Madani

Tentang Kami

ENVIRONMENTALLY-ORIENTED FOOD TECHNOLOGY STARTUP

ENVIRONMENTALLY-ORIENTED FOOD TECHNOLOGY STARTUP

Dewasa ini, eksistensi perusahaan rintisan (startup) kian menjamur. Dilansir dari laman Tech in Asia yang merupakan salah satu komunitas online pelaku startup di Asia, menyatakan bahwa ekosistem startup di Indonesia masih kondusif meskipun situasi ekonomi Indonesia saat ini terombang-ambing akibat pandemi. Bahkan masih banyak startup yang mendapatkan pendanaan dari para venture capital meskipun cenderung menurun. Hal yang membedakan ialah saat ini pihak venture capital akan lebih teliti dalam meninjau rencana profitabilitas startup sekaligus potensi sektor yang digelutinya.

Kehadiran inovasi-inovasi teknologi melalui layanan startup di berbagai sektor sangat berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, baik skala mikro maupun makro. Menurut riset INDEF, ekonomi digital telah berkontribusi sebesar 5,5% atau sekitar Rp 814 triliun untuk PDB Indonesia pada tahun 2018. Berdasarkan riset yang sama, sektor ekonomi digital juga telah membuka sekitar 5,7 juta lapangan kerja baru. Menurut laporan yang bertajuk eConomy SEA 2019, valuasi ekonomi digital Indonesia pada tahun 2019 telah mencapai $40 miliar dan diprediksi akan mencapai $130 miliar pada tahun 2025 nanti.

Perhatian yang serius terhadap pertumbuhan startup tentu diperlukan dalam rangka memajukan perekonomian bangsa.  Menurut William Gozali, Ketua I Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO), terdapat tiga sektor yang potensial untuk digarap di tahun 2021, yaitu : digitalisasi UMKM, social commerce, dan food technology. 

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi, Ketahanan Pangan, dan Keseimbangan Ekosistem

Sektor terakhir, food technology startup ataupun food and beverage startup, memang terlihat menjanjikan akhir-akhir ini. Salah satunya ditandai dengan keberhasilan Kopi Kenangan mendapatkan suntikan dana sebesar $109 juta atau setara Rp 1,6 triliun di tengah situasi pandemi. 

Tantangan berikutnya adalah bagaimana menghadirkan model bisnis industri pangan yang dapat mendatangkan keuntungan besar bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga segi lingkungan. Untuk mencapai hal tersebut, setidaknya terdapat 3 lingkup industri pangan yang perlu didisrupsi dengan menghadirkan inovasi yang lebih ramah lingkungan:

1. Optimalisasi pangan lokal

Mengkonsumsi pangan lokal dapat didefinisikan sebagai kebiasaan mengkonsumsi makanan yang diproduksi di sekitar tempat tinggal. Di Amerika Serikat, para pelakunya disebut sebagai locavore, umumnya mereka mengonsumsi makanan yang diproduksi pada jarak radius 100 mil dari kediaman masing-masing.

Distribusi dan transportasi bahan makanan yang umumnya berjarak jauh berasosiasi terhadap tingginya konsumsi bahan bakar, meningkatnya polusi udara serta emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk pada lingkungan. 

Dengan mengkonsumsi pangan lokal, dampak buruk tersebut dapat berkurang. Selain itu, mengkonsumsi pangan lokal berarti membantu petani lokal atau pemilik lahan skala kecil yang umumnya mempraktikkan sistem produksi yang lebih ramah lingkungan dibanding pemilik lahan besar. Umumnya, model produksi petani lokal bersifat agroekologis dan multikultur dan minim pemakaian input kimia sehingga kesuburan tanah lebih terjaga. Konsumsi pangan lokal yang identik dengan diversifikasi pangan juga dapat membantu merawat keanekaragaman varietas genetika (biodiversitas). 

2. Reduksi angka food loss dan food waste

Diperkirakan sepertiga dari total makanan yang diproduksi dunia per tahunnya (sekitar 1,3 miliar ton) terbuang, baik berupa food loss maupun food wasteFood loss merupakan sampah bahan pangan yang masih mentah namun sudah tidak bisa diolah sehingga akhirnya dibuang. Penyebabnya bisa berupa terjadinya pembusukan pasca panen, mutu rendah, ataupun permintaan pasar yang rendah. Adapun food waste merupakan makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia namun dibuang begitu saja dan akhirnya menumpuk di TPA.

Limbah makanan tersebut memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan. Dikutip dari FAO, produksi agrikultur bertanggung jawab terhadap 92% water footprint. Water footprint pada suatu produk didefinisikan sebagai total  volume air segar  yang digunakan untuk memproduksi produk tersebut. Masalah lingkungan terjadi jika penggunaan air lebih banyak menggunakan blue water (irigasi) daripada green water (air hujan). Hal tersebut dapat menyebabkan degradasi tanah, penipisan air dan salinisasi. Faktanya, secara global, blue water footprint untuk produksi agrikultur dari makanan yang terbuang mencapai sekitar 250 km3 pada tahun 2007.

Masalah besar lainnya ialah carbon footprint. Food waste yang menumpuk di TPA menghasilkan gas metana dan karbondioksida. Kedua senyawa tersebut tidak sehat bagi lingkungan karena berpotensi merusak lapisan ozon. Rata-rata carbon footprint yang dihasilkan sekitar 500 kg CO2 per kapita per tahun. Selain itu, limbah pangan juga berasosiasi terhadap pembukaan lahan yang sia-sia. Padahal, pembukaan lahan umumnya mengorbankan penyusutan biodiversitas.

3. Substitusi bahan kemasan yang tidak ramah lingkungan

Menurut Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), konsumsi plastik di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 17 kg/kapita/tahun. Penggunaan plastik yang cukup tinggi berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Penumpukan sampah plastik yang sulit terurai dapat mencemari lingkungan. Polimer sintesis yang merupakan bagian utama dari plastik akan terdegradasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Jika dibakar, plastik akan menghasilkan emisi karbon yang mencemari lingkungan.

Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, dikembangkanlah biodegradable plastic, yaitu plastik yang mudah terurai kembali oleh mikro organisme di tanah menjadi senyawa ramah lingkungan. Biodegradable plastic terbuat dari bahan polimer alami seperti pati, selulosa dan lemak. Bahan utama yang sering digunakan dalam pembuatan biodegradable plastic adalah pati dan Poly Lactic Acid (PLA).

BACA JUGA: Jalan Tengah Penerapan Extended Producers Responsibility Produsen Plastik

Pati merupakan bahan baku yang banyak tersedia di Indonesia. Pati diperoleh dengan cara mengekstrak bahan nabati yang mengandung karbohidrat, seperti serealia dan aneka umbi. Secara komersial, industri yang memproduksi bioplastik masih terbatas karena permintaan di dalam negeri masih rendah. Harga biodegradable plastic lebih mahal dari plastik konvensional diantaranya karena kapasitas produksinya belum optimal dan teknologi proses belum berkembang luas. Selain itu, belum adanya aturan pembatasan penggunaan plastik konvensional juga berpengaruh. 

Ketiga lingkup tersebut perlu dikelola dengan sebaik-baiknya dalam rangka mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Kehadiran inovasi berupa food technology startup berorientasi lingkungan dapat menjadi solusi. Layanan digital dapat menghubungkan petani lokal dengan konsumen secara mudah, memungkinkan traceability suatu bahan pangan, mengelola daur ulang sampah makanan secara optimal, mengolah hasil panen bermutu rendah namun masih layak konsumsi, serta menggiatkan penelitian dan pemakaian kemasan ramah lingkungan sehingga harganya lebih terjangkau.

Layanan-layanan di atas merupakan beberapa contoh dari apa yang dapat  dilakukan untuk mengoptimalkan kemajuan teknologi dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan. Tentu masih banyak lagi hal lainnya. Fleksibilitas startup dalam menyusun business model menjadi salah satu keuntungan tersendiri, sehingga dapat dengan cepat mengadopsi sistem perekonomian yang ramah lingkungan. 

Dalam rangka mewujudkan gagasan tersebut, maka diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, pengusaha, hingga konsumen. Kini saatnya mengarahkan kemajuan teknologi untuk mentransformasikan sistem pangan dan perekonomian menjadi lebih ramah lingkungan.  

Oleh: Muhammad Zaki Maarif Firman

Mahasiswa IPB University

Related Article

[1000 IDEAS] OPTIMIZING ENVIRONMENTAL SERVICES OF FORESTS TO ACHIEVE ECONOMIC DEVELOPMENT WITHOUT DEFORESTATION

[1000 IDEAS] OPTIMIZING ENVIRONMENTAL SERVICES OF FORESTS TO ACHIEVE ECONOMIC DEVELOPMENT WITHOUT DEFORESTATION

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, saat ini Indonesia sedang gencar mengembangkan perekonomiannya. Terlebih setelah World Bank dan International Monetary Fund memprediksi di akhir tahun 2020 ekonomi global akan memasuki resesi dengan penurunan laju ekonomi ke negatif 2,8%, turun 6% dari pertumbuhan ekonomi global di periode sebelumnya, yang juga diikuti dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus menurun hingga negatif 0,09%, khususnya karena penurunan di sektor pariwisata dan perdagangan akibat pandemi Covid-19 (Nasution et al., 2020). 

Prediksi ini direspon oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang berpotensi meningkatkan investasi di Indonesia, salah satunya melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sayangnya, kebijakan-kebijakan tersebut dianggap lebih banyak menguntungkan investor dan cenderung mengorbankan aspek kelestarian lingkungan. Hutan kemudian menjadi taruhan yang utama atas dipermudahnya kegiatan investasi. Pasalnya, sejak dulu, kegiatan investasi seperti perkebunan atau pertambangan banyak mengorbankan hutan sebagai trade-off untuk pembangunan ekonomi.

Selama ini, banyak yang menganggap hutan memiliki fungsi lingkungan yang tinggi, namun tidak sebanding dengan beban biaya (cost centre) yang dikeluarkan. Padahal, jika dikaji lebih dalam, hutan pada dasarnya memiliki jasa lingkungan yang tidak hanya berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, namun juga dapat dioptimalkan manfaatnya dalam menyokong perekonomian Indonesia. Jasa lingkungan hutan sebagai provisioning (penyediaan), regulating (regulasi iklim, air, dan tanah), cultural (pendidikan dan rekreasi), maupun supporting (produksi primer dan siklus hara) dapat dimanfaatkan secara ekonomi, tentunya dengan pengelolaan secara berkelanjutan. 

