan dan menimbulkan kerugian sebesar 75 Triliun rupiah.

Yayasan Madani Berkelanjutan mengungkap lima temuan terkait kebakaran hutan dan lahan di 2019 dan peringatan dini untuk tahun 2020. Pertama, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah adalah provinsi dengan area terbakar terluas di tahun 2019 dan kedua provinsi ini merupakan provinsi prioritas restorasi gambut. Kedua, 44 persen kebakaran tahun 2019 terjadi di ekosistem gambut yang sulit dipadamkan, dan mayoritas berada di gambut lindung. Ketiga, lebih dari 1 juta hektare area terbakar pada tahun 2019 atau 63 persen merupakan area yang baru pertama kali terbakar di tahun 2019 dan erat kaitannya dengan keberadaan izin, khususnya perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri. Keempat, area terbakar tahun 2019 terluas terjadi di tutupan lahan non-hutan sehingga menjaga hutan menjadi kunci untuk mencegah kebakaran. Dan kelima, lima provinsi harus diperhatikan secara khusus, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan karena memiliki prediksi Area Rawan Terbakar paling luas di tahun 2020,” demikian dipaparkan oleh Fadli Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online bertema “Menyelisik Karhutla 2019 dan Area Potensi Terbakar 2020” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 13 Mei 2020.

Kebakaran yang terjadi di area PIPPIB (Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru) dan PIAPS (Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial) juga berkaitan erat dengan keberadaan dan kedekatan dengan wilayah izin/konsesi sawit dan HTI.  51,82 persen kebakaran di PIPPIB relatif berdekatan dan bahkan tumpang tindih dengan kedua jenis izin ini, sementara di PIAPS 57,46 persen.

Mayoritas kebakaran di Hutan Produksi (58,97 persen) juga terjadi di wilayah yang tumpang tindih dengan atau telah dibebani izin skala besar, yaitu perkebunan sawit, HTI, dan logging/IUPHHK HA dengan luasan terbesar di wilayah HTI (51,57 persen). Di antara tiga jenis izin di atas, kebakaran 2019 terluas terjadi di wilayah izin sawit sebesar 217.497 hektare, disusul oleh HTI sebesar 190.831 hektare, dan IUPHHK HA sebesar 30.813 hektare.

Mengingat sentralnya keberadaan perizinan pengelolaan kebun dan hutan dalam kebakaran 2019, pengawasan terhadap kepemilikan sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian kebakaran di wilayah berizinharus diperkuat, juga penegakan hukum terhadap pemilik izin yang arealnya terjadi kebakaran,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani.

RUU Cipta Kerja jika dilanjutkan  pembahasannya akan sangat berisiko meningkatkan kerentanan wilayah terhadap Karhutla”, tambah Teguh.

Selain keberadaan izin, Ekosistem Gambut juga memainkan peran signifikan dalam Karhutla 2019. Empat puluh empat (44) persen kebakaran 2019 dengan luas mencapai 727.972 hektare terjadi di Ekosistem Gambut. Yang memprihatinkan, mayoritas (54,71 persen) terjadi di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung (FLEG).

Area Ekosistem Gambut yang berada di dalam dan sekitar izin – khususnya perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri – harus diperhatikan secara khusus karena memainkan peran penting dalam kebakaran 2019. Kebakaran di Ekosistem Gambut sangat berbahaya karena sulit untuk dipadamkan dan menimbulkan polusi karbon yang jauh lebih besar, juga menimbulkan asap yang sangat beracun dan membahayakan bagi kesehatan masyarakat,” tambah Teguh.

Mengingat Ekosistem Gambut memainkan peran penting dalam pencegahan Karhutla, maka restorasi gambut mutlak menjadi salah satu strategi utama pemerintah dan pemegang  izin dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2020. Penegakan hukum terhadap pemegang izin yang masih melakukan pengeringan gambut dan tidak menjalankan restorasi gambut di wilayahnya harus digalakkan dan peraturan yang dapat melemahkan perlindungan ekosistem gambut diantaranya Permen LHK No. 10 Tahun 2019 dan Permen LHK No. 62 Tahun 2019  layak untuk segera dicabut. .

***

Narahubung:

  1. Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0819 1519 1979, email: teguh@madaniberkelanjutan.id
  1. Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 1916 1932, email: fadli@madaniberkelanjutan.id
  1. Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887, email: luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Madani Insight Vol.7

Madani Insight Vol.7

Gambaran Industri Sawit Indonesia, Menjawab Asumsi Dengan Fakta dan Angka

Madani Berkelanjutan merilis beberapa temuan menarik terkait dengan industri sawit di Indonesia. Temuan tersebut disajikan dalam Info Brief Madani Insight yang disusun ke dalam beberapa volume.

Ada beberapa poin penting yang ditemukan Madani Berkelanjutan dalam Info Brief volume 7 ini :

Hilangnya Tutupan Hutan dan Bencana di Riau. Terdapat pola yang dapat dipelajari dari lima kabupaten di Riau bahwa hilangnya tutupan hutan pada periode 2010- 2013 telah meningkatkan peluang terjadinya bencana (kekeringan, longsor, puting beliung karhutla dan banjir) pada dua atau tiga tahun setelahnya.

Potensi Kerugian Ekonomi dari Hilangnya Karbon pada Karhutla 2019 di Konsesi Sawit Bergambut Riau. Potensi kerugian atas kebakaran ekosistem gambut di wilayah konsesi sawit tahun 2019 di Riau dari sisi karbon mencapai Rp 1,5 triliun milyar rupiah hingga kondisi ekosistem gambut bisa kembali full recovery.

