Madani

Tentang Kami

Pilkada Usai, Saatnya Untuk Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Pilkada Usai, Saatnya Untuk Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Pagelaran akbar pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah usai, saatnya move on dan bangkit. Move on berarti legowo atas hasil pilkada serta melupakan benturan politik yang terjadi akibat silang pendapat antar kandidat. Sedangkan bangkit dari keterpurukan adalah bangkit dalam beragam krisis atau krisis multidimensi yang sedang kita hadapi. Krisis tersebut termasuk krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19, krisis perekonomian, dan krisis lingkungan akibat semakin memudarnya komitmen terhadap pelestarian alam.

Dari sisi ekonomi, COVID-19 berhasil membuat babak belur perekonomian dunia. Faktnya, hampir semua sektor perekonomian terkapar, bahkan sampai saat ini pemulihan ekonomi masih sangat lamban dan begitu dramatis.

Di Indonesia sendiri, ekonomi 2020 yang awalnya diprediksi akan tumbuh hingga 5,3 persen year on year (yoy) atau lebih tinggi daripada realisasi pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,02 persen. Namun nyatanya, ekonomi Indonesia berjalan minus 2,2 persen hingga minus 1,7 persen di tahun 2020. Sungguh catatan yang kelam. Dengan kondisi dan realita yang begitu mengkhawatirkan, Indonesia butuh tidak sekadar kebijakan pemulihan semata, tapi butuh kebijakan yang mampu membawa perubahan yakni dengan melakukan lompatan.

Kita sangat tahu bahwa persoalan krisis kesehatan dan perekonomian harus segera diurai, namun, bukan berarti persoalan lainnya tidak menjadi perhatian bahkan tidak dipedulikan. Oleh sebab itu, tantangan terbesar para pemenang Pilkada 2020 tidak hanya memulihkan kondisi seperti sediakala tapi juga melompati krisis multidimensi.

Krisis Lingkungan

Sebelum pandemi COVID-19 menggerogoti dunia, krisis lingkungan seperti krisis iklim sudah menjadi ancaman nyata yang tidak bisa dielakkan. Cuaca ekstrem sampai dengan bencana yang kerap terjadi, bahkan kemunculan COVID-19 dianggap sebagai bagian dari dampak krisis iklim yang begitu menakutkan.

World Economic Forum dalam riset yang berjudul Global Risks Perception Survey 2019-2020 sempat menyebut bahwa ekonomi dunia akan terpukul oleh isu-isu lingkungan semakin mengkhawatirkan. Riset ini menyebut isu lingkungan khususnya yang terkait dengan iklim, mendominasi menjadi lima besar indikator risiko jangka panjang kategori likelihood sebagai penghambat utama ekonomi global. Kelima indikator tersebut yakni; cuaca ekstrim (extreme weather), kegagalan aksi iklim (climate action failure), bencana alam (natural disaster), hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss), bencana lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia (human-made environmental disasters).

Di Indonesia sendiri, persoalan krisis lingkungan yang berakibat fatal pada krisis iklim terlihat dari kondisi hutan alam yang kian terancam. Bukan hanya karena ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla), tapi juga ancaman deforestasi dan ekspansi investasi skala besar, pembukaan lahan, dan banyak ancaman lainnya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan terungkap bahwa sembilan provinsi yang menyelenggarakan pilkada (pemilihan gubernur dan wakil gubernur) memiliki hutan alam mencapai 21 juta hektar  Sementara 10 kabupaten pelaksana pilkada (pemilihan bupati dan wakil bupati) tercatat memiliki lebih dari 20 juta ha hutan alam.

Kondisi ini tentu menggambarkan bahwa kesembilan provinsi dan 10 kabupaten ini memiliki isu yang sangat besar yakni isu kelestarian hutan dan isu ini seharusnya menjadi gagasan yang ada dalam visi-misi para kandidat. Dari luasan hutan alam secara total tersebut, riset Madani membagi empat tingkatan risiko deforestasi dan degradasi untuk beberapa daerah tersebut. Daerah berisiko, terancam, sangat terancam, dan paling terancam. Hasilnya, dari sembilan provinsi tersebut terdapat 12,5 juta hektar hutan alam yang berada pada kategori beresiko; 2,6 juta hektar di tingkat terancam; dan 1,2 juta hektar di tingkat sangat terancam.

