Madani

Tentang Kami

MADANI INSIGHT VOL.5

MADANI INSIGHT VOL.5

“Gambaran Industri Sawit Indonesia, Menjawab Asumsi Dengan Fakta dan Angka”

Madani Berkelanjutan merilis beberapa temuan menarik terkait dengan industri sawit di Indonesia. Temuan tersebut disajikan dalam Info Brief Madani Insight yang disusun ke dalam beberapa volume.

BACA JUGA : Madani Insight Vol.3

Ada beberapa poin penting yang ditemukan Madani Berkelanjutan dalam Info Brief volume kelima ini :

1. Perusahaan Sawit dan Kemandirian Desa di Kalbar (Antara Data & Fakta)

Beragamnya pandangan mengenai kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan pedesaan menunjukkan bahwa berbagai aktor yang ada tidak berangkat dari data yang sama, dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang juga berbeda. Hal ini dapat menghambat pengambilan keputusan untuk mendapatkan sebuah solusi bagi semua pihak.

2. Kontribusi Perusahaan Sawit Pada Pembangunan Desa di Kalbar

Banyaknya jumlah desa di suatu wilayah yang bersinggungan dengan lokasi pemegang izin perusahaan perkebunan sawit tidak dapat menjamin pembangunan desa tersebut berjalan dengan baik. Pada studi kasus lima kabupaten di Kalbar, tiga kabupaten di antaranya yakni Ketapang, Landak, dan Sekadau memiliki Indeks Desa Membangun (IDM) yang cukup besar yang didominasi oleh jumlah desa yang belum mendapatkan manfaat atas pemegang izin usaha perkebunan secara optimal. Sedangkan Sintang dan Sanggau, berdasarkan IDM menunjukkan bahwa terdapat potensi besar pengembangan wilayah pedesaan.

3. Penyebab Rendahnya Nilai Indeks Desa Membangunan yang Bersinggungan dengan Lokasi Izin Perkebunan Sawit

Kondisi Desa yang beum mendapatkan manfaat atas keberadaan izin perkebunan sawit secara optimal dikontribusi oleh rendahnya nilai indeks komposit ekonomi dan lingkungan. Diperlukan kolaborasi multipihak baik pemerintah dan swasta melalui public private partnership dengan memaksimalkan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan yang terarah untuk mengurai permasalahan ini.

Untuk Info Brief Madani Insight Volume 5 ini, selengkapnya dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. 

Semoga Bermanfaat.

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Presiden Harus Memperpanjang dan Memperkuat Inpres Moratorium Sawit Sebagai Wujud Komitmen Perbaikan Tata Kelola Sawit

Presiden Harus Memperpanjang dan Memperkuat Inpres Moratorium Sawit Sebagai Wujud Komitmen Perbaikan Tata Kelola Sawit

[Jakarta, 6 Juli 2021] Inpres Moratorium Sawit merupakan instrumen penting yang memberi peluang besar bagi Indonesia untuk menguraikan dan menyelesaikan persoalan tata kelola industri sawit. Buruknya tata kelola industri sawit Indonesia selama ini menjadi hambatan utama bagi terwujudnya industri sawit yang berkelanjutan dan keberterimaan sawit di pasar global. Inpres Moratorium Sawit itu sayangnya akan berakhir pada 19 September 2021. Padahal Inpres tersebut belum tuntas dilaksanakan dan belum sepenuhnya mencapai tujuannya. Namun dampak positif dari pelaksanaan Inpres sudah tampak di beberapa daerah yang memberikan respon positif terhadap pelaksanaan Inpres tersebut. Karena itulah Inpres Moratorium Sawit penting dan mendesak bukan hanya untuk diperpanjang tetapi juga untuk diperkuat agar dapat mencapai tujuan. Demikian sampaikan oleh Sri Palupi, peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights menanggapi akan berakhirnya Inpres Moratorium Sawit.

 

Secara konseptual kebijakan ini sangat strategis, hanya saja belum optimal dalam tataran implementasi. Belum optimalnya implementasi moratorium sawit  disebabkan berbagai hal yang menghambat seperti belum adanya target spesifik. Sehingga diperlukan penguatan produk hukum dengan disertai target yang spesifik seperti peningkatan produktivitas maupun review izin dengan ukuran target  yang jelas.

Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak menyampaikan bahwa saat ini Pemerintah Indonesia telah berada di jalur yang tepat dalam mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan yang tercermin melalui Inpres Moratorium Sawit. Inilah esensi dari penerimaan pasar minyak sawit Indonesia di pasar global. Namun peluang strategis tersebut berpeluang hilang jika aturan ini tidak diperpanjang. Persoalan seperti review izin dan konflik sosial yang belum tuntas dapat menciptakan sentimen negatif bagi pasar global. Apalagi proyeksi konsumsi sawit Indonesia sampai tahun 2024 masih didominasi oleh pasar ekspor.

Kepercayaan masyarakat global terhadap komoditas minyak sawit Indonesia yang berkelanjutan adalah hal terpenting yang terus dijaga dan ditingkatkan oleh pemerintah Indonesia. Mengingat setiap tahunnya, sebesar 19% konsumsi dan permintaan dari total CPO global berasal dari sawit bersertifikat berkelanjutan.  Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch menambahkan, Inpres Moratorium Sawit juga menjadi jawaban bagi tuntutan pasar internasional akan produk sawit yang berkelanjutan. Kebijakan ini menjadi tools bagi pemerintah Indonesia dalam melakukan perbaikan tata kelola untuk menghasilkan produk sawit yang dapat diterima pasar global. Juga jika tata kelola perkebunan sawit menjadi lebih baik maka iklim investasi di Indonesia akan semakin positif.

Tidak hanya untuk pemerintah pusat, perpanjangan moratorium sawit juga dibutuhkan oleh daerah untuk mengurai permasalahan tumpang tindih lahan. Salah satu langkah yang perlu diapresiasi adalah komitmen Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah kaji ulang terhadap izin 30 perusahaan perkebunan sawit dalam dua tahun terakhir. Hasilnya, pencabutan 14 izin perusahaan sawit oleh Bupati dan rencana mencabut izin empat perusahaan di provinsi konservasi tersebut. Langkah ini juga yang semestinya dapat dilakukan pemerintah daerah yang lain untuk mengurai permasalahan serupa.

