Madani

Tentang Kami

The Dynamics of the Discourse on Biofuels in Indonesia in Its Ecological, Economic, and Social Contexts

The Dynamics of the Discourse on Biofuels in Indonesia in Its Ecological, Economic, and Social Contexts

 

Indonesia is among the countries with the most serious efforts to develop their biofuel (Vegetable Fuel or BBN) policy and standing at the forefront of global biofuel mixture levels, especially palm oil-based. However, before attaining this position, the Indonesian biofuel industry went through quite a long history. The development of biofuels in Indonesia can be traced back to the 1990s, where several institutions conducted research on the potential of biofuels from various raw materials such as palm oil, jatropha, used cooking oil and so on. In 2006, when President Susilo Bambang Yudhoyono issued several regulations regarding the National Energy Policy and the use of biofuels, this became a milestone in the development of biofuels in Indonesia.

Since then, the landscape of national biofuel development has seen significant evolution, encompassing improvements in quality, production volume, biofuel varieties, and a notable increase in the participation of companies. This transformation initially aimed to advance poverty reduction and bolster the nation’s energy self-sufficiency.

Throughout its development, Biofuels (BBN) have grown to be intricately tied to the energy transition and the imperative of reducing carbon emissions. Globally, the continued use of fossil fuels to meet future energy requirements is acknowledged as unsustainable, primarily due to the depletion of finite resources and the environmental harm it inflicts. Ideally, there should be efforts to curtail energy consumption. However, it’s crucial to recognize that worldwide energy demand is projected to surge by an estimated 47% by 2050. Consequently, biofuels have emerged as a prominent component of the energy transition strategies being explored, not least in Indonesia.

Indonesia’s interest in diminishing its reliance on petroleum and mitigating emissions within the transportation sector has spurred the swift growth of the biofuel industry. Nevertheless, the advancement of biofuels is not devoid of its dilemmas. A growing unease revolves around the use of vegetable oils, which also serve as essential food resources, in biofuel production and its potential implications on food security and the environment.

This concern is well-founded, as the ever-increasing demand for vegetable oils, coupled with the tendency of productivity to plateau, inevitably forces the government into a challenging conundrum. It must decide between enhancing productivity, potentially impacting another sector, or allocating additional land to meet these escalating demands. Despite the various potential challenges that may arise from the development of biofuels, these challenges do not justify reverting to fossil fuels and abandoning the pursuit of biofuels.

The solution to the challenges posed by the energy transition may still find answers, at least in part, through biofuels. The critical focus lies in determining how the governance of BBN in Indonesia can effectively strike a balance between the interest of energy security and environmental sustainability. Therefore, Madani Berkelanjutan has meticulously curated a comprehensive synthesis of diverse dialogues and scholarly analyses concerning the dynamics of biofuel development in Indonesia, drawn from a multitude of published sources and research studies.

Related Article

CHANGE FROM PERTALITE TO PERTAMAX GREEN 92: BETWEEN ENVIRONMENTAL HOPES AND SUSTAINABLE CHALLENGES

CHANGE FROM PERTALITE TO PERTAMAX GREEN 92: BETWEEN ENVIRONMENTAL HOPES AND SUSTAINABLE CHALLENGES

Pemerintah Indonesia melalui PT Pertamina (Persero) mengumumkan sebuah kebijakan yang bertujuan untuk menggantikan Pertalite, salah satu jenis bahan bakar yang umum digunakan, dengan Pertamax Green 92. Langkah ini telah menarik perhatian masyarakat dan memunculkan berbagai pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya.

Tindakan berani yang diambil oleh pemerintah Indonesia patut diapresiasi. Kebijakan ini muncul setelah adanya kajian yang dikenal sebagai Program Langit Biru Tahap 2, yang bertujuan untuk menggalakkan penggunaan Pertamax Green sebagai pengganti Pertalite, dengan tujuan utama mengurangi dampak lingkungan dari sektor energi. Namun, ketika kita memeriksa lebih rinci, ada sejumlah aspek penting yang perlu diperhatikan lebih mendalam.