Provinsi Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara menjadi provinsi penyumbang hutan alam terbesar. Sementara kategori paling terancam seluas 2,6 juta hektar juga terdapat di Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan di tingkat kabupaten, 10 kabupaten penyelenggara pilkada dengan hutan alam terluas menyumbang 11,9 juta hektar hutan alam berisiko, 1,23 juta hektar hutan alam terancam, 521 ribu hektar hutan alam sangat terancam, dan 3 juta hektar hutan alam paling terancam.

Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Ancaman terhadap hutan alam tersebut seharusnya menjadi patokan bagi para pemenang pilkada nantinya. Suatu kepastian ekonomi berbasis ekologi atau ekonomi hijau berkelanjutan harus menjadi target agar keluar dari krisis. Menurut hemat penulis, model ekonomi hijau berkelanjutan dapat dimulai dengan menggerakkan beberapa model bisnis yang bersifat kreatif, mendorong inovasi kemandirian, dan tidak sekedar bertumpu pada ekstraktif sumber daya alam, seperti:

Pertama, bisnis jasa lingkungan. Kerusakan lingkungan yang semakin parah akan mendorong menculnya kepedulian atas lingkungan, hal inilah yang membuat bisnis jasa lingkungan di masa yang akan datang mampu tumbuh positif. Misalnya saja, bisnis pengelolaan sampah seperti bank sampah. Selain dapat menyelamatkan mengurangi beban lingkungan atas sampah, bank sampah dapat memberikan manfaat secara perekonomian.

Kedua, perhutanan sosial. Model bisnis perhutanan sosial ini adalah langkah yang paling tepat bagi pemerintah untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjaga hutan. Perhutanan sosial sendiri mampu merubah mitos bahwa hutan adalah kutukan menjadi hutan adalah anugerah karena selain bermanfaat untuk menahan dampak perubahan iklim, hutan juga mampu memberikan manfaat secara ekonomis.

Ketiga, pengembangan energi baru terbarukan. Meninggalkan energi kotor dan beralih ke energi yang ramah lingkungan adalah keniscayaan. Pertimbangan keberlanjutan dari sumber energi adalah faktor utama yang harus diprioritaskan, tentu bergatung dengan sumber daya fossil sudah tidak relevan di tengah krisis seperti saat ini. Beralih ke sumber energi seperti panel surya adalah langkah terbaik yang dapat dilakukan.

Kini ,sudah saatnya semua pihak sadar bahwa Pilkada Serentak 2020 harus menjadi momentum bagi para kepala daerah terpilih untuk memperkuat komitmen perlindungan lingkungan, hutan, dan alam agar ekonomi hijau berkelanjutan dapat diwujudkan.

Konsep ini bukan hanya membuat perekonomian yang tahan bating oleh krisis tapi juga berkontribusi terhadap pencapaian komitmen iklim di Indonesia di sektor kehutanan. Bukankah ini impian kita untuk masa depan?

Oleh: Delly Ferdian

Aktivis di Yayasan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di mongabay.co.id pada 5 Januari 2020.

Related Article

Pilkada 2020 Pertempuran Antara Melindungi Hutan dan Menggunduli Hutan

Pilkada 2020 Pertempuran Antara Melindungi Hutan dan Menggunduli Hutan

[MadaniNews, 27 November 2020] Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 kian dekat. Hal ini berarti nasib hutan dan gambut kian dipertaruhkan. Pilkada tahun ini adalah sebuah pertempuran yang begitu sakral, bukan hanya soal pertarungan memperebutkan kursi kekuasaan tapi juga pertempuran antara melindungi hutan dan menggunduli hutan. Hal tersebut disampaikan Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya dalam diskusi virtual Nasib Hutan di Tengah Pilkada pada Kamis, 26 November 2020.

