Madani

Tentang Kami

Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

[Jakarta, 26 Maret 2021] Indonesia berpeluang untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan kuota deforestasi Indonesia dalam Updated NDC pada periode 2020-2030 menjadi 10,7 ribu hektar per tahun hingga nol. Untuk mencapainya, berbagai kebijakan perlindungan hutan alam tersisa harus lebih diperkuat, antara lain dengan memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru ke hutan-hutan alam yang belum terlindungi, meneruskan kebijakan moratorium sawit, dan meninjau kembali berbagai program strategis dan pemulihan ekonomi nasional yang mengancam hutan. Demikian disampaikan oleh Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Berdasarkan skenario yang selaras dengan Paris Agreement, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2010-2030 tidak boleh lebih dari 241 ribu hektar per tahun. Dengan demikian, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 4,82 juta hektare. Berdasarkan data KLHK, dari tahun 2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sebesar kurang lebih 4,71 juta hektare, sehingga kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 107 ribu hektare atau 10,7 ribu hektare per tahun. Namun, apabila memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011 yaitu sebesar 196.750 hektare, maka kuota deforestasi periode 2020-2030 bahkan mencapai minus. Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki kuota deforestasi sampai 2030,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengumumkan tiga skenario dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience) dengan target mencapai nol emisi bersih pada 2070, atau 20 tahun lebih lambat dari yang diserukan oleh PBB. Dalam skenario paling ambisius dan selaras dengan Paris Agreement (Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP), Indonesia menargetkan puncak emisi (peaking) untuk semua sektor dengan sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada tahun 2030. 

Dengan demikian, hutan dan lahan Indonesia akan sangat diandalkan tidak hanya untuk mengurangi emisi dari sektor itu sendiri, tetapi juga untuk menyerap emisi atau polusi karbon dari sektor-sektor lain, yakni energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. 

Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin/konsesi, area alokasi perhutanan sosial/PIAPS, dan area penghentian izin baru/PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru sehingga rentan terdeforestasi,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan. “9,4 juta hektare hutan alam ini harus dilindungi untuk mencapai visi jangka panjang Indonesia selaras dengan Paris Agreement.”

Selain itu, pemerintah juga harus meninjau ulang berbagai program Pemulihan Ekonomi dan Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate agar tidak merusak hutan alam. “Analisis awal Madani, ada 1,5 juta hekatre hutan alam di Area of Interest Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatera Selatan dengan potensi nilai kayu sebesar 209 triliun rupiah yang harus dilindungi,” tambah Fadli. 

Perlindungan hutan-hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi Hutan Tanaman Industri dan usaha perkebunan sawit pun harus menjadi perhatian. Salah satu upaya menyelamatkan hutan alam di dalam izin/konsesi perkebunan sawit adalah melalui kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada September 2021. “Oleh karena itu, meneruskan kebijakan moratorium sawit yang di dalamnya terdapat elemen penyelamatan hutan alam dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit sangat penting bagi pencapaian Visi Jangka Panjang Indonesia,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement, Indonesia harus mentransformasikan penggunaan lahan dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif baik di dalam maupun di luar kawasan hutan untuk mencapai ketahanan pangan dan energi serta melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa secara menyeluruh. 

Masa depan kita dan generasi mendatang bergantung pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini agar tidak lagi merusak hutan dan lingkungan. Perubahan ini harus dimulai sekarang juga karena dampak krisis iklim yang semakin parah tidak lagi memberikan kita kemewahan waktu,” tutup Yosi.

*

Kontak Media :

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

Opsi Implementasi NDC Sektor Kehutanan 2021-2030

Opsi Implementasi NDC Sektor Kehutanan 2021-2030

Pemerintah Indonesia telah mengirimkan dokumen First Nationally Determined Contribution (NDC) ke UNFCCC, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi isu perubahan iklim tahun 2016. Pengiriman dokumen NDC Indonesia secara resmi ke UNFCCC ini menunjukkan adanya babak baru tentang kesanggupan Indonesia untuk berpartisipasi dalam menurunkan emisi CO2e sekaligus berkontribusi untuk penurunan emisi global.

Pengiriman dokumen penting ini juga disertai dengan angka – angka matematis logis bersama skenario – skenario yang realistis. Ada lima sektor yang diberi amanah oleh pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi sesuai NDC yaitu sektor energi, limbah, perindustrian, pertanian dan kehutanan. Dari kelima sektor ini, berdasarkan skenario pertama sektor kehutanan diberi tanggung jawab menurunkan emisi 17,2% dari total 29%.

Ini berarti sektor kehutanan diberi kehormatan penting untuk menurunkan emisi nasional sebesar 59,31% atau 60%. Padahal, emisi dari sektor kehutanan tahun 2030 pada skenario pertama atau dengan kemampuan dalam negeri sendiri hanya sekitar 217 MTon CO2e dari total emisi sekitar 2.034 M Ton CO2e atau hanya 10,67%. Sedangkan emisi dari sektor energi tahun 2030 diperkirakan menyumbang emisi sebesar 1.355 MTon CO2e atau sekitar 66,62%. Meskipun demikian, dalam hal penurunan emisi justru sektor kehutanan yang diberi kepercayaan tertinggi yaitu menurunkan sekitar 60%.

Dalam dokumen Forest Reference Emission Level (FREL) tahun 2016, disebutkan sumber emisi sektor kehutanan ada tiga yaitu dari deforestasi, degradasi hutan dan dekomposisi gambut. Data FREL yang digunakan yaitu dari tahun 1990 – 2012 atau selama 22 tahun. Rata-rata emisi dari deforestasi periode 1990 – 2012 sebesar 293 MTon CO2e. Emisi untuk degradasi hutan rata – rata dari tahun 1990 – 2012 sebesar 58 MTon CO2e. Sedangkan emisi dari dekomposisi gambut bervariasi dari tahun 1990 sebesar 151.782.943 Ton CO2e dan tahun 2012 sebesar 226.167.756 Ton CO2e atau setiap tahun cenderung naik. Emisi gambut dalam dokumen FREL berbeda dengan deforestasi dan degradasi hutan yang berfluktuasi, sedangkan untuk dekomposisi gambut cenderung naik setiap tahun. 

Pemerintah Indonesia melalui KLHK tahun 2019 sudah menyusun dokumen Peta Jalan Implementasi Nationally Determined Contribution Mitigasi. Dalam dokumen ini disebutkan tujuan penyusunan dokumen peta jalan NDC mitigasi adalah Dokumen Peta Jalan (Road Map) merupakan pedoman bagi para pemangku kepentingan baik pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha maupun masyarakat dalam upaya pencapaian target NDC melalui penyediaan informasi tentang perencanaan, tata waktu dan penetapan target penurunan emisi GRK secara rinci per subsektor serta identifikasi seluruh aspek yang mendukung pencapaian target. 