BACA JUGA: Menakar Kemajuan Pencapaian Komitmen Iklim di Sektor Kehutanan

Pengoptimalan jasa lingkungan hutan secara ekonomi dapat menjaga hutan terjaga dari deforestasi karena hutan dapat memberikan pemasukan yang cukup bagi negara dan masyarakat, disamping hanya sebagai beban biaya seperti yang dianggap selama ini. Pengoptimalan ini dapat dilakukan melalui skema ekowisata dan perdagangan jasa lingkungan tanpa menghilangkan sedikitpun unsur ekosistem dari hutan itu sendiri.

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Cultural (budaya) Melalui Ekowisata Forest Therapy

Ekowisata forest therapy sebagai bagian dari jasa lingkungan hutan yang masuk dalam kategori cultural dapat dijadikan gagasan untuk menyokong perekonomian Indonesia. Ekowisata ini bertujuan untuk memulihkan kesehatan dan meningkatkan imun bagi para pengunjung, baik secara fisik maupun psikologis. Ini berpotensi besar untuk dikembangan pada era new normal karena banyaknya masyarakat yang merasakan tekanan khususnya pada aspek psikologis akibat kebijakan Work From Home (WFH) atau karantina pada masa pandemi Covid-19. Penelitian Brooks et al. (2020) menunjukkan bahwa Covid-19 telah menimbulkan gejala stres pasca-trauma, kebingungan, kemarahan, ketakutan akan infeksi, frustasi, dan sebagainya pada masyarakat.

Hutan terbukti memiliki fungsi terapi fisik dan psikologis. Konsep hutan sebagai sarana terapi yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an (Williams, 1998). Di berbagai negara seperti Amerika, Korea Selatan, dan Jepang, kegiatan ini sudah banyak dilakukan (Rajoo et al., 2020). Di Jepang, kegiatan ini disebut sebagai “Shinrin-yoku” (Kotera & Rhodes, 2020). Shinrin-yoku telah banyak digunakan pada bidang klinis, untuk pengobatan beberapa jenis penyakit. Sedangkan di Korea Selatan, terapi hutan telah didefinisikan secara legal oleh hukum sebagai penguatan kekebalan dan kegiatan peningkatan kesehatan yang memanfaatkan berbagai elemen hutan (Jung et al., 2015). Sayangnya, di Indonesia kegiatan ini masih belum menjadi sorotan.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh hutan terhadap peningkatan kesehatan manusia. Penelitian Byeongsang (2017) menunjukkan berada di hutan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, memperlancar sistem kardiovaskular, memperbaiki rasa nyeri, menaikkan sistem imun, meningkatkan produksi protein anti kanker, mengurangi depresi dan kecemasan, relaksasi mental, memperbaiki konsentrasi dan memori, meningkatkan rasa bahagia, hingga memulihkan seseorang dari kecanduan. Rajoo et al. (2020) membuktikan program 9 hari di hutan telah terbukti berhasil menyembuhkan seseorang dari kecanduan alkohol. 

Peningkatan kesehatan, sistem imun, sarana healing, dan pereda stres dapat dijadikan nilai tambah yang menjual kegiatan ekowisata ini. Kegiatan forest therapy ini tidak seperti ekowisata biasa, melainkan perlu beberapa ketentuan khusus yang mendukung fungsi hutan sebagai terapis. Di antaranya dengan menunjuk spot-spot khusus yang memiliki fungsi terapi, membuat jalur terapi, membatasi jumlah pengunjung, menyediakan alat pengukur kesehatan seperti sphygmomanometer, dan menyediakan beberapa paket khusus terapi alami. Paket-paket tersebut memiliki harga yang berbeda, yang ditentukan oleh bentuk kegiatannya. Contohnya, paket untuk peningkatan kesehatan psikologis dan pengobatan stress ringan dilakukan dengan berkegiatan di spot terapi selama 3 jam yang disertai dengan meditasi, harganya berkisar Rp 25.000,00 untuk sekali kunjungan. Sedangkan, paket untuk menyembuhkan kecanduan dilakukan selama 9 hari berturut-turut, dengan harga paket mencapai Rp 200.000,00.

Dengan dibentuknya kegiatan ekowisata ini, pembangunan ekonomi berbasis hutan tidak hanya menguntungkan aspek ekonomi dan ekologi semata, namun juga dapat menguntungkan aspek sosial dikarenakan kegiatan ekowisata di hutan akan banyak melibatkan masyarakat di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaannya. Masyarakat dapat dikembangkan untuk turut bekerja di dalamnya, misalnya dengan menjadi guide therapist, sebagai penjaga spot, atau sekedar menjaga loket dan berjualan obat herbal atau HHBK di depan kawasan ekowisata. Kegiatan ini dapat menjawab ketiga unsur pembangunan berkelanjutan yaitu peningkatan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek ekologis sekaligus meningkatkan aspek sosial kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan. Kegiatan ini juga dapat menjawab empat poin SDGs yaitu poin 8 (decent work and economic growth), poin 10 (reduced inequalities), poin 13 (climate action), dan poin 15 (life on land).

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Regulating (regulasi iklim) Melalui Skema Perdagangan Karbon

Selain dengan skema ekowisata, pengoptimalan jasa lingkungan hutan tanpa sedikitpun menghilangkan unsur ekosistemnya juga dapat dilakukan melalui pengoptimalan jasa lingkungan regulating dengan skema perdagangan karbon. Di dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim, perdagangan karbon didefinisikan sebagai kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Sistem perdagangan karbon dibagi menjadi dua jenis, yaitu cap-and-trade dan crediting. Di Indonesia, sistem crediting lebih umum digunakan. Dalam sistem ini, komoditi yang diperdagangkan adalah penurunan emisi yang telah disertifikasi berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di pasar karbon dunia (Purnomo, 2013).

BACA JUGA: Impact Investing: Cara Baru Untuk Melakukan Investasi

Di Indonesia, perdagangan karbon belum menjadi prioritas bagi pemerintah atau pemegang hak karena mekanisme sertifikasinya yang rumit. Walau begitu, hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk peningkatan ekonomi Indonesia karena keuntungan jangka panjang yang tinggi akan didapatkan setelah hutan tersertifikasi. Skema perdagangan karbon yang umum digunakan di Indonesia saat ini adalah melalui crediting dari REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), yang telah mengakomodir berbagai kerja sama bilateral crediting karbon antara Indonesia dengan negara lain seperti Australia dan Norwegia (CIFOR, 2010). Sayangnya, REDD+ baru mengakomodir beberapa hutan di Pulau Kalimantan dan sedikit di Pulau Sumatera dalam skema proyeknya, serta Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sebagai satu-satunya kawasan hutan di Jawa yang dinilai simpanan karbonnya. 

REDD+ yang dapat membayar simpanan karbon hutan sebesar US$5/ton CO2-e hingga US$10/ton CO2-e juga telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui kegiatan community empowerment. Dilansir dari Mongabay, proyek REDD+ di TNMB telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dari rata-rata Rp1.500.000 per tahun pada 2008 menjadi lebih dari Rp3.500.000 pada 2014. Sehingga proyek ini juga sangat berperan dalam pembangunan berkelanjutan.

Pada dasarnya gagasan terkait perdagangan karbon ini bukan merupakan gagasan baru, hanya saja, ini merupakan gagasan yang seringkali dilupakan oleh pemerintah. Padahal, tanpa mengkonversi hutan, ekonomi sebenarnya dapat dijaga melalui skema perdagangan karbon ini. Memang tidak terlalu signifikan hasilnya seperti dengan menjual lahan kepada investor untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit atau pertambangan, namun, kegiatan ini dapat menjamin ekosistem tetap terjaga untuk ekonomi jangka panjang dan masyarakat sekitar kawasan hutan semakin sejahtera. Karena itu, pemerintah perlu mengingat kembali adanya skema ini dan perannya dalam pembangunan berkelanjutan. Aksi nyata perlu dilakukan untuk mendorong pemerintah menjadikan program perdagangan karbon sebagai suatu prioritas.

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Lainnya

Jasa lingkungan lain seperti provisioning dapat dioptimalkan nilai ekonominya dengan melakukan pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti usaha madu hutan, getah atau resin, rotan, minyak atsiri, dan sebagainya. Usaha ini dapat dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan untuk meningkatkan perekonomian. Dengan menjaga ketiga fungsi jasa lingkungan, yaitu cultural, regulating, dan provisioning, jasa lingkungan supporting dapat tetap terjaga fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan.

Pada akhirnya, kita tetap berharap pada pemerintah untuk dapat melakukan gagasan-gagasan yang diberikan sebagai proses pembangunan ekonomi tanpa deforestasi. Walau begitu, sebagai pejuang lingkungan, kita tetap dapat memperjuangkan pembangunan ekonomi tanpa deforestasi melalui gagasan-gagasan yang kita cetuskan dan kita sebarluaskan ke banyak orang. Media sosial adalah metode yang paling mudah untuk melakukannya. Dengan semakin banyaknya orang yang peduli lingkungan dan kreatif, perjuangan menuju pembangunan berkelanjutan tanpa merugikan pihak manapun dapat direalisasikan dengan mudah.

Oleh: Hasna Afifah

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, S., Amlôt, R., Rubin, G. J., & Greenberg, N. (2020). Psychological resilience and post-traumatic growth in disaster-exposed organisations: overview of the literature. BMJ Mil Health, 166(1), 52-56.

Byeongsang, Oh, Kyung Ju Lee, Chris Zaslawski, Albert Yeung, David Rosenthal, Linda Larkey, and Michael Back. (2017). Health and well-being benefits of spending time in forests: systematic review. Environmental Health and Preventive Medicine, 22 (1), 71. 

CIFOR. (2010). REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD. Bogor, Indonesia: CIFOR.

Jung, W.H., Woo, J.M., Ryu, J.S. (2015). Effects of forest therapy program and the forest environment on female workers’ stress. Urban Forestry & Urban Greening, 14, 274–281.