Teguh Surya juga mengatakan Pilkada 2020 kali ini adalah pilkada yang begitu spesial, pertama karena dalam suasana pandemi covid-19, kemudian, pimpinan daerah terpilih adalah generasi pertama yang akan menjalankan Undang-Undang Cipta Kerja yang penuh kontroversi yang juga dapat dikatakan tantangan baru bagi lingkungan hidup. 

Bukan hanya itu, daerah-daerah yang akan pilkada kali ini memiliki kekhasan ekologi yang berkaitan dengan masa depan hutan Indonesia. Dari 9 provinsi, 3 provinsi memiliki hutan alam terluas: Kalteng, Kaltara, Sulteng. Yang menarik – rekam jejak deforestasi juga tinggi di 3 provinsi tersebut. Rekam jejak ini mengkhawatirkan jika Pilkada tidak mengusung komitmen perlindungan hutan dan lingkungan,” pungkas Teguh Surya.

Berdasarkan temuan Yayasan Madani Berkelanjutan, Provinsi Kalteng, Kaltara, dan Sulteng adalah provinsi yang paling rawan deforestasi dan degradasi pasca pilkada. Sedangkan Kabupaten Malinau, Boven Digoel, Merauke, Pegunungan Bintang, Berau, Kapuas Hulu, Mahakam, Mahakam Hulu merupakan kabupaten yang paling rawan deforestasi dan degradasi.  Madani juga mengkategorikan hutan alam di provinsi dan kabupaten yang akan Pilkada ke dalam 4 level ancaman yakni Berisiko (43x Pulau Bali), Terancam (6x Pulau Bali), Sangat Terancam (3x Bali), Paling Terancam (9x Pulau Bali).

Dalam diskusi virtual ini, hadir sebagai narasumber yakni Direktur Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wawan Wardiana, dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Sri Suwanto.

Wawan Wardiana mengatakan bahwa KPK pernah menemukan 82% calon kepala daerah didanai sponsor yang berkaitan dengan pemberian izin dan konsesi ketika menjabat.  “Dalam survei KPK, banyak calon kepala daerah tidak memiliki harta yang cukup untuk membiayai pilkada yakni sekitar 5 sampai 10 miliar, sedangkan idealnya 65 miliar. Sebanyak 82,3% kandidat menyatakan mereka dibantu donatur atau disponsori, tidak terbatas pada masa kampanye tapi juga sebelum kampanye”, ujar Wawan Wardiana.

Wawan juga menyebut bahwa adanya indikasi kerentanan terjadinya tindak pidana korupsi akibat hal tersebut. “Dalam kajian KPK, ada tiga aspek yang menjadi celah korupsi yakni, perencanaan hutan, perizinan, dan potensi kehilangan penerimaan negara”, tambah Wawan.

Sementara itu, Sri Suwanto menegaskan bahwa provinsi tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin final. “Pemprov sampai saat ini tidak punya kewenangan untuk memberikan izin yang final. Pemberian perizinan final ada di tangan pemerintah pusat. Sebagai Kepala Dinas Kehutanan, saya hanya memberikan pertimbangan teknis apabila ada permohonan izin yang masuk khususnya usaha perkebunan atau usaha yang berada di dalam kawasan hutan. Kita harus welcome juga investasi”, ujar Sri Suwanto.

Menutup diskusi, Teguh Surya menyampaikan tiga rekomendasi penting terhadap daerah pelaksana pilkada yakni perlunya memperkuat perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah dengan menerapkan prinsip pembangunan ekonomi tanpa merusak alam sebagai pilar utama, memperkukuh dan mengutamakan strategi perlindungan hutan dan ekosistem gambut sebagai garda terdepan pembangunan ekonomi daerah dan, menjadikan publik khususnya masyarakat adat di sekitar investasi sebagai mitra utama pembangunan yang didukung secara inklusif oleh organisasi masyarakat sipil. 

Teguh Surya menyampaikan bahwa kewenangan Pemda sebagai pelindung hutan di wilayahnya harus dijalankan dengan lebih tegas karena ketika hutan rusak dan bencana meningkat, yang terdampak langsung adalah masyarakat dan pemerintah di wilayah tersebut. Oleh karena itu, pilkada haruslah menjadi momentum untuk mewujudkan pembangunan yang berkualitas dan berkelanjutan sehingga dapat berkontribusi dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia.  

