Madani

Tentang Kami

THE IMPORTANCE OF SYNERGY AMONG STAKEHOLDERS TO ACHIEVE INDONESIA FOLU NET SINK 2030 AND NET ZERO EMISSION 2050

THE IMPORTANCE OF SYNERGY AMONG STAKEHOLDERS TO ACHIEVE INDONESIA FOLU NET SINK 2030 AND NET ZERO EMISSION 2050

[Madani News] Kebijakan Indonesia FOLU Net Sink 2030 (IFNET 2030) merupakan bentuk keseriusan pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis iklim, khususnya dalam mencapai net zero emissions pada 2060 atau lebih cepat. Laporan IPCC ke-6 menegaskan bahwa tanpa kebijakan dan aksi iklim yang lebih kuat menuju 2030, kenaikan suhu bumi akan melebihi 3 °C, jauh dari ambang batas 1,5 °C sesuai dengan target Persetujuan Paris.

Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam menahan laju kenaikan suhu global berwujud Nationally Determined Contribution (NDC) yang turut menarget sektor FOLU (17,2% dari 29% dalam CM1) dan visi pembangunan rendah karbon serta berketahanan iklim yang tertuang dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050.

Selain menjadi tumpuan pengurangan emisi Indonesia, sektor FOLU juga menjadi penopang utama pembangunan ekonomi sampai saat ini. “Untuk mendorong pencapaian FOLU Net Sink sudah saatnya kita beranjak dari paradigma yang memandang manfaat dan nilai ekonomi hutan hanya dari kayu. Padahal, banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Agar penerapan kebijakan Indonesia FOLU Net Sink 2030 berjalan efektif, harus ada sinergi antara rencana pengelolaan hutan, dengan memaksimalkan peluang-peluang yang ada, termasuk kontribusi dari para pelaku usaha. Diperlukan kolaborasi antara pihak swasta, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk mencapai komitmen iklim.” Demikian pesan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, pada 16 Juni 2022, saat membuka Serial Diskusi Publik Menjaga Hutan, Menjaga Indonesia pertama bertajuk “Peran Bisnis Kehutanan dalam Mencapai FOLU Net Sink 2030” yang diselenggarakan Forest Digest bersama Yayasan Madani Berkelanjutan.

Serial Diskusi Publik I ini dihadiri oleh empat narasumber, antara lain Ir. Istanto, M.Sc., Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan, Ditjen PHL, KLHK; Prof. Dodik Ridho Nurrochmat, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University; Dharsono Hartono, CEO PT Rimba Makmur Utama; dan Purwadi Soeprihanto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Diskusi dimoderasi oleh Galuh Sekar Arum dari Forest Digest.

Asep Sugih Suntana menjelaskan bahwa Pengelolaan Hutan Berkelanjutan telah lama digagas dan diusung oleh berbagai lembaga pemerintah dan nonpemerintah, baik pada level internasional maupun nasional. Menurutnya, bisnis kehutanan Indonesia juga telah bertransformasi dari yang awalnya hanya bergantung pada Hasil Hutan Kayu (HHK) ke arah Multi Interests Forestry, yaitu kehutanan multiproduk, multiusaha, dan multijasa. Direktur Utama Forest Digest ini kemudian menyimpulkan bahwa IFNET 2030 adalah kebijakan baru yang perlu ditilik dan didukung dengan baik melalui proses pengayaan pengetahuan dari pihak-pihak yang beragam.

Sementara itu, Ir. Istanto, M.Sc., Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan, Ditjen PHL KLHK, menyampaikan bahwa Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) menjadi tulang punggung pencapaian Indonesia FOLU Net Sink 2030, khususnya SILIN (silvikultur intensif) dan RIL-C (Reduced Impact Logging for Climate). Ia juga menekankan bahwa Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang berorientasi kayu harus beranjak ke agroforestry melalui multiusaha kehutanan.

Dharsono Hartono, CEO PT Rimba Makmur Utama (RMU), sangat optimis dengan target IFNET, meskipun ia merasa bahwa pencapaiannya masih memerlukan kegiatan dan regulasi yang meyakinkan. Berdasarkan pengalamannya mengelola Mentaya-Katingan Project, ia percaya bahwa kunci untuk mewujudkan perubahan yang benar-benar transformatif adalah menjalin kemitraan erat dengan masyarakat lokal.

Purwadi Soeprihanto, Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), menjelaskan bahwa perlu ada insentif yang lebih agar target komitmen iklim bisa tercapai dan leverage untuk mendorong faktor pengungkit dalam peningkatan serapan hutan.

Prof. Dodik Ridho Nurrochmat, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, menekankan pentingnya semangat kolaborasi dan sinergi antarpihak dalam menyukseskan IFNET 2030 yang merupakan kepentingan bersama. Ia juga mengingatkan bahwa IFNET 2030 membutuhkan pendanaan sekitar Rp200 triliun yang 80% diperkirakan akan berasal dari sektor swasta, sehingga perlu ada daya tarik khusus bagi pihak swasta.