Kesenjangan antara Konsep “Green” dan Penurunan Tingkat Polusi

Konsep “green” merujuk pada pendekatan yang berfokus pada perlindungan lingkungan dan keberlanjutan. Ini mencakup praktik, produk, teknologi, dan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan memberikan manfaat jangka panjang bagi ekosistem dan masyarakat. Di sisi lain, penurunan tingkat polusi berkaitan dengan upaya mengurangi jumlah polutan yang dibuang ke lingkungan, baik melalui udara, air, atau tanah. Perlu diketahui bahwa kandungan emisi gas buang Pertalite berada lebih rendah dari Premium dan lebih tinggi dari Pertamax yaitu pada putaran mesin 3000 rpm dengan kandungan emisi gas buang CO2 5.5% dan pada putaran mesin 5000 rpm dengan kandungan emisi gas buang CO2 4.5%.

Meski Pertamax Green mengklaim dirinya sebagai solusi yang lebih ramah lingkungan, pertanyaannya adalah sejauh mana “green” dalam produk ini sebanding dengan dampak nyata penurunan polusi? Apakah Pertamax Green hanyalah hasil dari strategi pemasaran yang cerdik, dengan bahan aditif yang ditambahkan sebagai upaya kosmetik tanpa adanya perubahan fundamental dalam komposisi bahan bakar atau teknologi pembakaran? Jika demikian, maka dampaknya terhadap pengurangan emisi polusi akan diragukan. Untuk mencapai penurunan tingkat polusi, diperlukan langkah-langkah yang lebih dalam seperti pengembangan bahan bakar yang lebih bersih atau pengadopsian teknologi pembakaran canggih.

Oleh karena itu, tanggung jawab juga ada pada pemerintah untuk memverifikasi bahwa produk seperti Pertamax Green tidak hanya menggembirakan dari perspektif promosi lingkungan, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam mengurangi jejak karbon dan mengendalikan polusi udara. Dengan memastikan adanya solusi yang lebih substantif, pemerintah bisa memastikan bahwa janji-janji lingkungan tidak hanya sekadar retorika, tetapi juga mendorong perubahan yang positif dalam perjuangan global melawan polusi dan perubahan iklim.

Tata Niaga Biofuel (Ethanol) Harus Dibarengi dengan Perhitungan Matang dari Sisi Feedstock

Pengembangan dan penerapan Biofuel (etanol) untuk Pertamax Green memerlukan pendekatan yang cermat, terutama dalam hal mengelola stok bahan baku yang diperlukan. Peningkatan produksi biofuel yang tidak terencana dapat memiliki konsekuensi yang merugikan, terutama dalam hal persediaan pangan yang dapat berdampak langsung pada keberlanjutan ketahanan pangan suatu negara.

Ketika mempertimbangkan implementasi massal Biofuel (etanol), pemerintah dan pemangku kepentingan harus menjalankan analisis mendalam tentang ketersediaan bahan baku yang digunakan untuk produksi biofuel tersebut. Melalui penghitungan matang stok bahan baku, implementasi biofuel (etanol) dalam Pertamax Green dapat diarahkan menuju solusi yang berkelanjutan dan efektif. Dengan perencanaan yang cermat dan kolaborasi yang baik, dampak negatif terhadap ketahanan pangan dan lingkungan dapat diminimalkan, sementara manfaat biofuel sebagai sumber energi terbarukan tetap dapat direalisasikan.

Mendesak agar Indonesia Memiliki Dedicated Area untuk Feedstock BBN

Dalam konteks perkembangan Pertamax Green, meningkatnya kebutuhan untuk feedstock Biofuel menjadi semakin penting. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang tepat terhadap penggunaan lahan serta memastikan bahwa perluasan feedstock biofuel tidak mengabaikan sektor lain yang memiliki tingkat kepentingan yang setara. Pendirian dedicated area yang khusus untuk produksi feedstock BBN mungkin dapat menjadi alternatif solusi, namun langkah ini juga harus didukung oleh pertimbangan yang cermat mengenai dampaknya terhadap keselarasan penggunaan lahan dan keberlanjutan lingkungan.

