Madani

Tentang Kami

Evaluasi Izin Perkebunan Kelapa Sawit di Papua Barat

Evaluasi Izin Perkebunan Kelapa Sawit di Papua Barat

Dua tahun terakhir ini Provinsi Papua Barat dan KPK melakukan evaluasi tata kelola perizinan perkebunan kelapa sawit dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Evaluasi ini bagian dari program Rencana Aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) KPK.

Evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat dilakukan kepada 24 perusahaan pemegang izin. Sebanyak 24 perusahaan tersebut memiliki total luas wilayah konsesi 576.090,84 hektare. Dari total luas wilayah tersebut, terdapat 383.431,05 hektare wilayah yang bervegetasi hutan yang masih bisa diselamatkan dalam konteks penyelamatan SDA. Perusahaan tersebut berlokasi di 8 kabupaten yaitu Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Manokwari Selatan, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Maybrat dan Fakfak.

Evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit ini telah dimulai sejak bulan Juli 2018 dengan berlandaskan tiga instrumen kebijakan. Tiga instrumen kebijakan tersebut adalah Deklarasi Manokwari, Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit), dan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA).

Dari hasil evaluasi, mayoritas perusahaan belum beroperasi. Artinya, perizinan yang diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut masih belum lengkap dan belum melakukan penanaman. Dari sejumlah perusahaan tersebut, terdapat wilayah-wilayah konsesi yang secara legal berpotensi untuk dicabut perizinannya.

Pencabutan izin ini bisa dilakukan karena sejumlah perusahaan tersebut melakukan pelanggaran kewajiban berdasarkan perizinan yang diperoleh, khususnya Izin Usaha Perkebunan. Selain itu, sejumlah perusahaan tersebut juga belum melakukan pembukaan lahan dan penanaman sama sekali.  Sehingga terbuka kesempatan untuk dapat menyelamatkan tutupan hutan di Tanah Papua. Jangan sampai dibalik pelanggaran kewajiban tersebut ada unsur tindak pidana korupsi, dan   pemberi izin melakukan pembiaran dan tidak menegakkan sanksi sebagaimana seharusnya.

Dapatkan pemberitaan media pekan ini dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Dua Tahun Inpres Moratorium Sawit : Pemerintah Perlu ‘Tancap Gas’ Perbaiki Tata Kelola Sawit

Dua Tahun Inpres Moratorium Sawit : Pemerintah Perlu ‘Tancap Gas’ Perbaiki Tata Kelola Sawit

[Jakarta, 20 September 2020] September 2020, Kebijakan Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, atau yang dikenal dengan inpres moratorium sawit telah memasuki usia dua tahun pasca diterbitkan. Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah perlu ‘tancap gas’ untuk menyelesaikan berbagai mandat Inpres moratorium sawit dalam memperbaiki tata kelola sawit Indonesia agar dapat menyelesaikan 1053 konflik di perkebunan sawit    serta berkontribusi optimal untuk pemulihan ekonomi nasional.

Dalam konteks terkini, pandemi Covid-19 yang sedang kita hadapi bersama sedikit banyak menjadi faktor eksternal yang berpengaruh terhadap proses pengimplementasian kebijakan. Dengan fokusnya pemerintah pusat dan daerah dalam hal menangani pandemi, maka proses pengimplementasian kebijakan ini agak sedikit tertunda. Harapannya pemerintah dapat menemukan mekanisme kerja implementasi yang lebih adaptif terhadap kondisi pandemi sehingga situasi ini tidak menjadi penghambat yang berarti.

Selama kurun waktu dua tahun, dinamika perkembangan dan capaian yang dilakukan dari Kementerian dan atau Lembaga di pemerintah pusat sampai pemerintah daerah belum memuaskan karena tiadanya capaian-capaian yang signifikan. Di tingkat nasional, pemerintah pusat yang digawangi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah membentuk tim kerja moratorium sawit yang beranggotakan perwakilan antar-kementerian. Tim ini diketahui telah menyelesaikan tutupan luasan sawit di Indonesia yang tertuang dalam Kepmentan No. 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 yakni luas tutupan perkebunan sawit adalah 16,38 juta hektar. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah melakukan validasi data Hak Guna Usaha (HGU) di Kaltim, Kalteng, Sulbar, Papua dan Riau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan penundaan penerbitan izin baru pelepasan kawasan/tukar menukar kawasan hutan, telah menetapkan kebun-kebun sawit illegal dalam kawasan hutan serta menyusun rancangan perpres berkenaan dengan tipologi penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan.

Sementara di tingkat Provinsi dan Kabupaten, beberapa pemerintah daerah seperti Provinsi Aceh, Kabupaten Buol, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Gorontalo dan Aceh Utara telah merespon kebijakan ini dengan menurunkannya ke dalam aturan di tingkat lokal dalam bentuk Surat Edaran (SE) maupun Peraturan Bupati (Perbup). Sementara daerah yang memiliki komitmen positif terhadap inpres ini terdapat lima Provinsi (Kaltim, Kalbar, Riau, Papua Barat dan Kepulauan Riau) dan enam Kota/Kabupaten (Sintang, Kayong Utara, Barito Timur, Lingga, Banyuasin dan Musi Banyuasin). 

Sejumlah capaian baik ini tidak terlepas dari hambatan dan tantangan pengimplementasian yang perlu diperbaiki ke depan. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat beberapa hal diantaranya, Pertama, minimnya sosialisasi kebijakan. Beberapa kepala daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota masih belum mengetahui terkait kebijakan ini. Hal ini menunjukkan proses sosialisasi yang kurang baik. Kedua, pola kerja pemerintah pusat dan daerah yang tidak tersinkronisasi. Pola kerja dalam inpres ini adalah dari daerah ke nasional artinya hasil temuan pemerintah daerah yang nantinya akan dibahas di tim kerja nasional untuk tindaklanjuti. Hal ini yang tidak terjadi. Pemerintah pusat hanya berfokus melakukan penyusunan tutupan luasan sawit. Bahkan strategi implementasi inpres tim kerja nasional dengan menetapkan tujuh provinsi prioritas (Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur) tidak sejalan dengan inpres, karena didalam inpres tidak mengamanatkan hal demikian. 

