Madani

Tentang Kami

Label Berkelanjutan Jawaban Atasi Masalah Sawit, Benarkah?

Label Berkelanjutan Jawaban Atasi Masalah Sawit, Benarkah?

Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, sawit berkelanjutan untuk kepentingan nasional sejatinya bukan hanya terletak pada nilai ekonomi saja, termasuk daya dukung lingkungan.

Sejumlah lembaga dari Eropa, mengatakan industri sawit telah terbukti berkontribusi terhadap deforestasi. Meskipun begitu, mencari minyak nabati pengganti sawit juga bukan pekerjaan mudah. Hal ini mengemuka dalam Konferensi Internasional tentang Minyak Sawit dan Lingkungan (International Conference on Palm Oil and Environment/ICOPE) 2018 pada Jumat (27/4/18).

Konferensi dua tahunan berlangsung tiga hari ini diadakan lembaga lingkungan WWF Indonesia, perusahaan sawit Sinar Mas Agrobusiness and Food, dan lembaga riset dari Prancis CIRAD di Nusa Dua, Badung, Bali.

James Fry, Ketua LMC Internasional–lembaga konsultasi independen Eropa di bidang ekonomi dan lingkungan terutama di sektor agribisnis–, mengatakan, laporan mereka bersama lembaga 3keel untuk Komisi Eropa, ada bukti perluasan perkebunan sawit menyebabkan deforestasi, peningkatan emisi gas rumah kaca, dan hilangnya keragaman hayati.

Masalah lain yang terjadi, katanya, karena perluasan kebun sawit adalah masyarakat adat dan warga lokal terpinggir. “Industri ini telah mengeksploitasi tenaga kerja dan penggunaan tenaga kerja anak-anak,” katanya.

Dari sisi deforestasi, katanya, 55% dari total hilangnya tutupan hutan di Indonesia pada kurun waktu 2000-2015 terjadi di hak pengelolaan hutan (konsesi) legal. Dari luas itu, sepertiga di antaranya terjadi karena perkebunan sawit.

Masalah lain juga terjadi di lahan gambut. Menurut laporan LMC International dan 3keel, sekitar 3,1 juta hektar lahan gambut telah dikonversi jadi lahan kebun sawit sampai 2015. Luas itu setara 21% luas lahan gambut di Malaysia dan Indonesia.

Di Indonesia, perkebunan sawit telah memicu kebakaran hutan. Sekitar 19% kebakaran lahan pada 2015 terjadi di perkebunan sawit. Pada dua pulau penghasil sawit Indonesia, Kalimantan dan Sumatera, 16,6% kebakaran terjadi di perkebunan sawit juga.

“Pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, untuk membuka lahan sawit juga jadi penyumbang utama gas rumah kaca,” kata salah satu kesimpulan laporan.

Sisi lain, sawit juga berperan penting dalam meningkatkan pendapatan petani kecil di negara-negara produsen sawit. Terutama, katanya, di dua negara utama penghasil sawit dunia, Malaysia dan Indonesia.

“Ini membuktikan, perkebunan sawit telah menyumbang pembangunan wilayah pedesaan. Manfaat ini, juga harus jadi pertimbangan juga ketika melihat dampak sosial dan lingkungan industri sawit.”

Dari laporan setebal 396 halaman itu, Malaysia dan Indonesia, menghasilkan sekitar 90% minyak sawit dunia. “Karena itu, membahas solusi atas masalah industri sawit tak mungkin bisa dilakukan tanpa melibatkan Indonesia dan Malaysia,” katanya.

Dari sisi pemasaran, Eropa merupakan pasar terbesar konsumen minyak sawit maupun produk turunan. Fray mengatakan, wilayah lain dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan jumlah penduduk besar seperti Tiongkok dan India juga mulai jadi tujuan pemasaran.

Permintaan sawit tinggi, katanya, hingga mustahil negara-negara Eropa menghentikan impor minyak sawit, termasuk mengganti dengan nabati lain, seperti kedelai ataupun kanola. Minyak kedelai, dulu jadi pilihan pertama sebelum tergantikan sawit, pun tak bisa jadi pilihan terbaik. Selain karena memerlukan lahan lebih luas, komoditas ini juga termasuk genetic modified organism (GMO), sesuatu yang lebih dibenci konsumen Eropa dengan alasan lingkungan.

“Konsumen di Eropa, tak akan mengonsumsi minyak kedelai karena produk GMO. Super market harus memasang label GMO di produknya dan konsumen pasti tak akan membeli,” katanya.

Dari sisi penggunaan lahan, sawit juga masih paling kecil dibandingkan minyak nabati lain yaitu kedelai, bunga matahari, dan kanola.

Dia bilang, sertifikasi sawit berkelanjutan bisa menjawab isu-isu negatif karena dampak buruk sawit dari Indonesia dan Malaysia. Beberapa model sertifikasi sawit seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) bisa jadi jawaban.

“Indonesia juga sudah mulai serius menangani masalah akibat sawit dengan membuat kebijakan terkait deforestasi, hilangnya keragaman hayati, dan emisi gas rumah kaca.”

Perlu berimbang

Pendapat serupa datang dari Manajer Program Pembangunan Berkelanjutan European Palm Oil Alliance (EPOA) Eddy Esselink. “Berdasarkan diskusi dua hari ini, terlihat banyak upaya mengatasi masalah dan memperbaiki kondisi,” katanya.

Hal itu, sejalan pula dengan terus meningkatnya permintaan minyak sawit berkelanjutan di pasar Eropa.

Esselink menyebutkan, perhatian negara-negara Eropa terhadap perlunya minyak sawit berkelanjutan mulai 2014. Beberapa negara Eropa, seperti Belanda dan Prancis, menggagas debat soal minyak sawit. Diskusi berlanjut hingga muncul Deklarasi Amsterdam pada 2016 sebagai bentuk komitmen negara-negara Uni Eropa untuk beralih ke minyak sawit berkelanjutan.

“Kami berkomitmen menggunakan 100% minyak sawit berkelanjutan pada 2020,” katanya.

Komitmen ini, disepakati anggota-anggota EPOA yang datang dari beragam latar belakang, terutama sektor industri makanan, konsumen terbesar minyak sawit. Beberapa organisasi non-pemerintah, seperti Greenpeace, Conservation International, dan WWF juga termasuk pendukung inisiatif minyak sawit berkelanjutan.

Menurut dia, rencana memboikot minyak sawit oleh sebagian produsen makanan di Eropa bukanlah jalan keluar yang tepat. Mereka harus melihat sisi lain agar lebih berimbang bahwa minyak sawit berkontribusi menghilangkan kemiskinan, salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Memboikot minyak sawit hanya akan menimbulkan masalah baru bagi negara-negara produsen.

“Sebagaimana teman-teman NGO (lembaga non pemerintah-red) bilang, no palm oil is no solution. Inilah saatnya kita bekerja sama baik dari organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, maupun pemerintah. Mari kita gunakan pendekatan kolaboratif.”

Sawit berkelanjutan, seperti apa?

Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan memberikan pandangan. Dia bilang, sawit berkelanjutan untuk kepentingan nasional sejatinya bukan hanya terletak pada nilai ekonomi saja, termasuk daya dukung lingkungan.

Meskipun tak menutup mata sawit memiliki nilai ekonomi tinggi bukan sikap bijak kalau lahan dan hutan tersisa jadi konversi menjadi sawit. Kondisi ini, katanya, malah bisa meningkatkan kerentanan sebagai bangsa.

Seharusnya, kata Teguh, Indonesia bisa belajar kala era keemasan hak pengusahaan hutan (HPH), minyak dan gas. “Sumber daya alam itu habis. Kita gagap mencari penopang ekonomi yang baru, yang tersisa hanya bencana lingkungan yang tidak bisa ditanggulangi bahkan cenderung meningkat seperti longsor, banjir, krisis air bersih, dan lain-lain,” katanya kepada Mongabay, Kamis (10/5/18).

Ada sertifikasi ‘sawit berkelanjutan’ baik wajib dari pemerintah maupun lembaga non pemerintah itu pertanda bagus. Namun, katanya, kedua sistem sertifikasi itu hanya alat bukan obat mujarab. Tanpa ada komitmen jelas dan disiplin dari pemerintah untuk benar-benar memperbaiki tata kelola industri sawit nasional demi kepentingan bangsa, katanya, sistem apapun tak akan menguntungkan.

Dia bilang, banyak temuan lembaga negara seperti jutaan hektar sawit ilegal, sawit merambah taman nasional, perusahaan sawit tak bayar pajak sampai penggelapan pajak, masyarakat lokal (adat) tergusur, konflik berkepanjangan bahkan tak jarang menimbulkan korban nyawa.

“Ini tindaklanjutnya apa? Alih-alih bersama-sama menyatakan yang mengungkapkan fakta sebagai black campaign. ini kan ngawur…..dan mengindikasikan tak ada niat untuk memperbaiki,” katanya..

Saat ini, katanya, kondisi nyata di lapangan ‘sawit sukses” itu adalah jadikan masyarakat sebagai buruh. “Yang menguasai bisnis ini dan paling untung korporasi kok, sebagian besar asing pulang alias berbendera negara tetangga,” katanya.

Teguh merujuk kajian KPK soal tata kelola sawit 2016. Dalam kajian KPK itu antara lain menyebutkan, luas lahan perkebunan sawit di Indonesia tahun 2015 seluas 15,7 juta hektar. Perkebunan sawit dikelola perusahaan swasta seluas 10,7 juta hektar (68%), BUMN 493,700 hektar (3%) dan perkebunan rakyat 4,4 juta hektar (29%).

“Yayasan Madani percaya, krisis ekologi dapat mengganggu stabilitas ekonomi jangka panjang. Untuk itu, moratorium izin baru sawit, peninjauan kembali izin dan penegakan hukum. “Ini bisa jadi awal yang baik bagi Indonesia bebenah agar sawit menguntungkan, dalam makna sebenarnya, itu benar-benar terjadi.”

Sumber: Mongabay, 10 Mei 2018.

Related Article

Nasib Hutan Nusantara, Akankah Terus Merana?

Nasib Hutan Nusantara, Akankah Terus Merana?

“Raung buldozer gemuruh pohon tumbang…
Berpadu dengan jerit isi rimba raya…
Tawa kelakar badut-badut serakah…
Dengan HPH berbuat semaunya…
Lestarikan alam hanya celoteh belaka…
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu…”

Lirik lagu Iwan Fals berjudul “Isi Rimba Tak Dapat Berpijak Lagi” yang rilis 1982 ini tampaknya masih relevan dengan kondisi kini. Dulu, hak pengusahaan hutan (HPH) seperti lagu Iwan yang menjadi ancaman terbesar bagi hutan dan isinya. Kini, lebih banyak lagi ancaman, ada hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawit, pertambangan, pembalakan liar dan banyak lagi.

Setiap 21 Maret, masyarakat dunia juga Indonesia memperingati Hari Hutan Internasional, apa maknanya? Sementara kondisi hutan terutama di Indonesia kini makin merana.

Izin-izin skala raksasa yang sudah membebani dan mengubah puluhan juta hektar hutan negeri sejak lama, kini terus bertambah. Bukan hanya satwa atau keragamanan hayati kehilangan tempat berpijak, manusia juga terancam dan menderita. Kerusakan lingkungan memicu bencana terjadi di mana-mana, dari kebakaran hutan, banjir, longsor, pencemaran dan lain-lain..

Data pemerintah—Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—merilis deforestasi 2016-2017 sebesar 496.370 hektar, alami penurunan dari periode tahun sebelumnya sekitar 630.000 hektar per tahun. Angka yang tidak kecil mekipun sudah ada penurunan, ini di luar penghilangan hutan dengan terencana alias karena keluar beragam izin.

Analisis Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi di delapan provinsi (saja) pada 2009-2016 seluas 1,78 juta hektar. Ia meliputi Aceh, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Sulawesi Tengah.

Deforestasi ini terdiri dari 1,04 juta hektar dalam konsesi izin, dan 738.816 hektar di luar konsesi (497.885 hektar dalam kawasan hutan dan 258.931 hektar pada alokasi penggunaan lain).

Pemerintah kini berkomitmen benahi tata kelola. Beragam kebijakan perlindungan hutan dibuat antara lain, setop beri izin baru di hutan primer dan lahan gambut, pengetatan aturan gambut sampai perbaikan standar hijau sawit Indonesia, sampai rencana memoratorium izin sawit.

Beragam upaya itu merupakan langkah baik, dengan catatan, implementasi berjalan, pengawasan ketat dan penegakan hukum tegas bagi pelanggar.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, komitmen hutan sudah cukup kuat. Sayangnya, lemah dalam menerjemahkan atau implementasi dalam konteks sosial, ekonomi dan budaya.

Dia contohkan. dalam komitmen penurunan emisi 26%, Indonesia masih belum pernah selesai mendefinisikan apa arti bagi kepentingan nasional. ”Harus ada ambang batas bagi perkebunan monokultur, larangan buka wilayah yang berkarbon tinggi, sedangkan untuk sosial mungkin ada alokasi bagi kelompok yang rentan,” katanya.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga beri pandangan. Dia bilang, pemerintah perlu komitmen tegas terkait moratorium pelepasan kawasan hutan, tak ada lagi untuk industri, perkebunan monokultur dan tambang. Kini, katanya, saatnya tata kelola dan merehabilitasi lahan kritis. Pengelolaan hutan, katanya, berikan kepada masyarakat adat/lokal yang sudah terbukti menjaga hutan-hutan di nusantara ini.

”Masyarakat adat memiliki komitmen melindungi hutan, namun masih banyak yang terhadang status kawasan hutan. Padahal, secara faktual, mereka tinggal disana lebih dahulu,” katanya.

Kini, pemerintah mulai memberikan pengakuan dan penetapan hutan adat. Ia masuk dalam salah satu program prioritas pemerintah lewat perhutanan sosial dan reforma agraria.

