Madani

Tentang Kami

FINANCIAL LITERACY: GREEN BANKING OR GREENWASHING?

FINANCIAL LITERACY: GREEN BANKING OR GREENWASHING?

Krisis iklim telah menjadi isu global. Hampir semua pihak tidak ada yang menyangkal bahwa krisis iklim telah banyak menimbulkan bencana ekologi. Bencana ekologi akibat krisis iklim ini sudah mengganggu pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Tak heran bila sektor bisnis mulai mencitrakan dirinya sebagai bagian dari pihak yang mendorong pengurangan gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim.

Salah satu sektor bisnis yang mengidentikan perusahaannya berperan mendorong penurunan GRK itu adalah perbankan. Saat ini di dunia perbankan muncul istilah green banking. green banking adalah upaya perbankan untuk menjaga lingkungan hidup melalui penyaluran kredit atau kegiatan operasionalnya. Bank memang tidak secara langsung terkait dengan kegiatan perusakan alam, seperti perkebunan, pertambangan atau industri lainnya. Namun perbankan tidak lantas dapat dilepaskan dari persoalan meningkatnya kerusakan alam. Kebijakan bank dalam memberikan pinjaman atau pembiayaan dapat menjadi pemicu bagi kegiatan-kegiatan yang berdampak pada lingkungan.

Terkait dengan itulah, bank yang mengidentikan dirinya dengan green banking harus hati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Apakah kreditnya disalurkan ke industri yang ramah ligkungan atau justru industri yang merusak alam?

Hampir kita semua menjadi nasabah perbankan. Namun, hampir kita semua tidak tahu kemana uang kita di bank digunakan.  Pertanyaan berikutnya adalah darimana kita bisa memperoleh informasi sebuah bank masuk dalam kategori green banking?

Bila bank, tempat kita menyimpan uang, sudah terdaftar di bursa saham, kita akan lebih mudah mendapatkan informasi terkait dengan kemana saja uang kita dipinjamkan. Apakah uang kita dipinjamkan ke industri yang ramah lingkungan hidup atau sebaliknya mengancam keberlanjutan lingkungan hidup.

Pertama, kita bisa mendapatkan informasi di Annual Report Bank (AR). Annual Report (AR) adalah ringkasan keuangan dari aktivitas perusahaan dalam periode satu tahun. Di dalam AR juga tercantum analisis manajemen tentang kondisi keuangan saat ini dan rencana masa depan. Siapa pengguna eksternal? Pengguna eksternal adalah seseorang yang tidak mengelola atau bekerja untuk sebuah perusahaan dan mereka hanya memanfaatkan informasi keuangan perusahaan tersebut.

Kedua, kita juga bisa mendapatkan informasi di Sustainability Report Bank atau  Laporan Keberlanjutan.  Sustainability Report Bank merupakan laporan yang berisi informasi kinerja perusahaan pada aspek ekonomi, lingkungan dan sosial yang dilakukan dalam periode satu  tahun. Selain untuk pemegang saham, laporan ini juga ditujukan pada masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan yang disampaikan secara transparan.

Penyusunan Sustainability Report Bank biasanya juga bertujuan untuk mengkomunikasikan komitmen perusahaan dalam menjalankan bisnis yang berkelanjutan. Sustainability Report Bank juga dapat memberikan gambaran yang lebih luas dan terbuka pada seluruh pemangku kepentingan tentang kegiatan pembangunan berkelanjutan yang telah dilakukan oleh perusahaan.

Biasanya, Sustainability Report dan Annual Report disusun dalam waktu yang bersamaan, meski nantinya disajikan dalam dua laporan yang terpisah. Namun, informasi di Sustainability Report dan Annual Report seringkali berisi klaim sepihak dari pihak bank. Terkait itu kita perlu mencari informasi lain.

Ketiga, kita bisa mencari informasi di Media Massa. Biasanya sebuah bank memiliki tim media relation yang selalu mengupdate informasi ke media. Tak jarang informasi itu terkait dengan dukungan pendanaan bank tersebut ke sebuah proyek pembangunan.

Keempat, bila kebetulan bank kita adalah BUMN, kita juga bisa mencari informasi dengan cara meminta Informasi Publik dengan Payung Hukum UU KIP. Kita bisa mengajukan permohonan informasi tentang kemana uang nasabah dipinjamkan. Misalnya kita bisa bertanya, berapa persen uang nasabah yang dipinjamkan ke proyek energi kotor seperti batubara. Meskipun dalam Pasal 1 UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik), definisi Badan Publik tidak menyebutkan secara eksplisit BUMN/BUMD, tetapi definisi tersebut menyebutkan bahwa badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya berasal dari APBN/APBD. BUMN/BUMD adalah Badan Publik yang termasuk dalam pengertian ini.