Kotera, Y., & Rhodes, C. (2020). Commentary: Suggesting Shinrin-yoku (forest bathing) for treating addiction. Addictive Behaviors, 111, 106556.

Nasution, D. A. D., Erlina, E., & Muda, I. (2020). Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Perekonomian Indonesia. Jurnal Benefita: Ekonomi Pembangunan, Manajemen Bisnis & Akuntansi, 5(2), 212-224.

Purnomo, Agus. 2013. Mari Berdagang Karbon! Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta: Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Rajoo, K. S., Karam, D. S., Wook, N. F., & Abdullah, M. Z. (2020). Forest Therapy: An environmental approach to managing stress in middle-aged working women. Urban Forestry & Urban Greening, 55, 126853.

Williams A. (1998). Therapeutic landscapes in holistic medicine. Soc Sci Med. 46(9), 1193–203.

Related Article

[1000 IDEAS] ENHANCING SUSTAINABLE ECONOMY THROUGH REGULATION AND OVERSIGHT

[1000 IDEAS] ENHANCING SUSTAINABLE ECONOMY THROUGH REGULATION AND OVERSIGHT

Laman resmi Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) menyebutkan sebagaimana dikutip oleh kompas.com bahwa Asia Tenggara menjadi salah satu keranjang pertanian paling produktif di dunia. Dan Indonesia menjadi salah satu negara di kawasan tersebut yang menjadikan sektor agraris sebagai penopang perekonomian nasional yang dominan. Oleh karena itu wajar apabila Indonesia disebut sebagai negara agraris. Indonesia menjadi negara agraris tropis terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Dari 27 persen zona tropis di dunia, 11 persennya terdapat di Indonesia.

Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang keberadaannya memegang peranan penting bagintuk banyak aspek, baik aspek lingkungan, sosial, hingga perekonomian. Namun, posisinya yang penting tampaknya belum begitu banyak disadari oleh sebagian orang. Beberapa dari mereka seringkali mengesampingkan hal tersebut sehingga tidak sedikit yang melakukan perusakan hingga pembakaran dengan tujuan pembukaan lahan baru untuk meraup keuntungan pribadi lainnya. Padahal dengan pembakaran tersebut, bukan hanya hutan yang akan rusak, tetapi banyak dari fauna penghuni hutan tersebut akan kehilangan habitatnya dan mati.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2019 luas hutan Indonesia adalah sekitar 93,52 juta ha. Padahal pada tahun 2011 luas hutan Indonesia mencapai 98,7 juta ha. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 2011-2018 luas hutan di Indonesia terus mengalami penurunan yang cukup tinggi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat satu dekade ke belakang masyarakat dunia telah membicarakan tentang ancaman krisis iklim (Climate Crisis yang dapat mengakibatkan bencana hidrometeorologi yang salah satu penyebabnya yaitu kerusakan kawasan hutan.

BACA JUGA: EXTENSION OF THE PALM OIL MORATORIUM: A "BUILD BACK BETTER" OPPORTUNITY 

Perusakan kawasan hutan terus-menerus terjadi. Penebangan dan pembakaran dilakukan di banyak tempat. Misalnya pembakaran hutan yang populer sampai ke mancanegara pada tahun 2019 lalu di daerah Riau yang memakan banyak korban dan waktu untuk mengatasinya karena musim kemarau ditambah angin kencang. Bahkan yang baru-baru ini menjadi sorotan publik adalah pembakaran dan pembukaan hutan di daerah Papua yang dilakukan oleh salah satu perusahaan asal Korea Selatan untuk perluasan lahan kebun sawit. Hal tersebut tentu saja akan menimbulkan kerugian yang lebih besar daripada keuntungannya karena kerugian yang didapat adalah kerugian jangka panjang.

Perlu diperhatikan bahwa adanya tindakan-tindakan dari investor asing yang menyebabkan banyak kerugian terhadap kawasan hutan Indonesia salah satunya adalah karena lemahnya regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dan kurangnya pengawasan yang dilakukan. Jika saja pemerintah menetapkan kebijakan, regulasi dan pengawasan ketat terhadap berbagai kegiatan ekonomi yang melibatkan kawasan hutan, maka perusakan-perusakan hutan dan alih fungsi hutan dengan dalih perluasan lahan sawit dan sebagainya akan dapat diminimalisir dan besar harapan dapat dihentikan. 

Apa yang sedang kita bicarakan saat ini adalah tentang ekonomi berkelanjutan, dalam arti ekonomi yang memperhatikan aspek lingkungan dan bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tapi juga untuk anak cucu kita di masa yang akan datang. Apabila pemerintah tidak mengambil kebijakan tegas terhadap persoalan ini, dalam waktu dekat luas hutan di Indonesia akan mengalami pengurangan yang sangat cepat dari periode sebelumnya disertai kepunahan berbagai satwa dan keanekaragaman hayati yang menjadikannya sebagai habitat. 

Saya menawarkan gagasan kepada pemerintah untuk merevisi berbagai regulasi bagi kegiatan ekonomi yang melibatkan hutan agar dapat menerapkan AMDAL dan tidak melakukan eksploitasi berlebihan. Regulasi tersebut juga disertai ancaman pidana yang berat serta kewajiban melakukan pemulihan fungsi hutan yang dirusak. Misalnya, untuk penebangan satu pohon harus diganti dengan penanaman sepuluh pohon. Untuk satu nyawa fauna dilindungi yang terbunuh harus diganti dengan dua fauna sejenis, dan seterusnya. Bahkan apabila akibat kerusakan hutan itu terjadi bencana hidrometeorologi, maka pelaku perusakan hutan harus juga mengganti kerugian yang dialami masyarakat sekitar yang terkena bencana tersebut. 

BACA JUGA: Anggaran Perubahan Iklim Masuk RPJMN 2020-2024

Hal yang tak kalah penting dari penetapan sebuah regulasi adalah penerapan dan pengawasan terhadap regulasi tersebut.  Sebaik apapun regulasi, tanpa adanya penerapan dan pengawasan yang baik hanya akan menjadi sesuatu yang percuma. Oleh karena itu, regulasi yang sudah ditetapkan harus diterapkan secara menyeluruh dan pengawasannya dilakukan secara masif oleh aparat penegak hukum. Perlu diperhatikan juga aparat penegak hukum yang dipilih haruslah aparat yang jujur serta tidak dapat disuap oleh siapapun dan oleh apapun.

Ada lagi satu hal lain yang ingin saya sampaikan meskipun berada di luar regulasi yang saya maksudkan tetapi akan sangat mempengaruhinya. Tetapi semoga saja ini tidak benar-benar terjadi. Semoga saja. Salah satu hal yang sudah menjadi rahasia umum di negara kita adalah adanya money politic. Hal ini sudah menjadi hal yang lumrah tampaknya untuk Pilkada dan Pemilu di sebagian daerah Indonesia. Misalnya salah seorang pasangan calon berkampanye dengan menggunakan banyak dana sedangkan jumlah kekayaannya saja tidak mencapai setengah dari dana kampanye yang ia gunakan. Ternyata dana kampanye yang ia gunakan diperoleh dari pengusaha-pengusaha dengan jaminan apabila pasangan calon tersebut terpilih harus membuat kebijakan yang mempermudah pengusaha-pengusaha dalam mengembangkan usahanya meskipun akan merusak lingkungan. 

Maksud dari pernyataan saya di atas adalah bukan untuk mendiskreditkan pihak manapun. Tetapi sebagai hal yang perlu kita perhatikan bersama bahwa untuk menetapkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan tidak cukup hanya dengan regulasi tentang lingkungan saja, -dalam hal ini hutan- tetapi juga harus diperhatikan regulasi-regulasi lain yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Diantaranya adalah regulasi yang berkaitan dengan proses pemilihan dan pembentukan pemerintahan. Karena biar bagaimanapun pemerintah adalah agen sentral dan pemangku kebijakan yang dapat menjadi faktor utama dalam perlindungan hutan di Indonesia guna tercapainya ekonomi yang berkelanjutan.

Oleh: Muhammad Mufti

Mahasiswa Universitas Padjajaran

Related Article

HUMANIST AND HARMONIOUS

HUMANIST AND HARMONIOUS

Sebuah momen di mana pemikiran serta tindakan khalayak terpukul telak hingga terkoyak, yaitu dengan hadirnya pandemi covid-19. Entah kehadirannya merupakan cara alam merespon berbagai ulah penghuninya atau memang disengaja oleh makhluk yang katanya wise species itu sendiri. Terlepas dari hal tersebut sejauh jangkauan pandangan kaca mata pribadi, saya melihat hal ini merupakan objek sebagai sebuah refleksi serius dan pengalaman berharga sebagai momentum untuk melihat kembali hubungan kita antar sesama ciptaan-Nya.

Jika benar pengalaman adalah guru terbaik, mulai sekarang dan mungkin seterusnya, pandemi ini merupakan analogi tersebut yaitu sebagai guru yang memberikan begitu banyak pelajaran untuk dimaknai sebagai modal untuk hari-hari berikutnya. Momen sepanjang 2020 yang terjadi sekadar mewakili banyaknya mata pelajaran yang diberikan untuk dipelajari dan dimaknai serta menjadi PR kita bersama, Manusia.

Mata Pelajaran Pertama

‘Serumah’, alam merupakan kakak sulung bagi adiknya manusia yang dalam keseharian mereka begitu tak harmonis satu sama lain. Sang kakak menghendaki ketenangan, tapi lupa kalau punya adik amat rewel yang mengusiknya terus-menerus. Mengetahui sang adik dengan kenakalannya, sang sulung pun abai dan bersabar. Si bungsu dengan usilnya memanfaatkan hal tersebut dengan bermain sesuka hati lalu mengesampingkan dan melupakan bahwa si sulungnya, hadir. Karena merasa bosan dan kesepian, si bungsu pun mengundang beberapa koleganya. Dalam aktivitas bermain mereka, timbullah beberapa masalah dalam lingkungan ‘rumah’.

BACA JUGA: Bencana Iklim dan Peluang Ekonomi Hijau

Melansir dari World of Buzz: “The World is Dying” – It’s Only January 2020 But 7 Natural Disasters Already Recently Happened, dimulai Januari 2020 kejadian pertama yang terjadi di ‘rumah’ yaitu berada di ruang Asia Tenggara yaitu Filipina, di mana terjadi letusan gunung.