Sayangnya, kata Rukka, pengakuan hutan adat lambat sekali, padahal dapat membantu pemerintah mengelola hutan dari beragam ancaman.

”Kita tunggu komitmen Ibu Menteri (Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red) yang akan mengembalikan dan menyerahkan hutan adat seluas 6 juta hektar,” katanya.

Pemberian hak hutan adat mendesak karena mereka terus terancam di lapangan. Konflik terjadi antara warga dan perusahaan pemegang izin—bahkan ilegal sekalipun—maupun antara warga dan pemerintah.

Salah contoh masyarakat adat di Riau. Hutan adat mereka sudah hilang menjadi konsesi hutan tanaman industri, perkebunan sawit hingga tambang.

“Yang tersisa pun, bahkan diklaim pemerintah berada dalam kawasan hutan. Salah satunya di Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Sebenarnya itu hutan adat,” kata Efrianto, Ketua Dewan AMAN Riau.

Pemerintah, katanya, sudah mengakui hutan adat, salah satu melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 soal hutan adat bukan hutan negara.

Hanya, katanya, putusan ini belum berjalan penuh oleh pemerintah daerah termasuk Riau. Kendalanya, pada regulasi di masing-masing wilayah. Padahal, Riau sudah mengesahkan Perda Nomor 10/2015 tentang tanah ulayat dan pemanfataan. Bahkan, salah satu daerah di Riau, Kabupaten Kampar, sudah memiliki Perda Nomor 12/1999 tentang hak tanah ulayat, jauh sebelum putusan MK-35.

Beragam regulasi ada, tetapi di Riau, belum satupun hutan atau wilayah adat mendapat pengakuan pemerintah setempat.

“Jadi, sebenarnya kalau dikaji-kaji entah untuk apa perda itu. Hutan adat pun nyaris tidak ada lagi,” kata Efri.

Tak henti tergerus

Hutan terus hilang untuk industri ekstraktif juga terjadi di Sulawesi Tenggara. Walhi Sultra mencatat, 600.000 hektar hutan jadi ‘milik’ perusahaan pertambangan dan perkebunan. Data ini sesuai izin usaha pemerintah kepada perusahaan.

Kisran Makati, Direktur Walhi Sultra, mengatakan, pertambangan dan perkebunan punya andil besar kerusakan hutan Sultra. Apalagi, katanya, setengah luas lahan itu adalah kawasan hutan seperti hutan lindung, hutan produksi bahkan hutan konservasi.

“Secara nyata memberikan izin dalam kawasan hutan merusak hutan. Data membuktikan harapan pemerintah dengan kebijakan yang keluar berbanding terbalik. Ibarat dua mata pisau yang berbahaya,” katanya.

Kini, katanya, hutan Sultra, mengalami perubahan atau penurunan status karena industri ekstraktif atas izin pemerintah. Ada beberapa lokasi di Sultra alami hal ini, seperti di Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan dan Kolaka.

Beberapa kali Walhi meminta pemerintah dan pemilik izin menghentikan segala aktivitas dalam kawasan hutan. “Mengapa demikian? Karena pemerintahlah yang mengeluarkan izin-izin itu.”

Dia bilang, laju hilang hutan sangat cepat kalau pelaku industri ekstraktif. “Dibanding tindakan masyarakat yang gunakan kampak, dan mesin tebang, itu tak seberapa. Kalau kita lihat dari luar seperti hutan perawan tetapi dalam sudah gundul. Mereka, perusahaan pertambangan dan sawit ini merambah dari dalam.”

Mengenai kebijakan pemerintah pusat mencanangkan perhutanan sosial sebenarnya baik tetapi harus tetap dalam pengawasan. Dia khawatir, skema perhutanan sosial dan reforma agraria lewat pemberian hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, maupun kemitraan kehutanan, malah jadi peluang bagi perusahaan masuk.

Dia bilang, ada contoh di Konawe Selatan, tepatnya Desa Aronggo, dulu hutan adat, jadi hutan desa, belakangan pemerintah menerbitkan izin usaha perkebunan sawit di sana..

Abdi, Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (LEPMIL) Sultra juga angkat bicara. Dia menilai, kerusakan hutan di Sultra berdampak besar bagi masyarakat. Tak hanya mereka yang berada di sekitar hutan rusak, yang jauh juga terdampak.

Kota Kendari, katanya, banjir tatkala hujan turun. Sekalipun volume kecil sering banjir dan genangan air. Kondisi ini, katanya, bukan saja karena pengelolaan drainase dalam kota buruk, melainkan hutan di luar Kendari seperti di Konawe Selatan dan Konawe, sudah gundul karena perkebunan dan pertambangan.

“Bisnis hutan marak hari ini di sektor tambang. Izin pertambangan dalam kawasan hutan. Kepala daerah memberikan izin tanpa memikirkan dampak sosial di masyarakat. Akhirnya dirasakan banjir, masyarakat terpinggirkan dan akses atas hutan untuk masyarakat makin kecil,” katanya. Gubernur Sultra, tertangkap KPK dan kini jalani persidangan dengan jerat hukum kerusakan lingkungan.

Belum lagi soal Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Dia minta segera setop dan tinjau kembali. Proyek ini, katanya, jelas berdampak buruk pada hutan.

Maluku Utara pun alami kerusakan hutan. Provinsi dengan banyak pulau ini juga tak lepas dari sasaran industri ekstraktif dari izin HPH/HTI, tambang sampai sawit.

Bagi AMAN Malut, yang banyak advokasi masyarakat adat di wilayah yang bersentuhan langsung dengan hutan, menemukan kondisi masyarakat adat makin terancam.

Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Malut bilang, dalam beberapa tahun terakhir ini laju deforestasi hutan cukup tinggi. Kalau sebelumnya 25.000 hektar, pada 2016 menyentuh 52.000 hektar.

Kasus di Malut maupun daerah-daerah lain di Indonesia, kata Munadi, sebenarnya memiliki kemiripan terutama mengenai alih fungsi hutan. Dia bilang, di Malut, paling masif ubah hutan itu tambang, HPH/HTI sampai perkebunan sawit.

Munadi contohkan, dari 3,1 juta hektar luas daratan Malut, terbebani konsesi tambang, HPH /HTI maupun perkebunan sawit mencapai 1,4 juta hektar. Jumlah itu, dibagi untuk tambang 757.000 hektar, HPH 282.000 hektar, HTI 24.000 hektar, dan perkebunan sawit 21.000 hektar. Ada juga areal tumpang tindih mencapai 365.000 hektar.

“Dengan luas wilayah hutan yang sudah diambil untuk konsesi tambang, HPH, HTI dan perkebunan sawit itu menyebabkan hutan alam di Malut makin menipis,” katanya.

Dari hutan alam 1,67 juta hektar pada 2014, kini berkurang jadi 1,51 juta hektar pada 2016. “Semua yang masih berhutan itu dominan berada di pulau-pulau kecil.”

