Madani

Tentang Kami

ENVIRONMENTALLY-ORIENTED FOOD TECHNOLOGY STARTUP

ENVIRONMENTALLY-ORIENTED FOOD TECHNOLOGY STARTUP

Dewasa ini, eksistensi perusahaan rintisan (startup) kian menjamur. Dilansir dari laman Tech in Asia yang merupakan salah satu komunitas online pelaku startup di Asia, menyatakan bahwa ekosistem startup di Indonesia masih kondusif meskipun situasi ekonomi Indonesia saat ini terombang-ambing akibat pandemi. Bahkan masih banyak startup yang mendapatkan pendanaan dari para venture capital meskipun cenderung menurun. Hal yang membedakan ialah saat ini pihak venture capital akan lebih teliti dalam meninjau rencana profitabilitas startup sekaligus potensi sektor yang digelutinya.

Kehadiran inovasi-inovasi teknologi melalui layanan startup di berbagai sektor sangat berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, baik skala mikro maupun makro. Menurut riset INDEF, ekonomi digital telah berkontribusi sebesar 5,5% atau sekitar Rp 814 triliun untuk PDB Indonesia pada tahun 2018. Berdasarkan riset yang sama, sektor ekonomi digital juga telah membuka sekitar 5,7 juta lapangan kerja baru. Menurut laporan yang bertajuk eConomy SEA 2019, valuasi ekonomi digital Indonesia pada tahun 2019 telah mencapai $40 miliar dan diprediksi akan mencapai $130 miliar pada tahun 2025 nanti.

Perhatian yang serius terhadap pertumbuhan startup tentu diperlukan dalam rangka memajukan perekonomian bangsa.  Menurut William Gozali, Ketua I Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO), terdapat tiga sektor yang potensial untuk digarap di tahun 2021, yaitu : digitalisasi UMKM, social commerce, dan food technology. 

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi, Ketahanan Pangan, dan Keseimbangan Ekosistem

Sektor terakhir, food technology startup ataupun food and beverage startup, memang terlihat menjanjikan akhir-akhir ini. Salah satunya ditandai dengan keberhasilan Kopi Kenangan mendapatkan suntikan dana sebesar $109 juta atau setara Rp 1,6 triliun di tengah situasi pandemi. 

Tantangan berikutnya adalah bagaimana menghadirkan model bisnis industri pangan yang dapat mendatangkan keuntungan besar bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga segi lingkungan. Untuk mencapai hal tersebut, setidaknya terdapat 3 lingkup industri pangan yang perlu didisrupsi dengan menghadirkan inovasi yang lebih ramah lingkungan:

1. Optimalisasi pangan lokal

Mengkonsumsi pangan lokal dapat didefinisikan sebagai kebiasaan mengkonsumsi makanan yang diproduksi di sekitar tempat tinggal. Di Amerika Serikat, para pelakunya disebut sebagai locavore, umumnya mereka mengonsumsi makanan yang diproduksi pada jarak radius 100 mil dari kediaman masing-masing.

Distribusi dan transportasi bahan makanan yang umumnya berjarak jauh berasosiasi terhadap tingginya konsumsi bahan bakar, meningkatnya polusi udara serta emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk pada lingkungan. 

Dengan mengkonsumsi pangan lokal, dampak buruk tersebut dapat berkurang. Selain itu, mengkonsumsi pangan lokal berarti membantu petani lokal atau pemilik lahan skala kecil yang umumnya mempraktikkan sistem produksi yang lebih ramah lingkungan dibanding pemilik lahan besar. Umumnya, model produksi petani lokal bersifat agroekologis dan multikultur dan minim pemakaian input kimia sehingga kesuburan tanah lebih terjaga. Konsumsi pangan lokal yang identik dengan diversifikasi pangan juga dapat membantu merawat keanekaragaman varietas genetika (biodiversitas). 

2. Reduksi angka food loss dan food waste

Diperkirakan sepertiga dari total makanan yang diproduksi dunia per tahunnya (sekitar 1,3 miliar ton) terbuang, baik berupa food loss maupun food wasteFood loss merupakan sampah bahan pangan yang masih mentah namun sudah tidak bisa diolah sehingga akhirnya dibuang. Penyebabnya bisa berupa terjadinya pembusukan pasca panen, mutu rendah, ataupun permintaan pasar yang rendah. Adapun food waste merupakan makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia namun dibuang begitu saja dan akhirnya menumpuk di TPA.

Limbah makanan tersebut memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan. Dikutip dari FAO, produksi agrikultur bertanggung jawab terhadap 92% water footprint. Water footprint pada suatu produk didefinisikan sebagai total  volume air segar  yang digunakan untuk memproduksi produk tersebut. Masalah lingkungan terjadi jika penggunaan air lebih banyak menggunakan blue water (irigasi) daripada green water (air hujan). Hal tersebut dapat menyebabkan degradasi tanah, penipisan air dan salinisasi. Faktanya, secara global, blue water footprint untuk produksi agrikultur dari makanan yang terbuang mencapai sekitar 250 km3 pada tahun 2007.

Masalah besar lainnya ialah carbon footprint. Food waste yang menumpuk di TPA menghasilkan gas metana dan karbondioksida. Kedua senyawa tersebut tidak sehat bagi lingkungan karena berpotensi merusak lapisan ozon. Rata-rata carbon footprint yang dihasilkan sekitar 500 kg CO2 per kapita per tahun. Selain itu, limbah pangan juga berasosiasi terhadap pembukaan lahan yang sia-sia. Padahal, pembukaan lahan umumnya mengorbankan penyusutan biodiversitas.

3. Substitusi bahan kemasan yang tidak ramah lingkungan

Menurut Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), konsumsi plastik di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 17 kg/kapita/tahun. Penggunaan plastik yang cukup tinggi berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Penumpukan sampah plastik yang sulit terurai dapat mencemari lingkungan. Polimer sintesis yang merupakan bagian utama dari plastik akan terdegradasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Jika dibakar, plastik akan menghasilkan emisi karbon yang mencemari lingkungan.

Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, dikembangkanlah biodegradable plastic, yaitu plastik yang mudah terurai kembali oleh mikro organisme di tanah menjadi senyawa ramah lingkungan. Biodegradable plastic terbuat dari bahan polimer alami seperti pati, selulosa dan lemak. Bahan utama yang sering digunakan dalam pembuatan biodegradable plastic adalah pati dan Poly Lactic Acid (PLA).

BACA JUGA: Jalan Tengah Penerapan Extended Producers Responsibility Produsen Plastik

Pati merupakan bahan baku yang banyak tersedia di Indonesia. Pati diperoleh dengan cara mengekstrak bahan nabati yang mengandung karbohidrat, seperti serealia dan aneka umbi. Secara komersial, industri yang memproduksi bioplastik masih terbatas karena permintaan di dalam negeri masih rendah. Harga biodegradable plastic lebih mahal dari plastik konvensional diantaranya karena kapasitas produksinya belum optimal dan teknologi proses belum berkembang luas. Selain itu, belum adanya aturan pembatasan penggunaan plastik konvensional juga berpengaruh. 

Ketiga lingkup tersebut perlu dikelola dengan sebaik-baiknya dalam rangka mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Kehadiran inovasi berupa food technology startup berorientasi lingkungan dapat menjadi solusi. Layanan digital dapat menghubungkan petani lokal dengan konsumen secara mudah, memungkinkan traceability suatu bahan pangan, mengelola daur ulang sampah makanan secara optimal, mengolah hasil panen bermutu rendah namun masih layak konsumsi, serta menggiatkan penelitian dan pemakaian kemasan ramah lingkungan sehingga harganya lebih terjangkau.

