Madani

Tentang Kami

FORESTRY AND LAND SECTOR NET SINK 2030 AGENDA IS FREE OF OBSTACLE

FORESTRY AND LAND SECTOR NET SINK 2030 AGENDA IS FREE OF OBSTACLE

[MadaniNews] Pemerirah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan bahwa dokumen penyerapan bersih (net sink) karbon sektor hutan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use atau FoLU) akan membawa Indonesia menuju capaian komitmen kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution atau NDC) pada 2030.

Net sink FoLU merupakan bagian strategi Indonesia untuk menjamin tercapainya tujuan Paris Agreement dengan menahan kenaikan laju suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius dan menjadi panduan Indonesia dalam melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan Iklim. Dalam melaksanakan agenda net sink FoLu2030 juga merupakan bagian dari aspirasi Indonesia menuju  Long-term Strategy on  Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) pada 2050.

Satu hal yang pasti jika pemerintah Indonesia membayangkan untuk mewujudkan net sink di 2030, maka kontribusi dari perbaikan tata kelola di lahan gambut itu menjadi unsur penting penunjang yang harus diperhatikan. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam diskusi publik “Lahan Gambut Sehat: Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan” yang diselenggarakan secara virtual oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada Jumat, 24 September 2021. 

Ada beberapa prioritas di sektor FOLU seperti pemulihan gambut dan pengendalian kebakaran hutan. Restorasi gambut ini seharusnya menjadi tumpuan untuk mencapai net sink Indonesia.” Ujar Nadia.

Sementara itu, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, Yosi Amelia menyampaikan bahwa ada dua kunci yang dapat dilakukan dalam upaya memperkuat perlindungan gambut di tanah air. Menurut Yosi, dua kunci tersebut yakni; pertama, urgensi untuk memperluas target restorasi 2021-2024 di area krusial seperti area bekas terbakar, lahan izin/konsesi, termasuk yang tumpang tindih dan gambut fungsi lindung.

Kedua, pentingnya mengoptimalkan implementasi restorasi 2021-2024 terutama di area PIPPIB, PIAPS, dan AOI Food Estate. Food Estate menjadi tantangan tersendiri dalam upaya merestorasi gambut saat ini. 

Dalam upaya memperkuat perlindungan ini ada dua opsi, jangan sampai food estate masuk ke lahan gambut, kemudian perlu memperpanjang moratorium sawit demi menyelesaikan permasalahan tumpang tindih.” tambah Yosi. 

Dalam diskusi ini, hadir beberapa pembicara utama seperti Gubenur Riau, Drs.H.Syamsuar,M.Si, Deputi Perencanaan dan Evaluasi Badan Restorasi Gambut dan Mangove, Prof.Dr.Satyawan Pudyatmoko,S.Hut,M.Sc, GIS Specialist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda, dan Pegiat Penyelamatan Lahan Gambut Riau, Abdul Manan. 

Saksikan siaran ulang Diskusi Publik Lahan Gambut Sehat: Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan di saluran youtube Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dapatkan bahan presentari narasumber Diskusi Publik Lahan Gambut Sehat: Agenda Net Sink Sektor Kehutanan dan Lahan 2030 Bebas Hambatan di lampiran yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

[1000 IDEAS] PEAT SAGO: A SUSTAINABLE FOOD ALTERNATIVE IN FACING ENVIRONMENTAL CRISES

[1000 IDEAS] PEAT SAGO: A SUSTAINABLE FOOD ALTERNATIVE IN FACING ENVIRONMENTAL CRISES

Pernahkan kita mendengar anggapan “kalo orang Indonesia gak makan kalo bukan nasi?” Ternyata itu bisa dibilang hampir 100 persen benar, jika dilihat rata-rata konsumsi langsung rumah tangga pada tahun 2019, data BPS menyebutkan beras menjadi sumber penyedia energi dan karbohidrat tertinggi dengan besaran 94,9 kg/kapita/tahun. Ini sama saja kurang lebih diperlukan 2,5 juta ton beras per bulan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tapi seiring perkembangan saat ini, pola konsumsi nasi perlahan sudah beralih ke gandum.

Pemerintahan Presiden Jokowi  mengeluarkan kebijakan mencetak sawah dalam proyek Food Estate salah satunya di Provinsi Kalimantan Tengah, guna mengantisipasi kelangkaan pangan dalam menghadapi kemungkinan kemarau panjang dan menangani masa pandemi Covid-19 yang katanya mengancam produksi beras nasional.