Diskusi kali ini adalah diskusi pertama dari serangkai Diskusi Publik Menjaga Hutan, Menjaga Indonesia yang akan diselenggarakan Forest Digest bersama Yayasan Madani Berkelanjutan sampai Agustus 2022. Semua paparan narasumber dari sesi diskusi pertama dapat Anda unduh di bawah ini

Related Article

Perlu Perpanjangan dan Penguatan Moratorium Sawit Untuk Membantu Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Perlu Perpanjangan dan Penguatan Moratorium Sawit Untuk Membantu Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 26 Juli 2021] Perpanjangan Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau biasa disebut dengan Moratorium Sawit penting untuk dilakukan oleh pemerintah. Langkah ini dapat memberikan dampak positif berupa dukungan pasar global terhadap produk sawit Indonesia, memicu peningkatan produktivitas lahan, penyelesaian tumpang tindih dan konflik lahan, serta berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim (NDC). Demikian disampaikan oleh Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi tersebut masih berasal dari sektor kehutanan dan lahan, dengan target penurunan emisi sebesar 17,2% hingga 38% pada tahun 2030 mendatang. Dalam kick-off persiapan delegasi Indonesia menuju Glasgow Climate Change Conference 19 Juli 2021 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan telah mengumumkan Agenda “Indonesia FOLU 2030” dimana Indonesia dibayangkan akan mencapai net sink karbon di sektor kehutanan dan lahan pada 2030. Perpanjangan moratorium sawit akan mendorong tercapainya ambisi iklim tersebut dengan menahan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan serta melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin sawit. Perpanjangan ini akan memperkuat langkah korektif pemerintah untuk menurunkan laju deforestasi secara signifikan.

Masih ada sekitar 5,7 juta hektare hutan alam di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang dapat dilepaskan untuk perkebunan. Jika Moratorium Sawit tidak diperpanjang dan diperkuat, laju deforestasi akan kembali meningkat dan Indonesia dapat terancam gagal untuk mencapai komitmen iklimnya,” ujar Trias Fetra. Pada 2019-2020, di antara 6 jenis izin dan konsesi, deforestasi hutan alam terbesar terjadi di wilayah izin perkebunan sawit yakni sebesar 19.940 hektare.

Luas hutan alam yang berada di wilayah izin sawit juga cukup signifikan. Berdasarkan tutupan lahan 2019, tercatat 3,58 juta hektare hutan alam berada di izin sawit, dan 1 juta hektare-nya tercatat sebagai hutan primer. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,43 juta hektare tercatat berada di pelepasan kawasan hutan yang merupakan objek evaluasi perizinan dalam kebijakan moratorium sawit. Implementasi moratorium sawit memberikan harapan bahwa hutan alam yang masih ada di dalam izin sawit akan dievaluasi dan dikembalikan menjadi kawasan hutan. Hasil analisis Madani menemukan setidaknya terdapat dari 24,2 juta hektare ekosistem gambut di Indonesia dan di antaranya ada 6,2 juta hektare ekosistem gambut yang masuk ke dalam izin sawit, dengan detail lahan gambut seluas 3,8 juta hektare. Instrumen evaluasi dan review izin yang ada di dalam moratorium sawit dapat menyelamatkan luasan gambut tersebut. Keberadaan lahan gambut harus dilindungi dan dipulihkan, mengingat 99,3% lahan gambut di Indonesia mengalami kerusakan dan sangat beresiko terbakar saat musim kering. Hasil analisa kami, dengan menyelamatkan 3,8 juta hektare luas gambut pada fungsinya alamnya dapat menghindari pelepasan 11,5 juta ton/tahun karbon akibat aktivitas pembakaran ataupun konversi lahan yang tentunya akan berkontribusi pada komitmen iklim Indonesia,” tambah Trias Fetra.

Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL, memberikan catatan khusus terkait transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan Inpres. “Perlu dicatat bahwa masih ada permasalahan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Semestinya pemerintah tidak ragu membuka data dan capaiannya dalam Inpres ini. Misalnya berapa banyak data sawit dalam kawasan hutan yang telah dikonsolidasikan dan diverifikasi, berapa banyak izin sawit yang telah direview, hingga berapa banyak pelanggaran yang telah ditindak dan diberikan sanksi. Bentuk transparansi seperti ini tentunya akan semakin membuka ruang partisipasi dan kolaborasi yang lebih luas, tidak hanya dengan organisasi masyarakat sipil tapi juga pemerintah daerah yang sudah memiliki inisiatif baik untuk menjalankan Inpres. Jika memang pekerjaan rumah dalam Inpres belum diselesaikan, maka sudah selayaknya Inpres diperpanjang.”

Dari pengalaman selama 3 tahun ini, Pemerintah baru bisa menyelaraskan data terkait tutupan dan luas izin sawit.  Pemerintah dan para pihak mesti sadar bahwa indikator keberhasilan bukan hanya soal tidak adanya pemberian izin baru selama masa tenggat waktu, namun juga harus bisa menyelesaikan persoalan produktivitas, keberterimaan pasar, deforestasi, kepastian hukum petani sawit serta tumpang tindih dan konflik lahan. Pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dengan melaksanakan perpanjangan moratorium ini sebagai langkah tindak lanjut pembenahan tata kelola industri perkebunan kelapa sawit secara keseluruhan,” ujar Agung Ady, Juru Kampanye FWI.  

Terpilihnya Indonesia sebagai Co Chair COP 26 bersama dengan Inggris mengindikasikan bahwa kepercayaan dunia bernilai positif terhadap implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Indonesia walaupun pandemi dan perubahan iklim sedang berjalan. Momentum ini harus dijaga melalui serangkaian penguatan aturan dan tata kelola di sektor FOLU (Forestry and other Land Use), salah satunya perkebunan kelapa sawit.  Sehingga perpanjangan dan penguatan Moratorium kelapa sawit sangat penting diimplementasikan guna menghindari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit hingga akhirnya dapat mencapai target netral emisi pada tahun 2030,” tutup Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak. [ ]

 

Kontak Media:

  1. Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan (fetra@madaniberkelanjutan.id / 0877-4403-0366)
  2. Agung Ady Setiyawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia  (agung_ady@fwi.or.id / 085334510487)
  3. Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak (rahmadha.syah@kaoemtelapak.org / 081288135152)
  4. Adrianus Eryan, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL (adri@icel.or.id / 081386299786)

Related Article

ENERGY AND FORESTRY SECTORS KEY TO ACHIEVING NDC TARGETS

ENERGY AND FORESTRY SECTORS KEY TO ACHIEVING NDC TARGETS

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen melalui kerjasama internasional pada tahun 2030. Sektor energi dengan target sebesar 11 persen merupakan sektor utama yang memegang peran penting dalam pencapaian NDC Indonesia setelah sektor kehutanan, yaitu sebesar 17 persen.

Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Agus Justianto, menyampaikan bahwa sinergi energi dan perubahan iklim merupakan kata kunci yang harus dimaknai sebagai upaya bersama dalam membentuk transisi energi secara inklusif.  “Kita semua dapat menjadi aktor dan berperan aktif dalam transisi tersebut. Kesadaran untuk meminimalkan penggunaan sumber energi fosil dengan mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan akan memberikan kontribusi positif dalam menekan perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya” .

KLHK menyampaikan bahwa sektor energi dan kehutanan menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC).

Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Ditjen PPI KLHK, Emma Rachmawati. Sektor energi adalah sektor kedua yang merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Di saat yang bersamaan, sektor energi juga menjadi kontributor kedua dalam menurunkan emisi GRK sehingga perlu melakukan upaya signifikan dalam mengurangi emisi GRK.

Kalau kita bisa menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan sektor kehutanan maka NDC kita sudah pasti dapat tercapai sesuai dengan apa yang ditargetkan“, ujar Emma Rachmawati.

Merujuk peta jalan NDC Indonesia, sektor energi ditargetkan menyumbang sebesar 314 juta CO2e (ekuivalen karbon dioksida) untuk penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030.

Target itu kemudian dirinci ke dalam subsektor energi efisiensi. Dari masing-masing subsektor itu di tetapkan juga dalam bentuk CO2e.

Lima Negara Yang Menjadi Ancaman Gagalnya Paris Agreement

Laporan terbaru Think Tank Carbon Tracker Initiative dalam judul laporan Do Not Revive Coal menyebutkan bahwa ada 5 negara yang menjadi ancaman gagalnya Paris Agreement. Ancaman tidak tercapainya target Perjanjian Paris ini berasal dari lima negara yaitu Jepang, Indonesia, India, Vietnam, dan Tiongkok.  Alasan utama ancaman gagalnya Perjanjian Paris ini karena persoalan rancangan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Kelima negara ini berencana membangun 600 PLTU batu bara baru yang mencakup sekitar 80 persen dari porsi batu bara baru global. Kapasitas dari seluruh PLTU itu melebihi 300 gigawatt (GW). Hal ini dianggap mengkhawatirkan, karena tak menghiraukan seruan Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres untuk membatalkan PLTU batu bara baru.

Pasalnya, negara Jepang, Indonesia, India, Vietnam, dan Tiongkok mengoperasikan 3/4 PLTU yang ada di seluruh dunia. Sebanyak 55 persen adalah negara Tiongkok dan 12 persen adalah India. Sekitar 27 persen kapasistas PLTU batu bara global tidak dapat menghasilkan keuntungan, dan 30 persen hampir mencapai titik breakeven. Indonesia sendiri masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan penggunaan PLTU batu bara ini.Di mana kapasitasnya mencapai 45 GW dan 24 GW pembakit baru sudah direncanakan untuk dibangun.

Energi terbarukan ditargetkan akan mengalahkan seluruh tambang baru yang ada pada tahun 2024. PT Pembangkit Listrik Negara (PLN Persero) sendiri masuk ke dalam daftar perusahaan dengan aset yang terancam menjadi aset terlantar dalam skema B2DS (Below 2 Degrees). Dari 22,529 MW kapasitas, PLN berisiko kehilangan 15,41 miliar USD miliar dari asset terbengkalai dengan patokan B2DS.

Inggris Akan Mempercepat Target Penghentian Penggunaan Batu Bara

Mulai 1 Oktober 2024, Inggris tidak akan lagi menggunakan batubara untuk menghasilkan listriknya. Ini satu tahun lebih cepat dari rencana awal. Hal ini diumumkan oleh Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris, Anne-Marie Trevelyan, pada Rabu, 30 Juni.

Langkah ini merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Inggris untuk melakukan transisi dari bahan bakar fosil dan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dalam rangka menghapus peran serta Inggris terhadap perubahan iklim pada 2050. Pengumuman ini menegaskan niatan yang disampaikan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tahun lalu untuk mempercepat tenggat waktu mengakhiri penggunaan batu bara dalam sistem produksi listrik.

Hal Ini juga berarti bahwa Pemerintah Inggris mempercepat batas waktu penghapusan batu bara dari sistem energi Inggris satu tahun lebih cepat. Tekad ini menegaskan kepemimpinan Inggris untuk bergerak lebih jauh dan lebih cepat dalam menurunkan emisi serta memimpin dengan memberikan keteladanan dalam memerangi perubahan iklim jelang perannya menjadi tuan rumah COP26 di Glasgow pada November mendatang. Inggris mengajak negara-negara di dunia untuk turut mempercepat penghapusan batubara dari sistem ketenagalistrikan.

Rencana Penerapan Pajak Karbon Pada 2022

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana menerapkan pajak karbon pada tahun 2022. Pajak karbon menjadi salah satu rencana yang tertuang dalam Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang dibahas bersama DPR.

Tarif pajak karbon masih didiskusikan hingga ke ranah internasional. Sri Mulyani bersama koalisi Menteri Keuangan dari berbagai negara masih mendiskusikan praktek penerapan harga yang lebih seragam. “Ini sebagai salah satu pembahasan kami, pimpinan dari koalisi Menteri Keuangan untuk perubahan iklim, bersama Finlandia membahas mengenai bagaimana praktek dari penerapan harga karbon yang lebih seragam sehingga menimbulkan kepastian“, tegas Sri Mulyani.

Memang, tarif pajak karbon di dunia saat ini sangat tidak seragam karena berada pada rentang yang lebih luas.

