Madani

Tentang Kami

POST-COP26: CONCRETE ACTIONS NEEDED TO SAVE THE EARTH

POST-COP26: CONCRETE ACTIONS NEEDED TO SAVE THE EARTH

Hasil COP26 tak memuaskan bagi pencapaian target dunia untuk keluar dari Krisis Iklim. Indonesia perlu mengambil langkah-langkah konkret yang bisa berkontribusi bagi bumi. Dengan semangat kolaborasi dan pelibatan aktor non pemerintah, langkah konkret akan lebih mudah diimplementasikan. 

Jakarta, 18 November 2021. Conference of the Parties ke-26 (COP26) UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, telah berakhir pada 13 November 2021. Pertemuan itu menghasilkan Pakta Iklim Glasgow, namun belum memuaskan banyak pihak. Usaha untuk menyelamatkan bumi dari Krisis Iklim, perlu melibatkan banyak pihak agar kerja menyelamatkan bumi lebih konkret, bisa dipertanggungjawabkan dan diimplementasikan. 

COP26 menghasilkan Pakta Iklim Glasgow. Poin-poin penting dari Pakta Iklim Glasgow antara lain, mengakui bahwa komitmen yang dibuat oleh negara-negara selama ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang memanaskan planet, tidak cukup mencegah pemanasan planet melebihi 1,5 derajat celcius di atas suhu era pra industri. Kedua, secara eksplisit menyatakan pengurangan penggunaan energi fosil, utamanya batu bara. Ketiga, penegasan akan perlunya komitmen pendanaan dari negara-negara maju bagi negara-negara berkembang untuk adaptasi iklim. 

Namun, untuk bisa keluar dari Krisis Iklim dan mencegah dampak yang lebih besar di masa depan, hasil COP26 ini memang masih jauh dari harapan dan dinilai masih mengecewakan. Menurut Dewi Rizki, Program Director For Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN, COP26 memang memiliki target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat celcius. Tapi implementasinya perlu selaras dengan target yang dicanangkan. Menurut Dewi, Indonesia perlu berpegang teguh pada NDC atau nationally determined contribution, untuk mengurangi mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim. “Agar komitmen menjaga suhu bumi benar-benar bisa diimplementasikan,” ujarnya. NDC adalah dokumen komitmen sebuah negara atas Persetujuan Paris yang disepakati dalam konferensi iklim pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim.

Untuk mencapai NDC, pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor. Dalam COP26 ditekankan kolaborasi untuk menyiapkan negara yang terdampak untuk melindungi ekosistem. Peran NPS (non-party stakeholders) seperti masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, swastas, harus dibuka. Agar apa yang direncanakan dalam NDC bisa berjalan. “Kuncinya semua sektor harus dilibatkan,” kata Dewi.  

Utamanya sektor energi.  Salah satu pencapaian NDC adalah dengan pengurangan penggunaan batu bara. Dalam Pakta iklim Glasgow, gagal menghentikan penggunaan batubara secara penuh. Batu bara selama ini adalah penyebab karbon yang memicu pemanasan global. Pada menit-menit akhir penandatanganan draf kesepakatan, India dan Cina melobi untuk melemahkan penghentian secara penuh itu. Kedua negara itu bersikeras menghapus kata “menghentikan” penggunaan batubara dan menggantinya dengan kata “mengurangi” secara bertahap.

Masalah bantuan dana dari negara-negara maju juga berpengaruh bagi Indonesia. Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, secara akumulatif Indonesia butuh dana sebesar Rp3.779,63 triliun untuk mencapai target net zero emission pada 2030. Dari biaya adaptasi iklim sebanyak Rp3.779,63 triliun itu, pos paling besar adalah sektor transportasi dan energi. Porsinya sebesar 92 persen atau sekitar Rp3.500 triliun. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sektor energi masih tergantung pada batu bara. Ketergantungan ini ada di dua sisi, penambangan dan pemanfaatannya. 

Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tahun lalu produksi batu bara melebihi target. Tahun 2020, target produksi batubara mencapai 550 juta ton. Namun produksinya mencapai 561 juta ton, atau 102 persen dari target. Hal ini menunjukkan, dari sisi pembangunan Indonesia masih suka mengeruk batu bara secara berlebihan. 