Fakta makin tinggi eksploitasi pemodal ini, katanya, memperlihatkan pemerintah daerah belum serius menjaga hutan Malut. “Hutan dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi tanpa menghitung fungsi ekologis. Padahal hutan tersisa itu berfungsi menjaga kelangsungan hidup masyarakat adat maupun lokal dan keragaman hayati.”

Dia bilang, pemberian izin tak henti memungkinkan deforestasi bakal terus meningkat.

Kondisi ini, katanya, bertolak belakang dengan berbagai upaya masyarakat adat dalam melindungi hutan. Peran masyarakat adat menjaga hutan, kata Munadi, sebenarnya sangatlah strategis.

Untuk itu, katanya, perjuangan mereka mendapatkan hutan adat harus mendapat tempat. “Tidak bisa mereka diabaikan,” katanya.

Munadi menambahkan, putusan MK-35 sudah hampir berjalan enam tahun, tetapi belum berjalan sepenuhnya di level pemerintah daerah. “Karena hak-hak mereka tidak diakui, masyarakat adat mudah dikriminalisasi padahal mereka berperan menjaga hutan,”

Pandangan sama juga disuarakan Hidayat Marasabessy, Dosen Kehutanan Universitas Khairun Ternate. Dia bilang, hutan saat ini menghadapi persoalan pelik.

Kondisi ini, katanya, tak terlepas dari kebijakan pengelolaan sumberdaya alam terutama di daerah. “Booming seperti sawit juga pemanenan mineral bumi massif, berhubungan dengan perubahan lanskap kawasan hutan,”katanya.

Dia menilai, kerusakan hutan juga berkaitan erat dengan modal politik. Kala ada suksesi kepemimpinan memerlukan “gizi berat” sebagai asupan pendanaan. “Nah, cara paling mudah mengumpulkan modal dengan mengeluarkan izin investasi sektor tambang, sawit, HPH dan lain-lain.”

Dia mengapresiasi langkah pemerintah pusat yang memberikan perhatian bagi pengelolaan hutan warga melalui perhutanan sosial. Dia bilang, hal itu ini merupakan jalan baik bagi masyarakat mendapat hak mengelola dan memelihara hutan dengan memanfaatkan baik kayu, hasil hutan bukan kayu sampai jasa lingkungan.

Minim akomodir hak warga

Beralih ke Sumatera Barat, beberapa kalangan menilai kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya alam di provinsi ini belum mengakomodir kepentingan dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Sedangkan upaya pemerintah—KLHK—dalam menjaga hutan masih tebang pilih.

Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) menyebut, upaya pemerintah menjaga hutan belum memperlihatkan perbaikan tata kelola fundamental. Yang ada, katanya, baru pada tingkat wacana dan diskursus tetapi minim implementasi.

Perizinan ekstraktif masih terus muncul sedang pemberian legalitas hak adat dan hak kelola masyarakat berjalan lambat, meskipun yang diajukan hanya luasan kecil. Berbanding terbalik kalau pengajuan izin korporasi dengan luas skala besar.

Jargon jaga hutan pemerintah, katanya, juga masih menyasar korban pada masyarakat kecil, seperti yang terjadi dengan masyarakat di Nagari Koto Malintang. Sedangkan terhadap pelanggaran oleh korporasi minim tindakan.

Belum lagi, tak ada upaya serius pemerintah daerah untuk menyelesaikan kknflik klaim antara hak adat dengan negara walau sudah ada putusan MK-35.

Bicara Kepulauan Mentawai, dia nilai kebijakan pemerintah pusat tak konsisten. Satu sisi melindungi dengan menetapkan sebagai cagar biosfir, sisi lain juga ada fungsi produksi diikuti dengan pemberian izin.

Pulau-pulau kecil, katanya, yang harusnya tak boleh ada kegiatan eksploitasi besar-besaran ditetapkan sebagai hutan produksi dan ada izin.

Cause Uslaini, Direktur Walhi Sumbar mengatakan, persoalan hutan di Sumbar masih menggunung, seperti status kawasan hutan masih penunjukan belum penetapan. Belum ada penetapan ini, katanya, berdampak pada konflik masyarakat dengan pemerintah tinggi.

“Ketidakjelasan tata batas hutan juga persoalan yang menyebabkan masyarakat sekitar kawasan hutan dikriminalisasi saat mengambil hasil hutan.”

Kalau bicara soal deforestasi, hutan Sumbar juga mengalami. Banyak izin-izin keluar di kawasan hutan—dengan melepas status kawasan–, ada izin tambang, sawit sampai HPH/HTI.

Selain itu, katanya, pengawasan kawasan hutan dan penegakan hukum masih lemah. Ada temuan perusahaan berizin HGU sawit menanam melebihi luas izin dan menghilangkan kawasan hutan. “Tidak ada penindakan.”

Ada pembukaan lahan untuk menanam sawit dan gambir bahkan dalam kawasan lindung dan taman nasional juga tak ada tindakan hukum. Lucunya, kala dua warga Nagari Koto, menebang dua pohon di hutan adat dengan kearifan lokal tinggi, mengikuti prosedur nagari, malah kena jerat hukum.

“Saya berharap dalam momen peringatan Hari Hutan ini, semua pihak bisa merefleksikan diri bahwa bicara hutan tidak hanya tugas Kehutanan saja harus melibatkan sektor lainn terutama yang merusak hutan,” katanya.

Menurut dia, perlu mendorong pengakuan hutan adat di Sumbar agar bisa terkelola arif dan bijaksana serta masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi.

Di Sumbar, tepatnya Lunang Tapan, katanya, punya 17.000 hektar hutan gambut terakhir yang tersisa dan terancam perkebunan sawit. “Ini harus kita jaga. Jangan sampai semua hutan gambut kita jadi sawit seperti di Pasaman Barat.”

Sementara LBH Padang yang beberapa tahun belakangan banyak mengawal kasus sumber daya alam di Sumbar menyatakan, ada persoalan distribusi sumberdaya alam khusus hutan yang tidak adil di Indonesia, termasuk Sumbar.

Era Purnama Sari Direktur LBH Padang bilang, meskipun ada perhutanan sosial guna menjawab akses masyarakat, namun ada dua catatan penting. Pertama, seberapa persen pemberian kelola warga jika dibandingkan luasan hutan terbebani izin ekstraktif.

Kedua, perhutanan sosial tidaklah menjawab persoalan Sumbar karena hukum adat masih kuat. Jadi, katanya, yang diperlukan tak hanya akses tetapi pengakuan hak. Skema-skema yang cenderung dipilih pemerintah lokal, katanya, justru yang tak menegaskan hak hak masyarakat adat.

Kabar dari Jambi, pun masih tak jauh beda mengenai hutan yang makin berkurang. Setiap tahun, tutupan hutan Jambi terus menyempit. Saat ini, perusahaan menguasai hampir 40% dari luas kawasan hutan Jambi mencapai 2,089 juta hektar. Ia teralokasi untuk konsesi HTI/HPH. Masalah lain, penjarahan hutan pun terus berlanjut.

Data Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) berdasarkan analisis citra satelit Lansat 8, tutupan hutan di Jambi tersisa 900.000 hektar.