Pertanyaan terpenting selanjutnya adalah bagaimana strategi Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29% pada tahun 2030 dengan kemampuan dalam negeri dan 41% dengan kerjasama luar negeri? Apa saja hal yang sudah, belum dan akan dilakukan untuk mencapai penurunan emisi tersebut? Bagaimana peran para pihak baik pemerintah, swasta, LSM dan masyarakat dalam penurunan emisi tersebut? Tulisan ini mencoba menganalisis berbagai hal yang sudah dilakukan dan aspek – aspek yang masih perlu dilakukan untuk pencapaian NDC di sektor kehutanan pada tahun 2030. 

Dapatkan laporan Opsi Implementasi NDC Sektor Kehutanan 2021-2030 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

ENVIRONMENTALLY-ORIENTED FOOD TECHNOLOGY STARTUP

ENVIRONMENTALLY-ORIENTED FOOD TECHNOLOGY STARTUP

Dewasa ini, eksistensi perusahaan rintisan (startup) kian menjamur. Dilansir dari laman Tech in Asia yang merupakan salah satu komunitas online pelaku startup di Asia, menyatakan bahwa ekosistem startup di Indonesia masih kondusif meskipun situasi ekonomi Indonesia saat ini terombang-ambing akibat pandemi. Bahkan masih banyak startup yang mendapatkan pendanaan dari para venture capital meskipun cenderung menurun. Hal yang membedakan ialah saat ini pihak venture capital akan lebih teliti dalam meninjau rencana profitabilitas startup sekaligus potensi sektor yang digelutinya.

Kehadiran inovasi-inovasi teknologi melalui layanan startup di berbagai sektor sangat berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, baik skala mikro maupun makro. Menurut riset INDEF, ekonomi digital telah berkontribusi sebesar 5,5% atau sekitar Rp 814 triliun untuk PDB Indonesia pada tahun 2018. Berdasarkan riset yang sama, sektor ekonomi digital juga telah membuka sekitar 5,7 juta lapangan kerja baru. Menurut laporan yang bertajuk eConomy SEA 2019, valuasi ekonomi digital Indonesia pada tahun 2019 telah mencapai $40 miliar dan diprediksi akan mencapai $130 miliar pada tahun 2025 nanti.

Perhatian yang serius terhadap pertumbuhan startup tentu diperlukan dalam rangka memajukan perekonomian bangsa.  Menurut William Gozali, Ketua I Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO), terdapat tiga sektor yang potensial untuk digarap di tahun 2021, yaitu : digitalisasi UMKM, social commerce, dan food technology. 

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi, Ketahanan Pangan, dan Keseimbangan Ekosistem

Sektor terakhir, food technology startup ataupun food and beverage startup, memang terlihat menjanjikan akhir-akhir ini. Salah satunya ditandai dengan keberhasilan Kopi Kenangan mendapatkan suntikan dana sebesar $109 juta atau setara Rp 1,6 triliun di tengah situasi pandemi. 

Tantangan berikutnya adalah bagaimana menghadirkan model bisnis industri pangan yang dapat mendatangkan keuntungan besar bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga segi lingkungan. Untuk mencapai hal tersebut, setidaknya terdapat 3 lingkup industri pangan yang perlu didisrupsi dengan menghadirkan inovasi yang lebih ramah lingkungan:

1. Optimalisasi pangan lokal

Mengkonsumsi pangan lokal dapat didefinisikan sebagai kebiasaan mengkonsumsi makanan yang diproduksi di sekitar tempat tinggal. Di Amerika Serikat, para pelakunya disebut sebagai locavore, umumnya mereka mengonsumsi makanan yang diproduksi pada jarak radius 100 mil dari kediaman masing-masing.

Distribusi dan transportasi bahan makanan yang umumnya berjarak jauh berasosiasi terhadap tingginya konsumsi bahan bakar, meningkatnya polusi udara serta emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk pada lingkungan. 

Dengan mengkonsumsi pangan lokal, dampak buruk tersebut dapat berkurang. Selain itu, mengkonsumsi pangan lokal berarti membantu petani lokal atau pemilik lahan skala kecil yang umumnya mempraktikkan sistem produksi yang lebih ramah lingkungan dibanding pemilik lahan besar. Umumnya, model produksi petani lokal bersifat agroekologis dan multikultur dan minim pemakaian input kimia sehingga kesuburan tanah lebih terjaga. Konsumsi pangan lokal yang identik dengan diversifikasi pangan juga dapat membantu merawat keanekaragaman varietas genetika (biodiversitas). 

2. Reduksi angka food loss dan food waste

Diperkirakan sepertiga dari total makanan yang diproduksi dunia per tahunnya (sekitar 1,3 miliar ton) terbuang, baik berupa food loss maupun food wasteFood loss merupakan sampah bahan pangan yang masih mentah namun sudah tidak bisa diolah sehingga akhirnya dibuang. Penyebabnya bisa berupa terjadinya pembusukan pasca panen, mutu rendah, ataupun permintaan pasar yang rendah. Adapun food waste merupakan makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia namun dibuang begitu saja dan akhirnya menumpuk di TPA.

Limbah makanan tersebut memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan. Dikutip dari FAO, produksi agrikultur bertanggung jawab terhadap 92% water footprint. Water footprint pada suatu produk didefinisikan sebagai total  volume air segar  yang digunakan untuk memproduksi produk tersebut. Masalah lingkungan terjadi jika penggunaan air lebih banyak menggunakan blue water (irigasi) daripada green water (air hujan). Hal tersebut dapat menyebabkan degradasi tanah, penipisan air dan salinisasi. Faktanya, secara global, blue water footprint untuk produksi agrikultur dari makanan yang terbuang mencapai sekitar 250 km3 pada tahun 2007.

Masalah besar lainnya ialah carbon footprint. Food waste yang menumpuk di TPA menghasilkan gas metana dan karbondioksida. Kedua senyawa tersebut tidak sehat bagi lingkungan karena berpotensi merusak lapisan ozon. Rata-rata carbon footprint yang dihasilkan sekitar 500 kg CO2 per kapita per tahun. Selain itu, limbah pangan juga berasosiasi terhadap pembukaan lahan yang sia-sia. Padahal, pembukaan lahan umumnya mengorbankan penyusutan biodiversitas.

3. Substitusi bahan kemasan yang tidak ramah lingkungan

Menurut Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), konsumsi plastik di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 17 kg/kapita/tahun. Penggunaan plastik yang cukup tinggi berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Penumpukan sampah plastik yang sulit terurai dapat mencemari lingkungan. Polimer sintesis yang merupakan bagian utama dari plastik akan terdegradasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Jika dibakar, plastik akan menghasilkan emisi karbon yang mencemari lingkungan.

Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, dikembangkanlah biodegradable plastic, yaitu plastik yang mudah terurai kembali oleh mikro organisme di tanah menjadi senyawa ramah lingkungan. Biodegradable plastic terbuat dari bahan polimer alami seperti pati, selulosa dan lemak. Bahan utama yang sering digunakan dalam pembuatan biodegradable plastic adalah pati dan Poly Lactic Acid (PLA).

BACA JUGA: Jalan Tengah Penerapan Extended Producers Responsibility Produsen Plastik

Pati merupakan bahan baku yang banyak tersedia di Indonesia. Pati diperoleh dengan cara mengekstrak bahan nabati yang mengandung karbohidrat, seperti serealia dan aneka umbi. Secara komersial, industri yang memproduksi bioplastik masih terbatas karena permintaan di dalam negeri masih rendah. Harga biodegradable plastic lebih mahal dari plastik konvensional diantaranya karena kapasitas produksinya belum optimal dan teknologi proses belum berkembang luas. Selain itu, belum adanya aturan pembatasan penggunaan plastik konvensional juga berpengaruh. 

Ketiga lingkup tersebut perlu dikelola dengan sebaik-baiknya dalam rangka mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Kehadiran inovasi berupa food technology startup berorientasi lingkungan dapat menjadi solusi. Layanan digital dapat menghubungkan petani lokal dengan konsumen secara mudah, memungkinkan traceability suatu bahan pangan, mengelola daur ulang sampah makanan secara optimal, mengolah hasil panen bermutu rendah namun masih layak konsumsi, serta menggiatkan penelitian dan pemakaian kemasan ramah lingkungan sehingga harganya lebih terjangkau.

Layanan-layanan di atas merupakan beberapa contoh dari apa yang dapat  dilakukan untuk mengoptimalkan kemajuan teknologi dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan. Tentu masih banyak lagi hal lainnya. Fleksibilitas startup dalam menyusun business model menjadi salah satu keuntungan tersendiri, sehingga dapat dengan cepat mengadopsi sistem perekonomian yang ramah lingkungan. 

Dalam rangka mewujudkan gagasan tersebut, maka diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, pengusaha, hingga konsumen. Kini saatnya mengarahkan kemajuan teknologi untuk mentransformasikan sistem pangan dan perekonomian menjadi lebih ramah lingkungan.  

Oleh: Muhammad Zaki Maarif Firman

Mahasiswa IPB University

Related Article

Menakar Kemajuan Pencapaian Komitmen Iklim di Sektor Kehutanan

Menakar Kemajuan Pencapaian Komitmen Iklim di Sektor Kehutanan

Mengembalikan stabilitas iklim global di tengah berbagai peluang untuk terus memacu pertumbuhan ekonomi merupakan tantangan besar bagi peradaban saat ini. Tanpa ada perubahan pola konsumsi dan rute dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi, batasan bumi dapat bertahan sebagai tempat yang layak huni bagi manusia semakin dipertanyakan (Steffen et al., 2015).

Telah menjadi berita rutin setiap tahunnya, bahwa suhu rata-rata dunia semakin panas dari tahun ke tahun (IPCC, 2018). Fakta tersebut bukan tidak membawa konsekuensi. Intensitas cuaca ekstrem semakin meningkat, gelombang panas dan kekeringan melanda berbagai belahan dunia dan sebagian lagi harus mulai beradaptasi dengan longsor, banjir dan naiknya muka air laut. 

Semakin tertunda upaya mitigasi terhadap penyebab krisis iklim tersebut, integritas biosfer untuk menampung kehidupan manusia semakin diragukan. Perlu ada batasan peningkatan suhu yang disepakati oleh penduduk dunia.

Untuk menangani krisis tersebut, panel antar-pemerintah untuk perubahan iklim (IPCC) yang terdiri dari ilmuwan dan ahli dari berbagai disiplin ilmu di seluruh dunia tanpa keberpihakan dan secara transparan menerbitkan hasil penelitian pertama pada tahun 1990. 

Di dalamnya dipaparkan informasi teknis, sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan isu perubahan iklim serta strategi yang dapat dilakukan untuk mengubah keadaan tersebut. Hampir 30 tahun yang lalu sains sudah menunjukkan urgensi upaya mitigasi dan adaptasi atas perubahan iklim. 

Diperlukan sebuah kesepakatan global untuk menanggulangi masalah perubahan iklim agar tidak perlu mengelola keterlanjuran yang semakin menumpuk. Pembentukan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim atau dikenal sebagai United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) beserta Protokol Kyoto dijadikan sarana untuk mencapai tujuan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang telah dibuktikan sebagai pemicu utama krisis iklim yang ada saat ini.

Meski konvensi dan penjabaran prosedur yang lebih rinci seperti UNFCCC dan Protokol Kyoto telah disepakati, efektivitas pengurangan emisi GRK masih menjadi pertanyaan besar. Utamanya dikarenakan tidak pernah secara pasti tujuan global dielaborasi dalam target numerik yang dapat dijadikan acuan bagi setiap negara. 

Selain itu, kerangka kerja sebelumnya memungkinkan penekanan lebih pada instrumen pasar dengan emisi sebagai komoditasnya di pasar internasional daripada upaya optimal pada upaya penurunan emisi. Untuk itu, pada tahun 2015 lahirlah sebuah kesepakatan baru: Perjanjian Paris. Perjanjian Paris bertujuan menahan peningkatan temperatur rata-rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat masa pra-industrialisasi dan melakukan upaya membatasinya hingga di bawah 1,5°C. 

Di samping itu, Perjanjian Paris juga mengarahkan negara-negara untuk meningkatkan ketahanan iklim sehingga tidak ada produksi pangan yang terancam. Di dalam perjanjian tersebut, skema pendanaan, alih teknologi, peningkatan kapasitas bagi implementasi menuju pembangunan rendah emisi yang berketahanan iklim juga dipersiapkan.

Dapatkan buku kajian Menakar Kemajuan Pencapaian Komitmen Iklim di Sektor Kehutanan dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

[1000 IDEAS] OPTIMIZING ENVIRONMENTAL SERVICES OF FORESTS TO ACHIEVE ECONOMIC DEVELOPMENT WITHOUT DEFORESTATION

[1000 IDEAS] OPTIMIZING ENVIRONMENTAL SERVICES OF FORESTS TO ACHIEVE ECONOMIC DEVELOPMENT WITHOUT DEFORESTATION

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, saat ini Indonesia sedang gencar mengembangkan perekonomiannya. Terlebih setelah World Bank dan International Monetary Fund memprediksi di akhir tahun 2020 ekonomi global akan memasuki resesi dengan penurunan laju ekonomi ke negatif 2,8%, turun 6% dari pertumbuhan ekonomi global di periode sebelumnya, yang juga diikuti dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus menurun hingga negatif 0,09%, khususnya karena penurunan di sektor pariwisata dan perdagangan akibat pandemi Covid-19 (Nasution et al., 2020). 