Batu bara masih menjadi sumber energi listrik utama. Menurut Kementerian Energi, 80 persen energi listrik masih bergantung pada batu bara. Porsi ketergantungan pada batu bara ini jelas perlu dikurangi. Fabby menjelaskan, batu bara kontribusi 40 persen pada emisi global. Indonesia memiliki kemajuan dengan rencana akan mempensiunkan dini beberapa PLTU (pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang memakai batu bara. “Indonesia perlu melakukan transisi energi dari energi kotor ke energi hijau,” kata Fabby. 

Langkah peralihan ini bisa dimulai dengan melakukan disinsentif pada sektor yang bergantung pada energi batu bara. Sektor transportasi juga perlu beranjak dari energi fosil. Agar bumi tak makin kotor karena emisi yang dihasilkan dari kendaraan. Di sisi lain, Pemerintah perlu  memberikan insentif pada sektor yang menggunakan energi ramah lingkungan. Sehingga, penggunaan energi hijau makin banyak yang batu bara makin dijauhi. 

COP26 juga menggarisbawahi pentingnya hutan dan lahan. Langkah positif yang telah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam Presidency Event Forest and Land Use bahwa hutan sebagai solusi iklim global, membangun pendanaan alternatif dan mewujudkan pengelolaan hutan yang pro-environment, pro-development, dan people-centered membutuhkan konsistensi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Saat ini ada 9,6 juta ha hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam. “Presiden harus tegas untuk melindungi seluruh bentang hutan alam dan gambut tersisa Indonesia untuk membantu Indonesia mencapai target net carbon sink FOLU 2030,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. 

Selain itu, Nadia juga mendorong pemerintah untuk RUU Masyarakat Adat. Aturan itu menjadi tumpuan perlindungan hutan alam tersisa, dan pengakuan atas hak masyarakat lokal, karena ini sangat esensial untuk mencapai ambisi iklim Indonesia. Selain itu, penting untuk mengakselerasi dan memperkuat perhutanan sosial. Langkah ini mempunyai potensi untuk berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap target NDC dari pengurangan deforestasi. Pemerintah juga perlu mempercepat realisasi restorasi gambut, terutama di area izin dan konsesi serta pemulihan mangrove yang menjadi target pemerintah pada 2021-2024.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia melalui Kementerian LHK telah menekankan bahwa net sink FOLU 2030 dapat dicapai dengan mengontrol deforestasi serendah mungkin, melalui pencegahan karhutla, manajemen gambut, Moratorium Hutan Alam dan Gambut, pengurangan degradasi lahan, dan penegakan hukum (law enforcement). Untuk mencapai target net sink FOLU 2030, maka dibutuhkan kebijakan operasional dan sinergitas antar-program serta perencanaan pemerintah sampai level daerah, termasuk pentingnya koherensi antara kebijakan sektor FOLU (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) dan sektor energi terbarukan yang berbasis lahan. “Selain itu, Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate dan pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang saat ini berfokus pada biodiesel dari minyak sawit mentah harus memiliki safeguards yang kuat agar tidak membuka hutan alam dan lahan gambut, serta menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal,” tambah Nadia Hadad.

Laetania Belai Djandam, remaja aktivis lingkungan hidup dan masyarakat Adat Dayak menjelaskan, COP26 ini membuka ruang lebar bagi kaum muda dan masyarakat adat. Bukan hanya akademisi, atau ilmuwan. Menurut Belai, kaum muda harus mempopulerkan isu-isu iklim dalam COP26 agar bisa menjangkau masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya. “Karena keputusan dalam COP26 paling berdampak bagi mereka,” ujarnya.  

Menurut Belai, partisipasi kaum muda dalam aksi iklim perlu didefinisikan ulang. Apakah hanya sekadar konsultasi atau sampai ikut terlibat dalam kepemimpinan.  Keterlibatan kaum muda perlu dilembagakan secara nasional. Agar masukan dari kaum muda diperhatikan secara nasional. “Dewan nasional ini  perlu agar anak muda memiliki perwakilan suara yang resmi,” kata Belai. Kerja-kerja itu harus diturunkan dalam aksi yang konkret, detail, dan transparan. Agar tak ada lagi isu ketidak percayaan  dalam kerja-kerja aksi iklim. 