Keberhasilan penerapan dedicated area untuk feedstock BBN akan tergantung pada kualitas perencanaan dan pelaksanaannya. Selain itu, pendekatan ini juga harus mencerminkan aspek budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk ilmuwan, kelompok petani, organisasi lingkungan, dan sektor swasta. Dengan pendekatan yang matang dan terpadu, Indonesia dapat memastikan bahwa pengembangan feedstock BBN tidak hanya berkontribusi pada tujuan energi terbarukan, tetapi juga terjaga keseimbangan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.

Keputusan pemerintah untuk mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 adalah langkah yang signifikan dalam upaya menuju bahan bakar yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pengembangan Pertamax Green menjadi angin segar dalam menghadapi tantangan lingkungan dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, untuk mencapai perubahan yang nyata dan bermakna, kebijakan ini harus lebih dari sekadar slogan “Green” dan memperhatikan implikasi praktisnya terhadap lingkungan, ekonomi, dan masyarakat secara menyeluruh.

kebijakan ini juga perlu dievaluasi dengan cermat, dan implementasinya harus disertai dengan perencanaan yang matang untuk mengatasi tantangan seperti penurunan polusi yang efektif, pengelolaan stok bahan baku biofuel, dan pengalokasian lahan yang bijak untuk feedstock BBN. Kesadaran dan partisipasi publik juga akan memainkan peran penting dalam membentuk arah kebijakan ini agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat dan lingkungan.

Related Article

Biofuels in Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience

Biofuels in Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience

LTS-LCCR atau Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience merupakan strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim. Dokumen LTS-LCCR memuat arahan atau visi jangka panjang yang memandu peningkatan ambisi mitigasi iklim dalam NDC-NDC selanjutanya hingga tahun 2050.

Ambisi dalam LTS-LCCR leih tinggi dibandingkan dengan ambisi pada update NDC 2030. Untuk sektor energi, pengembangan BBN untuk transportasi dan pembangkit listrik menjadi arahan umum LTS-LCCR, di sektor transportasi (target 2050) penggunaan BBN untuk transportasi mencapai 46% dan energi listrik untuk kendaraan listrik mencapai 30%.

Biofuel diproyeksi akan berperan penting dalam mitigasi gas rumah kaca di sektor pembangkit listrik. Kapasitas pembangkit listrik bahan bakar nabati (skenario paling ambisius) yakni 14 GW pada 2050. 

Perlu menjadi catatan bahwa LTS-LCCR menyadari bahwa strategi penggunaan BBN memiliki dampak negatif pada ketahanan pangan dan ekspansi lahan. Untuk itu, LTS-LCCR merekognisi adanya kebutuhan memproduksi BBN dari sumber-sumber yang berkelanjutan.

Related Article

Biofuels in the National Energy General Plan (RUEN)

Biofuels in the National Energy General Plan (RUEN)

Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN merupakan kebijakan pemerintah pusat mengenai rencana pengelolaan energi tingkat nasional. Kebijakan ini juga merupakan pedoman untuk mengarahkan pengelolaan energi nasional. Kemudian, BBN juga menjadi salah satu jenis EBT (energi baru terbarukan) yang dirujuk oleh RUEN.

Dalam RUEN terdapat target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Sementara itu target minimal produksi BBN pada 2025 mencapai 11,6 juta KL dalam bentuk biodiesel (B30), 3,4 juta KL untuk BioEthanol (B20), dan 0,1 juta KL untuk Bioavtur.

Sedangkan strategi pengembangan BBN yakni dengan menugaskan BUMN dan atau BUMD untuk memproduksi dan membeli BBN, menyusun peta jalan tanaman prioritas untuk bahan baku BBN, penyediaan lahan seluas 4 juta ha untuk memenuhi target produksi 2025, menyiapkan peraturan terkait alih fungsi lahan untuk lahan energi (lahan bekas tambang, lahan terlantar, dan lahan hutan energi), dan memprioritaskan penggunaan bahan baku BBN di luar produk tanaman pangan prioritas.

Related Article

The National Policy Journey of Biofuels 2016-2021

The National Policy Journey of Biofuels 2016-2021

Setelah dunia menyepakati Perjanjian Paris atau Paris Agreement, pada 2016, Indoensia meratifikasi perjanjian tersebut dan memasukkan dokumen NDC sebagai target penurunan emisi nasional. 