Ketiga, belum adanya peta jalan pengimplementasian inpres moratorium sawit. Beberapa daerah yang semangat menjalankan inpres terkendala soal tidak adanya dokumen rujukan yang dapat menjadi acuan pengimplementasian inpres ini. Sehingga diperlukan hal semacam peta jalan, petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), termasuk alokasi anggaran yang tidak disebutkan dalam inpres ini.

Keempat, tidak mengedepankan prinsip keterbukaan data. Laporan perkembangan enam bulanan yang disusun oleh tim kerja nasional untuk dilaporkan ke Presiden sangat sulit untuk diakses kelompok masyarakat sipil. Walau tidak ada kewajiban untuk membuka dokumen ini ke publik tapi akan sangat baik jika hal tersebut dilakukan, agar kita dapat melihat proses secara utuh dan memberikan masukan-masukan yang sesuai. Selain itu, tidak adanya update yang diterima masyarakat sipil terkait perpindahan Deputi di Kemenko Perekonomian yang menangani Inpres ini juga sangat disayangkan. Padahal proses transparansi adalah faktor yang penting untuk mengetahui lubang yang selama ini ada dan bersama-sama menambalnya.

Hal lainnya, terkait tutupan luasan perkebunan sawit di Indonesia yang telah dirilis juga tidak menyampaikan detail terkait berapa dan dimana lokasi sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Padahal jika hal ini tertuang dalam tutupan tersebut maka akan sangat memudahkan bagi tim kerja melakukan evaluasi. Sehingga wajar saja, hingga saat ini belum ada kasus sawit di kawasan hutan yang dapat diselesaikan melalui inpres ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyatakan bahwa terdapat 3,4 juta ha perkebunan sawit didalam kawasan hutan, namun faktanya hingga saat ini tidak ada kejelasan terkait penyataan tersebut perihal dimana lokasinya, dimiliki oleh siapa apa dan bagaimana proses tindaklanjutnya.

Kelima, pemerintah belum memiliki arah yang jelas soal peningkatan produktivitas sawit. Artinya pemerintah belum memiliki berapa target atau standar produktivitas sawit yang akan dituju serta bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai target tersebut. Dalam kacamata pemerintah peningkatan produktivitas hanya terbatas pada Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) semata dengan memanfaatkan dana BPDP-KS. Yang mana realisasinya program ini masih minim, pada 2020 hanya seluas 20.469 ha atau 11,37% dari target yang telah ditetapkan.

Selain itu di sisi ekonomi, kontribusi sawit terhadap daerah masih dirasa kurang berdampak. Hal ini dikarenakan belum adanya skema bagi hasil yang berimbang antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat. Sistem pembagian hasil seperti ini tidak setara dengan dampak dari pengelolaan perkebunan sawit seperti kerusakan infrastruktur akibat pengangkutan CPO hingga kerusakan lingkungan yang berdampak pada pencemaran air, tanah, dan udara, serta Karhutla.

Sejumlah catatan kritis di atas diharapkan dapat menjadi perhatian para penerima mandat dalam inpres ini.  Kami dari koalisi masyarakat sipil merekomendasikan beberapa hal diantaranya :

  1. Respon positif pemerintah daerah baik di tingkat provinsi/kabupaten/kota perlu disambut baik oleh pemerintah pusat dengan mensinergikan kerja-kerja serta memfasilitasi dengan menyiapkan aturan teknis implementasi inpres (juklak atau juknis)termasuk alokasi anggaran.
  2. Adanya target dan program peningkatan produktivitas oleh pemerintah yang lebih jelas dan terukur serta memiliki waktu dan lokasi (kabupaten/kota) pencapaian target tersebut.
  3. Meningkatkan transparansi dan akses publik mengenai laporan enam bulanan perkembangan inpres moratorium serta data penggunaan lahan dan izin perusahaan perkebunan sawit.
  4. Melibatkan lintas stakeholder untuk pelaksanaan dan pengawasan moratorium sawit, seperti organisasi masyarakat sipil dan organisasi lintas keagamaan.
  5. Adanya skema dana bagi hasil yang berkeadilan antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat agar daerah memiliki dorongan untuk mengawasi dan membangun perkebunan sawit yang berkelanjutan.
  6. Membuat peta jalan (road map) satu pintu pelaksanaan moratorium sawit. Hal ini diperlukan untuk mengefektikan proses moratorium sawit sehingga tidak terjadi tumpang tindih aturan birokrasi dan anggaran.
  7. Pembahasan RUU Cipta Kerja semestinya tidak menjadi alasan bagi Pemerintah untuk menunda pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Penyelesaian moratorium dengan fokus terhadap konsolidasi data dan review perizinan harus menjadi langkah awal untuk menuntaskan permasalahan tata kelola perkebunan.
  8. Tidak memprioritaskan wilayah tertentu dalam pengimplementasian kebijakan inpres moratorium sawit, melainkan seluruh wilayah di Indonesia yang memiliki sawit.

Jika pemerintah masih menggunakan pendekatan dan strategi yang sama dalam menjalankan tugas dan amanah didalam inpres ini, maka perbaikan tata kelola sawit yang di impikan selama ini akan sangat sulit tercapai di waktu yang sempit ini. Koalisi Masyarakat Sipil melihat perpanjangan inpres moratorium sawit untuk perbaikan tata kelola perkebunan sawit Indonesia adalah sesuatu hal relevan dapat dilakukan Pemerintah Indonesia dengan catatan harus memiliki capaian-capaian yang terukur dalam segala aspek serta turut mensinkronisasikan dan mengkonsolidasikan kepada pihak-pihak yang memiliki tujuan yang sama dalam mewujudkan perbaikan tata kelola sawit, seperti misalnya dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN PSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal review perizinan serta bersama dengan ISPO dan RSPO dalam hal peningkatan produktivitas dan standar perkebunan sawit berkelanjutan melalui mekanisme sertifikasi.