Layanan-layanan di atas merupakan beberapa contoh dari apa yang dapat  dilakukan untuk mengoptimalkan kemajuan teknologi dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan. Tentu masih banyak lagi hal lainnya. Fleksibilitas startup dalam menyusun business model menjadi salah satu keuntungan tersendiri, sehingga dapat dengan cepat mengadopsi sistem perekonomian yang ramah lingkungan. 

Dalam rangka mewujudkan gagasan tersebut, maka diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, pengusaha, hingga konsumen. Kini saatnya mengarahkan kemajuan teknologi untuk mentransformasikan sistem pangan dan perekonomian menjadi lebih ramah lingkungan.  

Oleh: Muhammad Zaki Maarif Firman

Mahasiswa IPB University

Related Article

[1000 IDEAS] OPTIMIZING ENVIRONMENTAL SERVICES OF FORESTS TO ACHIEVE ECONOMIC DEVELOPMENT WITHOUT DEFORESTATION

[1000 IDEAS] OPTIMIZING ENVIRONMENTAL SERVICES OF FORESTS TO ACHIEVE ECONOMIC DEVELOPMENT WITHOUT DEFORESTATION

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, saat ini Indonesia sedang gencar mengembangkan perekonomiannya. Terlebih setelah World Bank dan International Monetary Fund memprediksi di akhir tahun 2020 ekonomi global akan memasuki resesi dengan penurunan laju ekonomi ke negatif 2,8%, turun 6% dari pertumbuhan ekonomi global di periode sebelumnya, yang juga diikuti dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus menurun hingga negatif 0,09%, khususnya karena penurunan di sektor pariwisata dan perdagangan akibat pandemi Covid-19 (Nasution et al., 2020). 

Prediksi ini direspon oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang berpotensi meningkatkan investasi di Indonesia, salah satunya melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sayangnya, kebijakan-kebijakan tersebut dianggap lebih banyak menguntungkan investor dan cenderung mengorbankan aspek kelestarian lingkungan. Hutan kemudian menjadi taruhan yang utama atas dipermudahnya kegiatan investasi. Pasalnya, sejak dulu, kegiatan investasi seperti perkebunan atau pertambangan banyak mengorbankan hutan sebagai trade-off untuk pembangunan ekonomi.

Selama ini, banyak yang menganggap hutan memiliki fungsi lingkungan yang tinggi, namun tidak sebanding dengan beban biaya (cost centre) yang dikeluarkan. Padahal, jika dikaji lebih dalam, hutan pada dasarnya memiliki jasa lingkungan yang tidak hanya berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, namun juga dapat dioptimalkan manfaatnya dalam menyokong perekonomian Indonesia. Jasa lingkungan hutan sebagai provisioning (penyediaan), regulating (regulasi iklim, air, dan tanah), cultural (pendidikan dan rekreasi), maupun supporting (produksi primer dan siklus hara) dapat dimanfaatkan secara ekonomi, tentunya dengan pengelolaan secara berkelanjutan. 

BACA JUGA: Menakar Kemajuan Pencapaian Komitmen Iklim di Sektor Kehutanan

Pengoptimalan jasa lingkungan hutan secara ekonomi dapat menjaga hutan terjaga dari deforestasi karena hutan dapat memberikan pemasukan yang cukup bagi negara dan masyarakat, disamping hanya sebagai beban biaya seperti yang dianggap selama ini. Pengoptimalan ini dapat dilakukan melalui skema ekowisata dan perdagangan jasa lingkungan tanpa menghilangkan sedikitpun unsur ekosistem dari hutan itu sendiri.

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Cultural (budaya) Melalui Ekowisata Forest Therapy

Ekowisata forest therapy sebagai bagian dari jasa lingkungan hutan yang masuk dalam kategori cultural dapat dijadikan gagasan untuk menyokong perekonomian Indonesia. Ekowisata ini bertujuan untuk memulihkan kesehatan dan meningkatkan imun bagi para pengunjung, baik secara fisik maupun psikologis. Ini berpotensi besar untuk dikembangan pada era new normal karena banyaknya masyarakat yang merasakan tekanan khususnya pada aspek psikologis akibat kebijakan Work From Home (WFH) atau karantina pada masa pandemi Covid-19. Penelitian Brooks et al. (2020) menunjukkan bahwa Covid-19 telah menimbulkan gejala stres pasca-trauma, kebingungan, kemarahan, ketakutan akan infeksi, frustasi, dan sebagainya pada masyarakat.

Hutan terbukti memiliki fungsi terapi fisik dan psikologis. Konsep hutan sebagai sarana terapi yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an (Williams, 1998). Di berbagai negara seperti Amerika, Korea Selatan, dan Jepang, kegiatan ini sudah banyak dilakukan (Rajoo et al., 2020). Di Jepang, kegiatan ini disebut sebagai “Shinrin-yoku” (Kotera & Rhodes, 2020). Shinrin-yoku telah banyak digunakan pada bidang klinis, untuk pengobatan beberapa jenis penyakit. Sedangkan di Korea Selatan, terapi hutan telah didefinisikan secara legal oleh hukum sebagai penguatan kekebalan dan kegiatan peningkatan kesehatan yang memanfaatkan berbagai elemen hutan (Jung et al., 2015). Sayangnya, di Indonesia kegiatan ini masih belum menjadi sorotan.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh hutan terhadap peningkatan kesehatan manusia. Penelitian Byeongsang (2017) menunjukkan berada di hutan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, memperlancar sistem kardiovaskular, memperbaiki rasa nyeri, menaikkan sistem imun, meningkatkan produksi protein anti kanker, mengurangi depresi dan kecemasan, relaksasi mental, memperbaiki konsentrasi dan memori, meningkatkan rasa bahagia, hingga memulihkan seseorang dari kecanduan. Rajoo et al. (2020) membuktikan program 9 hari di hutan telah terbukti berhasil menyembuhkan seseorang dari kecanduan alkohol. 

Peningkatan kesehatan, sistem imun, sarana healing, dan pereda stres dapat dijadikan nilai tambah yang menjual kegiatan ekowisata ini. Kegiatan forest therapy ini tidak seperti ekowisata biasa, melainkan perlu beberapa ketentuan khusus yang mendukung fungsi hutan sebagai terapis. Di antaranya dengan menunjuk spot-spot khusus yang memiliki fungsi terapi, membuat jalur terapi, membatasi jumlah pengunjung, menyediakan alat pengukur kesehatan seperti sphygmomanometer, dan menyediakan beberapa paket khusus terapi alami. Paket-paket tersebut memiliki harga yang berbeda, yang ditentukan oleh bentuk kegiatannya. Contohnya, paket untuk peningkatan kesehatan psikologis dan pengobatan stress ringan dilakukan dengan berkegiatan di spot terapi selama 3 jam yang disertai dengan meditasi, harganya berkisar Rp 25.000,00 untuk sekali kunjungan. Sedangkan, paket untuk menyembuhkan kecanduan dilakukan selama 9 hari berturut-turut, dengan harga paket mencapai Rp 200.000,00.

Dengan dibentuknya kegiatan ekowisata ini, pembangunan ekonomi berbasis hutan tidak hanya menguntungkan aspek ekonomi dan ekologi semata, namun juga dapat menguntungkan aspek sosial dikarenakan kegiatan ekowisata di hutan akan banyak melibatkan masyarakat di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaannya. Masyarakat dapat dikembangkan untuk turut bekerja di dalamnya, misalnya dengan menjadi guide therapist, sebagai penjaga spot, atau sekedar menjaga loket dan berjualan obat herbal atau HHBK di depan kawasan ekowisata. Kegiatan ini dapat menjawab ketiga unsur pembangunan berkelanjutan yaitu peningkatan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek ekologis sekaligus meningkatkan aspek sosial kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan. Kegiatan ini juga dapat menjawab empat poin SDGs yaitu poin 8 (decent work and economic growth), poin 10 (reduced inequalities), poin 13 (climate action), dan poin 15 (life on land).