Isi dokumen NDC yakni, target bauran EBT sebesar 23% di 2025 dan sebesar 31% di 2050. Kemudian, penggunaan BBN yaitu Biodiesel (B30) pada sektor transportasi diproyeksikan mereduksi emisi 90%-100% di sektor energi. 

Pada 2017, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan instruksi menjadikan biodiesel sebagai BBN utama untuk transportasi.

Setelah itu pada 2021, Indonesia merilis dokumen updated NDC 2030 dan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Dalam Update NDC, Indonesia kembali mengimplementasikan penggunaan BBN sebagai salah satu strategi dalam mitigasi pengurangan emisi dan mengkhusukan kelapa sawit sebagai bahan baku utama BBN. 

Sedangkan dalam LTS-LCCR, direncakan struktur bauran energi pada sektor transportasi pada 2050 sebesar 46% untuk BBN pada skenario yang paling ambisius. Persentase tersebut paling besar di antara BBM (20%), Kendaraan Listrik (30%), dan Gas Alam (4%).

Related Article

2.27 MILLION HECTARES OF LAND POTENTIALLY AVAILABLE FOR BIOFUELS DEVELOPMENT BESIDES PALM OIL

2.27 MILLION HECTARES OF LAND POTENTIALLY AVAILABLE FOR BIOFUELS DEVELOPMENT BESIDES PALM OIL

[Madani News] Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan sekitar 2,27 juta hektar (ha) lahan yang berpotensi digunakan untuk pengembangan feedstock bahan bakar nabati (BBN) selain sawit. Jumlah ini meliputi 1,55 juta ha areal penggunaan lain (APL), 438,26 ribu ha hutan produksi tetap (HPT), dan 278 ribu ha hutan produksi konversi (HPK).

Hal tersebut disampaikan oleh Geographic Information System (GIS) Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, Fadli Ahmad Naufal, dalam Workshop dan Fellowship bertajuk “Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan bekerjasama dengan Mongabay pada Rabu, 17 November 2021. 

Fadli juga mengatakan, angka tersebut diperoleh usai memperhatikan aspek ekologi, izin eksisting, rencana perlindungan, dan fokus pada tutupan lahan yang mungkin diusahakan.

Lebih lengkap Fadli menjabarkan, lahan seluas 371,92 ribu hektar tersedia di Jambi dan 142,91 ribu ha di Sumatera Selatan. Kemudian, sebesar 286,69 ribu ha berada di Kalimantan Timur, sekitar 267,56 ribu ha di Kalimantan Tengah, serta 104,68 ribu ha di Kalimantan Barat. Selebihnya, 123,81 ribu ha di Nusa Tenggara Timur dan 281,77 ribu ha di Papua.

Dari luasan-luasan ini, kita ingin coba melihat komoditas yang berada di sekitar daerah tersebut yang sedang eksisting berjalan. Tentu jika menetapkan komoditas apa yang cocok itu harus ada penelitian lebih lanjut terkait kesesuaian lahan, kapasitas tanah, dan sebagainya,” Ujar Fadli. 

Berdasarkan perhitungannya, potensi lahan eksisting paling luas berupa kebun kelapa yaitu 969,28 ribu ha. Kemudian, terdapat lahan ubi kayu seluas 913,13 ribu ha, ubi jalar 912,47 ribu ha, jagung 912,23 ribu ha, pinang 574,71 ribu ha, aren 538,82 ribu ha, tebu 172,88 ribu ha, serta jarak 100,75 ribu ha.

Dalam diskusi yang sama hadir beberapa Narasumber yakni Peneliti Ahli Utama Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Kementerian Pertanian, Prof.Dr.Ir.Budi Leksono,M.P, Peneliti Perubahan Iklim, Energi, dan Rendah Karbon CIFOR, Himlah Barai, dan Direktur Utama PT Clean Power Indonesia, Joyo Wahyono.