Prediksi ini direspon oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang berpotensi meningkatkan investasi di Indonesia, salah satunya melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sayangnya, kebijakan-kebijakan tersebut dianggap lebih banyak menguntungkan investor dan cenderung mengorbankan aspek kelestarian lingkungan. Hutan kemudian menjadi taruhan yang utama atas dipermudahnya kegiatan investasi. Pasalnya, sejak dulu, kegiatan investasi seperti perkebunan atau pertambangan banyak mengorbankan hutan sebagai trade-off untuk pembangunan ekonomi.

Selama ini, banyak yang menganggap hutan memiliki fungsi lingkungan yang tinggi, namun tidak sebanding dengan beban biaya (cost centre) yang dikeluarkan. Padahal, jika dikaji lebih dalam, hutan pada dasarnya memiliki jasa lingkungan yang tidak hanya berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, namun juga dapat dioptimalkan manfaatnya dalam menyokong perekonomian Indonesia. Jasa lingkungan hutan sebagai provisioning (penyediaan), regulating (regulasi iklim, air, dan tanah), cultural (pendidikan dan rekreasi), maupun supporting (produksi primer dan siklus hara) dapat dimanfaatkan secara ekonomi, tentunya dengan pengelolaan secara berkelanjutan. 

BACA JUGA: Menakar Kemajuan Pencapaian Komitmen Iklim di Sektor Kehutanan

Pengoptimalan jasa lingkungan hutan secara ekonomi dapat menjaga hutan terjaga dari deforestasi karena hutan dapat memberikan pemasukan yang cukup bagi negara dan masyarakat, disamping hanya sebagai beban biaya seperti yang dianggap selama ini. Pengoptimalan ini dapat dilakukan melalui skema ekowisata dan perdagangan jasa lingkungan tanpa menghilangkan sedikitpun unsur ekosistem dari hutan itu sendiri.

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Cultural (budaya) Melalui Ekowisata Forest Therapy

Ekowisata forest therapy sebagai bagian dari jasa lingkungan hutan yang masuk dalam kategori cultural dapat dijadikan gagasan untuk menyokong perekonomian Indonesia. Ekowisata ini bertujuan untuk memulihkan kesehatan dan meningkatkan imun bagi para pengunjung, baik secara fisik maupun psikologis. Ini berpotensi besar untuk dikembangan pada era new normal karena banyaknya masyarakat yang merasakan tekanan khususnya pada aspek psikologis akibat kebijakan Work From Home (WFH) atau karantina pada masa pandemi Covid-19. Penelitian Brooks et al. (2020) menunjukkan bahwa Covid-19 telah menimbulkan gejala stres pasca-trauma, kebingungan, kemarahan, ketakutan akan infeksi, frustasi, dan sebagainya pada masyarakat.

Hutan terbukti memiliki fungsi terapi fisik dan psikologis. Konsep hutan sebagai sarana terapi yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an (Williams, 1998). Di berbagai negara seperti Amerika, Korea Selatan, dan Jepang, kegiatan ini sudah banyak dilakukan (Rajoo et al., 2020). Di Jepang, kegiatan ini disebut sebagai “Shinrin-yoku” (Kotera & Rhodes, 2020). Shinrin-yoku telah banyak digunakan pada bidang klinis, untuk pengobatan beberapa jenis penyakit. Sedangkan di Korea Selatan, terapi hutan telah didefinisikan secara legal oleh hukum sebagai penguatan kekebalan dan kegiatan peningkatan kesehatan yang memanfaatkan berbagai elemen hutan (Jung et al., 2015). Sayangnya, di Indonesia kegiatan ini masih belum menjadi sorotan.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh hutan terhadap peningkatan kesehatan manusia. Penelitian Byeongsang (2017) menunjukkan berada di hutan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, memperlancar sistem kardiovaskular, memperbaiki rasa nyeri, menaikkan sistem imun, meningkatkan produksi protein anti kanker, mengurangi depresi dan kecemasan, relaksasi mental, memperbaiki konsentrasi dan memori, meningkatkan rasa bahagia, hingga memulihkan seseorang dari kecanduan. Rajoo et al. (2020) membuktikan program 9 hari di hutan telah terbukti berhasil menyembuhkan seseorang dari kecanduan alkohol. 

Peningkatan kesehatan, sistem imun, sarana healing, dan pereda stres dapat dijadikan nilai tambah yang menjual kegiatan ekowisata ini. Kegiatan forest therapy ini tidak seperti ekowisata biasa, melainkan perlu beberapa ketentuan khusus yang mendukung fungsi hutan sebagai terapis. Di antaranya dengan menunjuk spot-spot khusus yang memiliki fungsi terapi, membuat jalur terapi, membatasi jumlah pengunjung, menyediakan alat pengukur kesehatan seperti sphygmomanometer, dan menyediakan beberapa paket khusus terapi alami. Paket-paket tersebut memiliki harga yang berbeda, yang ditentukan oleh bentuk kegiatannya. Contohnya, paket untuk peningkatan kesehatan psikologis dan pengobatan stress ringan dilakukan dengan berkegiatan di spot terapi selama 3 jam yang disertai dengan meditasi, harganya berkisar Rp 25.000,00 untuk sekali kunjungan. Sedangkan, paket untuk menyembuhkan kecanduan dilakukan selama 9 hari berturut-turut, dengan harga paket mencapai Rp 200.000,00.

Dengan dibentuknya kegiatan ekowisata ini, pembangunan ekonomi berbasis hutan tidak hanya menguntungkan aspek ekonomi dan ekologi semata, namun juga dapat menguntungkan aspek sosial dikarenakan kegiatan ekowisata di hutan akan banyak melibatkan masyarakat di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaannya. Masyarakat dapat dikembangkan untuk turut bekerja di dalamnya, misalnya dengan menjadi guide therapist, sebagai penjaga spot, atau sekedar menjaga loket dan berjualan obat herbal atau HHBK di depan kawasan ekowisata. Kegiatan ini dapat menjawab ketiga unsur pembangunan berkelanjutan yaitu peningkatan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek ekologis sekaligus meningkatkan aspek sosial kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan. Kegiatan ini juga dapat menjawab empat poin SDGs yaitu poin 8 (decent work and economic growth), poin 10 (reduced inequalities), poin 13 (climate action), dan poin 15 (life on land).