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Regulating (regulasi iklim) Melalui Skema Perdagangan Karbon

Selain dengan skema ekowisata, pengoptimalan jasa lingkungan hutan tanpa sedikitpun menghilangkan unsur ekosistemnya juga dapat dilakukan melalui pengoptimalan jasa lingkungan regulating dengan skema perdagangan karbon. Di dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim, perdagangan karbon didefinisikan sebagai kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Sistem perdagangan karbon dibagi menjadi dua jenis, yaitu cap-and-trade dan crediting. Di Indonesia, sistem crediting lebih umum digunakan. Dalam sistem ini, komoditi yang diperdagangkan adalah penurunan emisi yang telah disertifikasi berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di pasar karbon dunia (Purnomo, 2013).

BACA JUGA: Impact Investing: Cara Baru Untuk Melakukan Investasi

Di Indonesia, perdagangan karbon belum menjadi prioritas bagi pemerintah atau pemegang hak karena mekanisme sertifikasinya yang rumit. Walau begitu, hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk peningkatan ekonomi Indonesia karena keuntungan jangka panjang yang tinggi akan didapatkan setelah hutan tersertifikasi. Skema perdagangan karbon yang umum digunakan di Indonesia saat ini adalah melalui crediting dari REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), yang telah mengakomodir berbagai kerja sama bilateral crediting karbon antara Indonesia dengan negara lain seperti Australia dan Norwegia (CIFOR, 2010). Sayangnya, REDD+ baru mengakomodir beberapa hutan di Pulau Kalimantan dan sedikit di Pulau Sumatera dalam skema proyeknya, serta Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sebagai satu-satunya kawasan hutan di Jawa yang dinilai simpanan karbonnya. 

REDD+ yang dapat membayar simpanan karbon hutan sebesar US$5/ton CO2-e hingga US$10/ton CO2-e juga telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui kegiatan community empowerment. Dilansir dari Mongabay, proyek REDD+ di TNMB telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dari rata-rata Rp1.500.000 per tahun pada 2008 menjadi lebih dari Rp3.500.000 pada 2014. Sehingga proyek ini juga sangat berperan dalam pembangunan berkelanjutan.

Pada dasarnya gagasan terkait perdagangan karbon ini bukan merupakan gagasan baru, hanya saja, ini merupakan gagasan yang seringkali dilupakan oleh pemerintah. Padahal, tanpa mengkonversi hutan, ekonomi sebenarnya dapat dijaga melalui skema perdagangan karbon ini. Memang tidak terlalu signifikan hasilnya seperti dengan menjual lahan kepada investor untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit atau pertambangan, namun, kegiatan ini dapat menjamin ekosistem tetap terjaga untuk ekonomi jangka panjang dan masyarakat sekitar kawasan hutan semakin sejahtera. Karena itu, pemerintah perlu mengingat kembali adanya skema ini dan perannya dalam pembangunan berkelanjutan. Aksi nyata perlu dilakukan untuk mendorong pemerintah menjadikan program perdagangan karbon sebagai suatu prioritas.

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Lainnya

Jasa lingkungan lain seperti provisioning dapat dioptimalkan nilai ekonominya dengan melakukan pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti usaha madu hutan, getah atau resin, rotan, minyak atsiri, dan sebagainya. Usaha ini dapat dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan untuk meningkatkan perekonomian. Dengan menjaga ketiga fungsi jasa lingkungan, yaitu cultural, regulating, dan provisioning, jasa lingkungan supporting dapat tetap terjaga fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan.

Pada akhirnya, kita tetap berharap pada pemerintah untuk dapat melakukan gagasan-gagasan yang diberikan sebagai proses pembangunan ekonomi tanpa deforestasi. Walau begitu, sebagai pejuang lingkungan, kita tetap dapat memperjuangkan pembangunan ekonomi tanpa deforestasi melalui gagasan-gagasan yang kita cetuskan dan kita sebarluaskan ke banyak orang. Media sosial adalah metode yang paling mudah untuk melakukannya. Dengan semakin banyaknya orang yang peduli lingkungan dan kreatif, perjuangan menuju pembangunan berkelanjutan tanpa merugikan pihak manapun dapat direalisasikan dengan mudah.

Oleh: Hasna Afifah

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, S., Amlôt, R., Rubin, G. J., & Greenberg, N. (2020). Psychological resilience and post-traumatic growth in disaster-exposed organisations: overview of the literature. BMJ Mil Health, 166(1), 52-56.

Byeongsang, Oh, Kyung Ju Lee, Chris Zaslawski, Albert Yeung, David Rosenthal, Linda Larkey, and Michael Back. (2017). Health and well-being benefits of spending time in forests: systematic review. Environmental Health and Preventive Medicine, 22 (1), 71. 

CIFOR. (2010). REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD. Bogor, Indonesia: CIFOR.

Jung, W.H., Woo, J.M., Ryu, J.S. (2015). Effects of forest therapy program and the forest environment on female workers’ stress. Urban Forestry & Urban Greening, 14, 274–281.

Kotera, Y., & Rhodes, C. (2020). Commentary: Suggesting Shinrin-yoku (forest bathing) for treating addiction. Addictive Behaviors, 111, 106556.

Nasution, D. A. D., Erlina, E., & Muda, I. (2020). Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Perekonomian Indonesia. Jurnal Benefita: Ekonomi Pembangunan, Manajemen Bisnis & Akuntansi, 5(2), 212-224.

Purnomo, Agus. 2013. Mari Berdagang Karbon! Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta: Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Rajoo, K. S., Karam, D. S., Wook, N. F., & Abdullah, M. Z. (2020). Forest Therapy: An environmental approach to managing stress in middle-aged working women. Urban Forestry & Urban Greening, 55, 126853.

Williams A. (1998). Therapeutic landscapes in holistic medicine. Soc Sci Med. 46(9), 1193–203.

Related Article

Penurunan Deforestasi Titik Awal Membangun Ekonomi Indonesia Tanpa Merusak Hutan Dan Lingkungan

Penurunan Deforestasi Titik Awal Membangun Ekonomi Indonesia Tanpa Merusak Hutan Dan Lingkungan

[Jakarta, 11 Maret 2021] Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menurunkan deforestasi hingga 75% di periode 2019-2020, sebagaimana yang disampaikan dalam releasenya pada 3 Maret 2021. Penurunan deforestasi ini adalah titik awal yang baik bagi Indonesia untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan dan lingkungan. Selayaknya Indonesia dapat mempertahankan penurunan deforestasi ke depan agar menjadi rujukan keberhasilan negara-negara pemilik hutan tropis lainnya. “Untuk itu, mendesak bagi pemerintah untuk memastikan agar semua kebijakan pembangunan terkini, mulai dari Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga Program Ketahanan Pangan dan Energi – sejalan dan koheren dengan upaya pencapaian komitmen iklim,” ungkap Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi rilis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK) terkait deforestasi.