###

Atas Nama Koalisi Masyarakat Sipil :

Sawit Watch, Kaoem Telapak, Madani Berkelanjutan,

Forest Watch Indonesia dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

 

Narahubung :

Abu Meridian_Direktur Eksekutif Kaoem Telapak (082311600535 / abu.meridian@kaoemtelapak.org

Adrianus Eryan_Indonesian Center For Environmental Law (081386299786 / adrianuseryan@gmail.com)

Agung Ady Setiyawan_Perkampanye Forest Watch Indonesia (085783517913 / agung_ady@fwi.or.id )

Inda Fatinaware_Direktur Eksekutif Sawit Watch (0811448677 / inda@sawitwatch.or.id)

Teguh Surya_Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan (081294801453 / teguh@madaniberkelanjuan.id)

Related Article

Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit

Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit

Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan luas lahan sawit ketiga terbesar di Indonesia. Luas kebun sawitnya mencapai 1,5 juta hektare. Hanya kalah dari Provinsi Riau dan Sumatera Utara. Namun produktivitas sawit Kalimantan Barat hanya menempati peringkat ke-10 dari provinsi-provinsi penghasil sawit di tanah air. Produktivitas sawit 2,35 ton/hektare di Kalimantan Barat ini ternyata jauh tertinggal dari Aceh yang luas kebun sawitnya hanya 514 ribu hektare.

Luas kebun sawit di Kalimantan Barat ini didominasi oleh perkebunan swasta. Lahan sawit perkebunan swasta mencapai 1,09 juta hektare sementara luas perkebunan rakyat hanya 413 ribu hektare dan perkebunan negara hanya 56,7 ribu hektare. Ini disampaikan oleh Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online yang mengangkat tema “Masa Depan Kalimantan di Era Sawit” pada 8 April 2020.

Dalam diskusi ini juga diikuti oleh beberapa narasumber lain yakni Bupati Sintang Dr. Jarot Winarno, M.Med.Ph., Kepala Dinas Perkebunan Sanggau Syafriansyah, SP, M.M, Manseutus Darto selaku Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit, dan M. Teguh Surya Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Bupati Sintang, Jarot Winarno menyampaikan berbagai inisiatif perbaikan tata kelola sawit yang dilakukan Pemerintah Daerah Sintang, peranan sawit bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Sintang serta inisiatif pemda dalam meminimalisir dampak sosial dan lingkungan di kabupaten Sintang.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Sanggau, Syafriansyah menyampaikan tentang inisiatif tata kelola industri sawit yang dilakukan Pemda Sanggau. Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit, Manseutus Darto menyampaikan perspesktif industri sawit dan kaitannya dengan ancaman virus corona (Covid-19) terhadap petani sawit di daerah. Serta M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan memaparkan tentang tata kelola sawit di Kalimantan Barat.

Untuk Materi diskusi Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit tersebut dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

Ekonomi Sawit di Kalimantan Barat Agar Tidak Bergantung Pada Dahan yang Rapuh

Ekonomi Sawit di Kalimantan Barat Agar Tidak Bergantung Pada Dahan yang Rapuh

[Jakarta, 8 April 2020] Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan predikat luas lahan sawit ketiga terbesar di Indonesia, namun dengan tingkat kemiskinan tertinggi di pulau Kalimantan. “Perluasan wilayah perkebunan sawit di Kalimantan Barat selama ini ternyata tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi lokal. Sehingga selayaknya pemerintah daerah memberikan fokus pada penyeimbangan jenis komoditas di suatu wilayah. Harapannya, komoditas perkebunan lainnya dapat turut bersaing sebagai kontributor perekonomian daerah sehingga daerah dapat lebih tahan menghadapi kondisi ekonomi yang bergejolak. Menggantungkan ketahanan ekonomi hanya pada satu komoditas unggulan seperti sawit tentu bukan hal yang bijak saat ini,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit” pada 8 April 2020.

Khusus untuk komoditas sawit, tantangan terbesar pemerintah daerah Kalimantan Barat saat ini adalah rendahnya tingkat produktivitas (baca: peringkat 10 dari 10 provinsi dengan sawit terluas). Pemerintah Daerah Kalimantan Barat perlu memprioritaskan peningkatan produktivitas sawit secara optimal dan mengurungkan ekspansi perkebunan sawit. Ini sejalan dengan amanat Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit,” tambah Teguh.

Saat ini, luasan area sawit tertanam di Kalimantan Barat masih didominasi oleh perkebunan swasta. “Lahan sawit perkebunan swasta mencapai 1,09 juta hektare sementara luas perkebunan rakyat hanya 413 ribu hektare dan perkebunan negara hanya 56,7 ribu hektare,” tutur Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pada periode 2011-2018, perkebunan swasta di Kalimantan Barat mengalami peningkatan luas sawit tertanam yang paling signifikan, yakni 91,5 ribu hektare/tahun sementara luas perkebunan rakyat hanya bertambah rata-rata 19,7 ribu hektare/tahun dan perkebunan negara justru mengalami pengurangan luas sebesar 770 hektare per tahun. Fakta tersebut menunjukkan masih timpangnya penguasaan lahan sawit di Kalimantan Barat,” tambah Erlangga.

Dari segi produktivitas, hasil kajian Madani menemukan bahwa meskipun sering dipandang sebelah mata karena luasannya kecil, perkebunan negara di Kabupaten Landak dan Sanggau justru memiliki rata-rata produktivitas tertinggi jika dibandingkan dengan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Pada tahun 2017, produktivitas sawit perkebunan negara di dua kabupaten tersebut mencapai 3,3 ton/hektare sementara perkebunan swasta di Kalimantan Barat (kecuali Kota Singkawang) produktivitasnya hanya 2,2 ton/hektare dan perkebunan rakyat hanya 2,1 ton/hektare.

Di tahun 2018, produktivitas sawit di perkebunan negara mengalami penurunan menjadi 2,9 ton/hektare, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkebunan swasta yang produktivitasnya hanya 2,6 ton/hektare dan perkebunan rakyat yang produktivitasnya 2,2 ton/hektare.

Peningkatan produktivitas menjadi kunci, bukan lagi perluasan lahan sawit. Hal lain adalah memperbaiki tata kelola perkebunan sawit yang telah ada,” urai Erlangga.

Sementara itu, dari sisi pembangunan desa, kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan wilayah pedesaan masih belum optimal sebagaimana tercermin dari nilai Indeks Desa Membangun di desa-desa yang bersinggungan dengan perkebunan sawit.