Saksikan Workshop dan Fellowship bertajuk “Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati di channel Youtube Yayasan Madani Berkelanjutan dan dapatkan materi presentasi narasumber di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

REDUCING DEPENDENCE ON PALM OIL-BASED BIOFUELS

REDUCING DEPENDENCE ON PALM OIL-BASED BIOFUELS

Suatu saat bahan bakar fosil akan tidak dimanfaatkan lagi karena dampak kerusakan lingkungan, salah satunya krisis iklim yang diakibatkannya. Menuju transisi energi bersih yang lebih terbarukan, meninggalkan energi fosil dengan beralih memanfaatkan biofuel dinilai cukup realistis (Madaniberkelanjutan.id, 5 Oktober 2021).

Untuk melepaskan diri dari energi fosil dan mendorong bauran energi, pemerintah Indonesia menginisiasi kebijakan bahan bakar nabati (BBN) sejak 2006. Langkah itu kemudian menjadi strategi mencapai target penurunan emisi nasional yang tertuang dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) 2030 dan pencapaian net zero emission di sektor energi. Dengan pencampuran BBN dalam bahan bakar untuk transportasi, diharapkan impor solar menurun dan potensi dalam negeri dapat ditingkatkan (Mongabay.co.id, 2021).

Definisi dan Jenis BBN

Biofuel atau BBN adalah bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati dan/atau dihasilkan dari bahan-bahan organik lain (Ebtke.Esdm.go.id, 2019). BBN adalah semua bentuk minyak nabati, yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar, baik dalam bentuk esternya (biodiesel) atau anhydrous alkoholnya (bioetanol) maupun minyak nabati murninya (pure plant oil atau PPO). Dengan beberapa persyaratan tertentu, biodiesel dapat menggantikan solar, bioetanol dapat menggantikan premium, sedangkan bio-oil dapat menggantikan minyak tanah (Prastowo, 2007). 

Biodiesel merupakan bentuk ester dari minyak nabati setelah adanya perubahan sifat kimia karena proses transesterifikasi yang memerlukan tambahan metanol. Bioetanol merupakan anhydrous alkohol yang berasal dari fermentasi jagung, sorgum, sagu atau nira tebu (tetes) dan sejenisnya. Bio-oil merupakan minyak nabati murni atau dapat disebut minyak murni, tanpa adanya perubahan kimia, dan dapat disebut juga pure plant oil atau straight plant oil, baik yang belum maupun sudah dimurnikan atau  disaring. Bio-oil dapat disebut juga minyak murni (Prastowo, 2007).

Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015) menetapkan 13 tanaman di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi biodiesel dan bioetanol, yakni kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, pongamia, karet, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, aren, dan sorgum.  

Dari semua tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN itu, pemerintah Indonesia baru memanfaatkan sawit. Program mandatori biodiesel sudah mulai diimplementasikan pada tahun 2008 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5%. Secara bertahap kadar biodiesel meningkat hingga 7,5% pada 2010. Pada periode 2011 hingga 2015  persentase biodiesel ditingkatkan dari 10% menjadi 15%. Selanjutnya, pada 1 Januari 2016, ditingkatkan kadar biodiesel hingga 20% (B20). Program Mandatori B20 berjalan baik dengan pemberian insentif dari BPDPKS untuk sektor PSO. Mulai 1 September 2018 pemberian insentif diperluas ke sektor non-PSO (Ebtke.Esdm.go.id, 2019).

Pemerintah Indonesia kemudian memberlakukan program B30 (campuran biodiesel 30% dan 70% solar). Dikutip dari Kominfo.go.id (2019), Presiden Jokowi meluncurkan Program Mandatori B30 di SPBU Pertamina MT Haryono 31.128.02 Jakarta pada 23 Desember 2019. Program itu akan diimplementasikan secara serentak di seluruh Indonesia mulai 1 Januari 2020. Indonesia pun tercatat sebagai negara pertama yang mengimplementasikan B30 di dunia.

Pemerintah Indonesia juga telah memasukkan sawit ke dalam salah satu dari lima program untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan. Program itu masuk ke dalam Prioritas Riset Nasional 2020—2024 yang berada di bawah Kemenristek/BRIN (Kompas.com, 2021). Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa target penggunaan BBN dari sawit sebagai BBM ialah menghasilkan bensin, diesel, maupun avtur 100 persen dari bahan baku kelapa sawit sehingga bisa mengurangi impor BBM (Kompas.com, 2021).