Indonesia dan Perancis Sepakat Memperkuat Pembangunan Rendah Karbon

Indonesia dan Perancis sepakat untuk memperkuat kerja sama pembangunan rendah karbon, green and blue economy, hingga kerja sama pembiayaan pembangunan proyek-proyek pemerintah. Disampaikan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa saat menerima kunjungan pejabat senior dari The Agence Française de Développement (AFD) dan pejabat senior dari Kementerian Ekonomi dan Keuangan (French Treasury) di KBRI Paris, Prancis.

Kementerian PPN/Bappenas telah menyiapkan strategi transformasi ekonomi. Kerja sama AFD dengan Kementerian PPN/Bappenas adalah salah satunya bentuk usaha untuk pelaksanaan strategi transformasi ekonomi Indonesia, khususnya green economy.

Dalam pertemuan dengan AFD tersebut, terdapat kesepahaman untuk memperkuat kerja sama pembangunan rendah karbon atau green economy dengan fokus pada energy transition, waste management, green industry termasuk green tourism. Beberapa proyek potensial untuk dikembangkan adalah waste to energy project dan AFD juga akan mendukung penuh langkah Indonesia dalam mengusung pilot project pencanangan Bali sebagai blue island.

Dapatkan pemberitaan media edisi 28 Juni – 4 Juli dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

INDONESIA REQUIRES FUNDING OF APPROXIMATELY IDR 3.461 TRILLION FOR CLIMATE CHANGE

INDONESIA REQUIRES FUNDING OF APPROXIMATELY IDR 3.461 TRILLION FOR CLIMATE CHANGE

Indonesia membutuhkan pendanaan sebesar US$ 247 miliar atau sekitar Rp 3.461 triliun selama periode 2018-2030 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca setiap tahun. Estimasi ini sesuai dengan dokumen Second Biennial Update Report 2018.

Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengestimasi kebutuhan Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contributions (NDCs) setiap tahun adalah sebesar Rp 343,32 triliun. Merujuk pada pendanaan APBN yang disediakan untuk perubahan iklim berdasarkan data budget tagging tahun 2019 dan 2020, serta merujuk pada kebutuhan per tahun dan data budget tagging tersebut maka pendanaan masih terdapat gap yang cukup besar, yaitu sekitar 60-70% dari total kebutuhan dananya.

Indonesia sendiri sebagai negara yang telah meratifikasi Paris Agreement malalui UU 16 tahun 2016 telah menyampaikan komitmentnya melalui NDCs yaitu pengurangan emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan dukungan Internasional. Salah satu upaya konkret pemerintah untuk mendukung pendanaan NDC atau pendanaan lingkungan hidup secara umum adalah pembentukan Indonesian Environment Fund (IEF) atau yang disebut Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada tahun 2019.

BPDLH diresmikan pada akhir 2019 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Lembaga ini dibentuk berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden nomor 77 tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Dapatkan pemberitaan media edisi 24-30 Mei 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Open Letter Joe Biden

Open Letter Joe Biden

Open Letter

April 21, 2021 

The Honorable Joseph R. Biden 

President of the United States of America 

The White House 

Washington DC

Dear Mr. President, 

First, we would like to offer our sincere congratulations to you and to Vice President-elect Kamala Harris. We greatly appreciate your action on convening global leaders by inviting 40 world leaders to the Leaders Summit on Climate promptly after you took office. This has been such a difficult time for so many around the world to limit the planetary warming to 1.5 degrees Celsius in order to stave off the worst impacts of climate change and with your commitment to bring the United States back to the global race against time we believe you will be able to bring positive impacts to other global leaders to take more earnest actions against climate crisis which impacts we are already experiencing.  

Representing the other 270 million people of Indonesia, we offer you our gratitude for taking the time to pay attention to the status of Indonesia’s climate commitment. You are right, Indonesia is in a grave need to up its climate policy. Believing in your and the US power to spread positive impacts throughout the world, we are asking you to: 

1. Consistently be a role-model for sustainable development for the world. As a major economic country, the US is also the second largest contributor for global emissions. The US must enhance its own mitigation ambition and support vulnerable countries to adapt to climate crisis. It is undeniable that the US has a large investment value in Indonesia in both the private and public sectors. Therefore, we urge you to transform US foreign investment into green investments. US investment must rapidly shift from the fossil fuel industry to renewable energy. We also need you to encourage the implementation of policies on the use of 100% renewable energy in every investment made in Indonesia. Accordingly, Indonesia’s emissions from the energy sector will also be reduced. 

2. Proactively ask Indonesia to commit to achieve net zero emissions in 2050. According to scientists, Indonesia’s NDC target needs to be ramped up to achieve the 1.5 degree target. In addition, our government has not yet officially stated when Indonesia will achieve its net zero emissions target. If recent seminars and discussions that are held by our government are true, and the government is not willing to change its target, Indonesia will achieve its net zero emissions target by 2070. It is indubitably too late and the climate crisis will certainly win the race against time. During the Leaders Summit on Climate, we are asking you to support Indonesia’s President, Mr. Joko Widodo, to expedite Indonesia’s net zero emission target. 

3. Continuously increase the opportunities for green investments in Indonesia. The agreement between the US and China to provide green funds is a great stepping stone to help other countries in energy transition. Currently, Indonesia is facing obstacles to phase out from fossil fuel to renewable energy as 85% of our energy production is still generated from fossil fuels. The existence of green investment financial support will unquestionably encourage Indonesia to accelerate our transformation to renewable energy development and enhance the Environmental, Social, and Good Governance (ESG) sector and Indonesia’s NDC. 