Sebagian besar desa yang berada di sekitar perkebunan sawit justru memiliki nilai Indeks Ketahanan Ekonomi dan Lingkungan yang rendah,” ujar Erlangga.

Padahal, setidaknya ada lima regulasi yang mewajibkan pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas aspek sosial dan lingkungan pada masyarakat sekitar. Lima kebijakan tersebut adalah UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,  UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Jika sawit masih diharapkan untuk dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya di tingkat tapak, maka perlu koreksi mendalam atas praktik tata kelola yang dijalankan saat ini.

oooOOOooo

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0852 0856 8896

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

RUU Perkelapasawitan Minim Urgensi dan Melanggengkan Ironi

RUU Perkelapasawitan Minim Urgensi dan Melanggengkan Ironi

Jakarta, 10 April 2019 – Pembahasan RUU Perkelapasawitan sangat minim urgensi dan akan melanggengkan ironi. Mayoritas anggota DPR menunjukkan sikap setuju untuk mengundangkan RUU ini, meskipun urgensinya masih dipertanyakan. Meski kelapa sawit menjadi penyumbang devisa, namun kelapa sawit juga turut mendorong ledakan konflik. Dalam catatan ELSAM, selama tahun 2017 saja tercatat 111 peristiwa dengan 115 kasus konflik di areal perkebunan kelapa sawit. Dan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria menjelaskan bahwa pangkal masalah tingginya konflik di sektor ini adalah kepemilikan lahan antara petani kecil dengan korporasi swasta besar. Demikian disampaikan koalisi #Vote4Forest dalam launching “Kajian Rekam Jejak Anggota DPR Dalam Proses Legislasi Rancangan Undang-Undang Terkait Isu Lingkungan dengan studi kasus RUU Perkelapasawitan” hari ini (10/4).

“Meski menuai polemik dan perdebatan serta mendapat penolakan dari pemerintah sebanyak dua kali, DPR tetap kukuh untuk membahas RUU Perkelapasawitan. Bahkan dalam Prolegnas 2019 RUU ini kembali masuk dengan dalih untuk melindungi kepentingan nasional,” papar M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Kukuhnya pendirian wakil rakyat dalam upaya mengesahkan RUU ini tidak terlepas dari eratnya hubungan pejabat teras partai baik secara kepemilikan ataupun relasi industri di sektor kelapa sawit ini,” tambah Teguh.

“Kajian Rekam Jejak Anggota DPR Dalam Proses Legislasi ini dilakukan terhadap anggota DPR RI yang berada di Badan Legislati (Baleg) Periode 2014-2019 dan terlibat aktif dalam pembahasan RUU Perkelapasawitan. Hasil kajian menunjukkan bahwa dari 30 anggota DPR RI yang terlibat aktif dalam pembahasan RUU Perkelapasawitan, sebanyak 28 anggota akan kembali mencalonkan diri dalam Pileg 2019. Dan sebanyak 13 dari 28 anggota Baleg berasal dari Dapil yang di dalamnya terdapat korporasi besar sawit yang berkonflik dengan frekuensi beragam,” ungkap Adrian Putra dari WikiDPR.org.

Sikap anggota Baleg DPR RI terhadap RUU Perkelapasawitan tidak sepenuhnya ditentukan oleh ada atau tidaknya korporasi besar sawit dan konfliknya di Dapil mereka. Namun juga dipengaruhi oleh partai politik pengusungnya dan kaitan pendanaan partai politik dari korporasi besar sawit maupun patron client yang dimiliki anggota Baleg ini. 53 % angota Baleg terindikasi mendukung RUU Perkelapasawitan ini segera disahkan, 36 % bersikap netral atau tidak menunjukkan keberpihakan dan 11 % menolak RUU Perkelapasawitan ini terus dibahas.

Jika ditelusuri relasi dan kepemilikan bisnis sawit dalam struktur partai politik yang terlibat dalam RUU Perkelapasawitan, setidaknya ada 6 partai dengan pejabat teras teridentifikasi memiliki hubungan bisnis sawit. Dan 4 fraksi yang memiliki kecenderungan mendukung disahkannya RUU Perkelapasawitan, yaitu Fraksi Golkar, PDIP, Nasdem dan Hanura, beberapa pejabat teras partai tersebut memiliki ataupun dekat dengan industri sawit.

“Kedekatan politis tersebut akan mendorong terakomodasinya kepentingan bisnis tersebut dalam regulasi yang diproduksi di lembaga legislatif, termasuk RUU Perkelapasawitan ini. Bahkan Fraksi Golkar dan PDIP merupakan pengusul RUU Perkelapasawitan,” tambah Adrian.

“Dalam rangka menyediakan informasi terkait rekam jejak anggota DPR RI ke publik secara luas terhadap isu lingkungan hidup menjelang Pemilu 2019, #Vote4Forests melakukan kajian keberpihakan anggota DPR terhadap isu lingkungan, dengan studi kasus RUU Masyarakat Adat, RUU Konservasi dan RUU Perkelapasawitan,” kata Desmarita Murni dari Change.org Indonesia.

#Vote4Forest adalah inisiatif kolaborasi dari Yayasan Madani Berkelanjutan, WikiDPR dan Change.org Indonesia untuk memberikan informasi publik terkait rekam jejak anggota DPR pada isu lingkungan jelang Pemilu 2019.

Dengan adanya kajian ini diharapkan para pemilih akan mendapatkan informasi yang cukup untuk memilih calon wakil rakyat yang annati akan menyuarakan aspirasinya.

“Mari menjadi pemilih cerdas dan kritis dengan cara menelusuri rekam jejak wakil rakyat kita untuk mewujudkan Indonesia Tangguh yang berkelanjutan di masa mendatang,” tambah Desma.

***

CATATAN UNTUK EDITOR Kajian lengkap dan Infografis dapat diakses di change.org/vote4forest

Media Contact:

Jeanne Sanjaya – Change.org Indonesia (087822204401) Luluk Uliyah – Madani Berkelanjutan (081519868887)

WikiDPR adalah sebuah organisasi non-profit bidang media dan komunikasi. Dibentuk di Jakarta pada 2014, WikiDPR merupakan bentuk inisiatif warga yang merespons praktik kerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar lebih transparan.

