Madani

Tentang Kami

Uni Eropa Akan Pangkas Emisi Karbon Hingga 55% di 2030

Uni Eropa Akan Pangkas Emisi Karbon Hingga 55% di 2030

Uni Eropa berencana menaikkan target pemangkasan emisi karbonnya dari 40% menjadi 55% di 2030. Target ini untuk mencapai tujuan utamanya yaitu nol emisi pada 2050, dan memperkuat statusnya sebagai pemimpin global dalam mencegah perubahan iklim.

Target ini masih dalam pembicaraan dan dapat berubah. Rencana ini membutuhkan persetujuan dari pemerintah negara-negara dan parlemen Uni Eropa. Pemotongan emisi dapat terjadi jika semua negara sepakat untuk memotong emisi karbon dioksida dari sektor industri dan pembangkit listrik. 

Di saat yang sama, Jerman akan menaikkan harga emisi CO2 dari transportasi dan pemanas gedung. Tahun depan Jerman akan menghentikan secara bertahap energi nuklir dan batu bara, sambil meningkatkan investasi energi terbarukan. Tahun lalu Jerman telah menaikkan harga emisi CO2 dari transportasi dan pemanas gedung menjadi 25 euro per ton. Langkah tersebut dilakukan setelah Partai Hijau mengkritik harga awalnya yang hanya 10 euro terlalu murah. 

Dampak Harga Karbon Terhadap Emisi Laporan World Economic Forum pada 4 September 2020 menunjukkan hubungan penetapan harga karbon terhadap emisi. Dengan menaikkan harga karbon 1 euro per ton maka terjadi penurunan emisi sebesar 0,3%. Negara-negara yang memakai harga emisi karbon memiliki laju pertumbuhan emisi tahunan 2 poin lebih rendah dibandingkan yang tanpa harga karbon. Tingkat pertumbuhan emisi tahunan rata-rata untuk 142 negara adalah 2%. Rata-rata emisi CO2 turun 2% per tahun selama 2007 sampai 2017 di negara yang memiliki harga karbon. Di negara yang tanpa harga tersebut terjadi peningkatan emisi sebesar 3% per tahun. Perbedaan antara kenaikan 3% dan penurunan 2% per tahun adalah lima poin secara persentase. 

Studi World Economic Forum menemukan sekitar dua poin persentase itu disebabkan oleh harga karbon.  Indonesia mengantongi dana US$ 103,8 juta (sekitar Rp 1,5 triliun) dari Green Climate Fund karena mampu mengurangi emisi gas hingga 20,3 juta ton pada periode 2014 sampai 2016. Dana ini berasal dari skema pembayaran berdasarkan hasil (RBP) dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Dana ini nilainya paling besar dibandingkan dengan negara lain dalam skema serupa.

Pemberian dana bagi Kolombia dan Ekuador tercatat paling rendah. Keduanya baru mengurangi emisi gas masing-masing 7 juta ton dan 3,6 juta ton. Negara ini berpotensi memperoleh tambahan dana US$ 160 juta untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia masih bekerja untuk berinteraksi lagi dengan Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan BioCarbon Fund Berdasarkan data KLHK, capaian penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2017 mencapai 24,7%. Sesuai arahan Presiden, dana-dana REDD+ tersebut digunakan kembali untuk pemulihan lingkungan, termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. 

Dapatkan pemberitaan media lebih lengkap dengan mengunduh materi yang terlampir di bawah ini.

Semoga bermanfaat.

Related Article

Intensitas Emisi Diproyeksikan Turun 22 Persen dengan Pelaksanaan LCDI

Intensitas Emisi Diproyeksikan Turun 22 Persen dengan Pelaksanaan LCDI

Kementerian PPN/Bappenas memproyeksikan intensitas emisi gas rumah kaca Indonesia dapat turun 22 persen jika menjalankan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (Low Carbon Development Indonesia/LCDI).

Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia dikembangkan berdasarkan kajian berbasis bukti dan diintegrasikan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Berdasarkan kajian di bawah Bappenas, perencanaan pembangunan rendah karbon tersebut dibuat dapat mengakomodasi ekonomi dan sosial, namun tetap mampu mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Dalam LCDI, proyeksi pertumbuhan ekonomi cukup baik rata-rata enam persen, begitu pula untuk Produk Domestik Bruto (PDB) juga meningkat dengan baik. Terjadi penurunan tingkat kemiskinan 4,2 persen sebagai dampak positif perbaikan lingkungan.


Dengan LCDI, harapannya target penurunan emisi GRK Indonesia di 2030 untuk memenuhi Paris Agreement terpenuhi dan di saat yang sama intensitas emisi turun 22 persen. Tantangan pembangunan berkelanjutan saat ini banyak, salah satunya pandemi COVID-19, sehingga perlu kebijakan pembangunan yang lebih adaptif dalam LCDI.

Untuk mengetahui pemberitaan media periode ini dengan lebih lengkap, silakan unduh materi yang tersedia di lampiran. Semoga bermanfaat.

Related Article

EMISI GLOBAL TURUN 8 PERSEN TAHUN INI

EMISI GLOBAL TURUN 8 PERSEN TAHUN INI

Pandemi Covid-19 nyatanya mampu menyebabkan emisi energi global turun delapan persen tahun ini. Penurunan yang cukup signifikan tersebut disinyalir lantaran turunnya permintaan batubara, minyak dan gas yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dalam laporan tahunan Global Energy Review, IEA menganalisis permintaan listrik selama lebih dari 100 hari, selama sebagian besar dunia terkunci dalam upaya mengendalikan pandemi corona. IEA memperkirakan, permintaan energi global akan turun enam persen pada 2020, yang artinya penurunan tujuh kali lipat dibanding pada masa krisis keuangan 2008.  Penurunan ini dapat dikatakan sebagai penurunan terbesar yang pernah tercatat sejak Perang Dunia II.

IEA juga menyampaikan, turunnya permintaan energi akibat dari pandemi sebanding dengan seandainya seluruh permintaan energi dari India hilang. India adalah konsumen listrik terbesar ketiga dunia.

Permintaan energi di banyak negara maju diperkirakan akan mengalami penurunan terbesar, seperti halnya saja Amerika Serikat yang turun sekitar 9 persen dan Uni Eropa sekitar 11 persen. Dengan turunnya konsumsi energi fosil, IEA mengatakan telah terjadi “pergeseran besar” ke sumber daya rendah karbon, seperti angin dan matahari, yang akan meningkatkan pangsa energi terbarukan itu menjadi 40 persen, enam poin lebih tinggi daripada pangsa energi batubara.

Untuk pemberitaan media di Minggu pekan ini, selengkapnya dapat dilihat di lampiran.

Related Article

en_USEN_US