4. Support sustainable development programs from the Land-Use Change and Forestry (LULUCF) sector by investing on conservation programs and through technology and knowledge transfer. Although we are grateful on your administration’s advice for Indonesia to try reducing emissions to 43% and 48% for 2030 outside the Land-Use Change and Forestry (LULUCF) sector, it is important to note that the LULUCF sector is still the biggest contributor for the entirety of Indonesia’s greenhouse gas emissions. Your support for Indonesia to achieve its climate commitment from the energy and LULUCF sector will definitely be welcomed. As important as it is to start transitioning to renewable energy, our entire ecosystem will also be saved from the dreadful future of the climate crisis if our government ensures zero deforestation of forests and peatland. Your support for Indonesia to save and rehabilitate its remaining natural forests, peatland, and mangrove will certainly contribute to creating more resilient communities against climate crisis. It is imperative, however, that your support in this sector is not used as an excuse to slow down transition in the energy sector in the US. 

5. Guarantee the survival of indigenous peoples and the sustainability of local resources through socially and environmentally responsible investments. We believe that US investments in Indonesia can have a positive impact and support the welfare of indigenous peoples and not take away the rights to manage local resources. 

We believe that now is the time for the US to go hand in hand with Indonesia in an equal partnership to transition to green investment and create a more sustainable development and more resilient communities, the first step of which is by stepping up US and Indonesia’s climate ambition. Quoting your statement in the Executive Order, “Together, we must listen to science and meet the moment.” Indeed, listening to science and meeting the moment requires global collaboration to stave off the worst impacts of the climate crisis and we believe that US timely leadership can help the world win the race against time.


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

A MASSIVE TRANSFORMATION IS NEEDED TO ACHIEVE NDC AND NET ZERO EMISSIONS

A MASSIVE TRANSFORMATION IS NEEDED TO ACHIEVE NDC AND NET ZERO EMISSIONS

[MadaniNews, Jakarta, 21/04/2021] Untuk mampu mencapai target komitmen iklim Indonesia atau Nationally Determined Contribution (NDC) dan net zero emisi Indonesia, maka transformasi besar-besaran merupakan keniscayaan. Pernyataan tersebut disampaikan Strategic Engagement Director Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam diskusi virtual Earth Day Forum yang mengangkat tema “Melestarikan Hutan untuk Mitigasi Perubahan Iklim” pada Rabu, 21 April 2021.

Diskusi virtual Earth Day Forum ini diadakan oleh Katadata yang membahas strategi dan upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan terkait program perhutanan sosial untuk mendukung upaya pemerintah dalam mitigasi perubahan iklim, termasuk ide pembuatan Kampung Iklim. 

Keberhasilan KKI WARSI dalam menerapkan program Perhutanan Sosial di Jambi untuk penyimpanan karbon bisa menjadi contoh sukses yang diharapkan mampu memberikan semangat bagi banyak daerah dengan luas tutupan hutan alam yang besar untuk lebih menjaga hutan. 

Di kesempatan yang sama, Nadia Hadad juga menyampaikan bahwa Program Kampung Iklim (Proklim) yang dikembangkan saat ini adalah contoh nyata bahwa menjaga hutan bukan hanya dapat melestarikan lingkungan tapi juga mampu meningkatkan perekonomian. “Yayasan Madani Berkelanjutan sangat mendukung kegiatan mitigasi perubahan iklim ini melalui Proklim, saat ini kami telah mendukung kegiatan ini di Desa Lampo, Donggala, Sulawesi Tengah dan juga di Nagari Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang bekerjasama dengan Komunitas Warsi”, ujar Nadia.

Diskusi yang membahas upaya mitigasi perubahan iklim ini juga dihadiri oleh Djoko Hendratto selaku Direktur Utama BPDLH Kementerian Keuangan, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam, dan Direktur KKI WARSI, Rudy Syaf. 

Direktur KKI WARSI, Rudy Syaf menyebut bahwa perhutanan sosial benar-benar merupakan program yang mampu menjaga hutan. Rudy menegaskan bahwa pada saat masyarakat diberikan hak dan akses untuk mengelola hutan, maka disaat yang bersamaan hutan semakin terlindungi.  “Setelah dapat izin pengelolaan hutan desa, dari 2013 sampai sekarang yang dulunya masih ada deforestasi sekarang zero deforestasi”, ujar Rudy.

Sementara itu, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam mengatakan bahwa pemerintah sudah memiliki fokus terkait masalah lingkungan dan perubahan iklim sebagaimana yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Menurutnya, pemerintah telah menyusun prioritas nasional terkait perubahan iklim, lingkungan hidup dan ketahanan nasional. 

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, pemerintah memprioritaskan ketiga persoalan ini yakni perubahan iklim, lingkungan hidup, dan ketahanan nasional”, ujar. Perwujudan dari komitmen pemerintah tersebut menurut Medrizal telah dimanifestasikan melalui pembangunan rendah karbon. 

Di sisi lain, masalah pendanaan menjadi faktor penting untuk melakukan sejumlah upaya mitigasi perubahan iklim. Direktur Utama BPDLH, Kementerian Keuangan, Djoko Hendratto mengatakan dalam mengukur efektivitas penggunaan dana untuk pengendalian perubahan iklim, BPDLH memiliki beberapa poin penting, yakni, jika dana bersumber dari APBN, maka poin ketepatan sasaran adalah hal utama. Sedangkan bila dana bersumber dari pendonor sudah pasti ada kesepakatan-kesepakatan tentang target dan ukurannya menerunkan emisinya seperti apa dan disetujui Kementerian/Lembaga (K/L) terkait.

Dapatkan materi narasumber dari diskusi virtual Earth Day Forum yang mengangkat tema “Melestarikan Hutan untuk Mitigasi Perubahan Iklim” dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

INDONESIA'S COMMITMENT TO REDUCE GREENHOUSE GAS EMISSIONS THROUGH CLEAN ENERGY IMPLEMENTATION

INDONESIA'S COMMITMENT TO REDUCE GREENHOUSE GAS EMISSIONS THROUGH CLEAN ENERGY IMPLEMENTATION

Dalam Dialog Iklim Tingkat Tinggi Tri Hita Karana yang bertajuk Transisi Energi Bersih Indonesia dan Ambisi Iklim untuk Emisi Nol Bersih, yang digelar secara virtual pada 15 April 2021, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui penerapan energi bersih.