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Regulating (regulasi iklim) Melalui Skema Perdagangan Karbon

Selain dengan skema ekowisata, pengoptimalan jasa lingkungan hutan tanpa sedikitpun menghilangkan unsur ekosistemnya juga dapat dilakukan melalui pengoptimalan jasa lingkungan regulating dengan skema perdagangan karbon. Di dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim, perdagangan karbon didefinisikan sebagai kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Sistem perdagangan karbon dibagi menjadi dua jenis, yaitu cap-and-trade dan crediting. Di Indonesia, sistem crediting lebih umum digunakan. Dalam sistem ini, komoditi yang diperdagangkan adalah penurunan emisi yang telah disertifikasi berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di pasar karbon dunia (Purnomo, 2013).

BACA JUGA: Impact Investing: Cara Baru Untuk Melakukan Investasi

Di Indonesia, perdagangan karbon belum menjadi prioritas bagi pemerintah atau pemegang hak karena mekanisme sertifikasinya yang rumit. Walau begitu, hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk peningkatan ekonomi Indonesia karena keuntungan jangka panjang yang tinggi akan didapatkan setelah hutan tersertifikasi. Skema perdagangan karbon yang umum digunakan di Indonesia saat ini adalah melalui crediting dari REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), yang telah mengakomodir berbagai kerja sama bilateral crediting karbon antara Indonesia dengan negara lain seperti Australia dan Norwegia (CIFOR, 2010). Sayangnya, REDD+ baru mengakomodir beberapa hutan di Pulau Kalimantan dan sedikit di Pulau Sumatera dalam skema proyeknya, serta Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sebagai satu-satunya kawasan hutan di Jawa yang dinilai simpanan karbonnya. 

REDD+ yang dapat membayar simpanan karbon hutan sebesar US$5/ton CO2-e hingga US$10/ton CO2-e juga telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui kegiatan community empowerment. Dilansir dari Mongabay, proyek REDD+ di TNMB telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dari rata-rata Rp1.500.000 per tahun pada 2008 menjadi lebih dari Rp3.500.000 pada 2014. Sehingga proyek ini juga sangat berperan dalam pembangunan berkelanjutan.

Pada dasarnya gagasan terkait perdagangan karbon ini bukan merupakan gagasan baru, hanya saja, ini merupakan gagasan yang seringkali dilupakan oleh pemerintah. Padahal, tanpa mengkonversi hutan, ekonomi sebenarnya dapat dijaga melalui skema perdagangan karbon ini. Memang tidak terlalu signifikan hasilnya seperti dengan menjual lahan kepada investor untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit atau pertambangan, namun, kegiatan ini dapat menjamin ekosistem tetap terjaga untuk ekonomi jangka panjang dan masyarakat sekitar kawasan hutan semakin sejahtera. Karena itu, pemerintah perlu mengingat kembali adanya skema ini dan perannya dalam pembangunan berkelanjutan. Aksi nyata perlu dilakukan untuk mendorong pemerintah menjadikan program perdagangan karbon sebagai suatu prioritas.

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Lainnya

Jasa lingkungan lain seperti provisioning dapat dioptimalkan nilai ekonominya dengan melakukan pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti usaha madu hutan, getah atau resin, rotan, minyak atsiri, dan sebagainya. Usaha ini dapat dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan untuk meningkatkan perekonomian. Dengan menjaga ketiga fungsi jasa lingkungan, yaitu cultural, regulating, dan provisioning, jasa lingkungan supporting dapat tetap terjaga fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan.

Pada akhirnya, kita tetap berharap pada pemerintah untuk dapat melakukan gagasan-gagasan yang diberikan sebagai proses pembangunan ekonomi tanpa deforestasi. Walau begitu, sebagai pejuang lingkungan, kita tetap dapat memperjuangkan pembangunan ekonomi tanpa deforestasi melalui gagasan-gagasan yang kita cetuskan dan kita sebarluaskan ke banyak orang. Media sosial adalah metode yang paling mudah untuk melakukannya. Dengan semakin banyaknya orang yang peduli lingkungan dan kreatif, perjuangan menuju pembangunan berkelanjutan tanpa merugikan pihak manapun dapat direalisasikan dengan mudah.

Oleh: Hasna Afifah

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, S., Amlôt, R., Rubin, G. J., & Greenberg, N. (2020). Psychological resilience and post-traumatic growth in disaster-exposed organisations: overview of the literature. BMJ Mil Health, 166(1), 52-56.

Byeongsang, Oh, Kyung Ju Lee, Chris Zaslawski, Albert Yeung, David Rosenthal, Linda Larkey, and Michael Back. (2017). Health and well-being benefits of spending time in forests: systematic review. Environmental Health and Preventive Medicine, 22 (1), 71. 

CIFOR. (2010). REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD. Bogor, Indonesia: CIFOR.

Jung, W.H., Woo, J.M., Ryu, J.S. (2015). Effects of forest therapy program and the forest environment on female workers’ stress. Urban Forestry & Urban Greening, 14, 274–281.

Kotera, Y., & Rhodes, C. (2020). Commentary: Suggesting Shinrin-yoku (forest bathing) for treating addiction. Addictive Behaviors, 111, 106556.

Nasution, D. A. D., Erlina, E., & Muda, I. (2020). Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Perekonomian Indonesia. Jurnal Benefita: Ekonomi Pembangunan, Manajemen Bisnis & Akuntansi, 5(2), 212-224.

Purnomo, Agus. 2013. Mari Berdagang Karbon! Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta: Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Rajoo, K. S., Karam, D. S., Wook, N. F., & Abdullah, M. Z. (2020). Forest Therapy: An environmental approach to managing stress in middle-aged working women. Urban Forestry & Urban Greening, 55, 126853.

Williams A. (1998). Therapeutic landscapes in holistic medicine. Soc Sci Med. 46(9), 1193–203.

Related Article

HERE ARE THE WINNERS OF THE 1000 IDEAS BLOG COMPETITION ON ECONOMIC DEVELOPMENT WITHOUT HARMING THE ENVIRONMENT

HERE ARE THE WINNERS OF THE 1000 IDEAS BLOG COMPETITION ON ECONOMIC DEVELOPMENT WITHOUT HARMING THE ENVIRONMENT

Yayasan Madani Berkelanjutan sangat sadar bahwa upaya mewujudkan pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan, tidak semudah membalik telapak tangan. Kita butuh dukungan dari banyak pihak, siapapun itu, termasuk kamu. Lihat saja, di tengah kondisi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, apalagi ditambah dengan dampak buruk dari pandemi covid-19, maka Indonesia bahkan dunia perlu langkah strategis yang tidak hanya bussines as usual tapi juga kreatif dan inovatif agar mampu keluar dan melompat dari krisis yang saat ini menggerogoti.

Melalui lomba blog yang telah kami adakan, besar harapannya banyak pihak mulai memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungan sehingga ikut berkontribusi mewujudkan pembangunan tanpa merusak lingkungan. 

Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh Sobat Madani yang sudah ikut serta dalam kegiatan ini dengan menyumbangkan gagasannya ya. Setelah dinilai oleh dewan juri, akhirnya terpilih nama-nama berikut untuk menjadi pemenangnya.