Muhammad Zuhdi, Direktur Pelaksana Yayasan Cappa Keadilan Ekologi Jambi mengatakan, hutan di Jambi tak hanya menyempit tetapi rusak, terutama di bekas HPH yang kini banyak dikuasai masyarakat.

Kerusakan terjadi, katanya, tata kuasa dan tata kelola hutan dan pengawasan sulit. “Kita tak bisa menyalahkan masyarakat, kontrol dari birokasi di kehutanan tidak jalan.”

Menurut dia, tutupan hutan hilang bukan hanya di kawasan hutan produksi, juga konservasi. Perambahan dan pembalakan liar terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Duabelas, bahkan sampai hutan restorasi dan hutan lindung.

Menurut Zuhdi, pengawasan hutan di Jambi tak berjalan baik. “Rata-rata di kawasan hutan itu konflik. Kriminalisasi, intimidasi, rasa hidup nyaman pun tidak ada,” katanya.

Konflik membuat kehidupan masyarakat tak nyaman, mereka juga kesusahan memenuhi kebutuhan hidup yang biasa mereka dapatkan dari hutan. “Akibatnya masyarakat jadi tambah miskin, anak-anak juga tidak dapat sekolah.”

Pemerintah, katanya, harus memikirkan ekonomi masyarakat yang hidup bergantung hutan. Dia mendorong, skema perhutanan sosial bagi masyarakat yang hidup dalam kawasan hutan.

Dia bilang, masyarakat adat/lokal, punya cara untuk menjaga hutan, salah satu Orang Rimba di Simpang Macan Luar. Mereka menjaga hutan, ada pohon-pohon tertentu tak boleh tebang sembarangan.

Data KLHK, ada sekitar 25.000-an desa masuk dalam kawasan hutan. Di Jambi, sekitar 100.000 hektar wilayah hutan dikelola masyarakat lewat perhutanan sosial. Yayasan Cappa juga mengusulkan 8.658 hektar di Jambi untuk perhutanan sosial di Sarolangun, Batanghari dan Tanjung Jabung Barat.

Jadi, bagaimana nasib hutan Indonesia, ke depan?

Tim Penulis: Lusia Arumingtyas (Jakarta), Kamarudin (Kendari), Suryadi (Riau), Mahmud Ichi (Ternate), Vinolia (Padang) dan Yitno Suprapto (Jambi).

Sumber: Mongabay Indonesia, 21 Maret 2018.

Related Article

INDONESIA BRACES FOR RETURN OF FIRE SEASON AS HOTSPOTS FLARE UP

INDONESIA BRACES FOR RETURN OF FIRE SEASON AS HOTSPOTS FLARE UP

Teguh Surya, executive director of the environmental NGO Yayasan Madani Berkelanjutan, said he was confident the BRG was doing its job, but that there was no way for the public to verify whether it was having any effect.


JAKARTA — Forest fires are underway in Indonesia as the rainy season tails off, marking the return of potentially widespread burning that threatens to once again blanket parts of the country in a toxic haze and belch out huge volumes of carbon dioxide.

Authorities reported that fires had flared up in the two Sumatran provinces of Riau and South Sumatra, and in the Bornean provinces of West and Central Kalimantan. Twenty-three of the 90 hotspots recorded across the country were in West Kalimantan, where thick smoke blanketed the provincial capital Pontianak and disrupted flights.

In Riau, one of the hardest-hit regions during the particularly disastrous 2015 season, fires have razed 6.4 square kilometers (2.5 square miles) of land, an area double that of New York’s Central Park.

All four affected provinces have declared a state of emergency. This will allow them “better access [to resources] to combat forest fires,” including firefighters and funding from the central government, said Sutopo Purwo Nugroho, a spokesman for the National Disaster Mitigation Agency (BNPB).

The state of emergency in Riau and Central Kalimantan will run until May, while in South Sumatra and West Kalimantan it will be maintained until October and December, respectively.

Threat to Asian Games

Authorities are particularly concerned about the return of the fire season this year, when Indonesia will host tens of thousands of athletes and visitors for the Asian Games that run from Aug. 18 to Sept. 2. The event will be co-hosted by Jakarta and Palembang, the capital of fire-hit South Sumatra.

The selection of Palembang as a host city has long been deemed risky, given the propensity for fires in the region. Forty-four percent of land and forest fires in Indonesia since 2011 have occurred in the provinces of South Sumatra, Riau and Central Kalimantan, according to analysis by the think-tank World Resources Institute (WRI).

Nearly all these fires are human-caused, sparked in large part by slash-and-burn clearing of forests to make way for oil palm and pulpwood plantations. The draining of carbon-rich peat swamps, rendering them highly combustible, also serves to accelerate the spread of fires and intensifies the burning and haze. Combined with the onset of the dry season, the fires can quickly grow out of control and spread.

This year’s dry season for the southern region of Sumatra is expected to take hold from June until September, coinciding with the Asian Games. It’s during this period that the fires will intensify, Sutopo said.

The threat has compelled President Joko “Jokowi” Widodo to instruct all authorities to prepare for the worst.

“Don’t let this event be marred by haze and forest fires that will hurt [our] image and disrupt flights,” he said in a meeting in Jakarta in early February. “We have to work hard so that the Asian Games run smoothly without any problems from forest fires.”

He also repeated a warning he first made in 2016 to fire officials from the military and the police to be on top of their game.

“If there are fires in your regions and they’re not handled well, the rule is still the same: dismissal,” Jokowi told the officials gathered at the meeting.

Preventive measures

Some safeguards have been put in place since 2015 to prevent a repeat of the devastating fires that year that razed huge swaths of land and generated some of the worst haze on record. Smoke from the fires sickened half a million Indonesians, per government estimates, and drifted into neighboring countries. At the height of the disaster, the daily emissions of carbon dioxide as a result of the burning exceeded those from all U.S. economic activity.

Among the fire-prevention policies that have been issued since then are a nationwide ban on clearing peatlands; the establishment of community-based fire prevention initiatives; and a requirement for companies to protect and preserve carbon-rich peatlands that fall within their concessions.

The government also plans to restore 20,000 square kilometers (7,720 square miles) of drained peatlands across the country by 2020. The idea is that rewetting the peatlands will make them less likely to catch fire.

To lead the nationwide efforts, Jokowi established the Peatland Restoration Agency (BRG) in early 2016. By the end of 2017, the agency had overseen the rewetting of 2,000 square kilometers of peatland, half by itself and the other half by NGOs and companies.

Environmental activists have questioned the effectiveness of the BRG’s work, citing a lack of transparency.

Teguh Surya, executive director of the environmental NGO Yayasan Madani Berkelanjutan, said he was confident the BRG was doing its job, but that there was no way for the public to verify whether it was having any effect.

“For the restoration work to be effective, the location has to be on point,” he said. “Who determines the location, and what’s the [restoration] method? If the determination of the location is done carelessly, then it’ll fail. The president has to check: if the peatlands have been rewetted, where are they located?”

This year already, there have been fire reports in at least two areas that the BRG claims to have restored. One is in Lukun village in Riau province, where fires have been burning since Feb. 9. The BRG says the fires are not in areas where it has blocked peat drainage canals, but instead are located in nearby sago plantations.