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen dengan menggunakan sumber daya dalam negeri dan hingga 41 persen dengan bantuan internasional, termasuk keuangan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas dengan skenario bisnis seperti biasa pada tahun 2030. Luhut menyampaikan bahwa pemerintah berencana mengurangi 198,27 juta ton pada tahun 2025 dan hingga 314 juta ton pada tahun 2030. Hingga saat ini gugus tugas lintas Kemenko Marves sedang menyiapkan peta jalan Nationally Determined Contributions (NDC) atau kontribusi yang ditentukan secara nasional.

Sektor energi tercatat menyumbang 11 dari 29 persen dalam NDC tersebut. Sektor energi berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sekitar 314 juta ton CO2 hingga 398 juta ton CO2 atau sekitar 38 persen pada tahun 2030 melalui energi terbarukan pengembangan, efisiensi energi, dan konservasi energi. Saat ini, pemerintah tengah merancang bauran energi nasional untuk mencapai 23 persen dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada 2025 dan 31 persen pada 2050.

Strategi energi terbarukan meliputi panas bumi, tenaga air, solar PV, bioenergi, dan angin. Dan berkomitmen untuk mempercepat pengembangan proyek energi terbarukan di Indonesia dan membuka calon investor untuk berpartisipasi dalam proyek energi terbarukan di masa depan. Pemerintah akan melakukan segala upaya untuk mempercepat kemajuan, termasuk menjajaki kemungkinan mencapai Emisi Nol Bersih lebih awal dari yang direncanakan. Kawasan Bali, Danau Toba, dan kawasan ekonomi khusus, dapat menjadi percontohan upaya percepatan tersebut.

Dapatkan Pemberitaan Media edisi 12-18 April 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Yuk Asuh Pohon Untuk Selamatkan Hutan

Yuk Asuh Pohon Untuk Selamatkan Hutan

Tentu kita semua sudah tahu mengapa hutan harus terus kita jaga. Iya, benar, karena hutan adalah paru-paru dunia, pusat bernafas dari semua yang ada di bumi ini. Dapat kita bayangkan jika hutan rusak. Maka sumber udara bersih akan hilang. Itu mengapa kita harus selalu menjaga hutan agar tetap lestari.

Lantas, apakah kita yang tinggal jauh dari hutan masih bisa ikut serta dalam menjaga hutan? Jawabannya tentu saja bisa. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk ikut menjaga hutan, meskipun kita tinggal jauh dari hutan. Salah satunya adalah dengan menjadi pengasuh pohon dalam Program Pohon Asuh.

Apa itu Pohon Asuh?

Pohon Asuh adalah sebuah program penyelamatan hutan dengan metode Crowdfunding. Yakni sebuah bentuk pendanaan yang dikumpulkan dari banyak pihak secara kolektif. Lewat program pohon asuh inilah kemudian dananya digunakan untuk  memelihara dan melindungi hutan agar tetap lestari.

Program Pohon Asuh ini dipelopori oleh KKI Warsi, dan saat ini sudah dikembangkan di banyak wilayah dampingan Warsi. Seperti di Hutan Adat Rantau Kermas, di Kabupaten Merangin, Jambi. Juga di empat hutan nagari yang ada di Sumatera Barat, seperti hutan nagari di Simancuang, Kabupaten Solok Selatan, hutan nagari Sungai Buluh di Kabupaten Padang Pariaman serta Hutan Nagari Sirukam dan Simanau di Kabupaten Solok.

Pohon yang akan diasuh ini sebelumnya ditentukan terlebih dahulu, yaitu dipilih pohon yang memiliki diameter minimal 60 cm. Setelah ditentukan dengan GPS, kemudian datanya dimasukkan ke dalam website pohon asuh www.pohonasuh.org . Data pohon asuh di website inilah yang dapat diketahui oleh masyarakat luas. Kemudian masyarakat bisa memilih pohon asuhnya lewat website.

Di dalam website, pengasuh bisa memilih jenis pohon, letaknya dan juga jangka waktu berdonasinya. Bisa setahun atau lebih. Biayanya cukup murah. Hanya 200 ribu untuk satu pohon selama satu tahun. Dan jika sudah lewat waktunya, bisa diperpanjang lagi.

Pengasuh pohon akan dikabarkan letak pohon asuhnya, dan perkembangan pohon tersebut lewat email setiap enam bulan sekali. Jika telah lewat masa waktunya, pengasuh pohon akan diberikan kabar lewat email apakah akan memperpanjang lagi atau tidak. Pengelola akan mencantumkan nama pengasuh dan keterangan pohon yang telah diasuh dalam bentuk papan nama yang dipasang pada pohon yang diasuh.

Foto Pohon Asuh Nagari Sirukam. (Kiki Andianto @Yayasan Madani Berkelanjutan)

Kontribusi dari program pohon asuh ini selain digunakan untuk melakukan kegiatan penyelamatan hutan dengan mengembangkan perhutanan sosial hingga kegiatan patroli jaga hutan, juga digunakan untuk menunjang kerja masyarakat.

Program pohon asuh ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat Sumatera Barat dan Jambi saja, tetapi juga diikuti oleh masyarakat dari beragam kalangan. Daniel Mananta dan Dian Sastro juga menjadi contoh warga dan artis ibukota ikut serta dalam program pohon asuh. Pohon asuhnya terletak di Hutan Nagari Sirukam, Kabupaten Solok.