Lebih dari semata pencabutan izin, kebijakan Moratorium Sawit mendatang sudah semestinya mampu bekerja sebagai langkah korektif bagi penyelesaian sawit dalam kawasan hutan. Salah satunya meminta semua tutupan hutan tersisa dalam izin untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan atau ditetapkan sebagai HCV atau melalui skema hutan adat. Hal yang perlu ditekankan lagi ialah kebijakan Moratorium mendatang tidak hanya dilaporkan pada Presiden tetapi juga harus dipublikasi ke publik untuk menjamin keterbukaan informasi,” terang Arie Rompas Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace.[]

Kontak Media:

  • Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, HP. 0811 5200 822
  • Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, HP. 0811448677
  • Sri Palupi, Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, HP. 0813 1917 3650
  • Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak, HP. 081288135152

Related Article

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: JOKOWI APPOINTS TWO MINISTERS TO PALM OIL INDUSTRY UNAFFECTED BY COVID-19

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: JOKOWI APPOINTS TWO MINISTERS TO PALM OIL INDUSTRY UNAFFECTED BY COVID-19

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir ya (26 April-2 Mei 2021), berikut cuplikannya:

1. Presiden Jokowi Lantik Dua Menteri dan Kepala BRIN

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) dan Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi, di Istana Negara pada Rabu (28/4). Ini merupakan pos kementerian baru setelah Jokowi memutuskan menggabung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi serta membentuk Kementerian Investasi.

Ada pula nama Laksana Tri Handoko yang dilantik sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menggantikan Bambang Brodjonegoro. Handoko sebelumnya menjabat Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pemisahan BRIN dari Kemenristek ini sendiri sudah sejak lama diusulkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, pada 2019. Alasannya, ini merupakan gagasan lama era Sukarno demi pembangunan yang berbasis inovasi.

Target Investasi dan Perbedaan Fungsi Kementerian Investasi

Menurut Bahlil, Presiden memberikan target pada dirinya untuk menjaring investasi senilai Rp 900 triliun sepanjang 2021 dan mengundang investor-investor besar yang salah satunya adalah Tesla. Salah satu langkah yang diambil Bahlil untuk memenuhi target tersebut adalah mengimplementasikan UU Cipta Kerja. Berbagai sumber daya juga harus ditingkatkan seperti penyempurnaan Online Single Submission (OSS).

Selanjutnya, menurut Bahlil, perbedaan antara BKPM dengan Kementerian Investasi adalah jika BKPM selama ini hanya mengeksekusi regulasi seperti Peraturan Menteri, Undang-Undang, atau Peraturan Pemerintah, maka Kementerian Investasi dapat membuat regulasi secara langsung sehingga tidak hanya berperan sebagai eksekutor saja. Selain itu, Kementerian Investasi juga dapat mengelaborasi investasi di kementerian lainnya.

2. Indonesia-AS Kerja Sama Atasi Perubahan Iklim Melalui USAID BIJAK

Indonesia dan Amerika Serikat bekerja sama dalam mengatasi perubahan iklim melalui program Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat Build Indonesia to Take Care of Nature for Sustainability (USAID BIJAK). Sejak 2016, program USAID BIJAK dengan dana USD19,6 juta (Rp284,2 miliar) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan mitra utama lainnya dalam merevisi kebijakan, pedoman, dan prosedur untuk memperkuat pelestarian lingkungan hidup.

Kemitraan ini membantu Indonesia melindungi ekosistem yang berisiko, menurunkan perambahan dan sengketa lahan, serta memanfaatkan data untuk mengelola sumber daya alam secara lebih efektif dan transparan. Menurut USAID, program ini juga meningkatkan permintaan aksi konservasi taman nasional dan satwa liar.

Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno mengatakan pemerintah Indonesia akan menggunakan instrumen yang dikembangkan bersama dengan USAID BIJAK untuk mencapai tujuan mengatasi sengketa lahan seluas 1,8 juta hektar di kawasan konservasi dan melindungi 43 juta hektar habitat dengan stok karbon dan nilai konservasi yang tinggi.

3. Standar Global tentang Risiko Perubahan Iklim Ditargetkan Terbit Pertengahan 2022

Dewan penyusun standar pengungkapan informasi keuangan perusahaan yang berhubungan dengan risiko perubahan iklim akan segera terbentuk. Pemerintah dan regulator keuangan dari berbagai negara telah meminta International Financial Reporting Standards Foundation (IFRS) yang berbasis di London untuk membentuk badan baru yang akan menyusun standar tentang bagaimana perusahaan terbuka harus mengungkapkan risiko dari perubahan iklim pada kegiatan operasi mereka. Mereka menginginkan seperangkat norma global yang konsisten untuk menggantikan pendekatan sektor publik dan swasta saat ini yang tambal sulam, dan mempersulit investor dalam melakukan perbandingan.

Kelompok pertama standar itu akan menyesuaikan norma yang telah ditetapkan oleh Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), yang merupakan regulator dunia saat ini. Beberapa perusahaan sudah menerapkan secara sukarela standar tersebut. Dewan Standar Keberlanjutan atau Sustainability Standard Board (SSB) akan menetapkan standar global minimum, yang bersifat sukarela dan penerapannya diserahkan ke setiap negara anggota. Pendekatan semacam ini memberi peluang ke setiap negara untuk meningkatkan standar yang disusun SSB.

SSB akan memiliki, setidaknya, ketua dan wakil ketua, atau bahkan seluruh anggota, pada konferensi perubahan iklim COP 26 PBB di Skotlandia pada November yang akan dihadiri oleh para pemimpin dunia. Dukungan pembentukan SSB datang dari berbagai kalangan seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, IMF, PBB, Inggris, dan badan pengatur keuangan global seperti IOSCO dan Dewan Stabilitas Keuangan yang mengkoordinasikan peraturan keuangan di kelompok G20.

4. Mayoritas Investasi Asing Sektor Pertanian di Kebun Sawit

Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat mayoritas investasi asing di sektor pertanian masih berupa perkebunan sawit pada periode 2015-Maret 2021. Kepala Sub Direktorat Sektor Agribisnis Kementerian Investasi/BKPM Jumina Sinaga mengungkapkan sebagian besar investasi subsektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan di Indonesia berasal dari Singapura (53,7 persen) dan Malaysia (15,8 persen).


Jumina merinci realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) sektor pertanian mencapai US$9,5 miliar atau berkontribusi sekitar 5,2 persen dari terhadap total PMA di Indonesia selama periode 2015-Maret 2021. Di sisi lain, penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada periode tersebut mencapai Rp173,9 triliun atau berkontribusi 9,1 persen terhadap total PMDN di Indonesia.

5. Industri sawit Indonesia Tidak Terdampak Covid-19

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan industri sawit Indonesia tidak terdampak covid-19. Ini menyebabkan jumlah ekspor minyak sawit melonjak tajam 62,7 persen secara bulanan (mtm) dari 1,99 juta ton menjadi 3,24 juta ton di Maret 2021. Sejalan dengan pertumbuhan ekspor, harga rata-rata minyak sawit pada sebesar US$1.116/ton di CIF Rotterdam, naik 19 persen atau US$21 dibandingkan Februari. Kombinasi kenaikan harga dan volume ekspor mendongkrak nilai ekspor sawit hingga 80 persen dari US$2,08 miliar menjadi sekitar US$3,74 miliar pada Maret 2021.