Dalam beberapa kejadian, seringkali informasi yang diterbitkan secara resmi oleh pihak bank berbeda dengan informasi di luar bank tersebut. Sebagai contoh, dalam informasi remsinya di Sustainability Report dan Annual Report, sebuah bank mengklaim mendukung proyek ramah lingkungan hidup, tapi fakta di lapangan justru bank tersebut terlibat dalam pembiayaan proyek yang tidak ramah lingkungan. Jika itu yang terjadi bukan lagi green banking tapi greenwashing.

Greenwashing merupakan bentuk praktik tipuan pemasaran melalui pencitraan palsu. Perusahaan seolah-olah telah menjalankan praktik usaha yang ramah lingkungan. greenwashing ini bisa menyesatkan konsumen. Realita di lapangan tidak seindah kata-kata, mungkin itulah salah satu rangkaian kalimat untuk menggambarkan praktik greenwashing.

Dalam Sustainability Report BNI  di 2020 misalnya, bank tersebut menyatakan memiliki komitmen mengimplementasikan keuangan berkelanjutan, yang salah satunya bertujuan untuk mengurangi emisi GRK. Padahal, dalam laporan Urgewald, sebuah lembaga yang berbasis di Jerman, BNI terbukti sebagai salah satu dari enam bank di Indonesia yang masih memberikan pinjaman ke perusahaan batu bara.

Padahal, batubara adalah salah satu energi fosil yang sangat merusak. Kerusakan yang diakibatkan oleh batubara bukan hanya terkait dengan lingkungan hidup, namun juga kesehatan. Rentang kerusakan alam akibat batubara terbentang dari penambangan hingga pembangunan PLTU. Lauri Myllyvirta, aktivis Greenpeace International mengatakan, penggunaan batubara menyebabkan 60 ribu orang Indonesia meninggal tiap tahun. Donna Lisenby, Koordinator Kampanye batubara Global Waterkeeper Alliance, mengatakan, dari 26 persen bayi lahir di sekitar tambang batubara berpotensi cacat.

Terkait dengan krisis iklim, emisi GRK dari batubara ini mendorong percepatan krisis iklim. Pembakaran batubara menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan daripada bahan bakar fosil lainnya. Dibandingkan dengan gas, batubara melepaskan 66% lebih banyak CO2 per unit energi yang dihasilkan. Bukan hanya itu, tambang batubara melepaskan metana ke atmosfer. Metana dua puluh kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai GRK, penyebab krisis iklim

Terkait dengan itulah, tak heran komunitas fossil free kampus di Indonesia, yang dimotori fossil free UI dan UGM, membuat petisi di https://www.change.org/GaPakeNanti. Dalam petisi itu, anak-anak muda kampus  mendesak BNI segera menghentikan pendanaan ke energi batu bara. Petisi itu dilatarbelakangi oleh janji bank BUMN tersebut di Sustainability Report yang akan ikut mendukung penurunan GRK.

Singkatnya, di tengah naiknya isu lingkungan hidup, sebuah bank bisa mengklaim secara sepihak sebagai green banking. Kita sebagai konsumen harus kritis apakah klaim green banking itu sebenarnya adalah bentuk lain dari greenwashing. Untuk itulah diperlukan sebuah literasi keuangan agar kita sebagai konsumen tidak menjadi korban dari penyesatan informasi terkait green banking ini.

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

CLIMATE CRISIS AND POOR ENVIRONMENTAL GOVERNANCE

CLIMATE CRISIS AND POOR ENVIRONMENTAL GOVERNANCE

Baru-baru ini di media sosial beredar video mengenai banjir bandang di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Sebelumnya, banjir juga terjadi di Gorontalo, Sulawesi. Di saat yang hampir bersamaan, banjir bandang juga melanda Aceh Utara. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat menyatakan sebanyak 1.853 jiwa mengungsi di dua titik pengungsian karena banjir melanda daerah itu. Bahkan banjir sudah menjadi ritual tahunan di Ibukota Jakarta.

Pada 2020, banjir yang menenggelamkan Ibukota di awal tahun 2020.  Data Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa hingga 2 Januari 2020 pukul 12.00 WIB, sebanyak 35.557 orang di wilayah Jakarta yang mengungsi. 