Hal kedua yaitu terbakarnya ruangan ‘rumah’ di bagian Selatan, yaitu Australia. Kenaikan suhu udara yang drastis dan bencana kekeringan parah makin memperburuk situasi di Australia yang dilanda kebakaran hutan dan semak yang hebat. Kebakaran tersebut telah menewaskan lebih dari 500 juta hewan dan menjadikan koala terancam punah. Ketiga yaitu imbas dari kebakaran yang terjadi di Australia, gletser di Selandia Baru berubah menjadi kecoklatan setelah terkena debu dari kebakaran yang terjadi, dan dapat menyebabkan gletser mencair hingga 30 persen. 

Kemudian hal berikutnya yaitu perubahan iklim yang terjadi begitu cepat di bagian pegunungan Himalaya. Hal tersebut telah menyebabkan pencairan gletser Himalaya yang menimbulkan peningkatan pertumbuhan vegetasi semak dan rumput di kawasan pegunungan. Kekacauan selanjutnya yaitu banjir. Biasanya sangat jarang terjadi di Dubai, Uni Emirat Arab. Curah hujan ekstrem yang terjadi di sana dampak dari perubahan iklim.

Kegaduhan lainnya yang serupa di Dubai, yaitu banjir di Jakarta. Memang hal ini merupakan bencana tahunan yang terjadi di ibu kota Indonesia. Meski dianggap lumrah, banjir kali ini dianggap yang terburuk selama dekade terakhir dan telah merenggut 66 korban jiwa saat itu. Lalu kejadian selanjutnya yaitu badai hebat yang melanda Negara Bagian Texas, Alabama, dan Louisiana USA, yang merenggut 11 korban jiwa saat itu.

Gelombang badai dahsyat di wilayah selatan Amerika Serikat juga banyak dihubungkan dengan perubahan iklim dan pemanasan global. Berbagai kejadian tersebut yang diakibatkan perubahan iklim, kiranya juga merupakan tanda warning bagi kita mengingat hal ini betapa disepelekannya, tapi begitu seriusnya dampak yang dirasakan. 

BACA JUGA: Ekonomi Lapang (Lahan dan Pangan)

Seraya dengan uraian di atas, mengutip jurnal Nature Climate Change yang dipublikasikan para peneliti dari ETH Zurich yang dilansir dari National Geographic Indonesia, hasilnya menunjukan bahwa suhu dunia jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan, setiap hari sejak Maret 2012. Sederet kejadian tersebut hanya rangkuman saat bulan Januari 2020 berlangsung, dan bulan serta tahun-tahun berikutnya masih menanti.

Mata Pelajaran Kedua

Semenjak 2020 bergulir, ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan para pemangku kepentingan. Salah satunya yang mengundang perhatian publik yaitu perihal Omnibus Law. Publik menilai kebijakan ini justru menambah sengsara para kaum pekerja, masyarakat kecil, serta dirampasnya ruang hidup. Pekerja, bekerja, mempekerjakan, pekerjaan, bukankah seharusnya merupakan suatu ekosistem yang mutualisme? Letak keadilannya untuk masyarakat kecil patut diragukan dalam konteks kebijakan tersebut. Teruntuk elit mungkin iya tak diragukan lagi. Dari sisi efisiensinya tentang investasi memang bagus nan manis, tapi terhadap rakyat kecil efeknya sangat teramat bengis.

Pekerjaan Rumah

Berbagai uraian pelajaran di atas mengarahkan kita ke pekerjaan rumah bersama demi nilai kehidupan yang lebih layak. Era disrupsi saat ini pun menstimulus kita agar bisa lebih peka terhadap berbagai permasalahan, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Berdasarkan mata pelajaran kedua di atas, sudah redupnya sense of humanity then just they just  care about profit bagi segelintir 1% para elit di Ibu Pertiwi ini. Berbagai program pembangunan berkelanjutan harus terus digalakkan, dengan tidak melupakan makna dari Triple Bottom Line, yang menyelaraskan ProfitPeople, dan Planet

Sebagai tunas muda yang nantinya akan menyambut bonus demografi, mari kita berkarya mandiri serta berekspresi dan berkreasi dengan cara otentik masing-masing untuk mengimbangi aktivitas keseharian kita, salah satunya bisa dimulai dengan cara menerapkan pola hidup yang ramah lingkungan dalam setiap aktivitas keseharian kita masing-masing, Karena percuma menggalakan ide jika para pemangku wewenangnya pun apatis dalam meresponnya.

Dan pada akhirnya jangan melupakan hal yang sederhana tapi justru fundamental agar kembali terciptanya equilibrium dalam ekosistem kita bersama, yaitu harus serius dalam memaknai kembali apa itu “Humanis nan Harmonis”.

Oleh: Mersondy Adrian

Mahasiswa Universitas Sam Ratulangi Manado

Related Article

THE CLOTHING EXCHANGE MOVEMENT

THE CLOTHING EXCHANGE MOVEMENT

Pakaian Bekasmu adalah Pakaian Baru Bagi Orang Lain. Tukar atau berikan kebahagian kecil ini untuk orang sekitarmu“.

Sebagian besar wanita sangat suka mengikuti tren pakaian mulai dari baju kaos, gaun musim panas  summer untuk liburan, hingga berbagai celana untuk padu-padan busana agar dapat tampil menarik. Namun, di balik kegemaran membeli pakaian baru, ada harga tak terlihat yang harus dibayar. Selain itu, pakaian lama menjadi terbengkalai, karena jarang dipakai dan pada akhirnya terlupakan begitu saja hingga berujung  sampah yang menumpuk. Kebiasaan ini  menyebabkan masa hidup pakaian menjadi sangat pendek, padahal semua pakaian tersebut masih sangat layak pakai dan berkualitas. 

Berdasarkan data yang dilansir dari website Zero Waste, bahwa limbah mode merupakan salah satu limbah industri yang paling berpolusi seiring dengan maraknya fast fashion. Bahkan, setelah minyak dan gas, industri pakaian dan tekstil adalah pencemar terbesar di dunia (sumber: Fashion Industry Waste Statistics). Secara global, industri mode menyumbang 20% dari limbah air di dunia dan 10% dari total emisi karbon dunia (sumber: Unfashionalliance.org).

Angka tersebut diperkirakan akan naik terus dan semakin mengkhawatirkan jika tidak ada langkah intervensi. Salah satu untuk mengatasinya adalah dengan membuat  gerakan Tukar Baju. Gerakan ini merupakan sebuah inisiasi untuk memperpanjang usia pakaian dengan cara menukarkannya dengan pakaian orang lain, dan sudah dijalankan oleh Zero Waste pada tahun 2019 sebagai solusi sampah fesyen dan limbah tekstil.

Tahukah kamu bahwa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan pergerakan fashion paling cepat di Asia Tenggara? Oleh karena itu, Zero Waste melalui Amanda Zahra Marsono, Head of Public Relations and Marketing Project Manager berharap Gerakan Tukar Baju ini dapat mengurangi limbah tekstil dan dapat mengurangi 30-50% total emisi karbon. (Sumber : Liputan6)

BACA JUGA: Jalan Tengah Penerapan Extended Producers Responsibility Produsen Plastik

Di Indonesia limbah industri tekstil juga semakin mengkhawatirkan seperti pada kasus sungai Citarum sepanjang 300 km telah dicemari oleh 440 pabrik pengolahan tekstil yang mayoritas tidak memiliki atau tidak mengoperasikan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Padahal sejatinya sungai ini sangat berperan untuk kelangsungan hidup manusia di Tatar Pasundan Jawa Barat.. (Sumber: Pikiran Rakyat)

Di sisi lain, maraknya produk fast fashion adalah buah dari permintaan pasar yang terus menginginkan mode dan tren terbaru setiap saat.. Untuk mengatasinya, maka harus mulai menumbuhkan kesadaran diri sendiri dan mengedukasi orang sekitar untuk menerapkan konsep slow fashion/sustainable fashion seperti mendaur ulang pakaian sendiri, menjahit atau merombak sesuai keinginan, membeli di toko bekas atau menerima pakaian bekas orang terdekat. 

Namun, jika diamati Gerakan Tukar Baju ini masih sangat terbatas. Padahal, sangat potensial untuk terus dikembangkan sebagai salah satu solusi strategis yang menjanjikan untuk meminimalkan sampah pakaian dan menumbuhkan kesadaran akan limbah industri mode. Di samping itu, untuk menciptakan kepedulian akan sampah pakaian, gerakan ini sejatinya dapat mematahkan stigma masyarakat untuk tidak malu / gengsi memakai pakaian bekas karena kualitas pakaian bekas juga tidak kalah dengan berbagai merek fast fashion. Selain itu, harapannya masyarakat dapat beralih ke mode slow fashion atau bisa juga turut serta belajar menghasilkan pakaian sendiri sesuai dengan preferensi dan keinginan si pemakai.

BACA JUGA: Sampah Elektronik: Jadi Ancaman Jika Kita Lupakan

Dari sisi ekonomi, Gerakan Tukar Baju juga dapat menggandeng berbagai thrift store local untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pakaian jadi yang keren namun dengan harga yang terjangkau. 

Untuk menciptakan gerakan yang masif dan mengikuti perkembangan zaman digital, maka Gerakan Tukar Baju dapat tersedia di kanal website, sosial media dan aplikasi digital di sini, para penggunanya dapat mengunggah pakaian dan berbagai item mode seperti tas, kain, sepatu, dan banyak lainnya untuk ditawarkan sebagai produk yang ingin ditukar. Nantinya, pengguna lain dapat melihat dan jika merasa cocok, dapat menawarkannya dengan produk yang mereka miliki. Setelah tercapai kesepakatan antara kedua pihak, mereka pun dapat saling mengirimkannya ke alamat masing-masing.

Pada aplikasi Gerakan Tukar Baju, pengguna juga dapat mengirimkan pakaian yang sudah tidak diinginkan maupun pakaian tidak layak yang kemudian akan dikumpulkan di suatu tempat lalu disortir. Pakaian yang masih bisa dipakai dapat diberikan kepada panti asuhan atau daerah yang membutuhkan sedangkan sisanya bisa diberikan kepada pelaku UMKM untuk didaur ulang menjadi kain perca, alas kaki, kantong belanja dan berbagai produk lainnya yang mempunyai nilai jual.