Proyek ini, mendapatkan kritikan dan kecaman bertubi-tubi dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan lingkungan termasuk penolakan dari masyarakat adat, mengingat proyek serupa saat pemerintahan Presiden Soeharto  yaitu pembukaan lahan gambut (PLG) satu juta hektare yang sembarangan dan berakhir pada krisis ekologi terparah di negeri ini.

Usaha mengganti sifat alami gambut yang seharusnya basah menjadi kering untuk tanaman pangan seperti padi menjadi sumber utama kerusakan gambut. Gambut yang kering sangat rentan tersulut api, merambat sangat cepat, sulit dipadamkan dan kerap kali menimbulkan polusi asap hingga melepaskan emisi ke atmosfer. Beberapa pengamat menyatakan proyek food estate ini dianggap populis, kajian serba cepat tanpa menganalisis dampak yang ditimbulkan di masa yang akan datang.

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi, Ketahanan Pangan, dan Keseimbangan Ekosistem

Padahal seperti yang banyak dikembangkan oleh peneliti tanaman pangan dalam mendukung upaya restorasi dan revitalisasi ekonomi masyarakat, lahan gambut basah tetap bisa menjadi andalan dalam produksi pangan, salah satunya adalah sagu, ada beberapa faktor kuat tanaman yang disebut rumbia ini juga dianggap yang paling menguntungkan. Sifat sagu yang menyesuaikan pada hampir semua jenis lahan termasuk gambut, serta tidak perlu ada perlakuan khusus dan minim input eksternal, berbeda dengan  tanaman pangan lainnya sehingga dapat menekan biaya produksi. 

Sagu di Lahan Gambut: Optimalisasi bagian Hulu

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana sagu mampu menyelamatkan pangan Indonesia yang selama ini bergantung pada beras, namun di satu sisi juga berperan dalam penyelamatan ekosistem gambut? Dalam mencermatinya perlu dilihat dari masyarakat yang hidup di lahan gambut, yang justru memiliki ketergantungan makanan pokok pada beras yang begitu tinggi, padahal seperti yang dijelaskan sebelumnya, sagu bisa menjadi pilihan selain beras itulah yang terjadi di Papua. 

Lahan gambut yang ditanami wajib hukumnya di lahan budidaya, yang memang pemanfaatannya untuk produktivitas dan kesejahteraan masyarakat, bukan di kawasan konservasi dan area lindung yang seharusnya difungsikan untuk menjaga ekosistem. Realisasi di lapangan perlu memenuhi kaidah berkelanjutan, yang meliputi tiga aspek sederhana yaitu: 

  1. Pertama aspek ekologis, bagaimana menjaga gambut agar tetap basah sesuai dengan karakteristik aslinya, 

  2. Kedua berkaitan dengan peran sosial di mana masyarakat adat maupun komunitas lokal juga dilibatkan secara partisipatif, 

  3. Terakhir praktik tanamnya, lamanya waktu panen mulai dari 8 sampai 12 tahun perlu diatur waktu penanamannya, penyesuaian bibit, pupuk alami serta, yang tentunya berdampak pada keberlangsungan profitabilitas yang dihasilkan. 

Sagu sebagai Pilihan: Bekerja dari Hilir

Sebesar 83 persen lahan sagu dunia ada di Indonesia, mencapai lebih dari 5 juta hektare dan potensi produksi yang mencapai seratus juta ton tiap tahunnya (Nasution, 2020). Peluang tersebut menandakan jika sagu dioptimalkan, terutama bagi sebagian masyarakat yang mengkonsumsi sagu, dapat menyeimbangkan dominasi beras di dalam negeri sebagai sumber makanan pokok. 

Masih rendahnya komitmen pemerintah dalam mengembangkan sagu terlihat dari tidak terserapnya produksi sagu di sungai Tohor, Riau untuk pangan lokal, pasokan yang melimpah banyak menumpuk karena terkendala ekspor akibat pandemi korona.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ikut berperan melakukan inovasi produk dari sagu sebagai substitusi terigu. Mengingat permintaan masyarakat Indonesia sebagai konsumen mie instan tertinggi kedua di dunia. Di sisi lain sudah banyak terobosan inovatif yang mencampurkan tepung sagu sebagai bahan substitusi tepung gandum dalam membuat mie, kue, maupun makanan berbahan terigu lainnya.