Bencana ekologi kini seakan menjadi bagian dari keseharian kita. Banjir, tanah longsor, kabut asap, pencemaran air dan udara sering terjadi di negeri ini. Tak terhitung banyaknya jumlah korban yang berjatuhan akibat bencana ekologi itu.

Maraknya bencana ekologi ini tak bisa dilepaskan dari krisis iklim. Badan PBB, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) tahun ini mengeluarkan laporan bahwa krisis iklim kini makin cepat. Kehidupan di bumi benar-benar dalam bahaya. Bencana ekologi akan datang lebih sering dan dalam skala yang masif.

Di Indonesia, bencana ekologi tidak hanya disebabkan oleh krisis iklim. Bencana ekologi itu disebabkan oleh perpaduan sempurna antara krisis iklim dan buruknya tata kelola lingkungan hidup. Banjir di Jakarta tidak bisa dilepaskan dari hancurnya daya dukung ekologi di Ibukota. Hancurnya daya dukung ekologi itu adalah dampak dari kebijakan kebijakan pembangunan yang sudah bertahun-tahun. Banjir di Jakarta tidak bisa dilepaskan oleh maraknya alih fungsi daerah resapan air menjadi kawasan komersial. Hilangnya daerah resapan air ini akan memperbesar volume air larian (run off). Semakin besar volume air larian, akan semakin memperbesar kerentanan kota ini dari banjir. 

Data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan setiap 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan (BPLHD DKI Jakarta, 2007).

Pengalihfungsian kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air menjadi pusat belanja dan kawasan komersial lainnya adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta. Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Namun, di kawasan itu kini telah muncul  berbagai kawasan komersial. 

Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi kawasan komersial. Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter.

Kehancuran alam yang menyebabkan bencana ekologi tidak hanya terjadi di Jakarta. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupakan bencana ekologis.  Meningkatnya bencana ekologi salah satunya disebabkan karena laju deforestasi di Indonesia mencapai 750.00 hektar per tahun. Namun, kemampuan pemerintah rehabilitasi hutan dan lahan hanya 250.000 hektar per tahun hingga ada kesenjangan angka 500.000 hektar per tahun, yang terus berlipat setiap tahun.

Seperti halnya di Kalimantan, kehancuran hutan di Sumatera juga sangat massif. Di Provinsi Jambi, luas hutan di wilayah yang semula mencapai 2,2 juta hektar kini hanya tersisa sekitar 500.000 hektar. Di Provinsi Lampung, sekitar 65 persen atau 650.000 hektar dari 1,004 juta hektar hutan dalam kondisi rusak. Kerusakan hutan di Provinsi Aceh juga meningkat. Di provinsi itu, sejak 2006 kerusakan hutan rata-rata 32.200 hektar per tahun.

Menurut data Greenpeace, sebuah organisasi lingkungan hidup internasional, kehancuran hutan Indonesia kira-kira seluas 300 lapangan bola setiap jam. Sebuah skala penghancuran alam yang sangat masif.

Namun data dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK) cukup melegakan. Data itu menyebutkan bahwa Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 % di periode tahun 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha.

Meskipun data dari KLHK menunjukan laju deforestasi mengalami penurunan, Laju deforestasi hutan primer Indonesia terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Global Forest Watch, laju deforestasi Indonesia masih masuk daftar 10 terbesar di dunia pada tahun 2020. Indonesia menempati posisi keempat, diapit oleh Bolivia dan Peru. Pada tahun 2020, lahan hutan primer Indonesia tercatat berkurang 270 ribu hektare (ha). Bukan sebuah angka kecil bagi upaya menjaga keberlanjutan alam.

Jadi sudah sejak lama pemerintah tutup mata dalam tata kelola lingkungan hidup. Buruknya tata kelola lingkungan hidup yang sudah terjadi sejak lama itu kini berpadu dengan krisis iklim global. Akibatnya sudah bisa ditebak, sebuah bencana ekologi terjadi dengan tak terkendali.

Saat ini kita hidup di tengah buruknya tata kelola lingkungan hidup dan krisis iklim itu. Tentu kita tidak bisa berdiam diri. Sebagai warga negara dan juga pembayar pajak kita harus senantiasa mendesak para pemegang kebijakan di negeri ini untuk segera membenahi tata kelola lingkungan hidup yang carut marut. Kita harus menyuarakan ke para pemegang kebijakan itu bahwa, waktu yang penduduk bumi benar-benar makin terbatas untuk mengatasi krisis iklim. Tanpa pembenahan tata kelola lingkungan hidup, bencana ekologi akan menimpa kita semua dengan skala yang masif dan mematikan. 

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

en_USEN_US