Selamat untuk 3 Tulisan terbaik


1. Donny Suryanto (@travelingpersecond)
2. Samsul Rizal (rizhal_arsyad)
3, Nurfadhilah Bahar (ddhilah)


Dan selamat untuk Tulisan Terfavorit


1. Dina Andriany (@dinaandriany)

Selamat untuk para pemenang terbaik dan terfavorit. Pemenang akan segera dihubungi oleh panitia lomba 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan Yayasan Madani Berkelanjutan.

Related Article

THE DEVELOPMENT OF NDC AND STRATEGIES TO CONTROL CLIMATE CHANGE

THE DEVELOPMENT OF NDC AND STRATEGIES TO CONTROL CLIMATE CHANGE

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ruandha Agung Sugardiman mengatakan bahwa pemerintah telah menyelesaikan pembaruan NDC Indonesia.

Dalam pembaruan NDC Indonesia tersebut, terdapat 4 pokok utama yang menjadi pembahasan. Pertama,  Indonesia tetap mempertahankan angka target penurunan emisi GRK sebesar 29 persen sampai dengan 41 persen pada tahun 2030, sesuai dan sejalan dengan hasil elaborasi dalam Road Map NDC Mitigasi. 

Kedua, update informasi sesuai dengan kondisi saat ini. Seperti  telah dimasukkan hal-hal yang berkaitan dengan Visi Misi Kabinet Indonesia Maju 2019.  Ketiga,  merupakan hal baru dalam NDC adalah penjelasan terhadap hal yang masih perlu informasi rinci, misalnya terkait elemen adaptasi dan sarana implementasi serta kerangka transparansi. 

Keempat, terdapat komitmen baru terkait oceans, wetland seperti mangrove, coral dan sebagainya yang biasa disebut blue carbon, serta pemukiman masyarakat dalam elemen adaptasi.

Saat ini, Indonesia tengah menyelesaikan strategi jangka panjang (Long Term Strategy/LTS) menjelang Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP) ke-26 di Glasgow, Inggris, November 2021. Sebelum digelarnya COP26 di Inggris, ada 3 skenario mitigasi perubahan iklim yakni, Extended NDC atau Curent Policy Scenario (CPOS) hanya pada sektor energi, Transition Scenario (TRNS), dan  Low Carbon Scenario Compatible (LCCP) dengan target Perjanjian Paris.

Related Article

ZERO DEFORESTATION: A KEY TOWARDS NET-ZERO EMISSIONS INDONESIA

ZERO DEFORESTATION: A KEY TOWARDS NET-ZERO EMISSIONS INDONESIA

[Jakarta, 26 March 2021] Indonesia has the opportunity to achieve its Long-Term Vision in the country’s fight against climate change in line with the Paris Agreement by reducing Indonesia’s quota on deforestation to only 10.7 thousand hectares per year, even zero, under the Updated NDC for the year 2020-2030. To achieve the said target, Yosi Amelia, Project Officer for Forest and Climate from Yayasan Madani Berkelanjutan stated that various policies to protect Indonesia’s remaining forests must be strengthened, such as expanding the policy to halt new licenses to forests that are not yet under any protection schemes, continuing palm oil moratorium, and reconsidering any national strategic programs or national economic recovery programs that threatenIndonesia’s forests.

Yosi also added, “In accordance with the Low Carbon Compatible with the Paris Agreement scenario, the rate of Indonesia’s natural forest loss for the period of 2020-2030 cannot exceed 241 thousand hectares per year. Therefore, Indonesia’s natural forest deforestation quota in that period is only 4.82 million hectares. According to the Ministry of Environment and Forestry data, Indonesia has lost more or less 4.71 million hectares of natural forests from the period of 2011-2012 to 2019-2020. Consequently, the remaining quota for deforestation for the period of 2020-2030 is only 107 thousand hectares or 10.7 thousand hectares per year. However, if we include natural forest loss data in 2010-2011 by taking the annual average of deforestation in 2009-2011 which is 196,750 hectares, Indonesia’s quota on deforestation subsequently becomes minus. That is to say, Indonesia no longer has any quota left for deforestation of natural forests until 2030.”

The Indonesian government has introduced three scenarios on the Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience in 2050 to achieve a net-zero emissions target by 2070, 20 years slower than what the UN has targeted. In the most ambitious scenario, known as Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP, Indonesia has targeted an emission peak for every sector with forestry and land sector becoming a net carbon sink by 2030.

Thus, Indonesia’s forests and land would be the most dependable sector for Indonesia in its fight against climate change, not only to reduce emissions from its own sector, but also to absorb carbon emissions from other sectors, such as energy, waste, industrial processes and product usage, and also agriculture.  

BACA JUGA: Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

According to Madani’s initial research, there are around 9.4 million hectares of natural forests or 16 times the island of Bali that have not been licensed out and are located outside the protection of PIPPIB (Indicative Map of Termination of New Permits) and social forestry indicative area – PIAPS. They are not under the protection of any policy to halt new licenses and therefore susceptible to deforestation.” Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist from Yayasan Madani Berkelanjutan said. He also added that those 9.4 million hectares of natural forests must be protected to achieve Indonesia’s long-term strategy on low carbon compatible with the Paris Agreement.

Besides, it is also crucial for the government of Indonesia to review various development policies, from the National Economic Recovery Program (“PEN”), National Strategic Program (“PSN”), to food estate as to not further damage Indonesia’s natural forests. “Madani’s initial research also found around 1.5 million hectares of Indonesia’s natural forests included in the Area of Interest (AOI) of Food Estate in 4 provinces, namely Papua, Central Kalimantan, North Sumatra, and South Sumatra with a huge potential economic value of timber in those areas – reaching IDR 209 trillion,” Fadli added.

The government must also pay a keen attention on protecting Indonesia’s natural forests that have already been licensed out, including timber plantation concessions and Palm Oil Plantations. One of the ways to protect forests already under the license/concessions of Palm Oil Plantations is through the Palm Oil Moratorium, which unfortunately will end in September 2021. Trias Fetra, Program Officer for Palm Oil Governance of Yayasan Madani Berkelanjutan suggested that it is in the government’s utmost necessity to continue theits Palm Oil Moratorium, which includes elements on protecting Indonesia’s forest and increasing the productivity of palm oil plantations andplantations. aAnd thus, critical to achieving Indonesia’s long-term strategy on low carbon development.

To achieveaccomplish Indonesia’s long-term strategy on low carbon compatible with the Pariswith Paris Agreement, Indonesia has to transform its strategy on land use by making use of the unproductive lands – both inside andor outside forest zonethe area of forest to achieve food and energy security, and also strengthen the protection of Indonesia’s remaining natural forests and peatland ecosystem.