Tantangan tersulit dalam memasarkan sagu di Indonesia adalah masih menguatnya politik beras serta mafia tani dan impor dengan mencari keuntungan di tengah produksi yang terus menurun. Merebaknya Covid-19 menjadi pembelajaran bahwa yang ditanam langsung di lahan paling dekat dengan masyarakat adalah sumber pangan paling efisien.

BACA JUGA: Menggelorakan Usaha Agroedutourism

Dari segi harga pasaran, tepung sagu lebih mahal dibandingkan dengan beras dan gandum. Selisih harga dapat mencapai dua kali lipat. Daya saing harga bisa ditingkatkan produksi dan konsumsi secara massif, sehingga menjadi lebih terjangkau. 

Berbagai aspek yang diperlukan dalam mendukung sagu baik dari hulu maupun hilir adalah sarana-prasarana pendukung dan pelatihan intensif terhadap masyarakat yang berpartisipasi dalam budidaya maupun pengolahan sagu menjadi makanan jadi.

Langkah Ke depan bersama Madani Berkelanjutan

Ketergantungan pada satu jenis pangan tidak bisa dilepas dari pemerintah dalam menyamakan jenis makanan pokok hanya pada beras, hal tersebut berdampak pada skala prioritas pengembangan padi yang jauh lebih diutamakan dibanding pangan lokal lainnya. Namun saat ini inisiasi untuk kembali meragamkan panganan khususnya di tingkat masyarakat dan daerah terus digalakkan khususnya saat Covid-19 mewabah yang tiba-tiba terjadi di daerah bergambut. Selain pembangunan sarana-prasarana dan pendampingan masyarakat, diperlukan juga terobosan kebijakan dan program yang berani mengangkat sagu sebagai makanan sehari-hari seperti pembangunan kawasan terintegrasi yang berfokus produksi serta pengolahan dan pemasaran. 

Bersama Madani Berkelanjutan, kampanye sagu yang kreatif dan tepat-guna di lahan gambut budidaya adalah salah satu upaya yang paling memungkinkan, melalui pendekatan ke anak muda yang saat ini sedang booming di media sosial salah satunya #tiktokchallange atau bisa kreasi konten visual dalam mempromosikan sagu sebagai alternatif makanan pengganti nasi.

Di tingkat lokal, kampanye berbasis kearifan lokal, kebudayaan, kesejarahan bisa jadi andalan dalam merayu warga agar ikut andil dalam budidaya dan konsumsi sagu, di waktu yang bersamaan juga didorong pemahaman terkait sumber daya pangan lokal dan restorasi ekosistem, sekaligus memulihkan ekonomi masyarakat daerah pasca-Covid 19. 

Oleh:  Andika Julianto Trilaksana

Pegiat Lingkungan Youth for Peatland

Related Article

Pemulihan Gambut dan Mangrove Berbasis Capaian, Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Pemulihan Gambut dan Mangrove Berbasis Capaian, Kunci Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 28 Desember 2020] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi dilantiknya Hartono Prawiraatmadja sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), pada 23 Desember 2030. Pelantikan ini berdasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 78/M Tahun 2020 tentang Pengangkatan Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove. Hartono menggantikan Nazir Foead yang telah mengemban amanat sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 2016 – 2020.

Perlindungan dan pemulihan gambut sangat penting untuk dilanjutkan, untuk itu tidak dapat dibatasi oleh hanya 1 periode masa pemerintahan. Mengingat tantangan dan ancaman yang akan datang dari legislasi menambah risiko pelemahan aturan perlindungan hutan dan lingkungan untuk kepentingan investasi lewat UU Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksananya. Indonesia terancam gagal lebih cepat dalam mencapai komitmen, jika gambut rusak,” ungkap Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Perubahan Ikilm, Yayasan Madani Berkelanjutan.

Diperluasnya tugas Badan Restorasi Gambut, selain tetap melakukan restorasi pada kawasan gambut, dan ditambahkan dengan upaya melakukan rehabilitasi mangrove di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang terdegradasi atau kritis, membuat Badan ini tak bisa sekedar menjalankan rutinitas dan biasa-biasa saja. Kelembagaannya harus lebih diperkuat serta tidak dibatasi dalam kurun waktu 1 periode pemerintahan Karena pemulihan ekosistem gambut membutuhkan waktu yang cukup lama dan konsistensi” tambah Yosi.

Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan menganalisis bahwa saat ini luas ekosistem gambut yang terancam sekitar 24 juta hektare. “Selain itu, badan ini juga akan menghadapi sengkarut gambut dengan perizinan yang lain seluas 21,3 juta Hektare. Ancaman lain juga setidaknya ada ekosistem gambut lindung di food estate seluas 838 ribu hektare,” ungkap Fadli Ahmad Naufal.

Tidak hanya itu, tupoksi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove ini juga harus lebih diperjelas, mengingat kewenangan terkait emisi dan reduksi emisi yang terdapat di UU Cipta Kerja tidak lagi dicantumkan. Juga dalam Peraturan Presiden No. 92 Tahun 2020 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak mencantumkan sama sekali fungsi dan tupoksi terkait penurunan emisi gas rumah kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut  yang diamanatkan pada suatu badan tertentu. Selain itu, dalam Perpres 92 Tahun 2020 sudah menghilangkan pasal terkait ‘pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan’ yang sebelumnya ada di Perpres 16 Tahun 2015 menjadi ‘pengendalian’. Hal ini akan berpotensi melemahkan perlindungan ekosistem gambut,” kata Yosi Amelia.

Sesuai dengan rencana pembangunan yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024, bahwa ditargetkan gambut yang harus direstorasi bertambah menjadi 1,5-2 juta hektare dari target pada 2015. Sementara itu, target restorasi 2015-2020 hanya tercapai 8 persen atau 143.448 ha dari target 1.784.353 ha pada kawasan budidaya/konsesi, dan 77 persen atau 682.694 ha dari target 892.248 ha di lahan gambut non-konsesi. Hal ini tentunya harus diperbaiki dan diperkuat kelembagaan dan kewenangan BRG untuk mencapai target yang cukup besar untuk restorasi dan pemulihan ekosistem gambut di 7 provinsi prioritas, kemudian ditambah dengan mangrove” tambah Yosi Amelia. [ ]

Narahubung:

– Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Perubahan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, 08193-2217-1803, yosi@madaniberkelanjutan.id

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815-1986-8887, luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Madani Menemukan 1 Juta Hektare Perkebunan Sawit di Hutan Alam Primer dan Prioritas Restorasi Gambut

Madani Menemukan 1 Juta Hektare Perkebunan Sawit di Hutan Alam Primer dan Prioritas Restorasi Gambut

Diperlukan Kebijakan Terintegrasi, Kunci Pembenahan Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut


[Jakarta, 10 September 2019]
Dalam kurun waktu setahun terakhir, pemerintah telah menunjukkan langkah positif dalam pembenahan tata kelola hutan dan lahan. Hal ini ditunjukan dengan dikeluarkannya dua kebijakan, yakni kebijakan terkait moratorium sawit dan kebijakan penghentian pemberian izin baru di hutan alam dan lahan gambut.

Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang akan berumur satu tahun pada 19 September 2019 ini. Dan pada 5 Agustus 2019 lalu, Presiden juga mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dua kebijakan ini merupakan langkah positif dan memiliki benang merah dengan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut dalam pembenahan tata kelola hutan dan lahan gambut. Sehingga pelaksanaannya pun haruslah terintegrasi dengan dasar hukum yang lebih kuat”.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Bincang Media “Menelisik 1 Juta Hektare Kebun Sawit di Hutan Primer dan Lahan Gambut” yang dilaksanakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada 10 September 2019.

Sebelumnya, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyampaikan temuan bahwa terdapat 3,47 juta hektare sawit berada di kawasan hutan. Untuk mendorong optimalisasi Inpres moratorium sawit dan memperkuat temuan GNPSDA, Madani melakukan analisis spasial tumpang susun perizinan di wilayah PIPPIB Revisi XV (lima belas). Hasil analisis menemukan 1.001.474,07 hektare perkebunan sawit, milik 724 perusahaan yang berada di dalam Hutan Primer dan Lahan Gambut yang tersebar di 24 propinsi. Ada 384 perusahaan dengan total luasan 540.822 hektare berada di lahan gambut, 102 perusahaan dengan total luasan 237.928 hektare berada di hutan primer, dan ada 238 perusahaan dengan total luasan 222.723 hektare berada di kawasan hutan. Dan dari jumlah tersebut, hampir separuhnya (333 Perusahaan) dengan luasan 506.333 hektare berada di 7 provinsi prioritas restorasi gambut.