Hasil kesepakatan dalam Pakta Iklim Glasgow, tentu akan sia-sia jika hanya digubris oleh para pemerhati iklim. Kepedulian sekecil apapun wujudnya, akan turut membantu memperbaiki bumi.  Mulai mengurangi konsumsi energi atau sekadar mengkonsumsi produk ramah lingkungan. Kini sudah waktunya bagi kita bergerak menyelamatkan bumi #TimeforActionIndonesia

* * *

Tentang Komunitas

Komunitas Peduli Krisis Iklim adalah kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap penanggulangan ancaman krisis iklim. Komunitas ini bertujuan mendorong pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan akses masyarakat yang berkelanjutan terhadap hak-hak atas lingkungan. 

Kontak yang bisa dihubungi:

Luluk Uliyah (MADANI): email  luluk@madaniberkelanjutan.id kontak: +62 815-1986-8887

Dewi Rizki (KEMITRAAN): 08118453112

 

Related Article

THE DIFFICULT POSITION OF INDONESIA'S DELEGATION AT COP26

THE DIFFICULT POSITION OF INDONESIA'S DELEGATION AT COP26

Pemerintah Indonesia mengklaim telah mempersiapkan para delegasi dan negosiator handal dalam perundingan iklim pada COP 26 UNFCCC di Glasgow November mendatang. Bahkan dalam siaran pers yang dipublikasikan dalam website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri LHK, Siti Nurbaya menekankan kepada para Delegasi Indonesia untuk COP 26 agar menunjukkan kepada Dunia Internasional bahwa Indonesia sangat serius dalam penanganan pengendalian perubahan iklim yang terencana dan solid antar sektor.

Pertanyaan mendasarnya adalah benarkah pemerintah selama ini serius dalam pengendalian perubahan iklim? Jawaban dari pertanyaan itu menjadi penting jika pemerintah ingin posisi tawarnya dalam COP 26 itu menguat. Sebaliknya, bila selama ini pemerintah ternyata tidak serius dalam melakukan pengendalian krisis iklim, posisi tawar para delegasi dalam negosiasi akan lebih sulit, karena para delegasi harus merangkai-rangkai cerita untuk membangun pencitraan seolah-olah pemerintah serius dalam pengendalian krisis iklim.

Salah satu indikasi keseriusan pemerintah dalam mengatasi krisis iklim adalah dengan mengendalikan laju penggundulan hutan (deforestasi). Hutan memang berpotensi menyerap emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim. Makin luas hutan yang hancur, makin banyak pula emisi GRK yang dilepas di atmosfer. Jika itu yang terjadi, bencana ekologi akibat krisis iklim akan semakin sering menghampiri kita. 

Salah satu kawasan hutan di Indonesia yang tersisa adalah di Papua. Celakanya, di Papua, laju deforestasi juga melonjak tajam. Data deforestasi hutan sejak tahun 1992 hingga tahun 2019 dari Yayasan Auriga Nusantara, seperti ditulis merdeka.com, mengungkapkan bahwa luas hutan alam yang hilang pada 2015-2019 mencapai 2,81 juta hektare. Angka deforestasi tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992. 

Seperti ditulis CNN Indonesia, KLHK mengakui bahwa pada era Presiden Jokowi menerbitkan 17 Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) pada 2015-2019 dengan luas total lahan 269.132 hektare. Namun, KLHK mengungkapkan bahwa hampir 100 persen deforestasi yang terjadi di 2015 berasal dari luar areal 17 SK PKH yang diterbitkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi selama periode 2015-2019.

Debat antara organisasi lingkungan hidup dan KLHK terkait deforestasi di Papua tidak bisa menghapus fakta bahwa telah terjadi penghancuran hutan besar-besaran di Papua, terlepas itu terjadi karena konsesi yang diterbitkan di era Presiden SBY atau Jokowi. Tugas pemerintah harusnya mencegah semaksimal mungkin terjadinya penghancuran hutan alam Papua yang tersisa itu.

Kurang seriusnya pemerintah dalam mengatasi persoalan deforestasi ini nampak juga dengan masih seringnya pemerintah ’membunuh’ pembawa pesan pihak-pihak yang melontarkan kritik atas pengelolaan hutan dengan memberikan label tidak nasionalis. Narasi nasionalisme dibangun atas dalih hasil perkebunan sawit, yang tak jarang menghancurkan hutan, itu merupakan penghasil devisa, sehingga kampanye perubahan iklim, tak lebih sebagai upaya untuk menghancurkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Pihak-pihak yang mengkampanyekan perubahan iklim pun diberikan label sebagai antek asing.