The second report of fires is also in Riau, in the village of Mundam, where the BRG has built 12 canal-blocking units, according to Teguh. BRG head Nazir Foead was scheduled to visit the area on Feb. 23 to verify the report.

As part of its wider plans, the BRG says it is in the process of checking the fire-prevention infrastructure it has already built, to gauge whether it’s working as intended, Nazir said.

“We’ll fix them immediately if there’s anything broken,” he told Mongabay at his office in Jakarta. “And we’ll see the fire spots and how far they’re located from the rewetting infrastructure that we’ve built. If the infrastructure is deemed insufficient, then we’ll build more.”

In an attempt to monitor the progress of peat restoration efforts in the country, Yayasan Madani Berkelanjutan and other NGOs and think tanks, including WRI Indonesia, have set up an online platform called Pantau Gambut, which features an interactive map onto which various data points can be overlaid. These include hotspots, oil palm and pulpwood plantations, and the BRG’s own map.

“Without adequate public monitoring, it’s impossible for the [peat restoration] target to be achieved because there’s no sense of ownership,” Teguh said.

Lessons from 2015

Rewetting peatland is a far more effective means of tackling the fire issue than deploying firefighters to put out blazes once they start, Teguh said. He pointed to the biomass- and carbon-rich nature of peatland that made it particularly combustible, as well as the remote location of much of Indonesia’s peat forests that make it virtually impossible to contain the spread of fires, as was the case in 2015.Firefighters sent to put out the blaze in Lukun village faced this problem too, according to Raffles B. Panjaitan, the director of fire mitigation at the Ministry of Environment and Forestry. Just to reach the location required traveling several hours by boat.

“With no clean water, they had to use water from the peatland,” Raffles said in a statement. “And they had to walk for about 1.5 kilometers [1 mile] from where they were staying to reach the fires.”

Elim Sritaba, the director of sustainability and stakeholder engagement at Asia Pulp and Paper (APP), which operates vast pulpwood plantations, said the company faced a similar experience when dealing with the 2015 forest fires. APP, Indonesia’s largest pulp and paper producer, was blamed for much of the fires that enshrouded the region that year.

In anticipation of this year’s fire season and the threat it poses to the Asian Games, Elim said APP would focus its attention on Ogan Komering Ilir district, a peat region in South Sumatra where the firm has invested in a massive new pulp mill.

“We’re also increasing our investment. Our fire department asked for a $2 million increase in budget,” she told Mongabay at her office in Jakarta. “They wanted to increase the number of patrol towers and we also wanted to install cameras in some high-risk spots.”

Elim said the company had not been prepared for the sheer scale of the fires in 2015, which she said came from outside APP’s concessions and were supercharged by strong winds and the El Niño weather cycle.

“In 2015, the wind was so strong and because it was dry, the wind turned into a cyclone,” she said. “By the time the fires came [to our concessions], they were 2 kilometers [1.2 miles] in width and 1 kilometer [0.6 miles] in height. And the fires were circling. So our fire experts told us that not even the best firefighters could extinguish a fire that big, only God could.”

Source: Mongabay.com, February 26, 2018.

Related Article

Begini Capaian Kerja BRG Tahun Ini, Bagaimana Rencana 2017?

Begini Capaian Kerja BRG Tahun Ini, Bagaimana Rencana 2017?

Hampir setahun Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Sesuai Perpres Nomor 1 tahun 2016 tugas badan ini merestorasi dua juta hektar lahan gambut di tujuh provinsi prioritas, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Papua.

Tahun pertama, target kerja BRG merestorasi 30% dengan empat wilayah prioritas Pulang Pisau (Kalteng), Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin (Sumsel), dan Kepulauan Meranti (Riau). Bagaimana capaian sampai akhir tahun dan apa rencana-rencana kerja tahun depan?


Lahan gambut yang terbakar di Kalteng untuk tanam sawit. Perbaikan taa kelola, termasuk ada BRG, diharapkan mampu memperbaiki carut marut seperti ini ke depan. Foto: Sapariah Saturi

Kepala BRG Nazir Foead di Jakarta, Jumat (301/12/16) mengatakan, sudah melakukan berbagai upaya selama satu tahun. BRG sudah melakukan berbagai intervensi pemulihan lahan gambut seperti perencanaan restorasi gambut, penyusunan peta indikatif restorasi, dan konstruksi pembasahan dan revegetasi. Juga, intervensi sosial pada desa bergambut, dan penugasan restorasi kepada pemegang konsesi.

BRG telah pemetaan indikatif prioritas restorasi gambut 2.492.527 hektar. Dari luasan itu, sudah perencanaan restorasi ekosistem gambut di Pulang Pisau 470.424 hektar. Pemetaan pakai LiDAR sudah 606.000 hektar.

“Kita petakan lagi dengan detil dan skala lebih tinggi. Pemetaan ada selesai Januari, Maret juga April. Kita petakan lima kesatuan hidrologi gambut di empat kabupaten,” katanya.

Hal lain yang sudah dilakukan ialah intervensi sosial melalui penyiapan masyarakat pada 104 desa di empat kabupaten prioritas seluas 806.312 hektar.

Intervensi sosial, katanya, hal penting agar ada proses konsultasi bersama masyarakat dan persetujuan mufakat dimana sekat kanal dan sumur bor akan dibangun. Sedang sekat kanal terbangun 634 unit.

Tahun ini, tim BRG daerah sudah terbentuk seperti Jambi, Sumsel, Kalbar, Riau, Kalsel dan Kalteng.

Mereka telah ujicoba pembukaan lahan tanpa bakar, pembangunan sumur bor dianggap bisa mematikan api di musim kemarau sebelum datang tim bantuan lebih besar.

Pembukaan lahan tanpa bakar, katanya, bisa dengan mikroba, bakar dalam drum atau pakai eksavator perusahaan jika lokasi bertetangga dengan masyarakat. “Kita wajibkan perusahaan membantu petani. Selama ini, petani mau membakar karena mau abu menurunkan akdar asam. Mungkin bisa menggunakan metode bakar dalam drum. Melalui mikroba itu teknologi baru. Kalau sudah banyak yang berhasil, pasti akan banyak ikut,” katanya.

Pakai mikroba tertentu, katanya, pembersihan lahan bisa dalam waktu dua sampai tiga minggu. Teknis ini, sebenarnya jauh lebih mudah dan murah. Biaya hanya Rp200.000 per dan sudah uji coba di Kalsel. Awal 2917, ujicoba di Kalteng.

“Kita sudah pelatihan membuat sumur bor di empat kabupaten Agustus hingga November. Sudah ada 433 sumur bor di Riau, Kalteng dan Kalsel. Juga ada dari pemda, dan perusahaan ikut membangun sumur bor. Kalau di Kalteng 1.600 sumur bor dibangun pemda. Perusahaan kita memberikan panduan teknis.”