Peninjauan perizinan terhadap 1 juta hektar kebun sawit di Kawasan hutan primer dan Kawasan gambut tersebut mendesak dilakukan karena merupakan kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia dan sebagai wujud konsistensi pemerintah dalam memperbaiki tata kelola hutan dan lahan. ” sambung Teguh.

Terhadap keberadaan perkebunan sawit 1 juta hektare di kawasan hutan primer dan kawasan gambut ini adalah tantangan bagi Tim kerja moratorium sawit untuk menyelesaikan dan mencari solusi terbaiknya,” kata sambung Achmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch.

Selama satu tahun ini tim kerja moratorium sawit masih melakukan persiapan baseline data. Padahal sudah banyak data yang dimiliki oleh kementerian/lembaga terkait. Konsolidasi data yang memakan waktu lama menunjukkan bahwa koordinasi antar Kementerian/Lembaga masih kurang baik. Sangat disayangkan waktu satu tahun dihabiskan hanya untuk persiapan data, mengingat Inpres moratorium sawit ini hanya berumur tiga tahun,” tambah Achmad Surambo.

Terkait temuan Madani bahwa ada 1 juta hektare sawit berada di dalam PIPPIB Revisi XV patut diduga ada konflik tenurial di dalamnya. Sawit Watch mencatat, hingga 2019 terdapat 822 komunitas berkonflik dengan perkebunan sawit,” sambung Achmad Surambo.

Dalam analisis Greenpeace masih ada wilayah seluas 33,3 juta hektare tutupan hutan alam primer dan 6,5 juta lahan gambut yang belum terlindungi diluar peta moratorium dan di luar kawasan hutan lindung dan konservasi, sementara wilayah moratorium masih terancam dengan keberadan konsensi perusahaan termasuk ijin perkebunan sawit.

Satu juta hektar konsesi sawit dalam hutan alam primer dan lahan gambut adalah ujian nyata bagaimana moratorium permanen dijalankan, dengan mencabut izin tersebut pemerintah menunjukan keseriusan untuk melindungi hutan dan lahan gambut tersisa dan bukan sekedar propaganda,” kata Arie Rompas, Forest Campaigner Team Leader, Greenpeace Indonesia.

Sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan 4,5 juta hektare hutan alam primer dan lahan gambut selama moratorium hutan dimana 1,6 juta hektare telah diberikan izin untuk perkebunan kelapa sawit, kayu pulp, penebangan hutan dan pertambangan. Jika izin-izin ini tidak dievalusi dan dicabut maka hal yang sama akan terjadi pada 1 juta hektare sawit di hutan alam primer dan lahan gambut tersebut. [ ]



Kontak Narasumber:

● M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0819 1519 1979, email teguh@madaniberkelanjutan.id

● Achmad Surambo, Deputi Direktur Eksekutif Sawit Watch, HP. 0812 8748 726, email rambo@sawitwatch.or.id

● Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, HP. 0811 5200 822, email arie.rompas@greenpeace.org.

● Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887, luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

P.10 Membahayakan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

P.10 Membahayakan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta, 23 Mei 2019 – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sepatutnya mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut karena isinya bertentangan dengan semangat perlindungan dan restorasi gambut, mengancam pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Peraturan Menteri P.10/2019 yang seharusnya hanya mengatur masalah teknis penetapan puncak kubah gambut untuk menentukan area fungsi lindung ekosistem gambut ini justru ‘menyelipkan’ norma baru yang secara keseluruhan melemahkan perlindungan ekosistem gambut.

Pertama, aturan ini mengecilkan ruang lingkup ekosistem gambut yang tidak boleh lagi dieksploitasi untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Aturan ini memperbolehkan perusahaan sawit dan HTI untuk terus mengeksploitasi ekosistem gambut dengan fungsi lindung hingga jangka waktu izin berakhir apabila lokasinya berada di luar puncak kubah gambut. Lebih parah lagi, aturan ini memperbolehkan eksploitasi puncak kubah gambut untuk sawit dan HTI apabila di dalam satu KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut) ada lebih dari satu puncak gambut.