Namun sesungguhnya penurunan angka deforestasi terbesar terjadi pada deforestasi hutan tanaman sebesar 99%, jadi bukan hilangnya hutan alam. Sementara itu deforestasi hutan primer turun sebesar 48%, yakni dari 23,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 12,3 ribu hektare pada 2019-2020. Sayangnya, deforestasi hutan sekunder tidak turun sebesar hutan primer, yakni hanya 36% dari 164 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 104,6 ribu hektare pada 2019-2020. Ini menunjukan bahwa sangat mendesak untuk meningkatkan perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang berada dalam konsesi yang belum terlindungi oleh PIPPIB, salah satunya melalui inovasi kebijakan termasuk implementasi REDD+,” ungkap Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist.

Jika kita hanya melihat hilangnya hutan alam (deforestasi bruto hutan alam), betul terjadi penurunan deforestasi yang layak diapresiasi, namun hanya sebesar 38%, yakni dari 187,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 116,9 ribu hektare pada 2019-2020. Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin dan konsesi dan kawasan PIAPS dan PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru atau moratorium hutan sehingga rentan terdeforestasi,” tambah Fadli Ahmad Naufal.

Di sisi lain, disaat yang bersamaan pemerintah juga telah berhasil menyusun kebijakan yang berpotensi meningkatkan laju deforestasi pada beberapa tahun ke depan. Tanpa pengetatan safeguards lingkungan hidup, dikhawatirkan bahwa berbagai program pembangunan tersebut dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim dan pembangunan rendah karbon Indonesia dan justru meningkatkan konflik dengan masyarakat adat dan lokal.

Dalam waktu dekat, potensi naiknya angka deforestasi ke depan ditandai dengan luasnya hutan alam yang masuk dalam area of Interest (AOI) Food estate di 4 Provinsi (Papua, Kalteng, Sumut, dan Sumsel). Nilai luasan hutan alam tersebut sekitar 1,5 juta hektare atau hampir setara dengan 3 kali luas pulau Bali. Kekhawatiran terjadinya deforestasi sangat beralasan karena besarnya potensi nilai ekonomi kayu pada luasan hutan alam tersebut, yaitu sebesar 209 triliun rupiah. 

Oleh karena itu, sangat mendesak bagi pemerintah untuk memperkuat perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang terlanjur berada dalam konsesi maupun yang belum terlindungi oleh PIPPIB. Salah satunya adalah melalui implementasi REDD+ dengan penerapan safeguards lingkungan dan sosial yang kuat yang didukung oleh transparansi data,” ungkap Yosi.

Madani akan berada di garda terdepan jika pemerintah membuka diri untuk kerja bersama dalam mengimplementasikan aksi untuk mengurangi deforestasi,” tambah Yosi. [ ]

oooOOOooo

Kontak Media:

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

[1000 gagasan] OPTIMALISASI CIRCULAR ECONOMY DAN BONUS DEMOGRAFI MENUJU INDONESIA BERKELANJUTAN 2030

[1000 gagasan] OPTIMALISASI CIRCULAR ECONOMY DAN BONUS DEMOGRAFI MENUJU INDONESIA BERKELANJUTAN 2030

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau yang lebih dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) kini memasuki periode Dekade Aksi (Decade of Action) pada 2020-2030 sehingga sudah saatnya bagi seluruh negara di dunia terutama negara berkembang (developing countries) dan negara berkembang cepat (emerging markets) untuk menerapkan strategi-strategi pembangunan yang mampu mengakomodir 3 prinsip dan kepentingan utama yaitu lingkungan hidup (planet), sosial (people), dan ekonomi (prosperity). Ini menjadi hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi mengingat dinamika global kontemporer yang terjadi memerlukan shifting atau perubahan dalam rangka menciptakan dunia yang lebih baik.  

Sejalan dengan itu, Indonesia saat ini sedang mengalami transformasi pembangunan ekonomi dari yang hanya berbasiskan pada aspek eksploitasi sumber daya alam, industri berkapasitas rendah-menengah, dan sektor ekonomi tradisional menuju pemanfaatan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan, industri berbasiskan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, serta ekonomi digital atau elektronik. Tiga hal tersebut menjadi sorotan mengingat status Indonesia yang masih menjadi negara ambang industri, namun memiliki kapasitas ekonomi yang besar dan sangat potensial. Kunci utamanya terletak pada pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan norma dan prinsip yang mengacu pada perlindungan lingkungan hidup dan ekosistem sehingga menghasilkan ekonomi nasional yang berkelanjutan di mana ekonomi sirkular menjadi salah satu pilar utamanya. 

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Prokonservasi

Terkait ekonomi sirkular, tiga kutub ekonomi dunia sudah memiliki kebijakannya masing-masing yakni Eropa dengan Green Deal untuk tingkat kawasan (regional), Cina dengan Circular Economy Promotion Law untuk tingkat negara (nasional), dan Amerika Serikat yang menyerahkan kebijakannya di tingkat yang lebih spesifik yakni kota. Hal ini perlu dicermati oleh Indonesia karena penyusunan dan penerapan kebijakan circular economy harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nasionalnya sehingga bersifat holistik, efisien, dan berdampak positif langsung untuk sektor usaha dan masyarakat luas. 

Berdasarkan analisis yang ada saat ini, maka kebijakan di tingkat kota/kabupaten seperti di Amerika Serikat yang lebih tepat karena proses pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian menjadi lebih cepat dan terarah. Terlebih desentralisasi yang terus berkembang semakin memampukan kota/kabupaten untuk memiliki inisiatif-inisiatif kebijakan pembangunan yang lebih progresif dan solutif yang tentunya harus mengadopsi pendekatan banyak pemangku kepentingan (multi-stakeholders approach) sehingga akan lebih komprehensif sekaligus inklusif. Ruang kebijakan yang lebih bebas di tingkat kota/kabupaten akan memacu akselerasi dalam implementasi ekonomi sirkular yang tentunya dapat disinergikan dan diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan daerah. 

Kebijakan ekonomi sirkular yang berorientasi efisiensi sumber daya alam dan minimalisasi sampah sangatlah vital bagi akselerasi pembangunan Indonesia dan membutuhkan banyak dukungan dari sektor usaha (untuk permodalan dan teknis pelaksanaan), organisasi non-pemerintah/masyarakat sipil (untuk sosialisasi, kampanye, dan edukasi publik), akademisi (untuk kepakaran dan pengembangan iptek), filantropi (untuk jejaring dan tanggung jawab sosial), dan akhirnya generasi muda yang potensial untuk berkiprah dalam berbagai aspek seperti pendidikan, kebudayaan, kewirausahaan, hingga penguasaan teknologi komunikasi dan informasi.   

Selain potensi ekonomi sirkular yang besar, Indonesia kini juga sedang menyambut fenomena bonus demografi di mana jumlah populasi muda akan mencapai klimaks pada 2030 mendatang sesuai statistik piramida penduduk. Saat ini, satu dari empat orang Indonesia adalah pemuda (berusia 15-30 tahun) di mana dari jumlah populasi sekitar 270 juta jiwa, lebih dari 65 juta jiwa adalah pemuda. Pemanfaatan bonus demografi ini tentu harus diintegrasikan ke dalam berbagai perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah baik di tingkat nasional, daerah, hingga lokal sehingga generasi muda mampu mengembangkan potensinya dan berkontribusi untuk pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan kebijakan global Youth 2030 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) di mana berbagai agensi PBB didorong untuk mengadopsi pendekatan merangkul pemuda dalam berbagai kebijakan dan programnya di seluruh dunia terutama di kawasan Asia Pasifik (khususnya Asia Tenggara dan Asia Selatan) serta Afrika yang sedang mengalami ledakan populasi muda. 