Sementara itu, produksi minyak sawit Indonesia naik lebih dari 20 persen menjadi 3,71 juta ton ribu ton pada Maret. Mukti mengatakan kenaikan ini merupakan limpahan produksi pada bulan sebelumnya. Namun, ia menyatakan ketersediaan akhir minyak sawit justru turun dari 4,02 juta ton menjadi 3,20 juta ton di Maret. Ini disebabkan kenaikan produksi pada Maret lalu lebih kecil dari kenaikan ekspor dan konsumsi dalam negeri yang totalnya diperkirakan mencapai sekitar 1,4 juta ton.

Related Article

EXTENSION OF THE PALM OIL MORATORIUM: A "BUILD BACK BETTER" OPPORTUNITY

EXTENSION OF THE PALM OIL MORATORIUM: A "BUILD BACK BETTER" OPPORTUNITY

Saat ini, bisa dikatakan bahwa dunia berada dalam situasi yang tidak pasti terutama perihal kondisi perekonomian global. Termasuk Indonesia, dimana dampak Pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional menyebabkan pertumbuhan ekonomi mengalami resesi sebesar kurang lebih minus 2 persen. Oleh karena itu, banyak negara mulai memikirkan bagaimana cara untuk survive melawan resesi ekonomi yang melanda dunia.

Salah satu cara yang semakin digaungkan untuk dapat diimplementasikan adalah mengubah praktek ekonomi secara holistik dari yang sifatnya eksploitatif menjadi praktek ekonomi yang sifatnya berkelanjutan lantaran nilai eksternalitas dari kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi tidak optimal. Selain nilai eksternalitas, urgensi pergantian metode praktek ekonomi penting dilakukan disebabkan karena beberapa hal. 

Laporan terbaru dari World Wild Fund for Nature (WWF) menjelaskan dalam 60 tahun terakhir, penyakit-penyakit yang diklasifikasikan sebagai pandemi seperti HIV, SARS, MERS, Zika, hingga Covid-19 disebabkan oleh kerusakan alam yang parah. Di sisi lain, studi dari Oxford University menunjukkan bahwa adanya sinergitas antara kebijakan pemulihan ekonomi dengan kebijakan yang positif terhadap perubahan iklim memberikan prospek yang baik terhadap pertumbuhan ekonomi serta kualitas hidup manusia. 

Indonesia sendiri dapat memulai praktek ekonomi yang berkelanjutan melalui perbaikan tata kelola hutan dan lahan guna membangun ketahanan terhadap bencana alam, dampak perubahan iklim, hingga kemungkinan pandemi lain yang akan terjadi akibat kerusakan alam dan lingkungan. Hal ini bisa dimulai salah satunya dari perbaikan tata kelola perkebunan sawit yang selama ini ditemui beberapa permasalahan. 

Penelitian Turubanova (2018) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan persentase kehilangan hutan alam primer terbesar di dunia dan salah satu faktor terbesar penyebabnya adalah ekspansi perkebunan kelapa sawit (Busch, 2015). Selain itu, penelitian Yayasan Madani Berkelanjutan juga menunjukkan bahwa lebih dari satu juta hektar kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2019 erat kaitannya dengan keberadaan izin konsesi perkebunan sawit dan hal ini tentunya menyebabkan kerugian materiil yang tidak sedikit. Menurut World Bank, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang 2019 tersebut menyebabkan kerugian sebesar Rp 72,95 Triliun atau setara dengan 0,5 persen dari GDP Indonesia. 

Momentum Pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit dapat hadir apabila Pemerintah melakukan perpanjangan Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Izin Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau dikenal sebagai Inpres Moratorium Sawit yang akan habis pada September tahun ini. Moratorium Sawit sendiri dapat memberikan ruang bagi Pemerintah untuk mendalami dan menata ulang aspek tata kelola sawit. Lewat mandat yang diberikan oleh kebijakan ini, terdapat beberapa instruksi yang menjadi kunci perbaikan tata kelola sawit Indonesia. Pertama, kebijakan ini menginstruksikan adanya penghentian pengeluaran izin perkebunan sawit. 

Walau waktunya bersifat sementara, instruksi ini dapat menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan dan hutan alam yang tersisa sehingga diharapkan dapat mengurangi angka deforestasi. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018), terdapat 12,8 juta hektare kawasan hutan yang diklasifikasikan sebagai Hutan Produksi Konversi (HPK) yang secara legal dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit. 6,3 juta hektare dalam HPK tersebut merupakan hutan alam dan dengan instruksi ini luasan hutan alam tersebut dapat dilindungi apabila perpanjangan Inpres Moratorium Sawit diberlakukan. 

Kedua, kebijakan ini menginstruksikan adanya evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang telah dikeluarkan. Hal ini dapat menjadi cara untuk melindungi hutan alam yang tersisa yang berada di izin konsesi perkebunan sawit sebesar 3,4 juta (Madani, 2020). Selain itu, instruksi ini juga dapat menjadi cara untuk menemukan terjadinya pelanggaran hukum seperti perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan, beroperasi tanpa izin yang sesuai, hingga pelanggaran tata ruang yang terjadi. Dampak dari hal-hal tersebut salah satunya adalah potensi penerimaan negara yang kurang optimal dari sektor sawit. 

Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (2016) menunjukkan bahwa ada Rp 18,13 Triliun potensi pajak yang tidak terpungut dari sektor perkebunan sawit akibat tiadanya legalitas izin pada tutupan sawit serta maraknya perusahaan yang beroperasi melebihi izin atau konsesi. Ketiga, kebijakan ini menginstruksikan adanya percepatan legalitas lahan untuk petani kecil dan pemberdayaan bagi petani kecil sehingga perkebunan yang mereka miliki dapat memberikan kesejahteraan yang lebih baik. Instruksi ini juga dapat mempercepat proses implementasi sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang mewajibkan petani memiliki sertifikasi tersebut setelah 5 tahun diundangkannya Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan. 

ISPO memiliki tujuan untuk memastikan bahwa prinsip keberlanjutan yang diatur dalam regulasi/kebijakan terkait dapat diterapkan, mendukung pencapaian komitmen iklim Indonesia, serta meningkatkan daya saing sawit Indonesia baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Untuk mendapatkan sertifikasi itu sendiri, petani diwajibkan untuk memiliki sertifikat tanah serta surat tanda daftar usaha perkebunan sebagai sebagai salah satu prasyarat. Namun, dikarenakan aspek legalitas lahan yang masih menjadi masalah, maka proses implementasi ISPO terhadap petani masih menemui kesulitan. 

Perpanjangan kebijakan tersebut juga dapat memberikan waktu yang lebih banyak bagi Pemerintah untuk memperbaiki implementasi Moratorium Sawit yang selama ini dinilai masih jalan di tempat. Sampai saat ini, Pemerintah belum memiliki peta jalan pengimplementasian Inpres Moratorium Sawit sehingga tidak ada rujukan yang dapat menjadi acuan seperti petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) bagi Kementerian/Lembaga yang mendapatkan instruksi dalam kebijakan ini. Pemerintah juga belum mengedepankan prinsip keterbukaan data bagi publik sehingga perkembangan implementasi kebijakan ini masih sulit diketahui oleh khalayak. 