Lastly, Yosi added, “Our future and the future of the forthcoming generations depends on the transformation of Indonesia’s economic development towards a no longer destructive development for our forests and environment. This transformation must start right now as the worsening impacts of the climate crisis no longer gives us the luxury of time.”

 

Contact Person:

  • Yosi Amelia, Project Officer for Forest and Climate, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone +62813 2217 1803

  • Trias Fetra, Program Officer for Palm Oil Governance, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone: +62877 4403 0366

  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone +62815 1986 8887

 


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Berdasarkan skenario yang selaras dengan Paris Agreement, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2010-2030 tidak boleh lebih dari 241 ribu hektar per tahun. Dengan demikian, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 4,82 juta hektare. Berdasarkan data KLHK, dari tahun 2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sebesar kurang lebih 4,71 juta hektare, sehingga kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 107 ribu hektare atau 10,7 ribu hektare per tahun. Namun, apabila memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011 yaitu sebesar 196.750 hektare, maka kuota deforestasi periode 2020-2030 bahkan mencapai minus. Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki kuota deforestasi sampai 2030,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengumumkan tiga skenario dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience) dengan target mencapai nol emisi bersih pada 2070, atau 20 tahun lebih lambat dari yang diserukan oleh PBB. Dalam skenario paling ambisius dan selaras dengan Paris Agreement (Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP), Indonesia menargetkan puncak emisi (peaking) untuk semua sektor dengan sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada tahun 2030. 

Dengan demikian, hutan dan lahan Indonesia akan sangat diandalkan tidak hanya untuk mengurangi emisi dari sektor itu sendiri, tetapi juga untuk menyerap emisi atau polusi karbon dari sektor-sektor lain, yakni energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. 

Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin/konsesi, area alokasi perhutanan sosial/PIAPS, dan area penghentian izin baru/PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru sehingga rentan terdeforestasi,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan. “9,4 juta hektare hutan alam ini harus dilindungi untuk mencapai visi jangka panjang Indonesia selaras dengan Paris Agreement.”

Selain itu, pemerintah juga harus meninjau ulang berbagai program Pemulihan Ekonomi dan Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate agar tidak merusak hutan alam. “Analisis awal Madani, ada 1,5 juta hekatre hutan alam di Area of Interest Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatera Selatan dengan potensi nilai kayu sebesar 209 triliun rupiah yang harus dilindungi,” tambah Fadli. 

Perlindungan hutan-hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi Hutan Tanaman Industri dan usaha perkebunan sawit pun harus menjadi perhatian. Salah satu upaya menyelamatkan hutan alam di dalam izin/konsesi perkebunan sawit adalah melalui kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada September 2021. “Oleh karena itu, meneruskan kebijakan moratorium sawit yang di dalamnya terdapat elemen penyelamatan hutan alam dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit sangat penting bagi pencapaian Visi Jangka Panjang Indonesia,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement, Indonesia harus mentransformasikan penggunaan lahan dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif baik di dalam maupun di luar kawasan hutan untuk mencapai ketahanan pangan dan energi serta melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa secara menyeluruh. 

Masa depan kita dan generasi mendatang bergantung pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini agar tidak lagi merusak hutan dan lingkungan. Perubahan ini harus dimulai sekarang juga karena dampak krisis iklim yang semakin parah tidak lagi memberikan kita kemewahan waktu,” tutup Yosi.

*

Kontak Media :

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

Peraturan Menteri Pertanian No.38 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia

Peraturan Menteri Pertanian No.38 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia

Sistem sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan prasyarat wajib yang ditetapkan pemerintah untuk perkebunan sawit guna memperbaiki tata kelola sawit yang lebih berkelanjutan. ISPO memiliki tujuan untuk memastikan bahwa prinsip keberlanjutan yang diatur dalam regulasi/kebijakan terkait dapat diterapkan, mendukung pencapaian komitmen iklim Indonesia, serta meningkatkan daya saing sawit Indonesia baik di pasar domestik maupun pasar internasional. 

ISPO pertama kali dibuat regulasinya pada tahun 2011 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Lalu, tahun 2015, Permentan 19/2011 dicabut dan digantikan oleh Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit yang kemudian diperbarui lagi pada 2020 dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan.

Dikeluarkannya Permentan 38/2020 sendiri merupakan respons instansi tersebut untuk melaksanakan ketentuan pada 10 pasal1 dan pengaturan mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan sertifikasi ISPO sebagaimana diatur Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Dengan demikian, dikeluarkannya Permentan 38/2020 juga berupaya untuk memperbaharui Permentan 11/2015 yang mengatur hal-hal serupa. 

Terkait dengan Permentan tersebut, Yayasan Madani Berkelanjutan merilis Madani’s Update edisi Maret 2021 yang mencoba mengulas secara komparatif dua regulasi tersebut, dari gambaran umum hingga Prinsip dan Kriteria ISPO dalam beberapa aspek penting seperti Pengelolaan lingkungan Hidup; Masyarakat Adat; serta aspek Transparansi data dan informasi.2 Selain itu, tulisan ini juga mencoba mengulas hal-hal yang dapat dilakukan agar implementasi sertifikasi ISPO khususnya untuk pekebun dapat berjalan dengan optimal.  

Dari kajian yang telah dilakukan, Madani menemukan dua poin penting yakni terdapat pembaharuan yang baik dalam Permentan ISPO 38/2020. Masuknya prinsip Transparansi yang dapat menjawab persoalan perihal ketelusuran rantai pasok TBS; penggantian klausa dari yang hanya fokus terhadap hutan alam primer saja menjadi hutan alam secara keseluruhan; keterlibatan pemantau independen dalam pemantauan pelaksanaan sertifikasi ISPO; dan disebutkannya aspek Padiatapa/FPIC secara eksplisit. 

Kemudian, terdapat celah dalam Permentan ISPO 38/2020. Peraturan ini memiliki beberapa celah yang membuatnya belum bisa menjawab secara utuh berbagai persoalan yang ada seperti kurangnya pelibatan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam proses pembukaan lahan sawit; safeguard yang kurang kuat dalam perlindungan hutan alam dan lahan gambut; dan keterbukaan data Beneficial Ownership yang dapat diakses oleh publik.

Dapatkan Madani’s Update edisi Maret 2021 yang mengulas Peraturan Menteri Pertanian No.38 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

[1000 IDEAS] ENHANCING SUSTAINABLE ECONOMY THROUGH REGULATION AND OVERSIGHT

[1000 IDEAS] ENHANCING SUSTAINABLE ECONOMY THROUGH REGULATION AND OVERSIGHT

Laman resmi Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) menyebutkan sebagaimana dikutip oleh kompas.com bahwa Asia Tenggara menjadi salah satu keranjang pertanian paling produktif di dunia. Dan Indonesia menjadi salah satu negara di kawasan tersebut yang menjadikan sektor agraris sebagai penopang perekonomian nasional yang dominan. Oleh karena itu wajar apabila Indonesia disebut sebagai negara agraris. Indonesia menjadi negara agraris tropis terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Dari 27 persen zona tropis di dunia, 11 persennya terdapat di Indonesia.

Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang keberadaannya memegang peranan penting bagintuk banyak aspek, baik aspek lingkungan, sosial, hingga perekonomian. Namun, posisinya yang penting tampaknya belum begitu banyak disadari oleh sebagian orang. Beberapa dari mereka seringkali mengesampingkan hal tersebut sehingga tidak sedikit yang melakukan perusakan hingga pembakaran dengan tujuan pembukaan lahan baru untuk meraup keuntungan pribadi lainnya. Padahal dengan pembakaran tersebut, bukan hanya hutan yang akan rusak, tetapi banyak dari fauna penghuni hutan tersebut akan kehilangan habitatnya dan mati.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2019 luas hutan Indonesia adalah sekitar 93,52 juta ha. Padahal pada tahun 2011 luas hutan Indonesia mencapai 98,7 juta ha. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 2011-2018 luas hutan di Indonesia terus mengalami penurunan yang cukup tinggi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat satu dekade ke belakang masyarakat dunia telah membicarakan tentang ancaman krisis iklim (Climate Crisis yang dapat mengakibatkan bencana hidrometeorologi yang salah satu penyebabnya yaitu kerusakan kawasan hutan.

BACA JUGA: EXTENSION OF THE PALM OIL MORATORIUM: A "BUILD BACK BETTER" OPPORTUNITY 

Perusakan kawasan hutan terus-menerus terjadi. Penebangan dan pembakaran dilakukan di banyak tempat. Misalnya pembakaran hutan yang populer sampai ke mancanegara pada tahun 2019 lalu di daerah Riau yang memakan banyak korban dan waktu untuk mengatasinya karena musim kemarau ditambah angin kencang. Bahkan yang baru-baru ini menjadi sorotan publik adalah pembakaran dan pembukaan hutan di daerah Papua yang dilakukan oleh salah satu perusahaan asal Korea Selatan untuk perluasan lahan kebun sawit. Hal tersebut tentu saja akan menimbulkan kerugian yang lebih besar daripada keuntungannya karena kerugian yang didapat adalah kerugian jangka panjang.

Perlu diperhatikan bahwa adanya tindakan-tindakan dari investor asing yang menyebabkan banyak kerugian terhadap kawasan hutan Indonesia salah satunya adalah karena lemahnya regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dan kurangnya pengawasan yang dilakukan. Jika saja pemerintah menetapkan kebijakan, regulasi dan pengawasan ketat terhadap berbagai kegiatan ekonomi yang melibatkan kawasan hutan, maka perusakan-perusakan hutan dan alih fungsi hutan dengan dalih perluasan lahan sawit dan sebagainya akan dapat diminimalisir dan besar harapan dapat dihentikan. 

Apa yang sedang kita bicarakan saat ini adalah tentang ekonomi berkelanjutan, dalam arti ekonomi yang memperhatikan aspek lingkungan dan bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tapi juga untuk anak cucu kita di masa yang akan datang. Apabila pemerintah tidak mengambil kebijakan tegas terhadap persoalan ini, dalam waktu dekat luas hutan di Indonesia akan mengalami pengurangan yang sangat cepat dari periode sebelumnya disertai kepunahan berbagai satwa dan keanekaragaman hayati yang menjadikannya sebagai habitat. 

Saya menawarkan gagasan kepada pemerintah untuk merevisi berbagai regulasi bagi kegiatan ekonomi yang melibatkan hutan agar dapat menerapkan AMDAL dan tidak melakukan eksploitasi berlebihan. Regulasi tersebut juga disertai ancaman pidana yang berat serta kewajiban melakukan pemulihan fungsi hutan yang dirusak. Misalnya, untuk penebangan satu pohon harus diganti dengan penanaman sepuluh pohon. Untuk satu nyawa fauna dilindungi yang terbunuh harus diganti dengan dua fauna sejenis, dan seterusnya. Bahkan apabila akibat kerusakan hutan itu terjadi bencana hidrometeorologi, maka pelaku perusakan hutan harus juga mengganti kerugian yang dialami masyarakat sekitar yang terkena bencana tersebut. 

BACA JUGA: Anggaran Perubahan Iklim Masuk RPJMN 2020-2024

Hal yang tak kalah penting dari penetapan sebuah regulasi adalah penerapan dan pengawasan terhadap regulasi tersebut.  Sebaik apapun regulasi, tanpa adanya penerapan dan pengawasan yang baik hanya akan menjadi sesuatu yang percuma. Oleh karena itu, regulasi yang sudah ditetapkan harus diterapkan secara menyeluruh dan pengawasannya dilakukan secara masif oleh aparat penegak hukum. Perlu diperhatikan juga aparat penegak hukum yang dipilih haruslah aparat yang jujur serta tidak dapat disuap oleh siapapun dan oleh apapun.

Ada lagi satu hal lain yang ingin saya sampaikan meskipun berada di luar regulasi yang saya maksudkan tetapi akan sangat mempengaruhinya. Tetapi semoga saja ini tidak benar-benar terjadi. Semoga saja. Salah satu hal yang sudah menjadi rahasia umum di negara kita adalah adanya money politic. Hal ini sudah menjadi hal yang lumrah tampaknya untuk Pilkada dan Pemilu di sebagian daerah Indonesia. Misalnya salah seorang pasangan calon berkampanye dengan menggunakan banyak dana sedangkan jumlah kekayaannya saja tidak mencapai setengah dari dana kampanye yang ia gunakan. Ternyata dana kampanye yang ia gunakan diperoleh dari pengusaha-pengusaha dengan jaminan apabila pasangan calon tersebut terpilih harus membuat kebijakan yang mempermudah pengusaha-pengusaha dalam mengembangkan usahanya meskipun akan merusak lingkungan. 

Maksud dari pernyataan saya di atas adalah bukan untuk mendiskreditkan pihak manapun. Tetapi sebagai hal yang perlu kita perhatikan bersama bahwa untuk menetapkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan tidak cukup hanya dengan regulasi tentang lingkungan saja, -dalam hal ini hutan- tetapi juga harus diperhatikan regulasi-regulasi lain yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Diantaranya adalah regulasi yang berkaitan dengan proses pemilihan dan pembentukan pemerintahan. Karena biar bagaimanapun pemerintah adalah agen sentral dan pemangku kebijakan yang dapat menjadi faktor utama dalam perlindungan hutan di Indonesia guna tercapainya ekonomi yang berkelanjutan.

Oleh: Muhammad Mufti

Mahasiswa Universitas Padjajaran

Related Article

en_USEN_US