BRG sudah memberikan penugasan kepada 36 perusahaan pemegang konsesi di Sumsel, Kalteng, Kalbar, Riau dan Jambi untuk restorasi gambut di wilayah dengan lausan 650.389 hektar atau 26% dari luas restorasi gambut.

Angka ini, katanya, akan terus bertambah karena tim masih pemetaan dan verifikasi. Menurut perkiraan dia akan mencapai 1,4 juta hektar.

“Sudah kami tugaskan masing-masing pemegang izin. Sebelumnya, kami sudah verifikasi bersama perusahaan apakah betul luas sesuai peta. Verifikasi terus berjalan. Sampai hari ini sudah terverifikasi 90.000 hektar lebih dari empat perusahaan. Tenggat waktu kita berikan untuk menyelesaikan verifikasi Juni 2017,” ujar Nazir.

Untuk verifikasi, memerlukan waktu cukup lama mengingat cakupan wilayah luas. Verifikasi, katanya, harus turun lapangan, tak cukup berdasarkan data perusahaan. Dalam restorasi, para perusahaan pemegang konsesi juga mendapatkan panduan teknis dari BRG. Pemantauan meliputi tinggi muka air dan kelembaban. Salah satu, melalui metode water logger bisa memberikan data realtime tinggi muka air di wilayah itu.

“Sudah dipasang 20 alat water logger. Di Kalteng, sembilan, Kalbar satu, Jambi satu, Sumsel empat, dan Riau empat. Ini hasi kerjasama dengan BPPT dan Jepang. Setiap jam alat bisa melaporkan ketinggian muka air,” katanya.

Pemasangan water logger akan terus ditambah dan berharap bisa ratusan.

Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG Myrna Safitri mengatakan, intervensi BRG ada berbagai bentuk mulai perencanaan, pemetaan sekat kanal dan sosial.

Publik, katanya, seringkali memahami cara berbeda terhadap Perpres 1 tahun 2016. Disitu jelas, sekitar dua juta hektar akan restorasi, target 30% tahun pertama. “Itu seringkali diasumsikan 30% selesai tahun pertama.”

Sebenarnya, kata Myrna, baca Perpres tak seperti itu. Tak mungkin upaya restorasi gambut selesai dalam hitungan bulan. Disitu, BRG mulai kerja dan intervensi pada 30% dari yang ditargetkan. “Hasilnya bisa dilihat kapan? Ya, mungkin tak bisa tahun ini,” katanya.

Myrna mengatakan, keberhasilan terlihat bergantung kriteria pulih gambut yang ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Untuk menjalankan PP Gambut, Menteri LHK sedang membuat peraturan menteri guna menentukan kriteria pulih. “Jadi nanti acuan kami kesitu. Tingkat keberhasilan berapa yang sudah direstorasi bisa diukur kalau permen sudah keluar.”

Myrna mengatakan, tahun pertama BRG lebih pada perencanaan dan pemetaan termasuk menyiapkan kelembagaan BRG. “Baru setelah itu, utang akan dikumpulkan pada 2017. Terutama restorasi hidrologis,” katanya.


Warga melakukan sekat kanal di Taman Nasional Sebangau, Kalteng. Foto: Sapariah Saturi

Bagaimana rencana 2017?

Setelah perencanaan selesai, pada 2017 akan kejar target. ”Setelah perencanaan selesai, restorasi bisa jalan dengan kecepatan penuh,” kata Nazir, dalam Simposium Internasional Lahan Gambut, di Jakarta.

Adapun perencanaan itu, salah satu terkait pemetaan rinci berbasis laser (LiDAR). Sejak Oktober lalu, mulai jalan di empat kabupaten dengan target November 2016 lalu. Hambatan disebabkan kendala hujan yang turun.

Haris Gunawan, Deputi Penelitian dan Pengembangan mengatakan, tahun depan BRG akan lebih banyak implementasi lapangan. Tahun ini, BRG menyelesaikan peta indikatif restorasi, perencanaan beberapa tempat dan pemetaan lembaga donor.

BRG melakukan penugasan bersama dengan dunia usaha. Surat tugas berisi peta indikatif dan perencanaan restorasi.

BRG juga memetakan perlindungan kubah gambut utuh di dalam konsesi, telah disepakati 485.000 hektar dan restorasi hidrologis/ revegetasi 910.000 hektar. Angka ini akan terus bertambah.

”Kita (pendekatan) melalui surat penugasan, sesuai case by case kepada pemegang izin dengan verifikasi,” kata Budi Wardana, Deputi Bidang Perencanaan dan Kerjasama BRG.

Adapun, batas waktu verifikasi selama satu bulan. Selanjutnya, akan dibuat rencana restorasi per manajemen unit dan akan disahkan BRG. Implementasi, BRG akan memberikan panduan restorasi dalam penyusunan, perencanaan dan evaluasi.

Perencanaan restorasi ini disebut sebagai rencana pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut (RPPEG). Proses ini, akan berlangsung hingga Juni 2017, dimana hingga kini baru tiga perusahaan baru verifikasi.

Restorasi, kata Haris, tak serta merta berarti indikator terminologi, yakni merestorasi lahan kembali ke alam. ”Ini jadi sebuah keyakinan proses ini terus dan membuat dasar kuat agar program berkelanjutan,” katanya


Lahan gambut dalam pada konsesi PT MBH yang terbakar tahun lalu. Foto: Lovina S

Pendanaan

Pada 2017, BRG mendapatkan dana APBN Rp865 miliar. Tak hanya itu, BRG juga pakai anggaran tiap kementerian terkait seperti KLHK, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Desa.

”Kami berharap dukungan dari negara sahabat akan terus berkembang,” ucap Haris. BRG menargetkan, sumber dana restorasi lebih besar dari bantuan hibah. Mengenai pendanaan negara donor, katanya sudah kerjasama dengan berbagai negara baik kerjasama baru, maupun lama gambut. Antara lain, Norwegia, Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Australia, Jepang, dan Korsel dengan nilai total sekitar US$125 juta.

“Kita berharap tahun depan lebih banyak lagi realisasi kerjasama dengan donor lain. Masih ada kesempatan nambah lagi. Ada negara baru seperti Kanada dan Belanda. Saya yakin komitmen baru akan lebih banyak hingga tumpuan pada APBN berkurang.”

Nazir menilai, wajar jika banyak negara tertarik membantu merestorasi gambut Indonesia karena akan menguntungkan dunia. Saat kebakaran hutan dan lahan, Indonesia mengeluarkan emisi satu giga ton lebih. Jika ini ditanggulangi dengan merestorasi gambut, maka dunia ikut menikmati.

“Pendanaan 2017 saya perkirakan sekitar dua berbanding satu. Jadi sepertiga dari donor, hampir dua per tiga dari APBN. Harapan saya 2018 makin imbang.” Senada dengan Nazir, Budi bilang, restorasi tak cukup jika hanya dana APBN. ”Kita harap bisa dipenuhi dengan kerjasama development partner.”