Selain itu, sosialisasi dan sinkornisasi kerja antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang belum sinergis menjadi alasan lain bahwa ‘pekerjaan rumah’ tata kelola sawit belum selesai dibenahi oleh Pemerintah lewat Inpres Moratorium Sawit sehingga perpanjangan kebijakan ini menjadi suatu keharusan. Ke depan, Pemerintah harus memiliki political will yang kuat untuk memperbaiki tata kelola sawit nasional dimulai dari memperpanjang masa pemberlakuan kebijakan ini. Selain itu, agar implementasi Inpres Moratorium Sawit dapat berjalan optimal, Pemerintah perlu membuat peta jalan pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit, memperbaiki transparansi perkembangan pelaksanaan Inpres Moratorium, perbaikan sinergisasi antar institusi baik antar Kementerian/Lembaga di level pusat maupun antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, hingga pelibatan semua pemangku kepentingan dalam konteks tata kelola sawit. Dengan diperpanjangnya masa pemberlakuan serta perbaikan dalam aspek implementasi, diharapkan momentum Build Back Better bagi perekonomian Indonesia dapat dicapai guna mewujudkan Indonesia tangguh dan berkelanjutan di masa depan.

Oleh: M.Arief Virgy

Peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan

 Artikel ini sudah dimuat di Harian Kalteng Pos edisi 6 Maret 2021.

Related Article

Perpanjangan INPRES Moratorium Sawit Peluang Menyejahterakan Petani dan Daerah

Perpanjangan INPRES Moratorium Sawit Peluang Menyejahterakan Petani dan Daerah

[Jakarta, 9 Februari 2021] Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (INPRES Moratorium Sawit) yang akan berakhir tahun ini, perlu diperpanjang untuk memberi ruang perbaikan tata kelola guna meningkatkan kesejahteraan petani dan daerah-daerah penghasil sawit.

Masih banyak persoalan tata kelola sawit yang harus dibenahi agar petani dan daerah sejahtera, di antaranya sengkarut perizinan, perkebunan tanpa izin, legalitas lahan dan kebun petani, subsidi yang tidak tepat sasaran, prioritas anggaran bagi kesejahteraan petani yang minim, hingga perimbangan keuangan pusat-daerah yang dirasa belum adil. Oleh karena itu, moratorium sawit selama 3 tahun ini harus diperpanjang agar semua pihak punya waktu cukup untuk berbenah,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sengkarut perizinan sawit membuat pendapatan daerah kurang optimal. Setidaknya Madani mencatat terdapat 11,9 juta izin sawit yang belum ditanami sawit. Area ini perlu mendapat perhatian sebagai prioritas revisi izin yang telah diberikan. Disisi lain terdapat pula 8,4 juta tutupan sawit yang belum terdata izin sawitnya. Tentunya pemerintah pada area ini perlu mencermati dan memastikan status izin yang ada agar dapat mengoptimalkan pendapatan negara.

Trias Fetra menambahkan, “Selain memperpanjang moratorium sawit, Pemerintah juga perlu membuat formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit melalui pengelolaan harga TBS dan dana perkebunan sawit, karena saat ini penggunaan Dana Perkebunan Sawit tidak tepat sasaran, sehingga tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan petani sawit. Selain itu, formula penetapan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani lebih banyak menguntungkan dan mensubsidi pengusaha”.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Madani, dana perkebunan sawit yang seharusnya digunakan untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan perkebunan sawit, seperti program peremajaan sawit rakyat, program pengembangan sarana dan prasarana perkebunan sawit, program peningkatan sumber daya manusia di sektor perkebunan sawit dan sebagainya, ternyata digunakan untuk program subsidi biodiesel. Berdasarkan data KPK (2017), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana perkebunan sawit dari hasil pungutan ekspor CPO dan produk turunannya sebesar Rp 11 triliun pada 2016. Dari besaran dana yang dihimpun tersebut, BPDPKS mengalokasikan sebesar 81,8% untuk subsidi biodiesel. Ada dua grup usaha, yaitu Wilmar Grup dan Musim Mas Grup yang mendapatkan alokasi terbesar dari subsidi biodiesel tersebut,” ungkap Trias Fetra.

Peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, Erlangga menambahkan bahwa dalam analisis input-output yang dilakukan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukan bahwa penggunaan dana perkebunan sawit untuk membiayai subsidi biodiesel tidak memberikan nilai manfaat besar terhadap keseimbangan faktor produksi dibandingkan menggunakannya untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan sektor perkebunan sawit.

Jika semua penerimaan dana perkebunan sawit digunakan untuk sektor perkebunan sawit maka pertumbuhan output produksi di sektor tersebut meningkat sebesar 6,52% dan juga mempengaruhi output produksi sektor lain, seperti faktor produksi tenaga kerja naik sebesar 0,59%, output faktor produksi rumah tangga juga meningkat sebesar 0,50%. Sedangkan, jika dana tersebut semuanya digunakan untuk subsidi biodiesel, hanya mampu meningkatkan output produksi sektor industri biodiesel sebesar 1,23%. Output produksi tenaga kerja dan output produksi rumah tangga hanya naik sebesar 0,31%,” terang Erlangga.

Selain itu, tujuan dari penghimpunan dana perkebunan sawit untuk meningkatkan kesejahteraan petani, sesuai dengan mandat dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan tidak terealisasi. “Pemerintah mendorong peningkatan harga CPO dengan melakukan pungutan ekspor terhadap ekspor CPO dan produk turunannya. Dimana dana dari hasil pungutan tersebut digunakan untuk membiayai subsidi biodiesel. Hal tersebut dilakukan agar produksi biodiesel di dalam negeri meningkat sehingga mampu menyerap produksi CPO. Meningkatnya permintaan CPO akan mampu mendongkrak harga CPO dan implikasi lainnya, harga TBS di tingkat petani meningkat. Pada akhirnya, akan meningkatkan nilai tukar petani (NTP) perkebunan rakyat,” kata Intan Elvira, peneliti Tata Kelola Sawit Madani Berkelanjutan.

Ternyata hal tersebut tidak terjadi. Harga CPO di dalam negeri tidak mengalami peningkatan signifikan dan cenderung berfluktuasi. Misalnya, pada 2014, rata-rata harga CPO berdasarkan harga acuan Belawan dan Dumai sebesar Rp 9.084/Kg. Harga tersebut sebelumnya pemerintah melakukan pungutan ekspor. Setelah, pungutan ekspor dilakukan pada 2015, harga CPO lebih rendah dibanding harga sebelum pungutan ekspor. Bahkan, pada 2019, harga turun menjadi Rp 6.829/Kg,” tambah Intan Elvira.