Dapatkan materi presentasi narasumber dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Pilkada 2020 Momentum Perlindungan Hutan dan Gambut untuk Mencapai Komitmen Iklim

Pilkada 2020 Momentum Perlindungan Hutan dan Gambut untuk Mencapai Komitmen Iklim

[Jakarta, 26 November 2020] – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang diselenggarakan di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota di Indonesia merupakan momentum untuk memperkuat perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya pada tahun 2030. Pesta demokrasi daerah ini sangat penting bagi lingkungan karena 67,72% atau 60,5 juta hektare hutan alam Indonesia dan 64,33% atau 13,9 juta hektare ekosistem gambut Indonesia berada di provinsi dan kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 tersebut.

Jika berhasil melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang sangat luas di daerahnya, Kepala Daerah terpilih dapat mengakses berbagai inovasi pendanaan atau skema insentif berbasis lingkungan, misalnya Transfer Anggaran ke Daerah dan Dana Desa, Hibah Dalam dan Luar Negeri terkait REDD+, Skema Keuangan dan Investasi Hijau, Instrumen Nilai Ekonomi Karbon, dan berbagai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup lain yang salah satu bentuknya adalah imbal jasa lingkungan,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. Sebaliknya, lanjut Teguh, jika tidak dilindungi dengan baik, hutan alam dan ekosistem gambut yang luas dapat menjadi pembawa risiko dan meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana yang dapat mengganggu pembangunan ekonomi daerah, khususnya bencana banjir, longsor, dan Karhutla.

Berdasarkan kajian Madani, hutan alam di 9 provinsi dan 10 kabupaten penyelenggara Pilkada Serentak 2020 menghadapi 4 kategori ancaman yang levelnya semakin meningkat, yaitu berisiko, terancam, sangat terancam, dan paling terancam. Ancaman tersebut semakin besar jika berbagai klausul yang melemahkan perlindungan hutan alam dalam RPP tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Kehutanan tidak segera diperbaiki.

Di antara 9 provinsi penyelenggara Pilkada Serentak 2020, provinsi yang paling rawan deforestasi dan degradasi hutan adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah sementara di tingkat kabupaten, yang paling rawan adalah Kabupaten Merauke dan Malinau,” ujar Fadli A. Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

Di 9 provinsi tersebut, hutan alam seluas 12,5 juta hektare atau 22 kali luas Pulau Bali berisiko deforestasi dan degradasi hutan, kemudian 2,6 juta hektare atau setara 4 kali luas Pulau Bali terancam deforestasi dan degradasi hutan, 1,2 juta hektare atau 2 kali luas Pulau Bali sangat terancam deforestasi, dan 2,6 juta hektare atau 4 kali luas Pulau Bali paling terancam deforestasi.

Di antara 10 kabupaten penyelenggara Pilkada 2020 dengan hutan alam terluas, hutan alam seluas 11,9 juta hektare atau 21 kali luas Pulau Bali berisiko deforestasi dan degradasi, 1,23 juta hektare atau 2 kali luas Pulau Bali terancam deforestasi dan degradasi, 521 ribu hektare atau hampir seluas Pulau Bali sangat terancam deforestasi, dan 3 juta hektare atau 5 kali luas Pulau Bali paling terancam deforestasi.

UU Cipta Kerja memangkas beberapa kewenangan Pemerintah Daerah dan cenderung memperkukuh kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam,” ujar M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan.

Setidaknya ada lima kewenangan Pemerintah Daerah yang dihapus oleh UU Cipta Kerja. “Yaitu kewenangan terkait penetapan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang kawasan strategis, kewenangan untuk menetapkan kebijakan Amdal dan UKL-UPL, kewenangan untuk menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL, kewenangan untuk membentuk dan memberikan lisensi pada Komisi Penilai Amdal serta menetapkan pakar independen yang membantu Komisi Penilai Amdal, dan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Selain itu, meskipun Pemerintah Daerah masih memiliki kewenangan terkait perencanaan ruang di wilayahnya, rencana tata ruang daerah dapat diabaikan untuk memberi jalan bagi kepentingan Proyek Strategis Nasional atau jika ada perubahan kebijakan nasional yang strategis,” tambahnya.  