BBN yang saat ini mengandalkan sawit digadang-gadang bakal berperan penting dalam mencapai target NDC 2030. Dalam dokumen NDC terbaru yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada PBB Juli lalu, implementasi biofuel di sektor transportasi mesti mencapai 90—100% dengan target sawit sebagai bahan baku utama (Mongabay.co.id, 2021).

Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, pengembangan BBN nasional masih banyak tantangan, terutama karena didominasi satu komoditas feedstock, yakni, sawit. Dengan pertimbangan ekonomi yang dilematis, dampak dari single feedstock ini akan mengancam ketersediaan lahan yang berkaitan hutan dan gambut. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, Penurunan emisi jadi tidak terlalu relevan jika dilihat life cycle analysis-nya (Mongabay.co.id, 2021).

Menurut Aksel Tomte dari Universitas Oslo, kebijakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan campuran 30% bahan bakar hayati dalam bensin sejak Januari 2020 untuk meningkatkan jumlah penggunaan biodiesel akan meningkatkan permintaan akan sawit, ekspor pertanian nomor satu bagi Indonesia. Pemerintah telah mencanangkan program tersebut sebagai cara untuk menurunkan impor bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca. Namun, program itu akan memperparah deforestasi, meningkatkan emisi gas rumah kaca, dan menghilangkan keanekaragaman hayati, serta mengakibatkan konflik agraria (Theconversation.com, 2020).

Kata Tomte  lagi, kalangan industri sawit sering kali berargumen bahwa jika permintaan global untuk minyak nabati mesti terpenuhi dari kedelai, bunga matahari, dan kanola (dan tidak oleh sawit), maka lebih banyak lahan akan dibutuhkan, dan hal itu akan mendorong tingginya deforestasi. Hal itu kontroversial karena tidak semua tanaman tersebut berdampak setara terhadap deforestasi. Laporan dari Uni Eropa menyimpulkan bahwa kelapa sawit terkait dengan tingkat deforestasi yang lebih tinggi dibanding bahan bakar nabati lainnya.

Tomte menambahkan bahwa dengan demikian, kebijakan biodiesel bertujuan untuk menggantikan bahan bakar fosil sehingga perbandingannya harus dengan bahan bakar fosil, bukan jenis minyak nabati lainnya. Banyak studi menemukan bahan bakar minyak dari sawit memproduksi emisi karbon lebih banyak daripada bahan bakar fosil.

Mengenai kebijakan B30, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan bahwa permintaan BBN dipengaruhi laju elektrifikasi transportasi. Tanpa kendaraan listrik, katanya, kebijakan B30 hanya menggantikan 7% dari konsumsi bahan bakar pada 2050. Peningkatan kontribusi BBN lebih besar dapat terjadi dengan produksi drop in biofuel (Mongabay.co.id, 2021).

Elektrifikasi moda transportasi, kata Fabby, akan menurunkan kebutuhan minyak sawit untuk produksi BBN. Penggunaan kendaraan listrik di transportasi darat juga dapat menurunkan permintaan BBM. Jika merujuk peta jalan Kementerian Perindustrian, kendaraan listrik dapat membatasi kenaikan konsumsi BBM 40% saat ini.

Dekarbonisasi sistem energi memerlukan bahan bakar rendah karbon dari hasil berkelanjutan serta harga kompetitif dengan teknologi bahan bakar lain. Fabby mengatakan bahwa jika produksi BBN dari CPO (crude palm oil) dengan membuka lahan baru, jelas menyebabkan carbon footprint BBN lebih tinggi dan tidak compatible dengan tujuan transisi energi menuju dekarbonisasi.

Pertimbangan lain, kata Fabby, perlu eksplorasi penggunaan bahan baku BBN lain, generasi kedua dan ketiga sebagai pilihan. CPO yang sustainable tidak cukup memenuhi kebutuhan bahan bakar di masa depan.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Walhi, Yuyun Harmono, mengatakan bahwa konteks kebijakan sawit yang diharapkan sebenarnya bukanlah revisi perpres biofuel, melatinkan moratorium sawit. BBN bukan jadi alternatif bagi bahan bakar fosil itu sendiri kalau dilihat dari persoalan lingkungan hidup dan perubahan iklim (Mongabay.co.id, 2018).