Dengan begini, pakaian yang awalnya hanya teronggok di dalam lemari saja, dapat dimanfaatkan dan menjadi pakaian baru buat orang lain. Konsep Tukar Baju ini pun mudah direplikasi dan diterapkan dalam skala yang lebih kecil misal antar komunitas, komplek perumahan dan lain-lain sehingga tidak dibutuhkan prosedur / kompleksitas yang berlebihan untuk memulai aksi ini.

Harapan ke depannya, dengan men-digital-kan aksi ini lewat Gerakan Tukar Baju menjadi roda penggerak bagi semua sektor untuk lebih mawas diri akan dampak negatif penggunaan produk fashion dan garmen yang berlebihan. Dengan menggunakan konsep recycle economy, gerakan Tukar Baju dapat menjadi gagasan ekonomi yang dapat diterapkan di seluruh penjuru Indonesia tanpa harus mengorbankan lingkungan. 

Oleh: Lenny

Wiraswasta

Related Article

[1000 IDEAS] PEAT SAGO: A SUSTAINABLE FOOD ALTERNATIVE IN FACING ENVIRONMENTAL CRISES

[1000 IDEAS] PEAT SAGO: A SUSTAINABLE FOOD ALTERNATIVE IN FACING ENVIRONMENTAL CRISES

Pernahkan kita mendengar anggapan “kalo orang Indonesia gak makan kalo bukan nasi?” Ternyata itu bisa dibilang hampir 100 persen benar, jika dilihat rata-rata konsumsi langsung rumah tangga pada tahun 2019, data BPS menyebutkan beras menjadi sumber penyedia energi dan karbohidrat tertinggi dengan besaran 94,9 kg/kapita/tahun. Ini sama saja kurang lebih diperlukan 2,5 juta ton beras per bulan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tapi seiring perkembangan saat ini, pola konsumsi nasi perlahan sudah beralih ke gandum.

Pemerintahan Presiden Jokowi  mengeluarkan kebijakan mencetak sawah dalam proyek Food Estate salah satunya di Provinsi Kalimantan Tengah, guna mengantisipasi kelangkaan pangan dalam menghadapi kemungkinan kemarau panjang dan menangani masa pandemi Covid-19 yang katanya mengancam produksi beras nasional.

Proyek ini, mendapatkan kritikan dan kecaman bertubi-tubi dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan lingkungan termasuk penolakan dari masyarakat adat, mengingat proyek serupa saat pemerintahan Presiden Soeharto  yaitu pembukaan lahan gambut (PLG) satu juta hektare yang sembarangan dan berakhir pada krisis ekologi terparah di negeri ini.

Usaha mengganti sifat alami gambut yang seharusnya basah menjadi kering untuk tanaman pangan seperti padi menjadi sumber utama kerusakan gambut. Gambut yang kering sangat rentan tersulut api, merambat sangat cepat, sulit dipadamkan dan kerap kali menimbulkan polusi asap hingga melepaskan emisi ke atmosfer. Beberapa pengamat menyatakan proyek food estate ini dianggap populis, kajian serba cepat tanpa menganalisis dampak yang ditimbulkan di masa yang akan datang.

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi, Ketahanan Pangan, dan Keseimbangan Ekosistem

Padahal seperti yang banyak dikembangkan oleh peneliti tanaman pangan dalam mendukung upaya restorasi dan revitalisasi ekonomi masyarakat, lahan gambut basah tetap bisa menjadi andalan dalam produksi pangan, salah satunya adalah sagu, ada beberapa faktor kuat tanaman yang disebut rumbia ini juga dianggap yang paling menguntungkan. Sifat sagu yang menyesuaikan pada hampir semua jenis lahan termasuk gambut, serta tidak perlu ada perlakuan khusus dan minim input eksternal, berbeda dengan  tanaman pangan lainnya sehingga dapat menekan biaya produksi. 

Sagu di Lahan Gambut: Optimalisasi bagian Hulu

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana sagu mampu menyelamatkan pangan Indonesia yang selama ini bergantung pada beras, namun di satu sisi juga berperan dalam penyelamatan ekosistem gambut? Dalam mencermatinya perlu dilihat dari masyarakat yang hidup di lahan gambut, yang justru memiliki ketergantungan makanan pokok pada beras yang begitu tinggi, padahal seperti yang dijelaskan sebelumnya, sagu bisa menjadi pilihan selain beras itulah yang terjadi di Papua. 

Lahan gambut yang ditanami wajib hukumnya di lahan budidaya, yang memang pemanfaatannya untuk produktivitas dan kesejahteraan masyarakat, bukan di kawasan konservasi dan area lindung yang seharusnya difungsikan untuk menjaga ekosistem. Realisasi di lapangan perlu memenuhi kaidah berkelanjutan, yang meliputi tiga aspek sederhana yaitu: 

  1. Pertama aspek ekologis, bagaimana menjaga gambut agar tetap basah sesuai dengan karakteristik aslinya, 

  2. Kedua berkaitan dengan peran sosial di mana masyarakat adat maupun komunitas lokal juga dilibatkan secara partisipatif, 

  3. Terakhir praktik tanamnya, lamanya waktu panen mulai dari 8 sampai 12 tahun perlu diatur waktu penanamannya, penyesuaian bibit, pupuk alami serta, yang tentunya berdampak pada keberlangsungan profitabilitas yang dihasilkan. 

Sagu sebagai Pilihan: Bekerja dari Hilir

Sebesar 83 persen lahan sagu dunia ada di Indonesia, mencapai lebih dari 5 juta hektare dan potensi produksi yang mencapai seratus juta ton tiap tahunnya (Nasution, 2020). Peluang tersebut menandakan jika sagu dioptimalkan, terutama bagi sebagian masyarakat yang mengkonsumsi sagu, dapat menyeimbangkan dominasi beras di dalam negeri sebagai sumber makanan pokok. 

Masih rendahnya komitmen pemerintah dalam mengembangkan sagu terlihat dari tidak terserapnya produksi sagu di sungai Tohor, Riau untuk pangan lokal, pasokan yang melimpah banyak menumpuk karena terkendala ekspor akibat pandemi korona.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ikut berperan melakukan inovasi produk dari sagu sebagai substitusi terigu. Mengingat permintaan masyarakat Indonesia sebagai konsumen mie instan tertinggi kedua di dunia. Di sisi lain sudah banyak terobosan inovatif yang mencampurkan tepung sagu sebagai bahan substitusi tepung gandum dalam membuat mie, kue, maupun makanan berbahan terigu lainnya.

Tantangan tersulit dalam memasarkan sagu di Indonesia adalah masih menguatnya politik beras serta mafia tani dan impor dengan mencari keuntungan di tengah produksi yang terus menurun. Merebaknya Covid-19 menjadi pembelajaran bahwa yang ditanam langsung di lahan paling dekat dengan masyarakat adalah sumber pangan paling efisien.

BACA JUGA: Menggelorakan Usaha Agroedutourism

Dari segi harga pasaran, tepung sagu lebih mahal dibandingkan dengan beras dan gandum. Selisih harga dapat mencapai dua kali lipat. Daya saing harga bisa ditingkatkan produksi dan konsumsi secara massif, sehingga menjadi lebih terjangkau. 

Berbagai aspek yang diperlukan dalam mendukung sagu baik dari hulu maupun hilir adalah sarana-prasarana pendukung dan pelatihan intensif terhadap masyarakat yang berpartisipasi dalam budidaya maupun pengolahan sagu menjadi makanan jadi.

Langkah Ke depan bersama Madani Berkelanjutan

Ketergantungan pada satu jenis pangan tidak bisa dilepas dari pemerintah dalam menyamakan jenis makanan pokok hanya pada beras, hal tersebut berdampak pada skala prioritas pengembangan padi yang jauh lebih diutamakan dibanding pangan lokal lainnya. Namun saat ini inisiasi untuk kembali meragamkan panganan khususnya di tingkat masyarakat dan daerah terus digalakkan khususnya saat Covid-19 mewabah yang tiba-tiba terjadi di daerah bergambut. Selain pembangunan sarana-prasarana dan pendampingan masyarakat, diperlukan juga terobosan kebijakan dan program yang berani mengangkat sagu sebagai makanan sehari-hari seperti pembangunan kawasan terintegrasi yang berfokus produksi serta pengolahan dan pemasaran. 

Bersama Madani Berkelanjutan, kampanye sagu yang kreatif dan tepat-guna di lahan gambut budidaya adalah salah satu upaya yang paling memungkinkan, melalui pendekatan ke anak muda yang saat ini sedang booming di media sosial salah satunya #tiktokchallange atau bisa kreasi konten visual dalam mempromosikan sagu sebagai alternatif makanan pengganti nasi.

Di tingkat lokal, kampanye berbasis kearifan lokal, kebudayaan, kesejarahan bisa jadi andalan dalam merayu warga agar ikut andil dalam budidaya dan konsumsi sagu, di waktu yang bersamaan juga didorong pemahaman terkait sumber daya pangan lokal dan restorasi ekosistem, sekaligus memulihkan ekonomi masyarakat daerah pasca-Covid 19. 

Oleh:  Andika Julianto Trilaksana

Pegiat Lingkungan Youth for Peatland

Related Article

[1000 IDEAS] DEVELOPING SUSTAINABLE HALAL TOURISM

[1000 IDEAS] DEVELOPING SUSTAINABLE HALAL TOURISM

Berbicara Indonesia, maka terlintas dalam diri kita yaitu negara kepulauan besar yang memiliki beragam suku dan budaya. Merujuk laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok suku/etnik dan memiliki lebih dari 1.001 bahasa daerah yang berbeda. Sedangkan jumlah pulau kurang lebih 17.504 pulau dengan panjang garis pantai adalah 108.000 km2. Kondisi geografi dan keragaman budaya tersebut membuat Indonesia sangatlah strategis dan potensial dalam mengembangkan sektor pariwisata. Pada tahun 2019 berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, jumlah devisa yang dihasilkan sebesar Rp 280 triliun dan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5,5%, serta menyerap tenaga kerja sebanyak 13 juta orang. 