Terlepas dari hal tersebut, Pemerintah Daerah tetap memiliki beberapa kewenangan yang penting untuk melindungi hutan alam dan ekosistem gambut. Kewenangan terpenting Pemerintah Provinsi di antaranya adalah kewenangan untuk mengajukan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan melalui mekanisme revisi tata ruang; Perlindungan dan pengelolaan hutan alam di Area Penggunaan Lain dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi; memberikan Perizinan Berusaha non-kehutanan yang dapat mengubah tutupan hutan, misalnya perkebunan dan pertambangan; kewenangan terkait pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH); dan kewenangan untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat serta mendorong percepatan Perhutanan Sosial di wilayahnya.

Pemerintah Kabupaten dan Kota juga memiliki beberapa kewenangan penting, di antaranya adalah: Pengajuan usulan perubahan status kawasan hutan kepada Gubernur; Perlindungan dan pengelolaan hutan alam di Area Penggunaan Lain dalam RTRW Kabupaten dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR); Pemberian Perizinan Berusaha non-kehutanan yang dapat mengubah tutupan hutan, misalnya perkebunan dan pertambangan; serta kewenangan untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat di wilayahnya.

Sementara Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana menyoroti gap antara biaya pilkada dan kemampuan finansial calon yang berisiko memunculkan benturan kepentingan. Berdasarkan hasil survei KPK ditemukan mayoritas calon kepala daerah dibiayai sponsor. “Jadi ada 82,3 persen pada tahun 2018 itu yang menyatakan bahwa, karena dana yang mereka miliki relatif kecil dibanding biaya yang mereka keluarkan, jadi mereka menyatakan mereka dibantu oleh donatur atau sponsor,” kata Wawan. Bantuan yang diberikan tidak terbatas pada masa kampanye tapi sejak sebelum kampanye.

Berdasarkan survei tersebut juga ditanyakan apakah para donatur dan sponsor mengharapkan balasan jika calon yang didanai terpilih. Jawabannya, berdasarkan temuan dalam pilkada 2018, sebanyak 76,3% para penyokong dana tersebut mengharapkan mendapatkan balasan. Separuh lebih dari penyokong dana menyampaikan keinginan tersebut secara eksplisit baik tertulis maupun lisan. “Ujung-ujungnya mereka ingin dipermudah kalau mereka melakukan perizinan, apakah termasuk kehutanan atau perizinan yang lain, lalu kemudahan untuk ikut serta dalam tender nanti, kemudian yang ketiga mereka ingin jaminan keamanan pada saat menjalankan bisnis mereka,” papar Wawan. Parahnya, 83,80% calon kepala daerah yang dibantu menyatakan kesanggupan memenuhi harapan penyokong dana. “Hampir 84% mereka menjawab ya, akan memenuhi permintaan para sponsor tadi,”.

Wawan menambahkan sejak 2010 KPK berusaha mencegah dan memberantas korupsi dakam tata kelola kehutanan, sejak perencanaan. Salahsatunya,menyangkut perizinan. KPK menemukan adanya kasus-kasus upaya suap. “Ternyata mereka harus mengeluarkan 600 juta hingga 22 miliar per tahun untuk mendapatkan konsesi, uang yang beredar pun sangat besar,” tambahnya.