“Memberikan keringanan kepada pelaku izin usaha sawit dan HTI untuk terus melakukan usahanya di ekosistem gambut dengan fungsi lindung tanpa proses evaluasi dan audit perizinan pemanfaatan lahan gambut bertentangan dengan semangat restorasi gambut untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. “Keterlanjuran pemberian izin di ekosistem gambut lindung seharusnya dikoreksi, bukan justru dibiarkan hingga izin berakhir. Ini bahaya karena jangka waktu izin konsesi sangat lama sementara ekosistem gambut dapat rusak dalam waktu singkat.”

Data pemerintah dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menyebutkan 23,96 juta hektare ekosistem gambut atau 99,2 persen berada dalam kondisi rusak. Studi Bappenas tahun 2015 juga menyebutkan kebakaran gambut menyumbang 23 persen dari total emisi Indonesia pada tahun 2010, melepas 0,8 sampai 1,1 GtCO2e atau setara dua kali lipat emisi sektor energi di tahun yang sama.

P.10 berpotensi memperburuk kerusakan gambut ini. Temuan awal Madani, pada Januari-Maret 2019 ini, di Riau saja sudah muncul 319 titik panas (hotspot) di lokasi perkebunan sawit dan HTI yang merupakan wilayah prioritas restorasi BRG (tingkat kepercayaan tinggi). Di sisi lain, masa tugas Badan Restorasi Gambut (BRG) akan berakhir pada 2020. Tinggal 1 tahun lagi bagi BRG untuk menyelesaikan tugas restorasi gambut yang diembannya.

“Agar tidak mencederai upaya mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut dan komitmen iklim pemerintah, aturan ini harus segera dicabut dan dikembalikan ke ‘trah’-nya, yaitu aturan yang lebih teknis untuk menentukan puncak kubah gambut saja tanpa ada pengaturan tentang pemanfaatan puncak kubah gambut,” ujar Teguh. “Selain itu, Presiden harus mulai memikirkan bagaimana kelanjutan keberadaan BRG karena kerja-kerja restorasi gambut adalah kerja-kerja yang bersifat jangka panjang,” tutupnya.

Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan
0856-211-8997
anggi@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Perlindungan Permanen Hutan Alam dan Gambut Tersisa, Kunci Keberhasilan Komitmen Iklim Indonesia

Perlindungan Permanen Hutan Alam dan Gambut Tersisa, Kunci Keberhasilan Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta, 19 Mei 2019. Yayasan Madani Berkelanjutan mendukung rencana pemerintah untuk mempermanenkan perlindungan hutan alam dan gambut tersisa, pasca berakhirnya masa berlaku INPRES tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (Moratoroium Hutan) pada 17 Juli 2019.

“Diperpanjangnya kebijakan perlidungan hutan alam dan lahan gambut secara permanen memperbesar peluang pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani. “Namun, perpanjangan saja belum cukup. Jika ingin mencapai target iklim, pemerintah harus memperkuat komitmen perlindungan hutan alam dan gamnbut dengan turut melindungi jutaan hektar hutan sekunder yang saat ini terancam dibabat.”

Riset World Resources Institute pada 2017 menunjukkan bahwa moratorium hutan adalah kebijakan mitigasi kehutanan dengan potensi penurunan emisi paling tinggi. Memperkuat kebijakan ini dengan melindungi hutan sekunder dapat mengurangi emisi sebesar 437 MtCO 2 pada 2030 sehingga target iklim Indonesia bisa tercapai.

Data Pemerintah Indonesia dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 43,3 juta hektare atau 48,4 persen hutan alam Indonesia dikategorikan sebagai hutan sekunder yang terlepas dari perlindungan moratorium. Lebih dari setengahnya atau 24,8 juta hektare diperuntukkan untuk eksploitasi dengan status hutan produksi. “Yang paling mendesak adalah melindungi hutan alam yang masih bagus dan paling terancam,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Madani. “Ada 3,8 juta hektare hutan sekunder berstatus Hutan Produksi untuk Konversi (HPK), yang dapat dilepas dan ditebang untuk izin-izin non-kehutanan seperti perkebunan dan lain-lain. Pasca berakhirnya masa berlaku Moratorium, perlindungan secara permanen hutan alam dan gambut seharusnya melindungi wilayah tersebut.”

“Kami berharap Pemerintah Indonesia periode ini benar-benar dapat mempermanenkan perlindungan hutan dengan cara mengakomodasinya dengan landasan aturan perundang-undangan yang lebih kuat dan menuangkannya dalam rencana tata ruang nasional,” ujar Teguh. “Dengan demikian, ada garansi hukum dan politik lebih besar untuk mencapai komitmen iklim dan juga dapat meminimalkan konflik di masyarakat.”