Pengendalian emisi GRK bukan hanya dari sektor kehutanan namun juga sektor energi. Indonesia tercatat sebagai pengekspor energi fosil, terutama batubara, penyebab krisis iklim. Menurut data dari Outlook Energi Indonesia (OEI) 2019, pada tahun 2018, total produksi energi primer yang terdiri dari minyak bumi, gas bumi, batubara, dan energi terbarukan mencapai 411,6 Million Tonne Of Oil Equivalent (MTOE). Sebesar 64% atau 261,4 MTOE dari total produksi tersebut diekspor terutama batubara dan LNG.  

Meskipun nilai ekspor batubara dari Indonesia naik turun, secara umum ekspor batubara masih dominan. Menurut BPS dalam publikasi analisis komoditas ekspor 2013-2020 tercatat bahwa nilai ekspor sektor pertambangan didominasi dari ekspor pertambangan batubara (83,40%). 

Padahal emisi GRK dari batubara ini mendorong percepatan krisis iklim. Pembakaran batubara menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan daripada bahan bakar fosil lainnya. Dibandingkan dengan gas, batubara melepaskan 66% lebih banyak CO2 per unit energi yang dihasilkan. Bukan hanya itu, tambang batubara melepaskan metana ke atmosfer. Metana dua puluh kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai GRK, penyebab krisis iklim. 

Seperti ditulis dalam komitmeniklim.id, menjelang COP 26, justru rencana bebas karbon Indonesia dinilai belum jelas. Ketidakjelasan itu terlihat ketika PLN meluncurkan peta jalan untuk menghentikan pembangkit listrik batu bara pada 2060. Langkah ini mundur dari pengumuman sebelumnya yang menjadi netral karbon pada tahun 2050.

Komitmen untuk mengatasi krisis iklim terkait penggunaan energi kotor batubara ini juga terlihat dari dominasi bank-bank BUMN yang masih mendanai proyek-proyek batubara. Laporan urgewald yang berbasis di Jerman, mengungkapkan bahwa bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN termasuk empat dari enam bank di Indonesia yang masih mendanai proyek-proyek energi kotor batubara selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. 

Ketiadaan komitmen bank-bank BUMN untuk menghentikan pendanaan ke proyek-proyek batubara ini semakin menunjukan bahwa pemerintah Indonesia belum begitu serius mengendalikan emisi GRK penyebab krisis iklim. Ketidakseriusan pemerintah dalam mengendalikan emisi GRK ini akan menyulitkan posisi delegasi Indonesia dalam negosiasi di COP 26.  Dengan posisi sulit delegasi Indonesia itu nampaknya, tidak ada hal yang baru terkait pengendalian krisis iklim COP 26.  Tidak adanya hal yang baru itu bukan salah delegasi Indonesia, tapi salah pemerintah yang selama ini kurang serius dalam mengendalikan emisi GRK.

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

ROAD TO COP26 GLASGOW EVENT

ROAD TO COP26 GLASGOW EVENT

From 31 October to 12 November, the UK will host the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) located in Glasgow, Scotland. COP26 aims to accelerate climate action to achieve the goals of the Paris Agreement and the UNFCCC. COP26 is important because this decade is the last opportunity for us to scale up climate action to achieve the 1.5-degree goal.

In order to welcome this grand agenda, civil society organizations, Madani Berkelajutan Foundation, Walhi, Kemitraan, and LTKL took part in the Indonesian pavilion at COP26.

READS ALSO: Inclusive And Collaborative Climate Action Under The Next Generation Leaderships: NPS Contributions to Long Term Development Strategy

One of the activities that will be held is a discussion with the theme Inclusive And Collaborative Climate Action Under The Next Generation Leaderships: NPS Contributions to Long Term Development Strategy, On Tuesday, 9, November 13.20 to 14.40 WIB.

In this discussion, a number of presenters were present, namely the Executive Director of the Partnership, Laode Muhammad Syarif, Adat Women Leaders Ammatoa Kajang Community, Ramlah, Prokilm-Social Forestry of Nagari Sirukam West Sumatra, Selfi Suryani, Head of Gorontalo District, Prof. Nelson Promalingo, Adat Youth Leaders from Dusun Silit West Kalimantan, and Duayam x Krealogi, Hanna Keraf.