Untuk itu, Badan Pengarah BPDPKS perlu mengubah strategi penggunaan dana perkebunan sawit agar fokus pada perbaikan kesejahteraan petani, seperti program peremajaan sawit rakyat, peningkatan sarana dan prasarana perkebunan sawit, dan peningkatan SDM petani sawit. Hal ini penting dilakukan agar mandat dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan bisa direalisasikan dengan baik. Di mana dalam regulasi tersebut diatur penggunaan dana perkebunan sawit untuk program peremajaan sawit rakyat, peningkatan sarana dan prasarana perkebunan sawit, dan peningkatan SDM petani sawit,” kata Trias Fetra.

Selain itu, Badan Pelaksana BPDPKS perlu memperbaiki skema penyaluran dana untuk program peremajaan sawit rakyat yang berbasis pada data yang valid (spasial dan numerik), memangkas proses birokrasi yang panjang, seperti proses rekomendasi teknis yang bertingkat dan verifikasi calon penerima.

Kementerian Pertanian perlu perbaikan terhadap formula penetapan harga TBS di tingkat petani dari hanya menggunakan pendekatan biaya produksi pada level Pabrik Kelapa Sawit (PKS) menjadi kombinasi antara biaya produksi pada level PKS dan biaya produksi pada level petani.  Serta Kementerian Pertanian perlu menyusun matriks penentuan harga TBS berdasarkan kualitas TBS sebagai referensi resmi yang dikeluarkan melalui revisi Permentan No. 1 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga TBS. Dan perlu menyusun skema khusus lewat Peraturan Menteri yang mengatur ketentuan penetapan harga yang linear antara kenaikan harga CPO dan Indeks K. Pada banyak kasus, kenaikan harga TBS tidak elastis dengan kenaikan harga CPO,” kata Intan Elvira. [ ]

Kontak Media:

Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366

Erlangga, Peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0852 0856 8896

Intan Elvira, Peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0812 2838 6143

Related Article

Dua Tahun Inpres Moratorium Sawit : Pemerintah Perlu ‘Tancap Gas’ Perbaiki Tata Kelola Sawit

Dua Tahun Inpres Moratorium Sawit : Pemerintah Perlu ‘Tancap Gas’ Perbaiki Tata Kelola Sawit

[Jakarta, 20 September 2020] September 2020, Kebijakan Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, atau yang dikenal dengan inpres moratorium sawit telah memasuki usia dua tahun pasca diterbitkan. Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah perlu ‘tancap gas’ untuk menyelesaikan berbagai mandat Inpres moratorium sawit dalam memperbaiki tata kelola sawit Indonesia agar dapat menyelesaikan 1053 konflik di perkebunan sawit    serta berkontribusi optimal untuk pemulihan ekonomi nasional.

Dalam konteks terkini, pandemi Covid-19 yang sedang kita hadapi bersama sedikit banyak menjadi faktor eksternal yang berpengaruh terhadap proses pengimplementasian kebijakan. Dengan fokusnya pemerintah pusat dan daerah dalam hal menangani pandemi, maka proses pengimplementasian kebijakan ini agak sedikit tertunda. Harapannya pemerintah dapat menemukan mekanisme kerja implementasi yang lebih adaptif terhadap kondisi pandemi sehingga situasi ini tidak menjadi penghambat yang berarti.

Selama kurun waktu dua tahun, dinamika perkembangan dan capaian yang dilakukan dari Kementerian dan atau Lembaga di pemerintah pusat sampai pemerintah daerah belum memuaskan karena tiadanya capaian-capaian yang signifikan. Di tingkat nasional, pemerintah pusat yang digawangi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah membentuk tim kerja moratorium sawit yang beranggotakan perwakilan antar-kementerian. Tim ini diketahui telah menyelesaikan tutupan luasan sawit di Indonesia yang tertuang dalam Kepmentan No. 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 yakni luas tutupan perkebunan sawit adalah 16,38 juta hektar. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah melakukan validasi data Hak Guna Usaha (HGU) di Kaltim, Kalteng, Sulbar, Papua dan Riau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan penundaan penerbitan izin baru pelepasan kawasan/tukar menukar kawasan hutan, telah menetapkan kebun-kebun sawit illegal dalam kawasan hutan serta menyusun rancangan perpres berkenaan dengan tipologi penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan.

Sementara di tingkat Provinsi dan Kabupaten, beberapa pemerintah daerah seperti Provinsi Aceh, Kabupaten Buol, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Gorontalo dan Aceh Utara telah merespon kebijakan ini dengan menurunkannya ke dalam aturan di tingkat lokal dalam bentuk Surat Edaran (SE) maupun Peraturan Bupati (Perbup). Sementara daerah yang memiliki komitmen positif terhadap inpres ini terdapat lima Provinsi (Kaltim, Kalbar, Riau, Papua Barat dan Kepulauan Riau) dan enam Kota/Kabupaten (Sintang, Kayong Utara, Barito Timur, Lingga, Banyuasin dan Musi Banyuasin). 

Sejumlah capaian baik ini tidak terlepas dari hambatan dan tantangan pengimplementasian yang perlu diperbaiki ke depan. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat beberapa hal diantaranya, Pertama, minimnya sosialisasi kebijakan. Beberapa kepala daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota masih belum mengetahui terkait kebijakan ini. Hal ini menunjukkan proses sosialisasi yang kurang baik. Kedua, pola kerja pemerintah pusat dan daerah yang tidak tersinkronisasi. Pola kerja dalam inpres ini adalah dari daerah ke nasional artinya hasil temuan pemerintah daerah yang nantinya akan dibahas di tim kerja nasional untuk tindaklanjuti. Hal ini yang tidak terjadi. Pemerintah pusat hanya berfokus melakukan penyusunan tutupan luasan sawit. Bahkan strategi implementasi inpres tim kerja nasional dengan menetapkan tujuh provinsi prioritas (Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur) tidak sejalan dengan inpres, karena didalam inpres tidak mengamanatkan hal demikian. 

Ketiga, belum adanya peta jalan pengimplementasian inpres moratorium sawit. Beberapa daerah yang semangat menjalankan inpres terkendala soal tidak adanya dokumen rujukan yang dapat menjadi acuan pengimplementasian inpres ini. Sehingga diperlukan hal semacam peta jalan, petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), termasuk alokasi anggaran yang tidak disebutkan dalam inpres ini.

Keempat, tidak mengedepankan prinsip keterbukaan data. Laporan perkembangan enam bulanan yang disusun oleh tim kerja nasional untuk dilaporkan ke Presiden sangat sulit untuk diakses kelompok masyarakat sipil. Walau tidak ada kewajiban untuk membuka dokumen ini ke publik tapi akan sangat baik jika hal tersebut dilakukan, agar kita dapat melihat proses secara utuh dan memberikan masukan-masukan yang sesuai. Selain itu, tidak adanya update yang diterima masyarakat sipil terkait perpindahan Deputi di Kemenko Perekonomian yang menangani Inpres ini juga sangat disayangkan. Padahal proses transparansi adalah faktor yang penting untuk mengetahui lubang yang selama ini ada dan bersama-sama menambalnya.