Change.org adalah wadah petisi online yang terbuka, bagi siapa saja dan di mana saja yang ingin memulai kampanye sosial demi perubahan positif. Petisi-petisi melalui Change.org berhasil mendorong upaya penyelamatan lingkungan, demokrasi, kampanye anti korupsi, dan isu-isu lainnya.

Yayasan Madani Berkelanjutan adalah lembaga nirlaba yang berupaya menjembatani hubungan antar pemangku kepentingan (pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil) untuk mencapai solusi inovatif terkait tata kelola hutan dan lahan.

#Vote4Forest adalah inisiatif kolaborasi dari Yayasan Madani Berkelanjutan, WikiDPR dan Change.org Indonesia untuk memberikan informasi publik terkait rekam jejak anggota DPR pada isu lingkungan jelang Pemilu 2019

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Masa Depan Sawit Indonesia Bisa Baik Jika Tata Kelola Hutan Diperbaiki Secara Mendasar dan Keberlanjutan Produksi Sawit Dapat Diverifikasi

Masa Depan Sawit Indonesia Bisa Baik Jika Tata Kelola Hutan Diperbaiki Secara Mendasar dan Keberlanjutan Produksi Sawit Dapat Diverifikasi

Jakarta, 10 Februari 2019 – Studi IUCN tentang kelapa sawit dan keanekaragaman hayati yang disampaikan kepada pemerintah minggu lalu disambut baik oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. (1) Dalam rilis tertanggal 4 Februari 2019, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menyebutkan bahwa dampak kelapa sawit terhadap satwa liar dan keanekaragaman hayati lebih baik dibandingkan dengan minyak nabati lainnya karena sawit membutuhkan lahan yang lebih sedikit. 


Namun, pemerintah juga seharusnya memperhatikan poin-poin penting lainnya yang dimuat studi tersebut. Pertama, studi tersebut menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas perusakan besar-besaran hutan alam yang masih baik, yang merupakan rumah bagi Harimau, Orangutan, dan Gajah Sumatra, spesies-spesies terancam yang masuk dalam Daftar Merah IUCN. Di Kalimantan saja, 50 persen deforestasi antara 2005-2015 dipicu oleh kelapa sawit. (2).

Kedua, laporan tersebut menyoroti pentingnya menghentikan deforestasi dan mencegah ekspansi perkebunan kelapa sawit ke area hutan yang masih baik karena akan menghancurkan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, pemerintah dan produsen kelapa sawit harus menghentikan ekspansi sekarang juga dan memfokuskan diri pada intensifikasi untuk meningkatkan hasil produksi. Pemerintah juga harus menjunjung tinggi dan meningkatkan standar keberlanjutan kelapa sawit versi pemerintah, termasuk dengan menjalankan sistem penelusuran dan pelacakan dalam rantai pasok minyak sawit dan mengimplementasikan sistem monitoring, pelaporan dan verifikasi hutan/deforestasi yang kuat. Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah untuk menuju ke sana adalah membuka data konsesi untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas.


“Kami tidak menyangkal bahwa kelapa sawit adalah salah satu tanaman yang paling efisien dalam hal luas lahan yang dibutuhkan. Yang menjadi masalah adalah dalam sejarahnya, minyak kelapa sawit diproduksi dengan membabat hutan, termasuk jutaan hektar hutan di lahan gambut yang sangat kaya akan karbon. Selain itu, ada permasalahan lain berupa metode produksi yang tidak efisien dan mencemari lingkungan, misalnya akibat penggunaan pupuk kimia dalam jumlah besar,” ujar Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch dari jaringan masyarakat sipil pemerhati sawit di Indonesia.


“Tidak ada yang menyerukan pelarangan kelapa sawit. Sawit bisa baik untuk Indonesia, namun hanya jika dilakukan perbaikan menyeluruh dalam tata kelola hutan dan jika keberlanjutan produksinya betul-betul dapat diverifikasi,” ujar Indah.

Mengingat studi IUCN di Indonesia diluncurkan pada minggu yang sama dengan pemungutan suara Uni Eropa tentang apakah UE akan memajukan tanggal phase out penggunaan minyak sawit dalam biofuel dari 2030 menjadi 2023, Menteri Darmin Nasution harus mempertimbangkan keseluruhan rekomendasi IUCN secara serius dan menerapkannya sesegera mungkin untuk meyakinkan UE dan pasar ekspor besar lainnya bahwa Indonesia betul-betul berkomitmen untuk memproduksi minyak sawit secara
berkelanjutan. Tidak semata mementingkan pendapatan Negara tetapi juga mengutamakan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia.


Di dalam negeri sendiri, langkah pemerintah untuk mempromosikan penggunaan biofuel dari minyak sawit untuk konsumsi domestik serta peningkatan permintaan yang diakibatkannya berisiko meningkatkan deforestasi hingga mencapai titik tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah memang telah mengambil langkah-langkah positif untuk memperbaiki tata kelola hutan, di antaranya moratorium penerbitan izin baru, moratorium sawit, dan restorasi gambut. Namun, implementasi berbagai kebijakan tersebut masih harus diperkuat karena masih meloloskan area hutan yang masih baik untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit seperti dalam kasus pelepasan kawasan hutan untuk PT Hardaya Inti Plantation di Buol, Sulawesi Tengah, baru-baru ini.


“Pada titik ini, sangat penting bagi negara kita untuk memperbaiki tata kelola hutan dan perkebunan secara mendasar dan meningkatkan keberlanjutan produksi kelapa sawit, dimulai dengan memperkuat implementasi moratorium sawit, memperkuat ISPO dan memprioritaskan dana BPDPKS untuk mendukung petani kecil untuk menjalankan praktik terbaik. Semuanya ini agar betul-betul dapat diverifikasi bahwa minyak sawit Indonesia dihasilkan secara berkelanjutan,” tutup Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.