Peran sektor pariwisata dalam meningkatkan ekonomi menjadi bukti bahwa sektor pariwisata dapat dikatakan sektor unggulan Indonesia. Pariwisata di Indonesia saat ini tidak hanya berorientasi kepada infrastruktur dan banyaknya kunjungan wisatawan, tapi juga membuat konsep diversifikasi ramah Muslim. Konsep inilah yang dikenal dengan pariwisata halal. 

BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Berkelanjutan

Pariwisata halal bukan berarti non Muslim dilarang berkunjung ke Indonesia, tapi perlu dipahami bahwa definisi pariwisata halal menurut Global Muslim Travel Index (GMTI) yaitu memiliki ekosistem layanan berbasis agama misalnya makanan halal, fasilitas ibadah, kamar kecil yang memiliki air untuk berwudhu, dan bukan lingkungan yang Islamofobia. Perihal utama dalam wisata halal ialah bagaimana tempat wisata dapat meningkatkan kenyamanan dengan tidak melupakan kewajiban keimanan serta memahaminya melalui perjalanan warisan sejarah, dan budaya. 

Implementasi aturan pariwisata halal di Indonesia sendiri dalam bentuk Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019 – 2024, penerbitan UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah. Bukti penerapan aturan wisata halal telah banyak mendorong perkembangan sektor pariwisata halal, bahkan beberapa tempat wisata di Indonesia menjadi yang terbaik di dunia, seperti pada laporan GMTI tahun 2019 yang bertajuk World Halal Tourism Award 2018, yang mana Lembah Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat memperoleh penghargaan destinasi bulan madu halal terbaik di dunia. Ada pula Kota Padang yang mendapat predikat destinasi halal terbaik, serta Provinsi Aceh sebagai destinasi budaya halal terbaik. 

Penerapan pariwisata halal di Indonesia tidak terlepas dari sisi agama dan sudut pandang sumber daya berkelanjutan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Dalam sudut pandang agama, orientasi pariwisata halal bukan hanya memperoleh pendapatan dalam bentuk devisa dan pendapatan langsung di masyarakat, namun juga mengutamakan prinsip, nilai serta etika Islami/akhlak. 

Nilai dan etika Islami sebagaimana tercantum dalam Fatwa MUI bahwa penyelenggaraan pariwisata syariah/pariwisata halal harus terhindar dari kemusyrikan (percaya kepada selain Allah), maksiat, keburukan dan menciptakan kebermanfaatan secara material maupun spiritual. 

Keseluruhan aspek pariwisata halal meliputi destinasi wisata, alat transportasi, hotel dan akomodasi, restoran dan kafe serta biro jasa perjalanan harus menjadi ekosistem halal. Ekosistem halal dapat menjadikan pariwisata halal menjadi pariwisata berkelanjutan, artinya bahwa dari segi sumber daya alam, pelaku bisnis, masyarakat sekitar objek wisata akan menerima manfaat dari perkembangan pariwisata yang tentunya halal. 

BACA JUGA: Wisata Bahari Kerakyatan Berkelanjutan

Menurut hemat penulis, ekosistem pariwisata halal yang dikembangkan secara berkelanjutan adalah solusi untuk membangun ekonomi tanpa merusak lingkungan. Kita wisatawan yang melancong untuk menikmati keindahan alam mampu memahami aspek halal dari konsep pariwisata yang ditawarkan, maka dengan itu pula pengembangan ekonomi yang tidak merusak lingkungan terwujud. 

Percayalah bahwa penerapan nilai – nilai Islami yang komprehensif dalam pariwisata akan mendorong banyaknya wisatawan berkunjung ke Indonesia dan mereka akan semakin percaya bahwa Indonesia ramah terhadap semua wisatawan, maka timbullah kepedulian halal (halal awareness). Ingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, maka dengan meningkatkan kepedulian halal maka potensi besar untuk perekonomian dapat dielaborasi. 

Namun dalam pengembangan pariwisata halal memerlukan tenaga kerja yang profesional yang berwawasan Islami. Peran pemerintah, swasta, masyarakat sipil serta banyak pihak menjadi penting demi kemajuan pariwisata halal berkelanjutan tersebut. Pariwisata halal sangatlah baik untuk mendukung dan menciptakan lapangan pekerjaan dan devisa yang cukup tinggi, apalagi dikembangkan dengan konsep berkelanjutan yang ramah lingkungan. Berkembangnya kepariwisataan yang ada akan sangat membantu memajukan daerah-daerah, maka pemerintah daerah dan pusat senantiasa melakukan monitoring terhadap daerah yang telah menerapkan konsep pariwisata halal agar senantiasa terjaga nilai – nilai Islaminya dan ramah terhadap lingkungan.

Oleh: Sunarmo

Dosen Prodi Manajemen Universitas Al Azhar Indonesia


Related Article

[1000 IDEAS] CLIMATE DISASTERS AND GREEN ECONOMIC OPPORTUNITIES

[1000 IDEAS] CLIMATE DISASTERS AND GREEN ECONOMIC OPPORTUNITIES

Gempa bumi, tsunami, likuifaksi, dan erupsi gunung api adalah bencana menakutkan yang kerap menghantui penduduk Indonesia. Berbagai bencana tersebut terjadi karena faktor geologis alam pada wilayah Indonesia sebab keberadaannya tepat di jalur-jalur pertemuan lempeng tektonik –baik darat maupun di lantai samudera. Bencana faktor geologi tersebut mustahil dielakkan, kecuali bila negara Indonesia pindah ke wilayah yang bukan pertemuan lempeng tektonik, walau tentu saja, itu sama tidak mungkinnya.

Akan tetapi, bencana geologi bukanlah bencana utama atau terbanyak mendera tanah air. Selama kurun waktu tahun 2019, BNPB mencatat sebanyak 3.768 kejadian bencana di Indonesia. Dari 3.768 kejadian bencana sepanjang tahun lalu, ternyata hanya 1% yang merupakan bencana geologi, sementara 99% di antaranya ialah bencana hidrometeorologi (Kompas, 1/12020). Kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, el nino, la nina, longsor, tornado, angin puyuh, topan, angin puting beliung, Gelombang dingin, Gelombang panas, Angin fohn (angin gending, angin brubu, angin bahorok, angin kumbang) adalah beberapa contoh bencana hidrometeorologi tersebut.

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Prokonservasi

Bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin ―yang juga merupakan komponen-komponen dari iklim bumi. Sejumlah media internasional bahkan sudah memakai term Climate Disaster atau “Bencana Iklim” supaya masalah serius ini tidak menjadi gajah dipelupuk mata bagi masyarakat. Misalnya pada artikel  Climate Disaster Is Upon Us yang diwartakan The Nation, 15 Januari 2019; Do We Really Have Only 12 Years to Avoid Climate Disaster? oleh New York Times, 19 September 2019; 2019 Has Been a Year of Climate Disaster. Yet Still Our Leaders Procrastinate di laman The Guardian, 19 Desember 2019; dan We Live in an Age of Climate Disaster. Now What? pada harian Washington Post, 17 Januari 2020.

Tiga Tingkat Persiapan

Bila bencana iklim ini sudah di depan mata, maka kita harus mempersiapkan pencegahan dan mitigasi serta upaya adaptasinya. Pertama, pada tingkat internasional lambat laun para pemimpin dunia mulai menyadari akan ancaman perubahan iklim. Di bawah langit Paris, akhir tahun 2015, Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa dilakukan dan menghasilkan suatu sumber hukum internasional yang disebut dengan Paris Agreement. Poin penting dalam perjanjian itu ialah (i) komitmen bersama untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas suhu di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas suhu di masa pra-industrialisasi; (ii) Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan; dan (iii) suplai finansial yang konsisten demi tercapainya pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap perubahan iklim. 

Kedua, dalam konteks nasional yang mana tiap negara saat ini didera krisis akibat pandemi, dapat melakukan pemulihan hijau. Sebab, dalam pembangunan ekonomi untuk lebih cepat bangkit dari krisis, pemerintah membutuhkan proyek yang disebut oleh para pakar dengan istilah shovel ready. Ini melebihi dari proyek padat karya, proyek tersebut juga tidak perlu keterampilan tingkat tinggi atau pelatihan ekstensif, dan menyediakan infrastruktur yang menguntungkan ekonomi. Konstruksi infrastruktur energi bersih adalah salah satu contohnya, yang mana menghasilkan pekerjaan dua kali lebih banyak dari dibandingkan proyek bahan bakar fosil. 

Kita bisa melihat kebutuhan infrastruktur ramah pengendara sepeda dan pejalan kaki di kota-kota. Kemudian membangun infrastruktur koneksi jaringan internet broadband, karena sistem sekolah dan kerja daring akan semakin marak dilakukan. Serta jaringan untuk pengisian kendaraan listrik. Dengan itu ke depan kita pasti akan membutuhkan lebih banyak listrik. Dibutuhkan juga proyek massal pembangkit listrik tenaga surya, angin, mikrohidro dan biogas.

BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau

Cameron Hepburn dari Universitas Oxford baru-baru pun mempublikasikan sebuah studi menarik terkait rencana pemulihan krisis global akibat pandemi Covid-19. Penelitian tersebut berjudul Will Covid-19 Fiscal Recovery Packages Accelerate or Retard Progress on Climate Change? (2020). Fokus penelitiannya adalah membandingkan proyek-proyek stimulus hijau dengan stimulus tradisional, seperti langkah-langkah yang diambil setelah krisis keuangan global 2008. Para peneliti menemukan bahwa, proyek-proyek hijau menciptakan lebih banyak pekerjaan, memberi pengembalian jangka pendek yang lebih tinggi, dan mengarah pada penghematan biaya peningkatan jangka panjang. 

Ketiga, aksi pada tingkat individu. Banyak hal sederhana yang dapat dilakukan untuk melestarikan alam. Seperti menghemat penggunaan energi listrik. Tahukah Anda bahwa sumber utama emisi gas rumah kaca global adalah listrik (31%), baru diikuti pertanian (11%), transportasi (15%), kehutanan (6%) dan manufaktur (12%). Produksi energi dari semua jenis menyumbang bahkan 72% dari semua emisi (data: WRI (2017)). Sektor energi menjadi faktor paling dominan penyebab emisi gas rumah kaca. Begitulah laku hidup kita yang masih bergantung pada energi fosil pada “normal lama”. “Normal baru” harusnya dapat menggantikan sumber energi lama ke energi terbarukan. 