Bencana dan Kapasitas Manajemen Bencana di Desa Sekitar Perkebunan Sawit Riau. Sebanyak 8 dari 10 desa yang berada sekitar perkebunan sawit di 6 kabupaten dengan area tanam sawit terluas di Riau memiliki kerentanan atas bencana. Namun, hanya 15% di antaranya yang memiliki kapasitas manajemen bencana.

Untuk Info Brief Madani Insight Volume 7 ini, selengkapnya dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini.  Semoga bermanfaat.

Related Article

Madani Insight Vol.6

Madani Insight Vol.6

Gambaran Industri Sawit Indonesia, Menjawab Asumsi Dengan Fakta dan Angka

Madani Berkelanjutan merilis beberapa temuan menarik terkait dengan industri sawit di Indonesia. Temuan tersebut disajikan dalam Info Brief Madani Insight yang disusun ke dalam beberapa volume.

Ada beberapa poin penting yang ditemukan Madani Berkelanjutan dalam Info Brief volume 6 ini :

Urgensi Diversifikasi Komoditas Kunci Kesejahteraan dan Ketahanan Pangan Riau. Tingkat kesejahteraan dan ketahanan pangan Riau perlu digantungkan pada keberagaman dan keseimbangan tingkat produksi antar komoditas yang diusahakan oleh masyarakat. Pilihan untuk bergantung pada satu komoditas yang dominan akan terlalu berisiko pada perekonomian daerah.

Perkebunan Sawit dan Kemandirian Desa di Riau: Sebuah Pandangan Atas Data. Kontribusi perkebunan sawit baik yang legal maupun ilegal terhadap pembangunan desa di Riau masih jauh dari harapan. Hampir 90% desa yang berada di sekitar perkebunan sawit belum mendapatkan manfaat optimal atas keberadaan perkebunan sawit tersebut. Diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menyelesaikan persoalan ini.

Menilik Kesejahteraan Petani Sawit Rakyat. Laju penambahan luas area tanam sawit rakyat bertambah secara signifikan setiap tahunnya, namun demikian tidak dengan tingkat kesejahteraan yang dirasakan petani. Riau yang memiliki luas area tanam sawit rakyat terbesar, hanya pada tahun 2017 petani sawit memiliki tingkat kesejahteraan yang baik.

Untuk Info Brief Madani Insight Volume 6 ini, selengkapnya dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

STRATEGI PENANGANAN KARHUTLA SAAT PANDEMI COVID-19

STRATEGI PENANGANAN KARHUTLA SAAT PANDEMI COVID-19

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyiapkan strategi dalam menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama pandemi korona (Covid-19). KLHK pun memastikan bahwa seluruh langkah yang akan diambil telah berdasarkan protokol kesehatan Covid-19.

KLHK pun akan melakukan pemantauan titik panas dan indeks pencemaran udara. Hasil dari pemantauan yang dilakukan nantinya akan dilaporkan dalam situs KLHK agar publik dapat mengetahui situasi terkini. Saat ini, petugas dari KLHK masih berada di lapangan untuk menindaklanjuti informasi titik panas dari masyarakat. Apabila terjadi kebakaran, makan petugas pemadam kebakaran juga telah bersiap untuk melakukan pemadaman. Dalam hal ini, pemantauan kondisi kesehatan dan stamina petugas tetap menjadi perhatian.

Kemudian juga, tidak menutup kemungkinan akan adanya penggunaan teknologi modifikasi cuaca jika diperlukan. Apalagi, teknologi itu sudah dilaksanakan di Riau.

Untuk mendapatkan informasi terkait dengan pemberitaan media pada pekan ini, silakan unduh bahan materi yang tersedia di tautan di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Sawit Riau Antara Bencana dan Kesejahteraan

Sawit Riau Antara Bencana dan Kesejahteraan

Saat ini, industri sawit memegang peranan penting dalam perekonomian baik nasional maupun daerah. Terlebih bagi Provinsi Riau yang saat ini menempati peringkat pertama provinsi dengan luas sawit terbesar di Indonsia (3,4 juta hektare).


Per 2018, terdapat tujuh kabupaten di Riau yang memiliki luas area tanam sawit terluas, yaitu Kampar (430 ribu hektare), Rokan Hulu (410 ribu hektare), Siak (347 ribu hektare), Pelalawan (325 ribu hektare), Rokan Hilir (282 ribu hektare), Indragiri Hilir (227 ribu hektare), dan Bengkalis (186 ribu hektare).

Dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Madani Berkelanjutan dengan tema “Kesejahteraan dan Panen Bencana di Provinsi Sentra Sawit di Riau”, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, Intan Elvira menyampaikan bahwa dari 7 kabupaten dengan luas area tanam sawit yang signifikan, 6 kabupaten memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah, yaitu Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rohil. Sementara itu, 4 kabupaten (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar) justru mengalami kerawanan pangan.

Kerawanan pangan yang terjadi di Riau juga disinyalir lantaran Riau telalu bergantung kepada perekebunan kelapa sawit.

Terkait dengan hal ini, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, mengatakan bahwa menggantungkan perekonomian hanya pada sawit sebagai komoditas dominan akan sangat berisiko bagi ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat di daerah.

Menggantungkan harapan pada satu jenis komoditas itu keliru. Namun, belum terlambat bagi provinsi Riau, tetapi tetap harus ada siasat, keberanian, komitmen, dan kolaborasi agar keluar dari ketergantungan akan sawit”, Ujar Teguh Surya.

Dalam diskusi virtual ini, hadir beberapa narasumber lainnya seperti Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Siak, L Budi Yuwono, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak, Dr. Ir H. Wan Muhammad Yunus, Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Riau, Vera Virgianti S.Hut, MM, serta akademisi yang juga Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, Dr. Pramono Hadi.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkai diskusi ini, silakan unduh beberapa materi yang terlampir di bahwa ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

en_USEN_US