BACA JUGA: Green Millennialnomi: Mendorong Milenial Bangun Ekonomi Berbasis Ekologi

Berkaitan dengan optimalisasi ekonomi sirkular dan bonus demografi, maka perlu dilakukan perbaikan hal-hal fundamental sebagai berikut:

  • Dalam bidang pendidikan (Goal 4 SDGs), sinergitas mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dan Ekonomi Kewirausahaan di tingkat SMP dan SMA atau sederajat sangatlah diperlukan, sehingga generasi muda menjadi lebih peka dan sadar akan potensi ekonomi sirkular lebih dini dan mampu mempraktikkannya di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, kurikulum yang disusun dengan proporsi praktik lebih banyak daripada teori dan mengedepankan sistem belajar secara lokakarya (workshop) daripada pengajaran (lecturing).  

  • Dalam bidang kewirausahaan (Goal 8 SDGs), perlu adanya kebijakan dukungan administratif dan suntikan modal bagi rintisan usaha/start-up (baik yang beraksi nyata langsung di lapangan maupun melalui dunia digital) yang khususnya bergerak dalam manajemen sampah yang profesional, efektif, dan berkelanjutan. Dukungan tersebut tentu tidak hanya diberikan oleh pemerintah saja, namun juga melalui kemitraan dengan swasta (sebagai investor atau donor) sehingga akan lebih aplikatif.

  • Dalam bidang ekonomi industri (Goal 9 & 12 SDGs), perlu ditinjau ulang untuk strategi produksi, distribusi, dan konsumsi bagi sektor-sektor yang potensial dan mampu menerapkan ekonomi sirkular seperti tekstil, produk pangan, otomotif, elektronik, dan pariwisata demi efisiensi sumber daya dan minimalisasi sampah. Insentif dari pemerintah seperti keringanan pajak, kemudahan berusaha, serta dukungan promosi dan pemasaran tentu akan mendorong sektor industri yang terlibat ekonomi sirkular lebih bergairah terlebih jika didukung oleh sumber daya manusia muda dan berkualitas.  

  • Dalam bidang lingkungan hidup (Goal 1, 11 & 13 SDGs), terutama manajemen sampah, mobilisasi terstruktur untuk para pengumpul sampah dan pemulung sampah dalam rangka pemberdayaan mereka sebagai salah satu aktor utama dalam pondasi praktis ekonomi sirkular. Ini tentu juga akan berdampak untuk pengurangan kemiskinan ekstrem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan sangat rendah terutama di wilayah perkotaan.

  • Dalam bidang ekonomi pembangunan dan politik luar negeri (Goal 17 SDGs), perlu disusun sistem database dan data centre baik secara lokal di tingkat kabupaten/kota yang mampu menghimpun dan mengukur berbagai target, indikator dan variabel pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian dari penerapan ekonomi sirkular. Akumulasi data dari tingkat kabupaten/kota akan dilanjutkan ke national data centre for circular economy di mana penggunaan data tersebut dapat dioptimalkan untuk posisi Indonesia yang lebih kredibel di dunia internasional melalui bermacam ragam pertemuan resmi dan ajang diplomasi. Dalam hal ini, lulusan SMK bidang teknologi informasi dan lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana) dapat dioptimalkan perannya untuk pendirian dan operasional data centre tersebut.

Pada kesimpulannya, mengacu pada potensi ekonomi sirkular dan bonus demografi yang dimiliki, maka optimisme untuk menjadikan Indonesia lebih berkelanjutan pada 2030 bukanlah mimpi belaka. Tidak hanya sekedar political will namun juga policy consistency sehingga pembangunan berkelanjutan di Indonesia dapat menjadi contoh bagi dunia karena mampu bersinergi dengan pencapaian sejumlah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang relevan secara simultan.  

Oleh: Stevie Leonard Harison

Founder Inspirator Muda Nusantara

Related Article

Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia

Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia

Reintegrasi antara ekologi dan ekonomi penting untuk dilakukan, karena keduanya saling terkait dan berhubungan. Tujuan dari kebijakan yang tidak lagi terfokus pada model ekonomi konvensional yakni pertumbuhan ekonomi sebagai solusi semua persoalan. Dan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak lagi memadai sebab tidak mencerminkan perkembangan yang melibatkan kontinuitas lingkungan hidup, kebahagiaan juga kesejahteraan hidup (wellbeing). Dan mengubah pola pikir ini membutuhkan banyak kerjasama dari berbagai lini, baik itu dari kebijakan publik, komunitas, sektor swasta, akademia, riset hingga pengabdian masyarakat.

 

Ini disampaikan oleh Dr. Luh Gede Saraswati Putri, M.Hum., atau biasa dikenal dengan Saras Dewi, Dosen Filsafat di Universitas Indonesia dalam Seri Dialog MADANI #1000GagasanEkonomi Pembangunan Tanpa Merusak Lingkungan dalam rangkaian acara EU Climate Diplomacy Week 2020, “Act Today for Our Tomorrow”, 2 November 2020. Diskusi Madani kali ini mengangkat tema “Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia”.

Selain Saras Dewi, turut menjadi narasumber adalah Aleta Baun, seorang perempuan adat dari Molo, Nusa Tenggara Timur yang gigih memperjuangkan wilayah adatnya dari gempuran industri ekstraktif pertambangan. Rafa Jafar, seorang anak muda yang menginisiasi Komunitas eWasteRJ, yaitu komunitas yang peduli terhadap pengelolaan sampah elektronik. Serta Delly Ferdian, Specialist Digital Media di Yayasan Madani Berkelanjutan. Dialog ini dipandu oleh Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Saras Dewi menambahkan bahwa ekonomi yang mengarah pada kesejahteraan sebenarnya sudah banyak dibicarakan oleh para ahli, seperti E.F Schumacher, Manfred Max-Neef, Amartya Sen, Elinor Ostrom, Kate Raworth, Robert Costanza hingga ekonom Indonesia seperti Mohammad Hatta dan Mubyarto. Di dalamnya juga berbicara terkait pangan dan partisipasi masyarakat lokal dan masyarakat adat yang terkait dengan lingkungannya. Inilah yang disebut dengan ekonomi kehidupan. Ekonomi kehidupan ini mengarah pada keberlanjutan.

 

Sementara itu, Aleta Baun menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Mollo memiliki prinsip bahwa, “Kami hanya akan jual yang kami buat dan kami tidak akan menjual apa yang kami tidak bisa buat.” Sehingga Masyarakat Adat di Tiga Batu Tungku sampai saat ini gigih untuk mempertahankan wilayah adatnya. “Yang kami jual adalah apa yang kami buat, seperti kain tenun, hasil pertanian, obat herbal, kerajinan tangan dan pangan lokal. Perempuan Adat juga memiliki peranan penting karena perempuan adat adalah penjaga alam juga sebagai ibu bumi. Filosofi Masyarakat Molo adalah Oel Fani On Na’, Na’a Fani On Nafus, Afu Fani On Nesa, Fatu Fani On Nuif. Yang artinya, air adalah darah, pepohonan adalah rambut, tanah adalah daging dan batu adalah tulang. “Untuk itu, bagaimana agar pembangunan bisa dilakukan tanpa harus menghancurkan lingkungan, karena lingkungan adalah modal masyarakat untuk sejahtera yang telah disediakan oleh alam,” ujar Aleta Baun.

Di sisi lain, Rafa Jafar, anak muda penggagas Komunitas eWasteRJ mengajak anak muda semuanya untuk menjadi konsumen elektronik yang bijak, dengan melakukan recycle terlebih dahulu terhadap barang elektronik yang telah digunakan. Karena banyak sekali sampah elektronik yang belum didaur ulang secara benar. “Dari 53,6 juta metric ton sampah elektronik yang dihasilkan di tahun 2019, hanya 17,4 persen yang telah didaur ulang secara benar,” paparnya.