Bagi kamu yang tertarik lebih lanjut dengan program ini, kamu juga bisa menelisik lebih lanjut program pohon asuh ini di www.pohonasuh.org. Ayo Sobat Madani, pohon-pohon di sana telah memanggilmu untuk mengasuh mereka. Yuk, asuh pohon di pohon asuh!

Related Article

OMNIBUS LAW ON JOB CREATION: INJURING CLIMATE COMMITMENT, ACCELERATING FOREST LOSS, PERPETUATING DISASTERS

OMNIBUS LAW ON JOB CREATION: INJURING CLIMATE COMMITMENT, ACCELERATING FOREST LOSS, PERPETUATING DISASTERS

[Jakarta, October 7, 2020] The signing of Omnibus Bill on Job Creation into law by the House of Representatives of Republic of Indonesia on October 5, 2020 is an injury to Indonesia’s climate commitment and forest protection efforts that have been carried out for 9 years. The newly enacted Law has the potential to perpetuate Indonesia’s deforestation. Referring to Madani’s analysis on the Risks of Omnibus Bill on Job Creation for Natural Forests and the Achievement of Indonesia’s Climate Commitment, if enacted, some articles in the Bill that weaken forest and environmental protection could increase the risks of natural forests loss. There are five provinces in Indonesia that could lose their natural forests completely in the future based on the current deforestation rates, namely: Riau Province in 2032; Jambi and South Sumatra Provinces in 2038, Bangka Belitung Province in 2054, and Central Java Province in 2056.

Spatial analysis conducted by Madani shows that around 3.4 million hectares of natural forests exist in palm oil permits area (Land Use Right/HGU, Plantation Business Permit/IUP, and other permits that are not yet definitive, including location permit). Such forests could be saved based using the momentum of evaluation of palm oil plantation licenses mandated by the Presidential Instruction (INPRES) No. 8 Year 2018 (palm oil moratorium). The largest natural forests within palm oil permits area exist in Papua Province with a total of 1.3 million hectares, followed by East Kalimantan with 528 thousand hectares. With the additional demand for CPO from the biodiesel policy and the ease of palm oil permits’ expansion into the forest zone, Indonesia’s chance for saving its natural forests in the palm moratorium period is slim. If the 3.4 million hectares of natural forest are lost, Indonesia’s climate commitment will not be met as it will exceed the deforestation ‘quota’ of 3.25 million hectares by 2030. Thus was conveyed by Teguh Surya, Executive Director of Yayasan Madani Berkelanjutan, in response to the signing of the Job Creation Bill into law on October 5, 2020.

Moreover, according to Madani’s analysis, the total disputed or overlapping area between permits and forest and land protection in Indonesia reaches 75.6% or 143 million hectares from the total 189 million hectares of Indonesia’s land area. Teguh Surya added that “From the total 143 million hectares of disputed area in Indonesia, 11.3 million hectares are industrial timber plantation permits/IUPHHK HT, 18.9 million hectares are logging permits/IUPHHK HA, 622 thousand hectares are ecosystem restoration permits/IUPHHK RE, 11 million hectares are indicative social forestry area/PIAPS, 22.7 million hectares are palm oil permits, 66.3 million hectares are permanent moratorium area/PIPPIB, 14.9 million hectares are onshore mineral and coal permits and 31.9 million hectares are onshore oil and gas concession area.”

READ ALSO: UU Cipta Kerja Mencederai Komitmen Iklim, Mempercepat Kehilangan  Hutan, Melanggenggkan Bencana

The dispute or overlap between permits and area of forest and land protection in Indonesia shows that the Omnibus Law on Job Creation is not the correct answer to Indonesia’s investment and economic growth in the future,” said Teguh Surya. “The Government and Parliament should have prioritized improvement of environment and natural resources governance and strengthened the Corruption Eradication Commission/KPK to improve the economy. This is clear from the result of Natural Resources and Environment Laws Harmonization study by the KPK in 2018, which mandates the harmonization of 26 Laws related to Natural Resources and the Environment based on natural resources and environmental management principles“, explained Teguh.

The newly enacted law ignores ten major barriers to investment in Indonesia, including, corruption, bureaucratic inefficiency, access to financing, inadequate infrastructure, policy instability, government instability, tax rates, poor work ethics, tax regulation, and inflation. Instead of bringing hope for stronger economic growth, the law is a bad sign.

With the enactment of the Omnibus Law on Job Creation, the chance to better protect natural forests by strengthening the permanent moratorium policy (expanding the scope of Presidential Instruction No. 5 of 2019) is threatened to never materialize. Natural forests outside PIPPIB protection in four main provinces are threatened, namely in Central Kalimantan with 3.5 million hectares, West Kalimantan with 1 million hectares, Aceh with 342 thousand hectares and West Sumatra with 254 thousand hectares.

Madani’s latest analysis shows that the Indicative Map of Termination of License Granting in Natural Primary Forest and Peatland or PIPPIB of 2020 (1st period) with the total area of 66.3 million hectares is still crisscrossed with various permits and other land and forest allocations. The largest permits overlapping with PIPPIB are onshore mineral and coal permits with 7.2 million hectares and onshore oil and gas permits with 6.4 million hectares. PIPPIB also overlap with the indicative social forestry area/PIAPS (4.7 million hectares), palm oil permits (1.2 million hectares), logging permits (386.000 hectares), industrial timber plantation permits (123.000 hectares) and ecosystem restoration permits (4,748 hectares),” said Fadli Naufal, GIS Specialist of Yayasan Madani Berkelanjutan.