—————————-
Catatan kaki:
(1) IUCN menyampaikan hasil studi terkait kelapa sawit dan keanekaragaman hayati kepada pemerintah Indonesia pada 4 Februari 2019. Lihat: https://www.ekon.go.id/berita/pdf/studi-iucn-kelapa-sawit.4578.pdf

(2) Salah satu penulis laporan IUCN, Eric Meijaard, menekankan dampak negatif produksi minyak sawit di Indonesia, “Afrika mungkin tampak luas dan tak berbatas sebagai lokasi penanaman sawit di masa depan, namun Kalimantan dan Sumatera dulu juga begitu. Sangat mungkin untuk mengelola sawit secara lebih baik.”

Lihat: Palm Oil Paradox: Sustainable Solutions to Save the Great Apes.


Narahubung:

  1. Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, +62811 448 677, inda@sawitwatch.or.id
  2. Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, +62819 1519 1979, teguh.surya@madaniberkelanjutan.id 
  3. Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, +62 815-1986-8887, luluk@madaniberkelanjutan.id



Didukung oleh:

  1. Sawit Watch
  2. Yayasan Madani Berkelanjutan 
  3. Kaoem Telapak 
  4. Elsam 
  5. Greenpeace Indonesia 
  6. Forest Watch Indonesia 
  7. Indonesian Center for Environmental Law
  8. BYTRA Aceh

Related Article

Analisis Substansi Inpres Moratorium Sawit 2018

Analisis Substansi Inpres Moratorium Sawit 2018

Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres Moratorium Sawit) adalah langkah awal yang strategis untuk menyelesaikan silang-sengkarut perizinan perkebunan sawit, termasuk tumpang tindih dengan kawasan hutan dan penyelamatan hutan alam yang tersisa di kawasan hutan, apabila para pejabat penerima Instruksi konsisten menjalankan Instruksi tersebut dan ada kepemimpinan politik yang kuat dari Presiden. Dukungan dan pengawalan para pihak sangat dibutuhkan mengingat seluruh proses evaluasi perizinan dan berbagai tugas lain yang dimandatkan Presiden harus selesai dalam waktu tiga tahun.

Sebagai sambutan baik atas inisiatif ini, Madani menyoroti sejumlah hal terkait Inpres Moratorium Sawit, khususnya hak petani sawit, keberlanjutan, alur pelaksanaan, pengecualian penundaan izin, koordinasi, pemantauan, dan peran masyarakat sipil. Baca Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit selengkapnya:

Related Article

Lembar Fakta: ‘Larangan’ Impor Minyak Sawit Indonesia oleh Uni Eropa

Lembar Fakta: ‘Larangan’ Impor Minyak Sawit Indonesia oleh Uni Eropa

Lembar fakta ini menangkap sejumlah sisi keresahan publik Indonesia mengenai Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa mengenai usulan penghapusan kontribusi bahan bakar nabati berbahan dasar minyak kelapa sawit. Pemerintah dan industri kelapa sawit Indonesia telah bereaksi cukup keras dan tegasatas isu ini, termasuk dalam liputan media massa. Lembar fakta ini disusun oleh delapan organisasi masyarakat sipil yang aktif mengupayakan perbaikan tata kelola sawit di Indonesia, serta menjawab kegelisahan sejumlah pihak mengenai keberlangsungan bisnis lini ini.Tim Penyusun:
1. Anggalia Putri Permatasari (Yayasan Madani Berkelanjutan), anggalia.putri@madaniberkelanjutan.id
2. Teguh Surya (Yayasan Madani Berkelanjutan), teguh.surya@madaniberkelanjutan.id
3. Giorgio Budi Indarto (Spesialis Kebijakan Hutan dan Perkelapasawitan), giorgio.gbi@gmail.com
4. Abimanyu Sasongko Aji (Kemitraan), abimanyu.aji@kemitraan.or.id
5. Isna Fatimah (Indonesian Center for Environmental Law/ICEL), isna@icel.or.id
6. Mardi Minangsari (Kaoem Telapak), minangsari@gmail.com
7. Kania Mezariani (Institute for Policy Research and Advocacy/ELSAM), kania@elsam.or.id

Related Article

Skema Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Harus Dirancang Ulang

Skema Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Harus Dirancang Ulang

Selasa, 21 Maret 2017,
Bersamaan dengan Hari Hutan Sedunia, kami kelompok perwakilan masyarakat sipil menyatakan sikap bersama terkait industri kelapa sawit yang berkelanjutan Indonesia melalui sebuah kertas posisi sebagai bentuk partisipasi aktif dan transparan dalam proses ‘penguatan’ yaitu pembenahan mendasar terhadap sistem sertifikasi industri kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang saat ini sedang diupayakan oleh Pemerintah.

Kertas posisi tersebut disusun untuk mendukung agenda Indonesia dalam (i) menjawab tantangan mitigasi perubahan iklim dan perbaikan tata kelola sumber daya alam melalui kerangka kebijakan dan implementasinya, (ii) meningkatkan keberterimaan pasar dari kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis serta (iii) menjamin perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM.

Bahwa transformasi kelapa sawit bekelanjutan Indonesia harus berlandaskan visi bersama untuk: Menghentikan laju deforestasi pada tutupan hutan yang tersisa dan degradasi terhadap fungsi lingkungan serta keanekaragaman hayati di dalamnya; Menghentikan alih fungsi dan meningkatkan perlindungan hutan serta perlindungan total ekosistem lahan gambut; dan Memberikan jaminan hukum atas terjaganya hak masyarakat terdampak, termasuk namun tidak terbatas pada masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, pekebun rakyat dan pekerja, secara nyata dan konsisten.

Buruknya kredibilitas dan akuntabilitas dalam implementasi sertifikasi ISPO saat ini, ditambah dengan lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran telah merugikan lingkungan dan menimbulkan konflik antara masyarakat dan perkebunan kelapa sawit, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya keberterimaan pasar atas ISPO.