Hal lainnya, terkait tutupan luasan perkebunan sawit di Indonesia yang telah dirilis juga tidak menyampaikan detail terkait berapa dan dimana lokasi sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Padahal jika hal ini tertuang dalam tutupan tersebut maka akan sangat memudahkan bagi tim kerja melakukan evaluasi. Sehingga wajar saja, hingga saat ini belum ada kasus sawit di kawasan hutan yang dapat diselesaikan melalui inpres ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyatakan bahwa terdapat 3,4 juta ha perkebunan sawit didalam kawasan hutan, namun faktanya hingga saat ini tidak ada kejelasan terkait penyataan tersebut perihal dimana lokasinya, dimiliki oleh siapa apa dan bagaimana proses tindaklanjutnya.

Kelima, pemerintah belum memiliki arah yang jelas soal peningkatan produktivitas sawit. Artinya pemerintah belum memiliki berapa target atau standar produktivitas sawit yang akan dituju serta bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai target tersebut. Dalam kacamata pemerintah peningkatan produktivitas hanya terbatas pada Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) semata dengan memanfaatkan dana BPDP-KS. Yang mana realisasinya program ini masih minim, pada 2020 hanya seluas 20.469 ha atau 11,37% dari target yang telah ditetapkan.

Selain itu di sisi ekonomi, kontribusi sawit terhadap daerah masih dirasa kurang berdampak. Hal ini dikarenakan belum adanya skema bagi hasil yang berimbang antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat. Sistem pembagian hasil seperti ini tidak setara dengan dampak dari pengelolaan perkebunan sawit seperti kerusakan infrastruktur akibat pengangkutan CPO hingga kerusakan lingkungan yang berdampak pada pencemaran air, tanah, dan udara, serta Karhutla.

Sejumlah catatan kritis di atas diharapkan dapat menjadi perhatian para penerima mandat dalam inpres ini.  Kami dari koalisi masyarakat sipil merekomendasikan beberapa hal diantaranya :

  1. Respon positif pemerintah daerah baik di tingkat provinsi/kabupaten/kota perlu disambut baik oleh pemerintah pusat dengan mensinergikan kerja-kerja serta memfasilitasi dengan menyiapkan aturan teknis implementasi inpres (juklak atau juknis)termasuk alokasi anggaran.
  2. Adanya target dan program peningkatan produktivitas oleh pemerintah yang lebih jelas dan terukur serta memiliki waktu dan lokasi (kabupaten/kota) pencapaian target tersebut.
  3. Meningkatkan transparansi dan akses publik mengenai laporan enam bulanan perkembangan inpres moratorium serta data penggunaan lahan dan izin perusahaan perkebunan sawit.
  4. Melibatkan lintas stakeholder untuk pelaksanaan dan pengawasan moratorium sawit, seperti organisasi masyarakat sipil dan organisasi lintas keagamaan.
  5. Adanya skema dana bagi hasil yang berkeadilan antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat agar daerah memiliki dorongan untuk mengawasi dan membangun perkebunan sawit yang berkelanjutan.
  6. Membuat peta jalan (road map) satu pintu pelaksanaan moratorium sawit. Hal ini diperlukan untuk mengefektikan proses moratorium sawit sehingga tidak terjadi tumpang tindih aturan birokrasi dan anggaran.
  7. Pembahasan RUU Cipta Kerja semestinya tidak menjadi alasan bagi Pemerintah untuk menunda pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Penyelesaian moratorium dengan fokus terhadap konsolidasi data dan review perizinan harus menjadi langkah awal untuk menuntaskan permasalahan tata kelola perkebunan.
  8. Tidak memprioritaskan wilayah tertentu dalam pengimplementasian kebijakan inpres moratorium sawit, melainkan seluruh wilayah di Indonesia yang memiliki sawit.

Jika pemerintah masih menggunakan pendekatan dan strategi yang sama dalam menjalankan tugas dan amanah didalam inpres ini, maka perbaikan tata kelola sawit yang di impikan selama ini akan sangat sulit tercapai di waktu yang sempit ini. Koalisi Masyarakat Sipil melihat perpanjangan inpres moratorium sawit untuk perbaikan tata kelola perkebunan sawit Indonesia adalah sesuatu hal relevan dapat dilakukan Pemerintah Indonesia dengan catatan harus memiliki capaian-capaian yang terukur dalam segala aspek serta turut mensinkronisasikan dan mengkonsolidasikan kepada pihak-pihak yang memiliki tujuan yang sama dalam mewujudkan perbaikan tata kelola sawit, seperti misalnya dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN PSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal review perizinan serta bersama dengan ISPO dan RSPO dalam hal peningkatan produktivitas dan standar perkebunan sawit berkelanjutan melalui mekanisme sertifikasi.

###

Atas Nama Koalisi Masyarakat Sipil :

Sawit Watch, Kaoem Telapak, Madani Berkelanjutan,

Forest Watch Indonesia dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

 

Narahubung :

Abu Meridian_Direktur Eksekutif Kaoem Telapak (082311600535 / abu.meridian@kaoemtelapak.org

Adrianus Eryan_Indonesian Center For Environmental Law (081386299786 / adrianuseryan@gmail.com)

Agung Ady Setiyawan_Perkampanye Forest Watch Indonesia (085783517913 / agung_ady@fwi.or.id )

Inda Fatinaware_Direktur Eksekutif Sawit Watch (0811448677 / inda@sawitwatch.or.id)

Teguh Surya_Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan (081294801453 / teguh@madaniberkelanjuan.id)

Related Article

THE PALM MYTH AND PUBLIC WELFARE

THE PALM MYTH AND PUBLIC WELFARE

In the midst of the increasingly troubling Covid-19 pandemic, WHO (World Health Organization) in the Eastern Mediterranean and Europe instead made it uneasy by saying that unprocessed palm oil products were consumed. Through an online campaign, WHO published articles related to palm oil, each entitled was “Nutrition Advice for Adults during Co-19” and “Food and Nutrition Tips During Self Quarantine”.

Both articles contain health information and tips on eating food during the Covid-19 pandemic. In an article titled “Nutrition Advice for Adults during Covid-19“, WHO recommends that during the Covid-19 pandemic to consume unsaturated fats (such as those found in fish, avocados, nuts, olive oil, soybeans, canola, flower oil sun, corn) compared to consuming saturated fats (such as meat, butter, coconut oil, palm oil, cream, cheese, ghee, and lard).

Meanwhile, the article entitled “Food and Nutrition Tips During Self Quarantine” contains a call to reduce consumption of foods such as red and fatty meat, butter, fatty milk products, palm oil, coconut oil, coconut oil, and lard.