Menjawab kemungkinan adanya benturan kepentingan dalam perizinan sebagai akibat dari sponsor dalam pilkada, Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah Sri Suwanto mengatakan pemerintah provinsi tidak memliki kewenangan izin yang final. “Artinya pemberian perizinan itu berada dalam pemerintah pusat, sehingga kami sebagai Kepala Dinas Kehutanan hanya memberikan pertimbangan apabila ada permohonan-permohonan yang masuk dalam izin usaha, khususnya usaha perkebunan atau usaha dalam kawasan hutan,” jelasnya.  Perizinan kata Sri dilakukan secara elektronik atau sistem OSS. Sedangkan pertimbangan menurut Sri diberikan dengan disertai hasil kajian teknis. “Perizinan yang ada saat ini adalah proses perizinan lama, artinya karena mungkin dulu ada perekebunan yang berada dalam kawasan hutan, ada yang melalui skema-skema, ada skema pelepasan kawasan yang muaranya berada di kementerian, sehingga mau tidak mau melanjutkan proses perizinan tersebut,” tambahnya.

Selain itu perizinan di lapangan kata Sri berada di Kabupaten Kota yang memiliki wilayah. “Kita sifatnya hanya pengawasan dan pembinaan, ketika kita memberi katakanlah wow ini tidak pantas dan sebagainya kita hanya memberi surat kepada bupati untuk meninjau kembali perizinan yang berada di kabupaten,” tambahnya. Menurutnya Bupati bukan berada di bawah komando Bapak Gubernur langsung, “Sehingga kita tidak bisa memerintahkan itu harus dicabut, itu agak kesulitan bagi pemerintah provinsi,” lanjutnya.

Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi dengan hutan terluas yaitu 12,3 juta hektar atau 79,75 persen wilayah propinsi. Saat ini ada 57 perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam, 33 IUPHHK Hutan Tanaman Industri, dan 5 perizinan lainnya. “Jadi total kesemuanya yang berada di dalam perizinan adalah 95 perizinan dengan luas kurang lebih 5 juta hektar,” tambah Sri. Sri menambahkan di Kalimantan Tengah terdapat areal perkebunan kelapa sawit seluas 1,465 juta hektar.

 

Pilkada Serentak 2020 selayaknya menjadi momentum untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkualitas dan berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia, terdapat tiga langkah yang perlu diambil oleh Kepala Daerah terpilih, yaitu memperkuat perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah dengan menerapkan prinsip pembangunan ekonomi tanpa merusak alam, memperkukuh dan mengutamakan strategi perlindungan hutan dan ekosistem gambut sebagai garda terdepan pembangunan ekonomi daerah, dan menjadikan publik – khususnya masyarakat adat dan masyarakat di sekitar investasi – sebagai mitra utama pembangunan yang didukung secara inklusif oleh organisasi masyarakat sipil.

 

 

Kontak Media:

  1. M. Teguh Surya. Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. HP. 0812 9480 1453. Email: teguh@madaniberkelanjutan.id
  2. M. Arief Virgy. Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan. HP. 0877 0899 4241. Email: virgy@madaniberkelanjutan.id
  3. Fadli Ahmad Naufal. GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan. HP 0813 1916 1932. Email: fadli@madaniberkelanjutan.id
  4. Luluk Uliyah. Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan. HP. 0815 1986 8887. Email: luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Pilkada Serentak 2020: Momentum Membangun Daerah Tanpa Merusak Lingkungan

Pilkada Serentak 2020: Momentum Membangun Daerah Tanpa Merusak Lingkungan

[Jakarta, 07 September 2020] Di tengah krisis multidimensi ini, KPU seharusnya melakukan upaya lebih untuk mendorong masyarakat memilih kandidat kepala daerah yang bersih dari rekam jejak kasus korupsi – termasuk korupsi terkait sumber daya alam – serta kandidat yang memiliki komitmen kuat untuk tidak terlibat dalam pusaran politik uang seperti praktik perburuan rente dan obral perizinan sebelum hingga pasca Pilkada berlangsung. Selain itu, KPU selayaknya membuka dan mempublikasikan rekam jejak para kandidat secara transparan dan menyeluruh.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi perhelatan akbar kontestasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Saat ini Pilkada Serentak 2020 memasuki tahapan penting, yaitu pendaftaran calon Kepala Daerah. Dan pada 23 September 2020 adalah penetapan pasangan calon kepala daerah.