Pada bulan April 2016, Presiden Jokowi telah berkomitmen untuk melakukan moratorium sawiti yang seharusnya dapat menghentikan alokasi ekspansi lahan sawit, baik untuk perusahaan maupun dengan dalih keperluan ‘pekebun rakyat’. Saat ini, kelompok bisnis dan pendukungnya terus berupaya dengan keras agar prinsip-prinsip yang akan diterapkan nantinya, tidak mempersulit rencana perluasan kebun sawit dan selalu menggunakan dalih ‘pekebun rakyat’ dan isu-isu nasionalisme yang tidak kuat dasarnya sebagai pelindung ketika terjadi kritik bagi perbaikan industri sawit di Indonesia. Sangat disayangkan bahwa dalam proses perjalanan penguatan ISPO tersebut, juga terjadi pengabaian kesepakatan dan masukan kelompok masyarakat sipil terkait substansi prinsip dan standar ISPO, termasuk penghilangan 2 (dua) prinsip, yaitu; keterlusuran dan transparansi serta menghargai Hak Azasi Manusia. Situasi tersebut telah mencederai proses multi-pihak yang tengah berlangsung.

Perbaikan sistem sertifikasi ISPO harus dilakukan menyeluruh melalui proses rancang ulang yang partisipatif, inklusif, transparan dan akuntabel. Sistem sertifikasi ISPO yang baru harus mencakup standard keberlanjutan yang kuat (robust) dan tata laksana yang menjamin kredibilitas dan akuntabilitas. Sistem sertifikasi ISPO harus diikuti dengan penegakan hukum yang efektif serta kerangka kebijakan komprehensif untuk memastikan tercapainya perbaikan tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia.

Untuk itu kami menyatakan sikap sebagai masukan secara terbuka kepada Pemerintah, agar bisa diketahui oleh publik dan keperluan pemantauan oleh masyarakat.

### Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) – Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)-
Forest Watch Indonesia (FWI) – Jaringan Pemantau Independen Kehutanan
(JPIK) – Kaoem Telapak – Yayasan Sumberdaya Dunia Indonesia –
Greenpeace Indonesia – Yayasan Madani Berkelanjutan – Institute for Ecosoc
Rights -GAIA – Tropical Forest Foundation (TFF) -Padi Indonesia, Kalimantan
Timur – Jasoil, Papua Barat – Uno Itam, Aceh – Lembaga Tiga Beradik (LTB)
Jambi – Evergreen, Sulawesi Tengah – Yayasan Pusaka – Sayogyo Institute –
Indonesia Center for Environmental Law – Kemitraan – GeRak Aceh – Stabil
Kalimantan Timur – MATA Aceh – Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan –
PPLH Mangkubumi – JAPESDA Gorontalo – GRID Kalimantan Barat – LPMA
Borneo, Kalimantan Selatan – Yayasan Peduli Nanggroe Atjeh (PeNA), Aceh –
Jikalahari, Riau

Narahubung: Soelthon G. Nanggara, sulton@fwi.or.id, 0856 4963 8037
Marcel Andry, andry.spks@gmail.com, 0813 1460 5024
Herryadi, herryadi@lei.or.id, 0813 87059920
Mardi Minangsari, minangsari@gmail.com, 0818 100 930
Isna Fatimah, fatimahisna.r@gmail.com, 0813 1923 0279

Related Article

Pembahasan RUU Perkelapasawitan Harus Segera Dihentikan

Pembahasan RUU Perkelapasawitan Harus Segera Dihentikan

Siaran Pers Bersama

Koalisi Masyarakat Sipil Pemerhati HAM dan Lingkungan Hidup

“Pembahasan RUU Perkelapasawitan Harus Segera Dihentikan”

 

(Rabu, 17 Mei 2017) Proses penyusunan RUU Perkelapasawitan kembali bergulir. Pada 4 April 2017 lalu Badan Legislasi DPR-RI menggelar proses pembahasan penyusunan RUU Perkelapasawitan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dalam rangka Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Konsepsi RUU tentang Perkelapasawitan. Dalam forum tersebut, dinyatakan bahwa RUU Perkelapasawitan ditujukan sebagai Lex Specialis dari UU Perkebunan yang sudah ada. RUU ini juga bertujuan memberi perlindungan terhadap komoditas kelapa sawit dari negara-negara lain. Hal lain yang juga mengejutkan adalah bahwa DPR mengatakan perlu adanya pemahaman di masyarakat dan juga pecinta lingkungan, bahwa kelapa sawit tidak menimbulkan degradasi lahan dan juga pengkonsumsi air tanah terbanyak.

Dimulainya kembali pembahasan RUU Perkelapasawitan ini menunjukkan ketidakpahaman anggota parlemen atas persoalan perkebunan kelapa sawit selama ini.

Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian 2015-2019 dinyatakan bahwa permasalahan terkait sektor pertanian secara keseluruhan adalah: 1) kerusakan lingkungan dan perubahan iklim; 2) infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air; 3) kepemilikan lahan; 4) sistem perbenihan dan perbibitan nasional; 5) akses petani terhadap permodalan kelembagaan petani dan penyuluh; keterpaduan antar sektor, dan kinerja pelayanan birokrasi pertanian. Ini setidaknya mencerminkan kesesuaian dengan isi Resolusi yang dikeluarkan Committee on the Environment, Public Health and Food Safety, European Parliament, yang melarang biodiesel berbasis sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, bahkan pelanggaran HAM. Mayoritas anggota Parlemen Eropa pun menyetujuinya.

Alih-alih memperbaiki tata kelola dan mengkaji ulang praktik usaha perkebunan kelapa sawit selama ini, DPR RI justru menggulirkan RUU Perkelapasawitan yang penuh kontroversi di dalamnya. RUU ini disepakati DPR RI pada Januari 2017 sebagai RUU Prioritas 2017.

Koalisi Masyarakat Sipil Pemerhati HAM dan Lingkungan Hidup menyusun kertas kebijakan khusus untuk menyikapi RUU Perkelapasawitan yang terus bergulir di DPR. Kertas Kebijakan “Mengapa Pembahasan RUU Perkelapasawitan Harus Segera Dihentikan” ini memaparkan tujuh alasan mengapa pemerintah harus menolak dilanjutkannya pembahasan RUU yang digagas oleh DPR ini.