Hingga kini, katanya, kerjasama disepakati seperti 440.000 hektar dari United States Agency for International Development (USAID) di Pulan Pisau, Kalteng, 90.000 hektar dari Millennium Challenge Account-Indonesia. Lalu, di Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi, Jambi, 445.000 hektar dari UK Climate Change Unit di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, dan 606.000 hektar dari Norwegia melalui pemetaan KHG di empat kabupaten prioritas BRG.

Tak hanya itu, juga mengajak para investor dalam merestorasi, melalui publik maupun swasta untuk mendukung restorasi ekosistem.

Paket kebijakan investasi BRG, menggunakan salah satu konsultan pengembangan bisnis model dari Norwegia. ”Ada beberapa tipe restorasi, pertama di kawasan lindung dan konsesi,” ucap Budi. Model pendanaan BRG lebih menekankan hibah daripada investasi.

Pada kawasan konservasi dan lindung, BRG lebih menekankan hibah, kecuali ada indikasi model bisnis carbon benefit. Sedangkan pola pemanfaatan, pendanaan melalui investasi, misal, investasi fisik, teknis, dan kelembagaan.

Kelembagaan itu, menjadi faktor utama dari segala perencanaan restorasi agar tetap berjalan berkelanjutan. Tak hanya itu, ada pula restorasi untuk alternative commodity, yakni investasi perbaikan infrastruktur dan pasar.


Hutan gambut yang masih baik di Kalimantan. Dengan adanya perbaikan tata kelola termasuk ada BRG, diharapkan lahan gambut tersisa terjaga. Foto: Rhett A.

ButlerKesiapan masyarakat

Dalam kelembagaan, BRG pun pemetaan partisipasi masyarakat berbasis desa. Ada lebih 1.280 desa di tujuh provinsi masuk peta restorasi 2,4 juta hektar. ”Kami melakukan berbagai model dengan peningkatan indeks desa membangun, masalah peningkatan lingkungan, tata ruang desa dan pembangunan badan usaha milik desa atau antardesa,” ucap Budi.

Model insentif dan disintendif pun diperkuat pada setiap investasi. Kini, BRG sosialisasi dan kerjasama membuat pemetaan tata guna lahan karena desa-desa masih berbasis tata ruang kabupaten.

BRG juga mendukung restorasi melalui skema perhutanan sosial. Mereka sedang memetakan peta BRG dengan perhutanan sosial KLHK. ”Jika lokasi sama dengan program restorasi gambut, dijadikan satu,” kata Nazir.

Area kerja BRG dalam skema ini, lebih pada tata kelola air dan membantu penanaman silvikultur. Tujuannya, agar tanaman di gambut produksi optimal. Penyusunan grand design

Pembentukan BRG, salah satu komitmen pemerintah mencapai bebas asap Indonesia. Seiring merestorasi lahan gambut, pemerintah juga mencegah dengan membuat grand design pencegahan kebakaran hutan, lahan, dan kebun tahun 2017-2020.

Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional mengakui, aspek pencegahan kebakaran sangat penting, salah satu pada lahan gambut. Bappenas akan mesinergikan pengendalian karhutla dan restorasi gambut dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) dan rencana kerja pemerintah (RKP) 2017.

”Lahan gambut rentan perubahan tata guna lahan, kebakaran dan dampak perubahan iklim,” katanya.

Kerugian ekonomi sangat besar, sekitar Rp221 triliun menjadi salah satu poin perhatian. Tak hanya kerugian, hambatan kegiatan perekonomian, plus gangguan kesehatan penduduk. ”Tahun lalu mengakibatkan setengah juta orang di enam provinsi menderita ISPA.”

Desain besar ini, katanya, memiliki prioritas pada areal rawan kebakaran di delapan provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumsel, Kalteng, Kalsel, Kalbar, Kaltim dan Papua. Namun, katanya, belum bisa menentukan bentuk legal grand design ini. ”Kalau diimplementasikan, 50% kebakaran mampu berkurang,” ucap Herry Purnomo, peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR). Dia ambil bagian perumusan grand design ini.

Pendekatan yang dilakukan berbasis tapak dan non-tapak. Untuk basis tapak dengan penguatan peranan masyarakat desa dan memberikan insentif dan disintensif. Sedangkan, basis non tapak terletak pada penguatan hukum.

Adapun poin utama dalam kebijakan berbicara tentang insentif dan disinsentif dan memberikan penguatan peranan masyarakat desa. Termasuk penegakan hukum, peningkatan sistem informasi kebakaran hutan dan pengembangan infrastruktur.

”Sedang dibuat standar-standarnya, ada standar desa bebas api, dan terkait sekat kanal,” katanya seraya bilang ada 731 desa terlibat pemetaan.

Implementasi pendanaan rencana ini Rp39 triliun, termasuk dari tahap kesiapsiagaan. Sumber dana belum teralokasi, apakah dari pemerintah maupun negara donor.

Grand design pun melibatkan 17 kementerian dan lembaga termasuk BRG dan berkoordinasi dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Kesenjangan komitmen

Teguh Surya dari Yayasan Madani menyambut baik langkah pemerintah Indonesia sepanjang 2016 mengurangi emisi di lahan gambut. Mulai pembentukan BRG awal 2016 hingga keluar revisi PP Gambur awal Desember.

Walaupun begitu, katanya, mereka mengamati upaya perlindungan dan restorasi gambut masih menghadapi berbagai tantangan besar, termasuk kesenjangan komitmen dan kapasitas antarlembaga maupun antarinstitusi pemerintah tingkat nasional dan sub-nasional.

Bukan itu saja, fungsi pemantauan publik lemah karena akses terhadap dokumen publik maupun dokumen lain minim padahal seharusnya terbuka untuk publik.

Perlindungan dan restorasi ekosistem gambut, kata Teguh, seyogyanya menjadi gerakan bersama didukung segenap elemen masyarakat. Salah satu, masyarakat perlu menjalankan fungsi pemantauan, termasuk meminta pemerintah bertanggung jawab atas komitmen perlindungan serta restorasi gambut.

Guna memungkinkan pemantauan itu, katanya, publik perlu mengetahui yang terjadi di lapangan dan perkembangan pemenuhan komitmen pemerintah. Untuk itu, perlu wadah berisi informasi mengenai janji pemerintah terkait restorasi dan perlindungan gambut.

wadah tersebut ini juga dapat memberdayakan organisasi masyarakat sipil, masyarakat, dan media untuk meminta pemerintah bertanggung jawab atas komitmen mencegah kebakaran dan mengurangi emisi dan restorasi lahan gambut.

Yayasan Madani, katanya, penuh mendukung pemerintah pemenuhan dan penguatan komitmen isu-isu lingkungan hidup, termasuk memantau perkembangan komitmen pemerintah secara berkala.

“Analisis pengelolaan dan restorasi gambut, serta berbagi pengalaman seputar pengelolaan dan restorasi lahan gambut berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini serta kearifan lokal.”


Tata kelola buruk salah satu hasilkan kebakaran. Pemerintah akan merestorasi lahan gambut untuk memperbaiki tata kelola buruk yang terjadi selama ini. Foto: Sapariah Saturi

Mongabay Indonesia, 31 Desember 2016

Related Article

en_USEN_US