Selama delapan tahun, status perlidungan hutan alam dan gambut masih bersifat sementara (moratorium). Madani juga mengkhawatirkan berbagai aturan pengecualian yang ada seperti permohonan izin yang telah mendapat persetujuan prinsip sebelum Mei 2011, panas bumi, migas, dan ketenagalistrikan, ditambah produksi padi, tebu, jagung, sagu dan kedelai untuk kedaulatan pangan nasional. “Ada 31,2 juta hektare lahan tidak berhutan dalam kawasan hutan. Selayaknya pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan lahan tidak berhutan atau memanfaatkan lahan-lahan ex- perusahaan untuk mengamankan kedaulatan pangan, dengan demikian meminimalkan kerusakan hutan,” ujar Anggalia.

Di samping emisi dari sektor hutan dan lahan, pemerintah juga harus mewaspadai emisi dari sektor energi karena berpotensi jadi kuda hitam yang dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia. “Jika konsisten dengan inisiatif baik di dua sektor ini, Indonesia dapat membusungkan dada di perundingan iklim COP-25 yang akan dilaksanakan di Chili bulan Desember ini,” tutup Teguh.

Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan
0856-211-8997
anggi@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Driving Deforestation: dampak meningkatnya permintaan minyak sawit melalui kebijakan biofuel

Driving Deforestation: dampak meningkatnya permintaan minyak sawit melalui kebijakan biofuel

Pada tahun 2015, sekitar 35 miliar liter biofuel (biodiesel dan diesel terbarukan) diproduksi dari lemak dan minyak nabati, terutama untuk konsumsi di Uni Eropa, Amerika Serikat, Brasil, dan Indonesia. Ini menciptakan permintaan akan minyak sawit kira-kira sebesar 8,2 juta ton untuk bahan baku biofuel (kebanyakan digunakan di Indonesia dan Uni Eropa) dan permintaan tidak langsung setidaknya sebesar 2,5 juta ton untuk menggantikan bahan baku biodiesel lainnya dalam berbagai penggunaan yang ada saat ini. Secara keseluruhan, 10,7 juta ton minyak sawit tersebut mewakili hampir seperlima dari total produksi minyak sawit dunia, yang menurut laporan FAO mencapai 57 juta ton pada tahun 2014 dan diperkirakan akan mencapai 65 juta ton pada tahun 2017. Secara global, produksi rata-rata minyak sawit selama 20 tahun terakhir kurang lebih stagnan. Dengan demikian, peningkatan produksi yang diperlukan untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat ini dihasilkan melalui ekspansi perkebunan kelapa sawit, yang berdampak sangat besar terhadap keanekaragaman hayati dan simpanan karbon. Meningkatnya permintaan akan minyak sawit menjadi masalah, sebab ekspansi kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia saat ini diasosiasikan secara endemik dengan deforestasi dan perusakan gambut. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam hal tata kelola, diperkirakan setidaknya sepertiga dari area perkebunan kelapa sawit yang baru akan dibuka dengan cara mengeringkan gambut, dan setengahnya akan menyebabkan deforestasi.

Untuk membaca selengkapnya, sila unduh laporan di bawah ini.

Related Article

For Peat’s Sake: Memahami dampak konsumsi biodiesel dari minyak sawit terhadap iklim

For Peat’s Sake: Memahami dampak konsumsi biodiesel dari minyak sawit terhadap iklim

Selama puluhan tahun, industri minyak sawit di Asia Tenggara erat hubungannya dengan deforestasi, hilangnya habitat, dan perusakan gambut di wilayah-wilayah yang paling kaya akan keanekaragaman hayati di planet ini. Terlepas dari berbagai upaya terkini untuk mengurangi jejak ekologis dari produksi minyak sawit, misalnya Roundtable on Sustainable Palm Oil, Indonesian Palm Oil Pledge, serta sejumlah komitmen korporasi untuk menghentikan deforestasi, pada kenyataannya ekspansi kelapa sawit masih terus menimbulkan bencana bagi lingkungan hidup hingga saat ini.

Untuk membaca selengkapnya, sila unduh laporan di bawah ini.

Related Article

en_USEN_US