Dalam situasi Pandemi ini, pilkada harus menjadi momentum lahirnya pemimpin yang tangguh yang pro-lingkungan. Terutama tangguh dalam membawa daerah yang dipimpinnya dalam menghadapi krisis saat ini dan yang mungkin akan datang di kemudian hari. Memilih kandidat yang berwawasan lingkungan (baca; menjalankan amanat konstitusi) adalah keniscayaan untuk saat ini,” tegasnya.

Tidak dapat dimungkiri, pada tahapan ini, peran partai politik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam memilih dan menyaring kandidat terbaik begitu sentral dan menjadi sorotan. Masyarakat menginginkan partai politik dan KPU memilih orang-orang terbaik yang tidak hanya memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menjalankan roda pemerintah, tapi juga memiliki wawasan dan komitmen kuat terhadap perlindungan lingkungan.

Sudah saatnya di tengah krisis multidimensi yakni krisis kesehatan akibat pandemi Covid19 yang diikuti oleh krisis ekonomi serta krisis lingkungan yang sedang di depan mata, partai politik memerankan fungsi rekrutmennya dengan baik,” ujar Teguh.

Tahapan pendaftaran bakal calon kepala daerah pada 4-6 September telah dilalui dengan baik, kita patut apresiasi. Namun, di tengah krisis seperti saat ini, pilkada haruslah menjadi jawaban bukan malah menjadi beban. Jawaban tersebut tentu salah satunya dimulai dari sikap partai politik yang melabuhkan pilihannya terhadap orang-orang terbaik yang siap untuk bertarung dalam kontestasi demi melakukan lompatan di kemudian hari,” tambahnya.

Teguh Surya juga menyebut bahwa pilkada tahun ini sangat berbeda dengan pilkada tahun-tahun sebelumnya. Pandemi telah mengubah segalanya dan partai politik wajib memperhatikan hal tersebut. “Pilkada tahun ini haruslah menghasilkan para pemimpin yang punya visi besar dalam membangun daerahnya dalam masa pemulihan dan juga punya wawasan serta komitmen yang kuat untuk menyelesaikan permasalah lingkungan yang hampir tak terbendung,” tambahnya.

Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Arief Virgy mengatakan bahwa saat ini telah terjadi kerusakan lingkungan yang cukup mengkhawatirkan, di antaranya penyusutan luasan tutupan hutan Indonesia.

Kita sangat tahu bahwa hutan alam Indonesia memiliki berbagai fungsi baik fungsi ekologis maupun ekonomi. Sungguh sangat disayangkan jika hutan semakin tergerus yang artinya masa depan yang lebih baik semakin memudar,” sebut Virgy.

Virgy juga mengungkap fakta lainnya yakni makin maraknya ekspansi perkebunan sawit menyebabkan ruang hidup masyarakat semakin terdesak yang berujung pada maraknya konflik agraria. Ekspansi perkebunan sawit juga tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan daerah yang tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Desa Membangun beberapa daerah sentra sawit yang masih rendah.

Belajar dari pilkada serentak 2018, analisis Madani menunjukkan bahwa dari 17 pemenang pilkada provinsi, hanya 3 kepala daerah yang menyebutkan masalah lingkungan spesifik yang akan diatasi sementara sisanya hanya menyebutkan isu pelestarian lingkungan tanpa program khusus. Lebih memprihatinkan lagi, hampir tidak ada Gubernur-Wakil Gubernur terpilih yang memiliki platform khusus untuk mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat adat di daerah mereka termasuk di wilayah yang memiliki jumlah masyarakat adat yang besar.

Madani telah bersurat kepada 8 pimpinan partai politik besar yang akan bertarung dalam Pilkada 2020 agar mereka memberikan rekomendasi kepada kandidat berwawasan lingkungan, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Hasilnya belum bisa dipastikan, namun sorotan publik saat ini berada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan melakukan verifikasi terhadap calon kandidat. [ ]

Catatan Editor:

Laporan terdahulu MADANI terkait dengan Pilkada dan Hutan Indonesia dapat diunduh di link berikut:

 

Kontak Media:

  • Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 9480 1453
  • M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0877 0899 4241
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

en_USEN_US