Karena biofuel mampu mengemisi tiga kali lipat, bukan mereduksi emisi. Ia mengacu pada produksi hulu sawit—bahan baku biofuel—yang diperoleh dengan menciptakan berbagai masalah dari deforestasi, kebakaran hutan dan lahan sampai konflik sosial,” ujar Yuyun.

Sumber: 

Praswoto, Bambang. 2007. “Bahan Bakar Nabati Asal Tanaman Perkebunan Sebagai Alternatif Pengganti Minyak Tanah Untuk Rumah Tangga” dalam Jurnal Perspektif Volume 6 Nomor 1, Juni 2007. 

Buku Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan, 2015).

“Apa Itu Biofuel (Bahan Bakar Nabati)?” (Madaniberkelanjutan.id, 5 Oktober 2021).

“Menimbang Kebijakan Bahan Bakar Nabati dari Sawit” (Mongabay.co.id, 13 September 2021).

“Program Mandatori Biodiesel 30% (B30)” (Ebtke.Esdm.go.id, 19 Desember 2019).

“Pertama di Dunia, Indonesia Terapkan Biodiesel 30 Persen (B30)” (Kominfo.go.id, 23 Desember 2019).

“Indonesia menyiapkan biodiesel dari sawit. Ini kemungkinan dampak sosial dan lingkungannya” (Theconversation.com, 30 Oktober 2020)

“Kebijakan Dorong Biofuel, Peluang Tekan Emisi atau Sebaliknya?” (Mongabay.co.id, 9 Agustus 2018).

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

MADANI BERKELANJUTAN: INDONESIA NEEDS A BIOFUEL ROADMAP TO REDUCE CARBON EMISSIONS

MADANI BERKELANJUTAN: INDONESIA NEEDS A BIOFUEL ROADMAP TO REDUCE CARBON EMISSIONS

[Madani News] Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indarto mengatakan bahwa untuk membuat bahan bakar nabati (BNN) mampu memenuhi komitmen iklim maka perlu dibuatkan road map (peta jalan) BBN dalam upaya mengurangi emisi karbon. Hal ini diungkapkan Giorgio atau yang akrab disapa Jojo dalam webinar “Pangan Vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia”, pada Selasa, 16 November 2021 yang bekerjasama dengan Mongabay Indonesia.

Madani mengajak semua pihak yang berbicara BBN agar BBN tidak dijadikan alat untuk dikatakan sebagai solusi palsu. Madani ingin mengatakan apapun solusinya selama dapat dipikirkan secara tepat, ia mampu menjadi solusi,” kata Giorgio.

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sampai 29 persen dengan usaha sendiri dan sampai 41 persen dengan dukungan internasional. Untuk itu, menurut Giorgio, Indonesia semestinya tidak hanya bergantung pada BBN yang berbahan dasar minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).

BBN tidak hanya biodiesel, kalau hanya biodiesel, makna BBN menjadi sempit, akhirnya BBN sulit menjadi solusi perubahan iklim yang sesungguhnya. Dan agak pilih kasih ketika hanya membicarakan satu komoditas,” katanya. 

Selain bahan baku BBN yang masih berfokus pada CPO, Giorgio juga memandang perluasan penggunaan BBN di dalam negeri masih menghadapi masalah berupa harga yang mahal sehingga belum mampu bersaing dengan Bahan Bakar Minyak (BBM). 

Kita harus mencari bagaimana BBN bersaing dengan minyak bumi. Sekarang tanpa insentif BBN lebih mahal, orang tidak mau membeli,” kata Giorgio.

Dalam diskusi yang sama hadir beberapa Narasumber seperti Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (APROBI), Alin Halimatussadiah, Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM Universitas Indonesia, dan Sub Koordinator Supervisi Biofuel Direktorat Bioenergi Kementerian ESDM, Herbert Hasudungan. 

Saksikan diskusi “Pangan Vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia” channel Youtube Yayasan Madani Berkelanjutan dan dapatkan bahan presentasi narasumber di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

en_USEN_US