 

Delly Ferdian, Specialist Digital Media Yayasan Madani Berkelanjutan mengajak anak-anak muda untuk menuangkan gagasannya terkait Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan di platform yang disediakan di www.madaniberkelanjutan.id Gagasan dapat berupa tulisan, video, dan infografis. Tulisan-tulisan tersebut akan bersanding dengan tulisan-tulisan para ekonom seperti Prof Emil Salim, Prof Hariadi Kartodihardjo, Rimawan Pradiptyo, Ismid Hadad dan yang lainnya.

Materi selengkapnya dari para narasumber dapat diunduh di bawah ini.

Related Article

Pilkada Serentak 2020: Momentum Membangun Daerah Tanpa Merusak Lingkungan

Pilkada Serentak 2020: Momentum Membangun Daerah Tanpa Merusak Lingkungan

[Jakarta, 07 September 2020] Di tengah krisis multidimensi ini, KPU seharusnya melakukan upaya lebih untuk mendorong masyarakat memilih kandidat kepala daerah yang bersih dari rekam jejak kasus korupsi – termasuk korupsi terkait sumber daya alam – serta kandidat yang memiliki komitmen kuat untuk tidak terlibat dalam pusaran politik uang seperti praktik perburuan rente dan obral perizinan sebelum hingga pasca Pilkada berlangsung. Selain itu, KPU selayaknya membuka dan mempublikasikan rekam jejak para kandidat secara transparan dan menyeluruh.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi perhelatan akbar kontestasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Saat ini Pilkada Serentak 2020 memasuki tahapan penting, yaitu pendaftaran calon Kepala Daerah. Dan pada 23 September 2020 adalah penetapan pasangan calon kepala daerah.

Dalam situasi Pandemi ini, pilkada harus menjadi momentum lahirnya pemimpin yang tangguh yang pro-lingkungan. Terutama tangguh dalam membawa daerah yang dipimpinnya dalam menghadapi krisis saat ini dan yang mungkin akan datang di kemudian hari. Memilih kandidat yang berwawasan lingkungan (baca; menjalankan amanat konstitusi) adalah keniscayaan untuk saat ini,” tegasnya.

Tidak dapat dimungkiri, pada tahapan ini, peran partai politik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam memilih dan menyaring kandidat terbaik begitu sentral dan menjadi sorotan. Masyarakat menginginkan partai politik dan KPU memilih orang-orang terbaik yang tidak hanya memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menjalankan roda pemerintah, tapi juga memiliki wawasan dan komitmen kuat terhadap perlindungan lingkungan.

Sudah saatnya di tengah krisis multidimensi yakni krisis kesehatan akibat pandemi Covid19 yang diikuti oleh krisis ekonomi serta krisis lingkungan yang sedang di depan mata, partai politik memerankan fungsi rekrutmennya dengan baik,” ujar Teguh.

Tahapan pendaftaran bakal calon kepala daerah pada 4-6 September telah dilalui dengan baik, kita patut apresiasi. Namun, di tengah krisis seperti saat ini, pilkada haruslah menjadi jawaban bukan malah menjadi beban. Jawaban tersebut tentu salah satunya dimulai dari sikap partai politik yang melabuhkan pilihannya terhadap orang-orang terbaik yang siap untuk bertarung dalam kontestasi demi melakukan lompatan di kemudian hari,” tambahnya.

Teguh Surya juga menyebut bahwa pilkada tahun ini sangat berbeda dengan pilkada tahun-tahun sebelumnya. Pandemi telah mengubah segalanya dan partai politik wajib memperhatikan hal tersebut. “Pilkada tahun ini haruslah menghasilkan para pemimpin yang punya visi besar dalam membangun daerahnya dalam masa pemulihan dan juga punya wawasan serta komitmen yang kuat untuk menyelesaikan permasalah lingkungan yang hampir tak terbendung,” tambahnya.

Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Arief Virgy mengatakan bahwa saat ini telah terjadi kerusakan lingkungan yang cukup mengkhawatirkan, di antaranya penyusutan luasan tutupan hutan Indonesia.

Kita sangat tahu bahwa hutan alam Indonesia memiliki berbagai fungsi baik fungsi ekologis maupun ekonomi. Sungguh sangat disayangkan jika hutan semakin tergerus yang artinya masa depan yang lebih baik semakin memudar,” sebut Virgy.

Virgy juga mengungkap fakta lainnya yakni makin maraknya ekspansi perkebunan sawit menyebabkan ruang hidup masyarakat semakin terdesak yang berujung pada maraknya konflik agraria. Ekspansi perkebunan sawit juga tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan daerah yang tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Desa Membangun beberapa daerah sentra sawit yang masih rendah.

Belajar dari pilkada serentak 2018, analisis Madani menunjukkan bahwa dari 17 pemenang pilkada provinsi, hanya 3 kepala daerah yang menyebutkan masalah lingkungan spesifik yang akan diatasi sementara sisanya hanya menyebutkan isu pelestarian lingkungan tanpa program khusus. Lebih memprihatinkan lagi, hampir tidak ada Gubernur-Wakil Gubernur terpilih yang memiliki platform khusus untuk mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat adat di daerah mereka termasuk di wilayah yang memiliki jumlah masyarakat adat yang besar.

Madani telah bersurat kepada 8 pimpinan partai politik besar yang akan bertarung dalam Pilkada 2020 agar mereka memberikan rekomendasi kepada kandidat berwawasan lingkungan, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Hasilnya belum bisa dipastikan, namun sorotan publik saat ini berada di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan melakukan verifikasi terhadap calon kandidat. [ ]

Catatan Editor:

Laporan terdahulu MADANI terkait dengan Pilkada dan Hutan Indonesia dapat diunduh di link berikut:

 

Kontak Media:

  • Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 9480 1453
  • M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0877 0899 4241
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

1000 Gagasan Ekonomi, Satukan Ide Untuk Indonesia Baru

1000 Gagasan Ekonomi, Satukan Ide Untuk Indonesia Baru

[Jakarta, 23 Juli 2020] Pembangunan ekonomi Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Model ini sangat rentan terhadap goncangan, sehingga harus segera bertransformasi. Dampak dari model pembangunan yang ekstraktif sudah nampak di depan mata, seperti kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun terjadi. Walaupun kejadian kebakaran hutan yang terjadi pada tahun belakangan ini tidak seekstrim tahun 2015, namun dibandingkan antara tahun 2018 dan 2019 terjadi kenaikan yang sangat signifikan dari 720 kejadian menjadi sekitar 3.700 kejadian kebakaran. Di sisi lain, anggaran untuk penanggulangan kebakaran di KLHK menurun. Ini adalah tantangan baik bagi pemerintah maupun kita semua.

Kondisi pandemi Covid-19 yang kita rasakan saat ini adalah goncangan terkini bagi perekonomian dunia. Dalam Global Risks Report 2020, diprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi atau PDB Indonesia bisa mencapai 0% pada akhir tahun 2020. Namun, risiko yang lebih jangka panjang terhadap ekonomi global adalah permasalahan lingkungan, termasuk hilangnya ekosistem seperti hutan alam, gambut, dan mangrove, dan kegagalan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan, Satukan Ide Untuk Indonesia Baru yang  dilaksanakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 23 Juli 2020.