Pertama, alih-alih membela kepentingan nasional, isi RUU ini lebih melindungi kepentingan korporasi penguasa industri kelapa sawit yang sebagian besarnya adalah asing. Saat ini, pemegang saham perkelapasawitan terbesar di Indonesia adalah Malaysia, diikuti oleh Amerika Serikat, Inggris, Singapura, Bermuda, Brazil, Kanada, Prancis, dan Belanda. Pemegang surat hutang/obligasi terbesar adalah Amerika Serikat, Kanada, Swiss, Inggris, Prancis, Denmark, Jerman, Jepang, dan Italia. Sementara itu, pemberi pinjaman terbesar di industri ini adalah Malaysia, Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, Singapura, Jepang, dan Jerman.

Kedua, Undang-Undang khusus untuk mengatur kelapa sawit secara spesifik tidaklah diperlukan karena sebagian besar norma yang terkandung dalam RUU Perkelapasawitan sudah diatur dalam Undang-Undang No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, dan Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“RUU ini berpotensi menimbulkan konflik norma dalam peraturan pelaksanaannya dan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak hanya bagi masyarakat terdampak, tapi juga bagi pelaku usaha itu sendiri,” ujar Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). ”Daripada menghabiskan uang rakyat untuk membentuk satu undang-undang baru, lebih baik segera selesaikan berbagai peraturan turunan tentang kelapa sawit yang dimandatkan UU Perkebunan.”

Ketiga, RUU Perkelapasawitan berpotensi memporak-porandakan fungsi dan ketetapan yang telah diatur dalam berbagai UU lain. Pasalnya, RUU ini ‘menyunat’ sanksi pidana untuk pelanggaran dan penggunaan sarana dan/atau cara yang dapat mengganggu kesehatan, keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup, dari penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal 5 miliar menjadi hanya maksimal 1 tahun 4 bulan dan denda maksimal 145 juta.

Keempat, RUU ini berpotensi kuat mengangkangi berbagai kebijakan pemerintah untuk melindungi lingkungan dan hak-hak masyarakat. RUU ini berorientasi kuat untuk memfasilitasi kepentingan asing dan mempertahankan status quo atas dominasi penguasaan lahan di Indonesia, juga pada pembukaan lahan baru dan mengizinkan pengelolaan sawit di lahan gambut yang dilindungi. Dengan begitu, RUU ini jelas bertentangan dengan komitmen Jokowi untuk menjalankan reforma agraria, rencana kebijakan moratorium sawit, dan kebijakan perlindungan total lahan gambut yang dicanangkan Presiden.

Kelima, RUU ini lebih memberikan hak istimewa bagi para pengusaha besar dibandingkan pada kesejahteraan petani kecil dan buruh kelapa sawit.

“Kepentingan Indonesia saat ini adalah jaminan hukum bagi buruh, pekerja, dan petani kecil yang bekerja dan terlibat dalam bisnis kelapa sawit, bukan justifikasi kepada korporasi- korporasi besar untuk merampas tanah rakyat dan masyarakat adat,” tegas Wiko Saputra (AURIGA). Ia mengingatkan bahwa RUU ini tidak memuat ketentuan yang mengatur secara tegas bahwa masyarakat hukum adat dapat menolak lahannya untuk dialihkan menjadi areal kelapa sawit.

Keenam, RUU ini berpotensi memperburuk konflik lahan dan sosial di sektor perkebunan. Data Ditjenbun pada tahun 2012 mencatat terdapat 739 yang disebutnya sebagai gangguan usaha dan konflik perkebunan, dengan rincian 539 kasus adalah konflik lahan (72,25%); sengketa non lahan sebanyak 185 kasus (25,05%); dan sengketa dengan kehutanan sebanyak 15 kasus (2%). Di tengah keadaan maraknya konflik lahan tersebut, kehadiran RUU Perkelapasawitan yang akan melegalkan perkebunan ilegal skala besar sungguh tak masuk di nalar.

“RUU ini mengabaikan prinsip-prinsip penghormatan HAM di sektor perkebunan. Peraturan terkait sawit yang ada saat ini seharusnya mengadopsi ketentuan uji tuntas hak asasi manusia sebagai satu bentuk implementasi dari pilar “penghormatan” dari United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights,” ujar Andi Muttaqien dari ELSAM.

Terakhir, RUU ini akan mengancam hutan dan gambut Indonesia yang tersisa dengan cara memutihkan dan melindungi aktivitas ilegal di kawasan hutan. RUU ini berpotensi menegasikan Nomor 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. PP Perlindungan gambut menyatakan bahwa setiap orang dilarang membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut untuk tanaman tertentu. Namun, hal ini takkan berlaku manakala RUU Perkelapasawitan disahkan menjadi Undang-undang.

Koalisi Masyarakat Sipil Pemerhati HAM dan Lingkungan Hidup mendesak pemerintah dan DPR untuk melakukan perbaikan tata kelola sawit dengan cara yang tidak menimbulkan permasalahan baru.

“Kami meminta kepada pemerintah dan DPR, yang mendesak untuk dilakukan saat ini adalah penghentian izin baru di kawasan hutan, kaji ulang legalitas lahan perkebunan yang sudah ada, audit HAM, dan penguatan masyarakat terdampak, termasuk pekebun rakyat, buruh, masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal,” tutup Teguh Surya dari Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Narahubung:

  1. Andi Muttaqien (Deputi Direktur Advokasi ELSAM) – 08121996984, andi@elsam.or.id
  2. Mansuetus Darto    (Ketua   Serikat   Petani    Kelapa   Sawit    –    SPKS),   082110277700, darto.spks@gmail.com
  3. Wiko Saputra (Peneliti Kebijakan Ekonomi AURIGA Nusantara), 082124666788
  4. Henri Subagiyo (Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law – ICEL), 1. 081585741001, henrisubagiyo@gmail.com
  5. Nurhanuddin Ahmad        (Deputy        Direktur        Sawit        Watch),        08128748726, rambo@sawitwatch.or.id
  6. Teguh Surya,    Direktur    Eksekutif    Yayasan    Madani    Berkelanjutan,    081915191979, teguh.surya@madaniberkelanjutan.id

 

Koalisi Masyarakat Sipil Pemerhati Lingkungan Hidup dan HAM :

Madani | ICEL | Epistema Institute | AMAN | ELSAM | Pusaka | Kaoem Telapak | FWI | HuMA | Greenpeace | Auriga | JPIK

Related Article

en_USEN_US