Peluang Ekonomi Hijau

Kini, bencana iklim yang sudah di depan mata seharusnya tidak hanya menjadi stimulus bagi peningkatan kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan tapi juga membuka kesadaran bahwa ekonomi hijau berpeluang besar untuk direalisasikan. Kita dapat memulainya dengan hal-hal sederhana seperti mendaur-ulang sampah menjadi produk kreatif, memprioritaskan transportasi umum agar terjadi pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, menanam atau mengadopsi pohon seperti halnya Pohon Asuh yang kini dikembangkan KKI Warsi, dan sebisa mungkin menghentikan penggunaan produk-produk hasil industri yang merusak lingkungan hidup. 

Kerusakan lingkungan yang semakin masif yang juga ditandai oleh kemunculan bencana iklim adalah titik balik bagi peningkatan kepedulian terhadap lingkungan sehingga agenda pembangunan tanpa merusak lingkungan dapat benar-benar diwujudkan. 

Ingat, kita (Manusia) sangat berhubungan dengan lingkungan dan kita harus berperilaku baik terhadapnya itulah sebuah kepastian. Namun, untuk melakukan itu kita perlu suatu pemahaman ekologis. Kita harus mempelajari tiap aktivitas yang akan memberi dampak buruk pada ekosistem di sekitar kita. Karena jika ekosistem rusak, kehidupan kita juga yang terancam. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mulai berfikir bahwa bencana iklim yang terjadi adalah tamparan bagi dunia untuk meninggalkan cara-cara yang merusak lingkungan dan beralih kepada cara-cara yang ramah terhadap lingkungan. Sudah saatnya ekonomi hijau berkelanjutan tanpa merusak lingkungan diterapkan.


Oleh: Alek Karci Kurniawan

Analis Kebijakan di Komunitas Konservasi Indonesia

Related Article

[1000 gagasan] PERTUMBUHAN EKONOMI, KETAHANAN PANGAN, DAN KESEIMBANGAN EKOSISTEM

[1000 gagasan] PERTUMBUHAN EKONOMI, KETAHANAN PANGAN, DAN KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Produktivitas lahan pertanian dan perkebunan Indonesia tidak meningkat signifikan dan cenderung turun, kecuali kelapa sawit. Padahal, subsidi pupuk merupakan subsidi terbesar kedua di Indonesia, yang menghabiskan sekitar Rp. 30 triliun setiap tahunnya. Selain permasalahan pada pendistribusian subsidi pupuk, ada permasalahan lain di luar pupuk yang menyebabkan produktivitas rendah. Di antaranya menurunnya kualitas irigasi, degradasi kualitas tanah, dan cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir dan kekeringan. Data BNPB menunjukkan bahwa peristiwa bencana seperti banjir dan kekeringan telah meningkat dalam lima tahun terakhir, dari 1.967 kasus di tahun 2014 menjadi 3.721 kasus di tahun 2019. Pada tahun 2019, tercatat 31.000 hektare ladang gagal panen karena kekeringan, dan 10.000 hektare gagal karena banjir. Dua kondisi ekstrem yang berbeda, di saat yang sama. 

Selain permasalahan produktivitas, ada juga permasalahan sosio-politik yang mengancam sektor pertanian Indonesia, yaitu tenaga kerja sektor pertanian semakin menurun, dan di saat yang sama Indonesia semakin banyak mengimpor berbagai bahan pangan yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri, seperti beras, bawang putih, dan kedelai, karena produksi dalam negeri lebih mahal harga jualnya. 

Ketahanan Pangan = Pertanian Skala Besar?

Pemerintah berupaya menangani permasalahan-permasalahan ini dengan berbagai cara, utamanya dengan membuat lumbung pangan atau food estate. Alokasi lahan yang tidak aktif untuk food estate tercantum dalam UU Cipta Kerja, dan direncanakan bahwa luas lahan yang akan digarap adalah 164.598 hektare, dengan pengerjaan awal seluas 10.000 hektare di Kabupaten Pulang Pisau, 20.000 hektare di Kabupaten Kapuas, 30.000 hektare di Kabupaten Humbang Hasundutan, dan daerah-daerah lain termasuk Papua. Lumbung pangan diharapkan berskala besar, dengan memanfaatkan lahan terdegradasi, lahan rawa dan gambut. Diharapkan dengan produksi skala besar ini, harga produk pangan Indonesia akan turun dan kompetitif dengan produk pangan impor. 

BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Berkelanjutan

Namun demikian, lumbung pangan sudah pernah dilakukan di era Presiden Soeharto, dan juga di era Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Mega Rice Project. Artinya, ekspansi lahan pertanian dalam skala besar, sudah pernah dan sudah sering dilakukan, dengan berbagai tantangannya sendiri. Namun, tingkat konversi lahan pertanian komoditas pangan untuk penggunaan lain (seperti dijadikan kebun kelapa sawit, atau pemukiman, perkotaan dan sebagainya) juga sangat tinggi. Bahkan, tingkat konversi lahan pertanian ke penggunaan lain lebih cepat daripada lahan yang dialihfungsikan menjadi food estate. Sementara itu, populasi Indonesia terus meningkat per tahun, yang akan menyebabkan terus meningkatnya kebutuhan pangan. Apabila ekspansi lahan dijadikan program unggulan untuk mencapai ketahanan pangan, maka solusi tersebut hanya akan bersifat sementara, dan dalam tempo singkat akan menjadi tidak efektif. Ketahanan pangan tidak bisa dicapai hanya dengan mendorong ketersediaan lahan.  

Faktanya, Indonesia sebenarnya sudah mencapai swasembada pangan secara nasional, namun terdapat wilayah-wilayah yang masih kekurangan pangan.  Terdapat 88 kabupaten di Indonesia yang masih mengalami kekurangan pangan, dan per 2019 hampir 30% anak di Indonesia mengalami stunting akibat malnutrisi. Di awal 2020, terhitung ada 8 juta hektare lahan perkebunan / pertanian di Indonesia, dibandingkan dengan 16 juta hektare lahan kelapa sawit. Studi CPI di Berau, Kalimantan Timur mendapati bahwa kelapa sawit mendominasi 90% total lahan perkebunan. Produksi kelapa sawit menunjukkan tren yang meningkat, sedangkan tanaman lain seperti padi, jagung, dan kakao menunjukkan tren turun.  

Diversifikasi Pertanian, Keanekaragaman Hayati 

Ekspansi perkebunan demi mencapai skala besar, efisiensi dan laba telah menyebabkan deforestasi dan konversi lahan pangan menjadi lahan komoditas kelapa sawit. Kelapa sawit digadang-gadang sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan petani kecil. Hampir setengah (40%) lahan kelapa sawit di Indonesia digarap oleh petani kecil dan angka ini diperkirakan terus meningkat seiring dengan permintaan kelapa sawit yang tinggi. Namun, ternyata tingkat penghasilan dari kelapa sawit bagi petani kecil tidak seberapa. 

Berdasarkan sebuah riset yang dilakukan Climate Policy Initiative, ketergantungan pada komoditas perkebunan tunggal atau monokrop menggeser lahan pangan dan meningkatkan risiko kekurangan pangan. Selain itu, penerimaan petani dari kelapa sawit tidak signifikan. Di Berau, Kalimantan Timur, penerimaan petani yang menggarap lahan 2 hektare tidak mencapai upah minimum regional. 

Sebaliknya, ketika dilakukan pemodelan untuk memproyeksikan penerimaan petani yang tidak hanya menanam kelapa sawit tetapi juga menanam tanaman pangan seperti jagung, kakao, atau lada, maka ditemukan bahwa penerimaan petani bisa lebih besar, tanpa ekspansi lahan. Bahkan pada beberapa skenario tertentu, penerimaan petani bisa mencapai 800% (sembilan kali lipat) penerimaan yang diterimanya dari kelapa sawit saja. 

Selain penerimaan yang lebih tinggi, petani juga memperoleh berbagai keunggulan lainnya ketika melakukan diversifikasi pertanian. Pertama, risiko gagal panen keseluruhan lahan berkurang. Kedua, meningkatnya pendapatan dan arus kas dapat mempermudah akses keuangan bagi petani. Selain manfaat bagi petani, diversifikasi juga membawa manfaat bagi daerah. Diversifikasi membuka peluang bagi tanaman endemik wilayah tersebut untuk tetap dibudidayakan demi menjaga keanekaragaman hayati. 

Sistem Ekonomi Ideal: Ketahanan Pangan yang tercapai karena Ketahanan Ekosistem 

Fokus pada diversifikasi lahan pangan membawa peluang menggeser narasi penggunaan lahan. Yang tadinya penggunaan lahan digambarkan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan pangan dan membawa keuntungan bagi perusahaan perkebunan, bergeser menjadi penggunaan lahan terbatas dengan menjaga keanekaragaman hayati dan ketahanan ekosistem. Fokus pembangunan dapat bergeser dari yang tadinya lebih fokus pada saluran irigasi dan subsidi pupuk, menjadi pembangunan yang menjaga sumber mata air dan kualitas tanah (topsoil). Pengembangan lahan pertanian dan perkebunan pun dapat bergeser dari paradigma semula yang cenderung membangun sentra-sentra pertanian atau “lumbung pangan” di lahan-lahan berskala besar, menjadi pengembangan pertanian dan perkebunan skala kecil secara terdesentralisasi dengan tanaman yang beragam (tidak monokrop). 

Tanaman yang dipilih pun tidak berdasarkan penentuan strategis dari pemerintah pusat, namun berdasarkan tanaman yang endemik dan dikenal oleh masyarakat lokal, sehingga menjaga keanekaragaman hayati setempat.  Pemerintah dapat mendukung ini bukan dengan menentukan luasan lahan, harga atau jenis tanaman yang harus ditanam, namun dengan menjamin kepemilikan lahan bagi komunitas setempat dan masyarakat adat, membantu akses ke pasar, dan membangun sentra-sentra pemasaran hasil tanam di setiap wilayah. 

BACA JUGA: Wisata Bahari Kerakyatan Berkelanjutan

Saat ini aliran dana untuk mendukung pengembangan sektor pertanian dan perkebunan skala kecil sangat minim. Dari total dana global yang mengalir untuk mengatasi isu perubahan iklim, hanya 3% yang ditujukan untuk sektor perkebunan, kehutanan dan lahan, dan dari 3% tersebut hanya 40% yang ditujukan untuk perkebunan skala kecil dan pendukungnya. Untuk itu, pemerintah juga perlu lebih cermat dalam menggelontorkan dana publik untuk sektor pertanian/perkebunan. 