READ ALSO: Job Creation Bill, Covid-19, and Indonesia’s Climate Commitment 

Because of this, Indonesia was also inflamed, through the Indonesian Deputy Foreign Minister, Mahendra Siregar, Indonesia formally submitted the objection letter to WHO Indonesia representatives. For Indonesia itself, the campaign will certainly have a negative impact on the economy because palm oil is the queen of the economy itself.

Palm Economy

It cannot be denied that palm oil is one of the pillars of the national economy. Palm itself is the biggest foreign exchange supply commodity for the country so far. The contribution of foreign exchange palm exports even had reached a record high in 2017 which reached USD 22.9 billion or around Rp320 trillion. The value of Indonesia’s palm oil foreign exchange contribution during 2018 also reached US $ 20.54 billion or equivalent to Rp 289 trillion.

Based on this value, it is certain that palm oil plays an important role in supporting the national economy. Not only about foreign exchange, the potential tax revenue from the palm oil industry is estimated to reach Rp 45-50 trillion per year.

Because palm oil is a contributor to the rupiah coffers with fantastic value, it is natural that this commodity gets the red carpet. In fact, until now palm cannot be separated from a myriad of complex problems.

The Community Economy in Palm Area

However, the assumption that palm oil is prosperous, seems to need to be reviewed more comprehensively. The reason, the notion that palm oil is no more than a mere myth. Related to this, in research conducted by Madani Bekelanjutan in two provinces that are rich in palm oil, namely the Provinces of West Kalimantan and Riau, it was found that there is a sharp inequality. In fact, the massive expansion rate of palm oil is not directly proportional to the improvement in the welfare of the village community. In fact, there is no place other than the village that can accommodate palm oil to grow and produce. Then, why the village is not prosperous?

Based on Village Development Index (Indeks Desa Membangun/IDM) of the Ministry of Villages, the Development of Disadvantaged Areas and Transmigration (Kemendes PDTT) and the existence of palm oil plantations in the village, Madani Berkelanjutan found that only 3 percent of villages were classified as independent villages in West Kalimantan. Then, 6 percent is classified as a developed village and 31 percent is in the developing category. While 48 percent of villages occupied by oil palm plantations are classified as underdeveloped villages and 11 percent are even classified as villages that are very underdeveloped.

Meanwhile, only 1 percent of villages in Riau are classified as independent villages. Then, about 6 percent of villages are classified as developed villages, 64 percent as developing villages. While villages that are classified as disadvantaged villages are as much as 27 percent and 3 percent are classified as villages that are very underdeveloped.

This fact is certainly very ironic. In the midst of the pride of many parties for such a large palm oil, it turns out the results are not as big as what is imagined. In fact, palm oil does not really provide welfare for the public. Whereas all this time, palm oil has been cultivated as an excellent commodity for the country’s economy.

READ ALSO: SVLK, Job Creation Bill, and Revision of Mineral and Coal Law Madani’s Update Report, April- May 2020 Edition 

The low welfare of the public in terrain areas with palm is also allegedly due to the large ownership of oil palm from private companies. In fact, of the 14.3 million hectares of palm oil plantations in Indonesia, the majority is controlled by private palm oil companies. Noted, an area of 7.7 million hectares (ha) or 54% of the total area of palm oil land in Indonesia is controlled by private companies. Then, palm oil land owned by the state through State-Owned Enterprises (BUMN) reached 715 thousand ha or 5%. The remaining area of smallholder plantations reaches 5.8 million ha or 41% of the total area.

Judging from the performance of produced palm oil, private companies are arguably the most resilient in production, with a capability of 26.5 million tons or 51%, state plantations of 2.5 million tons or 6%. While community plantations contributed 14 million tons of CPO or 33%.

With this relatively large number, it is natural that the government and many parties provide extra support to the palm oil industry in the country. Even the government is ready to put on a body when palm oil gets negative sentiment from the European market. It is also not wrong if many say that the government’s attitude towards palm oil commodities is interpreted as a form of gratitude for the Indonesian government to business people who are involved in the national palm oil industry. Obviously, all of that is because oil is so profitable.

With the largest land tenure and production capability, private companies are clearly the biggest beneficiaries of palm oil. Meanwhile, the size of the people’s ownership of the palm oil did not contribute greatly to the prosperity of the village because it could be that the oil palm owned by the smallholders was sold at a low price to middlemen or many other causes.

The low level of welfare of oil palm farmers can also be caused by the amount of farmers spending in the production process is greater than the income received from the selling price of production. This means that the addition of planting areas is not an absolute requirement in an effort to improve the welfare of the palm oil farmers.

In fact, differences in ability and market access make palm oil tend to be enjoyed by a small number of people. Therefore, it is natural that there is no correlation between the increasingly widespread and the size of the palm oil industry with the welfare of the community. It is appropriate that the welfare of the people from palm oil is just a myth.

By: Delly Ferdian

Researcher in Madani Berkelanjutan


This article was published in the June 12, 2020 Independent Observer.

Related Article

Sawit Riau Antara Bencana dan Kesejahteraan

Sawit Riau Antara Bencana dan Kesejahteraan

Saat ini, industri sawit memegang peranan penting dalam perekonomian baik nasional maupun daerah. Terlebih bagi Provinsi Riau yang saat ini menempati peringkat pertama provinsi dengan luas sawit terbesar di Indonsia (3,4 juta hektare).


Per 2018, terdapat tujuh kabupaten di Riau yang memiliki luas area tanam sawit terluas, yaitu Kampar (430 ribu hektare), Rokan Hulu (410 ribu hektare), Siak (347 ribu hektare), Pelalawan (325 ribu hektare), Rokan Hilir (282 ribu hektare), Indragiri Hilir (227 ribu hektare), dan Bengkalis (186 ribu hektare).

Dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Madani Berkelanjutan dengan tema “Kesejahteraan dan Panen Bencana di Provinsi Sentra Sawit di Riau”, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, Intan Elvira menyampaikan bahwa dari 7 kabupaten dengan luas area tanam sawit yang signifikan, 6 kabupaten memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah, yaitu Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rohil. Sementara itu, 4 kabupaten (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar) justru mengalami kerawanan pangan.

Kerawanan pangan yang terjadi di Riau juga disinyalir lantaran Riau telalu bergantung kepada perekebunan kelapa sawit.

Terkait dengan hal ini, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, mengatakan bahwa menggantungkan perekonomian hanya pada sawit sebagai komoditas dominan akan sangat berisiko bagi ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat di daerah.

Menggantungkan harapan pada satu jenis komoditas itu keliru. Namun, belum terlambat bagi provinsi Riau, tetapi tetap harus ada siasat, keberanian, komitmen, dan kolaborasi agar keluar dari ketergantungan akan sawit”, Ujar Teguh Surya.