Moreover, Indonesia risks failing to achieve its climate commitment in the forestry sector, especially from reducing deforestation if the 3.25 million hectares deforestation threshold (from 2020-2030) is exceeded by 2025, a projection based on potentially increasing deforestation rate due to weakened forest and environmental protection. “In the first Nationally Determined Contribution/NDC, it is mentioned that Indonesia has a target to reduce deforestation to below 3.25 million hectares by 2030 or a maximum of 325,000 hectares/year during 2020 to 2030 by its own efforts and with international assistance. We risk missing the target if the deforestation-triggering articles in the Job Creation Law are implemented,” said M. Arief Virgy, Insight Analyst of Yayasan Madani Berkelanjutan.

On average, Indonesia’s deforestation rate in the 2006-2018 period is 688,844.52 hectares/year. From such number, we can calculate that Indonesia will exceed its deforestation quota of 2030 NDC target by 2025,” M. Arief Virgy added.

Therefore, the Omnibus Law on Job Creation clearly is not the answer for economic growth and efforts to save forest and peatland and achieve Indonesia’s climate commitments. It rather harms the efforts that have been made by the government in saving Indonesia’s remaining forests as well as the country’s climate commitment. [ ]

oooOOOooo

Media Contacts:

 

– M. Teguh Surya, Executive Director of Yayasan Madani Berkelanjutan, Ph. 0812 9480 1453, email: teguh@madaniberkelanjutan.id

– M. Arief Virgy, Insight Analyst of Yayasan Madani Berkelanjutan, Ph. 0877 0899 4241, email: virgy@madaniberkelanjutan.id

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication of Yayasan Madani Berkelanjutan, Ph. 0815 1986 8887, email: luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Dana GCF Peluang Pengakuan dan Penguatan Hak Masyarakat Adat dalam Mencapai Komitmen Iklim

Dana GCF Peluang Pengakuan dan Penguatan Hak Masyarakat Adat dalam Mencapai Komitmen Iklim

[Jakarta, 30 Agustus 2020] Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi disetujuinya proposal pendanaan yang diajukan pemerintah Indonesia ke Green Climate Fund (GCF) dalam rangka pembayaran kinerja penurunan emisi dari pengurangan deforestasi dan degradasi (REDD+). Dana GCF ini dapat menjadi peluang untuk mendorong pengakuan dan penguatan hak Masyarakat Adat dan lokal dalam mencapai komitmen iklim Indonesia. Dana GCF ini hendaknya betul-betul diprioritaskan untuk menurunkan deforestasi dan degradasi di tingkat tapak lewat penguatan Perhutanan Sosial dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Kedua inisiatif ini dapat memperkuat hak tenurial masyarakat adat dan lokal serta berkontribusi pada pengurangan deforestasi dan degradasi hutan apabila dijalankan dengan baik berdasarkan pelibatan aktif para pemangku kepentingan.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan berkaitan Sidang Dewan Green Climate Fund (GCF) yang menyetujui proposal pembayaran berbasis hasil REDD+ Indonesia sebesar USD 103,8 juta. Proposal yang diajukan pemerintah Indonesia menyajikan hasil kinerja REDD+ Indonesia untuk periode 2014-2016 dengan volume pengurangan emisi sekitar 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Kami menyambut baik bahwa dana yang diterima oleh Pemerintah Indonesia akan digunakan sesuai arahan Presiden untuk pemulihan lingkungan berbasis masyarakat. Untuk itu, implementasi program dan penyaluran dana ini harus benar-benar transparan dan program-program prioritas yang akan dijalankan harus dikonsultasikan secara luas dengan elemen organisasi masyarakat adat dan lokal serta masyarakat sipil,” kata Teguh.

Agar penyaluran dana betul-betul tepat sasaran, perlu dibentuk segera organ multi pemangku kepentingan dalam kelembagaan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dengan perwakilan organisasi masyarakat adat dan lokal serta organisasi masyarakat sipil. Selain itu, perlu ada kejelasan soal peran dan tanggung jawab kelembagaan program yang akan mengelola dana yang diterima, terutama untuk memberdayakan BPDLH yang akan beroperasi tahun ini,” tambah Teguh.

Program prioritas yang didanai harus betul-betul untuk memulihkan lingkungan berbasis masyarakat, termasuk untuk percepatan dan penguatan perhutanan sosial dan pengakuan wilayah adat. Program perhutanan sosial dan penguatan KPH juga harus disinergikan dengan program adaptasi-mitigasi perubahan iklim, restorasi gambut, rehabilitasi lahan kritis, dan pengurangan deforestasi serta degradasi yang merupakan aksi utama mitigasi NDC di sektor kehutanan,” kata Anggalia Putri Permatasari, Manager Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat peran KPH di tingkat tapak dengan mandat dan sumber daya untuk menyelesaikan konflik tenurial dan memfasilitasi upaya pencegahan dan penyelesaian pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan lokal, juga untuk menegakkan aturan terhadap perizinan kehutanan.

Ada keprihatinan mendalam bahwa kemajuan pengakuan hutan dan wilayat adat sangat jauh dibandingkan dengan skema-skema perhutanan sosial lainnya. “Untuk mengakselerasi pencapaian perhutanan sosial dan pengakuan wilayah adat, pemerintah juga perlu melakukan harmonisasi segera antara Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) dan Peta Wilayah Masyarakat Adat serta dengan berbagai izin penggunaan atau pemanfaatan lahan lain terkait pembangunan,” tambah Anggalia Putri.

Pemerintah juga harus lebih aktif mendorong disahkannya RUU Masyarakat Adat yang akan memberikan pengakuan formal terhadap Masyarakat Adat dan hak-haknya, termasuk hak atas sumber daya hutan. Karena selain merupakan kewajiban konstitusi, memperkuat hak atas tanah dan ketahanan tenurial masyarakat adat dan lokal adalah kondisi pemungkin yang harus diwujudkan agar Indonesia berhasil mengurangi deforestasi dan degradasi serta mencapai komitmen iklim. [ ]

Kontak Media:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 9480 1453

Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 856-21018-997

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

en_USEN_US