Subsidi pupuk dapat ditelaah kembali dan sebagian bisa dialirkan untuk mendukung konservasi sumber daya air, penyehatan tanah, pemasaran dan rantai pasok hasil tanam yang beragam dari setiap wilayah. Subsidi kredit perkebunan dapat dibuat bersyarat, yaitu dengan mensyaratkan penggunaan teknik pertanian yang irit air dan tidak merusak kualitas tanah. Transfer fiskal ke daerah bisa menggunakan skema insentif (ecological fiscal transfer) sehingga memberi penghargaan moneter bagi wilayah yang berhasil menjaga ketahanan ekosistemnya, yang dapat diwujudkan dengan indikator tutupan wilayah hijau, diversifikasi tanaman, penggunaan energi terbarukan, dan sebagainya. 

Semua wilayah dapat memiliki kegiatan ekonomi yang berbeda-beda, iklim, topografi, sosio-budaya dan karakteristik yang berbeda-beda, namun keseimbangan ekosistem menjadi hal mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Keseimbangan ekosistem memberikan komoditas yang esensial bagi pertumbuhan ekonomi, yaitu pangan, air dan udara bersih. Sudah saatnya prioritas tersebut terwujud dalam sistem ekonomi kita. 

Oleh: Tiza Mafira

Associate Director, Climate Policy Initiative 

Referensi:

1.Mecca et. al., Fostering Economic Resilience in Berau through Smallholder Crop Diversification, (CPI, 2020), accessible at https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/fostering-economic-resilience-in-berau-through-smallholder-crop-diversification/

2.Chiriac, Naran, & Falconer, Examining the Climate Finance Gap for Small-Scale Agriculture, (CPI, 2020), accessible at https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/climate-finance-small-scale-agriculture/

3.Mecca et. al., Indeks Desa Membangun Plus (IDM+): Enhancing Direct Incentives for Sustainable Land Use in Indonesian Villages, (CPI, 2020), accessible at https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/indeks-desa-membangun-plus-idm-enhancing-direct-incentives-for-sustainable-land-use-in-indonesian-villages/

Related Article

[1000 gagasan] JALAN TENGAH PENERAPAN EXTENDED PRODUCERS RESPONSIBILITY PRODUSEN PLASTIK

[1000 gagasan] JALAN TENGAH PENERAPAN EXTENDED PRODUCERS RESPONSIBILITY PRODUSEN PLASTIK

Bila suatu waktu mendapati sampah botol plastik berserakan di jalan atau terdampar di bibir pantai, yang pertama kali disalahkan biasanya soal minimnya kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan indeks perilaku ketidakpedulian Lingkungan Hidup yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan bahwa 72% orang Indonesia tidak peduli akan sampah. Membuang sampah sembarangan bisa jadi sudah menjadi “budaya” yang biasa kita temui dan menjadi hal yang lumrah.

Tapi, ketidakpedulian soal sampah ini tidak hanya dialamatkan kepada masyarakat. Mereka bukan satu-satunya yang bertanggung jawab atas persoalan sampah botol plastik yang tidak mudah diurai oleh proses alam ini. Jauh sebelum plastik berada di genggaman masyarakat selaku konsumen lalu akhirnya dibuang, ada proses produksi yang sebelumnya dilakukan oleh produsen kemasan atau produk. 

Penentuan soal material kemasan, misalnya air minum dalam kemasan (AMDK) yang digunakan masyarakat adalah tanggung jawab produsen. Karena itu, penentuan material yang ramah atau tidak ramah lingkungan menjadi penting dipertimbangkan untuk mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan. Tanggung jawab produsen haruslah diperluas, tidak semata sampai pada produksi dan distribusi saja, tetapi lebih dari itu, juga bagaimana memastikan produk tersebut tidak mencemari lingkungan menjadi hal yang tidak terpisahkan dari kewajiban produsen. 

Mengenal Extended Producers Responsibility (EPR)

Tanggung jawab yang diperluas ini dikenal sebagai Extended Producers Responsibility (EPR). EPR secara umum digambarkan sebagai kebijakan pencegahan polusi yang berfokus pada sistem produk dari pada fasilitas produksi. Dengan demikian tanggung jawab untuk produk diperluas di luar emisi dan limbah yang dihasilkan oleh ekstraksi atau proses manufaktur untuk memasukkan manajemen produk terhadap produk setelah dibuang.

BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Kota yang Berkelanjutan

EPR merupakan mekanisme atau kebijakan di mana produser diminta untuk bertanggung jawab terhadap produk yang mereka buat atau jual (beserta kemasan yang bersangkutan) saat produk atau material tersebut menjadi sampah. Dengan kata lain, produser membantu menanggung biaya untuk mengumpulkan, memindahkan, mendaur ulang, dan membuang produk atau material di penghujung siklus hidup barang tersebut.

Pada proses pengembangan dan perancangan produk, keputusan untuk mengurangi dampak lingkungan dari sebuah produk sebenarnya sudah dapat diprediksi. Karena itu, titik awal ini adalah titik yang krusial di mana pengurangan limbah, dan pengaplikasian penggunaan kembali, pengurangan, dan daur ulang produk dapat direncanakan sejak awal. 

Lebih jauh, tujuan dari EPR untuk mempromosikan upaya pembatasan dan pengurangan sampah melalui internalisasi biaya lingkungan dan ekonomi ke dalam kegiatan daur ulang produk, artinya dalam pembuatan suatu produk harus menyertakan biaya lingkungan agar life cycle produk tersebut dapat terjamin. 

Tantangan Penerapan EPR di Indonesia

Kebijakan soal EPR sebenarnya sudah diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, khususnya pada Pasal 1 yang berbunyi: “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”. Walau secara tekstual pasal ini tidak menyebutkan EPR, hadirnya undang-undang ini menjadi landasan hukum untuk menuntut peran dan tanggung jawab produsen dalam upaya pengurangan dan penanganan sampah karena produsen, melalui produk dan kemasan produk yang dihasilkannya, adalah salah satu sumber penghasil sampah. 

Namun, walaupun sudah diamanatkan dalam undang-undang, diturunkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012, penerapan EPR belum menjadi mandatori (wajib). EPR masih dilaksanakan secara sukarela. Dalam kacamata produsen, penerapan EPR akan menaikkan ongkos produksi sebuah produk, belum lagi pilihan penggunaan produk yang biodegradable (dapat terurai dengan hayati) yang biayanya tidak murah. Dengan penggunaan produk biodegradable, teknologi yang digunakan juga akan beralih dan ini tentu akan menyulitkan dan tidak efisien secara ekonomi.  

Di samping itu, produsen juga melihat bahwa EPR harus dilihat dalam sebuah ekosistem penanganan yang lebih besar, tidak hanya menjadi kewajiban pihak produsen saja, tetapi pemerintah dan masyarakat punya andil dalam pengelolaan lingkungan hidup, khususnya dalam pengelolaan sampah. 

Jalan Tengah Extended Producers Responsibility

Walaupun belum secara masif dilakukan, praktik perluasan tanggung jawab perusahaan sebenarnya sudah mulai diterapkan. Tanggung jawab fisik di mana produsen terlibat dalam pengelolaan fisik produk atau efek dari produk sudah mulai diimplementasikan. Ini dilihat dari mekanisme  Take Back oleh perusahaan seperti penggunaan galon isi ulang air minum kemasan, atau penggunaan botol kaca untuk kemasan minuman menjadi salah satu praktik baik dalam pembatasan timbulan sampah dan bagian yang tidak terpisahkan dari EPR. Di samping itu, mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan dengan mengurangi atau mengganti penggunaan produk plastik dengan penggunaan tumbler, sedotan daur ulang, dan food container menjadi kekuatan bagi penerapan EPR ke depan. 

Namun, dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk tiap tahunnya, mekanisme Take Back belum cukup untuk mengatasi persoalan pelik soal sampah, terutama sampah botol plastik yang sulit diurai alam. Namun, berharap EPR dapat diimplementasikan secara komprehensif tentu bukan perkara mudah. Karena itu perlu jalan tengah untuk menjembatani antara kepentingan perlindungan di satu sisi, dan iklim ekonomi investasi di sisi lain.

BACA JUGA: Sampah Elektronik: Jadi Ancaman Jangan Kita Lupakan 

Dalam pembatasan produk botol plastik, produsen dapat mengaplikasikan adanya Water Station yang ditempatkan di supermarket maupun kios warung. Bila penggunaan tumbler oleh individu dan masyarakat sudah mulai masif, masalah yang timbul berikutnya adalah isi ulang air, apalagi bila melakukan aktivitas di luar ruangan. Belum adanya Water Station membuat kebutuhan terhadap botol plastik sekali pakai masih tinggi. Dengan adanya Water Station, konsumen tetap membayar dalam isi ulang air, tetapi tentu lebih murah bila dibandingkan membeli dengan botol plastik, ini akan merangsang individu atau masyarakat untuk beralih ke penggunaan produk berulang ketimbang produk sekali pakai. 

Di samping itu, produsen juga dapat mengimplementasikan Bulk StoreBulk Store adalah semacam swalayan isi ulang produk seperti sabun, shampo dan kebutuhan rumah tangga lainnya yang selama ini kerap masih menggunakan produk plastik. Dengan adanya Bulk Store, masyarakat cukup membawa kemasan produk yang kosong atau wadah sendiri untuk diisi ulang kembali. Dengan ini tentunya akan mengurangi potensi timbulan sampah plastik. 

Pada akhirnya, walaupun belum komprehensif sejatinya praktik EPR tetap dapat dilaksanakan. Pendekatan perluasan tanggung jawab perusahaan sebaiknya tidak dilihat saat produk tersebut telah diproduksi dan didistribusi saja, namun dengan pembatasan potensi sampah di awal, praktik EPR dapat lebih mudah diimplementasikan sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga, berikut pula iklim investasi.

Oleh: Muhammad Wahdini

Penggerak Gerakan BangSaku, Warga Balikpapan 

Related Article

en_USEN_US