Dalam diskusi virtual ini, hadir beberapa narasumber lainnya seperti Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Siak, L Budi Yuwono, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak, Dr. Ir H. Wan Muhammad Yunus, Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Riau, Vera Virgianti S.Hut, MM, serta akademisi yang juga Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, Dr. Pramono Hadi.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkai diskusi ini, silakan unduh beberapa materi yang terlampir di bahwa ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Perlu Siasat dan Kolaborasi Para Pihak Untuk Sejahtera Dari Sawit

Perlu Siasat dan Kolaborasi Para Pihak Untuk Sejahtera Dari Sawit

[Jakarta, 6 Mei 2020] Kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan perlu digantungkan pada komoditas yang beragam dan seimbang antara komoditas perkebunan dan pertanian pangan. Menggantungkan perekonomian hanya pada sawit sebagai komoditas dominan akan sangat berisiko bagi ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat di daerah. Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “Kesejahteraan dan Panen Bencana di Provinsi Sentra Sawit Riau” yang dilaksanakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 6 Mei 2020.

Meskipun Provinsi Riau memiliki perkebunan sawit terluas nomor wahid di Indonesia, dengan luas mencapai 3,4 juta hektare, sektor ini terbukti belum mampu memberikan manfaat optimal bagi kesejahteraan masyarakat maupun petani sawit di Riau. Per 2018, terdapat tujuh  kabupaten di Riau yang memiliki luas area tanam sawit terluas, yaitu Kampar (430 ribu hektare), Rokan Hulu (410 ribu hektare), Siak (347 ribu hektare), Pelalawan (325 ribu hektare), Rokan Hilir (282 ribu hektare), Indragiri Hilir (227 ribu hektare), dan Bengkalis (186 ribu hektare).

 

Kajian Madani menunjukkan bahwa dari 7 kabupaten dengan luas area tanam sawit yang signifikan, 6 kabupaten memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, yaitu Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rohil. Sementara itu, 4 kabupaten (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar) justru mengalami kerawanan pangan,” kata Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sementara itu, dari sisi ekologis, kajian Madani menunjukkan korelasi erat antara hilangnya tutupan hutan dengan bencana ekologis di Riau. “Hilangnya tutupan hutan di Riau pada periode 2010-2013 telah memicu terjadinya bencana ekologis pada dua hingga tiga tahun setelahnya. Pada periode 2017 hingga 2019, Riau “memanen” bencana akibat hilangnya tutupan hutan pada kurun waktu 2011-2015. Rusaknya hutan di Riau tidak hanya mencederai ekosistemnya, tapi juga masyarakat karena terdapat 194 desa dan kelurahan di Riau yang keberlangsungan hidup masyarakatnya bergantung pada kawasan hutan,” tambah Intan.

 

Pada periode 2010-2018, tercatat 1,7 juta hektare tutupan hutan hilang di Riau. Artinya, rata-rata 190 ribu hektare tutupan hutan hilang setiap tahunnya. Kabupaten Pelalawan menduduki posisi pertama sebagai kabupaten dengan hilangnya tutupan hutan terluas di Riau, yakni 316 ribu ha atau setara dengan lima kali luas Singapura, dan berturut–turut diikuti oleh Rokan Hilir (220 ribu ha), Indragiri Hilir (212 ribu ha), Bengkalis (184 ribu ha), dan Indragiri Hulu (163 ribu ha).

Ancaman bencana ekologis sangat besar bagi desa-desa yang berada di sekitar perkebunan sawit, terutama bencana kekeringan dan kebakaran. “Dari 573 desa di sekitar perkebunan sawit di 6 Kabupaten yaitu Indragiri Hilir, Kampar, Rokan Hulu, Siak, Pelalawan dan Rokan Hilir, 82 persen (471 desa) terindikasi rawan bencana ekologis. Lima dari enam Kabupaten tersebut, yaitu Kabupaten Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Indragiri Hilir dan Siak memiliki kerentanan bencana karhutla yang dominan. Sementara Kampar rentan akan bencana kekeringan yang dominan. Kerawanan bencana desa-desa di sekitar perkebunan sawit sangat tinggi, namun ironisnya, hanya 15 persen yang memiliki kapasitas manajemen bencana,” tambah Intan.

Bencana kebakaran hutan secara khusus sangat mengancam secara ekonomi. Potensi kerugian dari kebakaran gambut di wilayah perkebunan sawit di Riau pada tahun 2019 mencapai 1,5 Triliun dari sisi karbon saja hingga ekosistem gambut tersebut bisa kembali terpulihkan.

Terbitnya kebijakan moratorium sawit bisa menjadi pijakan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan membenahi produktivitas, modal usaha, legalitas lahan  dan keberlanjutan petani sawit untuk menciptakan daya saing dan mengurangi risiko tersingkirnya petani sawit dari pasar formal.

Sementara itu, untuk mengatasi minimnya kapasitas manajemen bencana di desa-desa sekitar perkebunan sawit, Pemda harus memprioritaskan kolaborasi dengan berbagai pihak melalui skema alokasi dana desa dan mengintegrasikan program TJSL (Tanggung Jawab Sosial Lingkungan) perusahaan

Terakhir, mekanisme transfer fiskal ekologis dari Kementerian Keuangan melalui kerangka Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE) dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan biaya dan manfaat yang sepadan dalam menjaga kelangsungan hutan dan hidrologis gambut.

ooo

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 2838 6143

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Ada Apa Dengan Sawit Indonesia?

Ada Apa Dengan Sawit Indonesia?

Sebagai komoditas terbesar di tanah air, sawit ternyata tidak benar-benar memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat di akar rumput. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya dalam diskusi virtual The 9th Session of #LetsTalkAboutPalmOil yang diselenggarakan pada Kamis, 30 April 2020.

Dalam diskusi tersebut terungkap fakta bahwa pembangunan desa di provinsi yang kaya dengan komoditas ini, tidak berbanding lurus dengan masifnya ekspansi sawit. Seperti halnya Kalimantan Barat dan Riau. Kedua provinsi ini sama-sama kaya dengan sawit, namun, daya dorong sawit terhadap perekonomian masyarakat desa masih terbilang sangat rendah.

Di Kalimantan Barat (2019), desa yang ditempati perusahaan sawit untuk beroperasi, hanya 3 persennya saja yang termasuk ke dalam kategori desa mandiri berdasarkan indeks desa membangun (IDM) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan, Transmigrasi (Kemendes PDTT). Sebesar 6 persen berada pada kategori maju, 31 persen berkembang. Sedangkan 48 persennya masuk dalam kategori tertinggal, dan 11 persen sangat tertinggal.


Sementara itu, hanya 1 persen saja desa di Riau yang tergolong sebagai desa mandiri. Sekitar 6 persen maju, 64 persen berkembang. Sedangkan desa yang masuk dalam kategori tertinggal sebesar 27 persen dan 3 persennya sangat tertinggal.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkait fakta sawit tersebut, silakan unduh melalui tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

en_USEN_US