Terkait pemulihan ekonomi nasional, fokus pemerintah ditekankan pada sektor kesehatan, ketahanan pangan, bantuan ekonomi dan sosial. Perlu dipastikan bahwa pemulihan ekonomi nasional yang dijalankan bisa memperkuat pondasi ekonomi Indonesia untuk bertransformasi menjadi lebih berkelanjutan dan tidak merusak hutan. Dari anggaran PEN yang disediakan oleh pemerintah sekitar Rp 695,2 triliun, belum secara eksplisit menyinggung tentang transformasi ekonomi. Apakah paket stimulus yang sudah dibuat dan dianggarkan oleh pemerintah sudah dapat mengatasi ancaman-ancaman yang sedang dihadapi saat ini? Kondisi saat ini adalah kesempatan bagi kita untuk mengubah arah pembangunan ekonomi Indonesia, masih ada kesempatan untuk “changing course” untuk bertransformasi menjalankan sustainable development. Harapannya arah pembangunan tidak lagi bertumpu pada eksploitasi Sumber Daya Alam dan lebih memprioritaskan pada pemulihan dan perlindungan lingkungan (green recovery),” tambah Nadia.

Sementara itu, Prof. Emil Salim, Pendiri dan Dewan Pembina Yayasan KEHATI yang menjadi pembicara kunci pada Diskusi tersebut menyampaikan bahwa perkayaan hutan menjadi kata kunci utama. “Kata kuncinya adalah perkayaan hutan. Bukan eksploitasi, tapi enrichment. Hutan dan pohon tetap dijaga, tapi resource dari hutan yang kita manfaatkan untuk perkayaan pembangunan,” papar Emil Salim. “Indonesia sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Jangan kalah sama Korea yang terkenal dengan ginsengnya, kita pun juga bisa terkenal dengan hasil alam kita,” lanjutnya.

Ronny P. Sasmita, Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct) mengatakan bahwa butuh keberpihakan yang lebih strategis mulai dari fiskal, regulasi dan keberpihakan politik untuk memberikan ruang bagi praktik-praktik dan kebijakan pro konservasi. “Ke depan, perlu endorsing dan literasi green economy ke partai-partai, parlemen, istana, media dan semua unsur masyarakat sipil,” kata Ronny P. Sasmita.

Joko Tri Haryanto, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan memberikan gagasan agar pencegahan Karhutla dapat menjadi Indeks Kinerja Utama Pemimpin Publik. “Pencegahan Karhutla bukanlah isu sektoral, karena itu semua elemen pemerintah daerah maupun pusat harus berkontribusi. Caranya, dijadikan Indeks Kinerja,” ujarnya.

Gagasan lain yang disampaikan oleh Joko Tri Haryanto adalah berkaitan dengan pendanaan untuk menjaga kelestarian hutan dan menciptakan keadilan lingkungan. “Perlu  adanya skema Ecological Fiscal Transfer (EFT) khususnya dari provinsi ke kabupaten/kota dan desa, atau yang disebut dengan Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan dari kabupaten ke desa lewat Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikenal sebagai Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi ( TAKE). Kondisi ini didasari fakta bahwa setiap tahunnya, pemerintah provinsi mengalokasikan dana fiskal ke kabupaten/kota melalui Bantuan Keuangan (Bankeu), Bantuan Sosial (Bansos), Hibah dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah.

Dr. Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif Conservation Strategy Fund Indonesia menyampaikan gagasannya terkait upaya mencegah karhutla. “Pertama, perlu perombakan Sistem Integrated Fire Management (IFM) agar 80% fokus kerja dan anggaran ada di upaya pencegahan dan hanya 20% di pemadaman. Diperlukan Unit Pencegahan Karhutla sebagai unit khusus dengan pendanaan yang cukup. Kedua, menghapus semua dana pemadaman yang dapat berpotensi mendorong kebakaran karena tanpa kebakaran dana tersebut tidak dapat digunakan. Dana ini sebagian ada dalam  anggaran KLHK, namun sebagian besar dalam bentuk dana ‘on call’ darurat yang dikelola BNPB. Ketiga, membuktikan pemerintah berani mengeksekusi keputusan pengadilan dalam bentuk denda triliunan rupiah pada perusahaan-perusahaan besar yang terbukti melakukan karhutla. Ketika langkah ini akan menyatukan arah insentif dalam penanangan karhutla menuju pencegahan karhutla”.

Perlunya transformasi pembangunan yang berkelanjutan dan tidak merusak hutan inilah yang melatarbelakangi Yayasan Madani Berkelanjutan menggagas Gerakan #1000GagasanEkonomi. Gerakan ini diharapkan bisa menjadi pemicu sekaligus wadah untuk mengumpulkan dan menggaungkan gagasan-gagasan konkret terbaik anak bangsa untuk membangun ekonomi Indonesia ke depan tanpa mengorbankan lingkungan dan hutan, demi masa depan generasi mendatang. Mari berbagi gagasan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. [ ]

oooOOOooo

Narahubung:

– Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Indonesia Bangkit Dengan Membangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan

Indonesia Bangkit Dengan Membangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan

[Jakarta, 9 Juli 2020] Pembangunan yang mengandalkan ekstraksi sumber daya alam telah mencapai titik jenuh dan terbukti gagal mensejahterakan Nusantara. Saatnya Indonesia bangkit dengan menggagas pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop 1000 Gagasan Ekonomi yang mengambil topik “Adaptasi Kebiasaan Baru, Membangun Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan” pada 9 Juli 2020. Turut hadir sebagai narasumber dalam Diskusi Online ini adalah Ismid Hadad, MPA, Ketua Dewan Pembina Yayasan KEHATI dan Rimawan Pradiptyo, Ph.D, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Serta para penanggap yaitu Prof. Emil Salim dan Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan.

Meskipun subur dan kaya sumber daya alam, kondisi geografis Indonesia yang rawan bencana karena dikelilingi oleh cincin api pasifik dan terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, serta rentan terhadap krisis iklim, mengisyaratkan model pembangunan yang mempertimbangkan kerentanan tersebut. Ekstraksi sumber daya alam yang hampir tak terkendali bukanlah pilihan yang tepat dan bukan pula  masa depan Indonesia.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama 3 bulan pada semester akhir 2015 tidaklah menjadi guru untuk memulihkan krisis dan merubah model pembangunan meskipun bencana tersebut telah menghanguskan lahan seluas 4,5 kali pulau Bali dan mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 221 Triliun. Bahkan di tahun 2019 karhutla kembali terjadi dan turut membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan gambut.

Siapa yang diuntungkan dengan mindset pembangunan ekonomi hari ini? Sektor perkebunan sawit merupakan sektor andalan yang dipercaya mampu menopang perekonomian nasional  dengan nilai sumbangan devisa sepanjang 2018 mencapai US$20,54 Miliar atau setara Rp 289 Triliun dan telah menyulap 16,3 juta hektar lahan produktif termasuk hutan dan gambut menjadi perkebunan sawit. Jika ditelisik lebih dalam ditemukan fakta dari 10 provinsi dengan rata-rata penambahan luas lahan sawit terbesar hanya 3 provinsi yaitu Riau, Kaltim dan Jambi, yang masyarakat pedesaannya memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Namun, tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat desa di 3 provinsi tersebut tidak sepenuhnya bersumber dari sawit mengingat terdapat komoditas unggulan lainnya seperti karet, kelapa dan kayu manis. 

Dilihat dari aspek kesejahteraan petani, tingkat kesejahteraan petani sawit justru masih tertinggal dibanding petani yang mengusahakan tanaman pangan maupun hortikultura. Kajian Madani di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) petani tanaman pangan dan hortikultura pada periode 2014-2018 justru lebih baik dibandingkan dengan petani sawit. Dalam kurun lima tahun tersebut, hanya pada tahun 2017 kesejahteraan petani sawit dapat mengungguli dua sektor tersebut. Hal Ini dapat menjadi pertimbangan selanjutnya.

Di sektor pertambangan juga tak jauh berbeda. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di tahun 2018 menyatakan bahwa kerugian yang diakibatkan oleh pembuangan limbah Freeport saja mencapai 13 Miliar USD atau setara Rp 185 Triliun. Meskipun Indonesia memiliki tambang emas terbesar di dunia dan gunung-gunung emas telah rata dengan tanah bahkan telah berubah menjadi jurang yang sangat dalam, apakah orang asli Papua hidup sejahtera dan apakah Indonesia bisa lebih maju? Hal ini belum termasuk ratusan korban jiwa di lubang (baca; danau beracun) bekas tambang batu bara karena tidak adanya pemulihan dan rehabilitasi lingkungan pasca kegiatan tambang.

Bertumpu terhadap pembangunan ekstraktif akan lebih merugikan perekonomian negara dan menimbulkan ketimpangan kesejahteraan. Padahal, dalam konstitusi telah ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, seperti tercantum dalam Pasal 28 H UUD 1945. Konstitusi juga mengamanatkan bahwa sumber daya alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, seperti tercantum dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Dan dalam Pasal 33 Ayat 4 dijelaskan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional,” tambah Teguh.

Indonesia yang kita tempati hanya satu, baik dan buruknya kondisi ekonomi dan lingkungan kita yang akan merasakannya maka tidak ada pilihan selain berkomitmen untuk indonesia baru. Madani mengajak kepada semua pihak untuk menyumbangkan ide dan gagasannya agar pembangunan ekonomi Indonesia dapat berdaulat, berkeadilan, dan berkelanjutan,” ajak Teguh 

Sejak 2019, Madani sudah menggalang gagasan dari para ekonom dan praktisi ekonomi dan lingkungan, dan sampai saat ini sudah terkumpul 13 tulisan dari 10 penulis, di antaranya Prof. Emil Salim; Ismid Hadad, MPA; Prof. Hariadi Kartodihardjo; Rimawan Pradiptyo, Ph.D; Dr. Hakimul Batih; Dr. Mubariq Ahmad; Joko Tri Haryanto, SE, MSE.; Ronny P. Sasmita; Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan; dan Dr. Mochamad Indrawan. [ ]

oooOOOooo

Kontak Narasumber:

– M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Antisipasi Kelangkaan Pangan akibat Covid-19: Waktunya Berbenah, Mengoreksi Model Pembangunan Ekonomi dengan Tidak Merusak Lingkungan

Antisipasi Kelangkaan Pangan akibat Covid-19: Waktunya Berbenah, Mengoreksi Model Pembangunan Ekonomi dengan Tidak Merusak Lingkungan

[Jakarta, 18 Juni 2020] Sudah saatnya pemerintah melakukan koreksi dan mengubah model pembangunan ekonomi yang lebih berketahanan nasional, yaitu dengan tidak merusak lingkungan dan hutan, serta tidak bergantung pada impor. Selain itu, ketahanan pangan nasional juga perlu digantungkan pada komoditas yang lebih beragam dan seimbang antara komoditas pangan dan perkebunan monokultur skala besar. Menggantungkan perekonomian hanya pada industri ekstraktif akan berisiko bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam menanggapi kesiapan pemerintah Indonesia dalam menjaga ketahanan pangannya saat pandemi Covid 19 dan prediksi kemarau panjang yang akan mengganggu produksi pangan. FAO telah memberikan peringatan akan terjadinya ancaman krisis pangan dunia, dan negara-negara di dunia mulai mengerem ekspor pangannya untuk mengantisipasi ancaman ambruknya ketahanan pangan dunia. Sejumlah negara juga mengimplementasikannya dengan memprioritaskan kebutuhan pangan dalam negeri dan menahan ekspor pangan ke luar negeri.

Menggantungkan ketahanan ekonomi hanya pada komoditas unggulan tertentu seperti sawit bukan hal yang bijak untuk dilakukan saat ini dan bahkan dapat menimbulkan kerawanan pangan. Pemerintah selayaknya memberikan fokus pada penyeimbangan jenis komoditas di suatu daerah sehingga komoditas perkebunan dan pangan lainnya dapat turut bersaing sebagai penyumbang perekonomian sehingga dapat lebih tahan dalam menghadapi kondisi ekonomi yang bergejolak.

Hasil kajian Madani di Kalimantan Barat yang memiliki luas sawit tertanam terbesar ketiga se-Indonesia menunjukkan bahwa Kalimantan Barat ternyata memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di pulau Kalimantan. Perluasan perkebunan sawit di sana juga tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi lokal. Tingkat produktivitasnya rendah dengan peringkat 10 dari 10 provinsi yang memiliki lahan sawit terluas,” kata Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Provinsi Riau yang memiliki sawit tertanam terluas di Indonesia, yaitu 3,4 juta hektare, dari hasil Kajian Madani menunjukkan setidaknya terdapat 7 kabupaten (Bengkalis, Siak, Rohul, Pelelawan, Kampar, Inhil dan Rohil) memiliki ketimpangan yang sangat besar antara luas sawit dan tanaman pangan. Luas lahan yang diperuntukkan untuk tanaman pangan pada 7 kabupaten tersebut tak ada satupun melebihi angka 30% dari luas sawit. Bengkalis hanya memiliki 23,6 ribu ha (11%) luas lahan pangan dibandingkan area tanam sawitnya yang mencapai 187 ribu ha. Kemudian diikuti Siak, 56 ribu ha (14%) dan Rokan Hulu 73 ribu ha (15%) dibandingkan dengan luas sawit di dua kabupaten tersebut. Ketimpangan lahan tersebut berimplikasi pada ketahanan pangan pada kabupaten-kabupaten tersebut. Setidaknya ada 6 kabupaten yang menunjukkan ketahanan pangan rendah (Pelalawan dan Rohil) dan 4 kabupaten yang termasuk rawan pangan (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar),” terang Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Diversifikasi komoditas pangan unggulan dengan tanaman-tanaman lokal seperti sagu dan sorgum perlu untuk diutamakan, sehingga bukan lagi program “berasisasi”. Apalagi rencana cetak sawah di lahan gambut Kalimantan Tengah yang akan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan dapat mengancam keberadaan gambut di wilayah tersebut dan meningkatkan risiko terjadinya Karhutla dan bencana asap yang akan lebih menyengsarakan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 .

Empat puluh empat persen Karhutla 2019 terjadi di Fungsi Ekosistem Gambut. Program cetak sawah pemerintah di lahan gambut yang direncanakan akan membuka rawa gambut berisiko meningkatkan kerawanan terjadinya Karhutla yang selain menyengsarakan rakyat juga akan menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

Keberadaan komoditas pangan lokal seperti sagu dapat menjaga kelestarian ekosistem lahan gambut dan juga dapat menjadikan sagu sebagai salah satu sumber pangan lokal, sehingga dapat menciptakan ketahanan pangan,” tambah Teguh. “Saatnya Pemerintah menghentikan ekspansi perkebunan monokultur skala besar seperti HTI dan sawit karena dapat menggerus lahan-lahan produktif untuk pangan.”

Diversifikasi komoditas pangan unggulan lokal adalah kunci ketahanan pangan nasional agar Indonesia terhindar dari kerawanan pangan di masa pemulihan pasca-Covid-19. [ ]

***

Kontak Narasumber:

– M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

– Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0852 0856 8896

– Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 2838 6143

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

en_USEN_US