Register yourself to take part in the event at the following link www.indonesiaunfccc.com

Related Article

Road to COP26 Glasgow Event

Road to COP26 Glasgow Event

Indonesia mengajukan Target Iklim Baru 2030 dan Strategi Iklim Jangka Panjang Pertama menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) pada November 2021. Komitmen tersebut mencakup langkah-langkah baru yang positif tentang adaptasi dan ketahanan serta target khusus restorasi lahan gambut dan lahan terdegradasi, di untuk mencapai apa yang diperlukan untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris.

Untuk mendukung komitmen aksi iklim bangsa terhadap COP26 di Glasgow awal November 2021, Katadata dan Landscape Indonesia mempersembahkan “The Road to COP 26”, akan melakukan kampanye dan acara online tiga hari, dengan fokus pada upaya kolaboratif untuk mengatasi krisis iklim khususnya di Indonesia.

Dalam rangkaian acara tersebut, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad ikut serta menjadi salah satu narasumber pada diskusi yang bertemakan Road to Net Zero: Energy, Forest, dan Ocean pada hari kedua acara (22/10/2021). 

Dalam upaya mengatasi krisis iklim dunia, Indonesia ikut berkontribusi dengan menetapkan salah satunya dokumen penanganan nasional Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam NDC, Indonesia menargetkan menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030. 

Bukan hanya itu, Indonesia juga menetapkan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050). LTS-LCCR 2050 sendiri adalah dokumen yang diimbau bagi negara yang meratifikasi Perjanjian Paris sebagai komunikasi visi upaya dan aksi perubahan iklim sampai dengan 2050, meski tidak wajib dilaporkan.

Dapatkan informasi lebih lengkap terkait dengan upaya Indonesia dengan mengikuti serangkaian kegiatan Road to COP26 Glasgow yang diadakan Katadata dengan mengunjungi tautan ini. Klink di sini.

Related Article

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM THE CONSTITUTIONAL COURT REJECTING MATERIAL TEST ON KPK LAW TO EUROPEAN TRADE COOPERATION

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM THE CONSTITUTIONAL COURT REJECTING MATERIAL TEST ON KPK LAW TO EUROPEAN TRADE COOPERATION

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (3-10 Mei 2021), berikut cuplikannya: 


1. MK Tolak Gugatan Uji Materi UU KPK

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang diajukan oleh Tim Advokasi UU KPK. MK berpendapat dalil para pemohon yang menyatakan UU KPK tidak melalui Prolegnas dan terjadi penyelundupan hukum tidak beralasan hukum. MK juga berpendapat, UU KPK sudah memenuhi asas kejelasan tujuan.

Ada sejumlah dalil yang disampaikan Agus Rahardjo dkk dalam permohonannya yang menuntut agar UU KPK dinyatakan cacat formil sehingga tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum. Salah satu dalilnya, Tim Advokasi UU KPK menilai UU KPK cacat prosedural, terutama pada bagian Perencanaan, Penyusunan, dan Pembahasan yang dilandasi oleh lima bangunan argumentasi. Pemohon juga mendalilkan soal KPK tidak diundang dalam pembahasan revisi UU KPK, melainkan dalam pembahasan itu hanya mengikutsertakan dua perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Dalil ini pun dinilai tak beralasan menurut hukum. MK berpendapat KPK-lah yang menolak untuk dilibatkan meski sudah diundang.

Namun ada satu orang hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion mengenai perihal permohonan pengujian formil UU KPK tersebut. Wahiduddin berpendapat MK seharusnya mengabulkan permohonan uji materi UU KPK. Menurutnya, proses revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 itu dilakukan dalam waktu singkat dan secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental. Selain itu, revisi tersebut dilakukan pada momentum spesifik yang mengundang pertanyaan besar memang tak secara langsung menyebabkan UU itu inkonstitusional. Ia juga menambahkan, akumulasi dari kondisi-kondisi tersebut mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas UU KPK.

2. Kabar Pemecatan Pegawai KPK

Kabar pemecatan berhembus usai 75 orang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk Novel Baswedan dan sejumlah sosok berprestasi, tak lolos tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pasca berlakunya UU KPK yang baru tersebut sejak 2019 silam. Namun, Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di KPK pada Rabu (5/5) menegaskan tes itu disusun dengan kerja sama dengan pihak lain. Firli turut menyebutkan, bila para pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat menjadi ASN, itu tidak akan dipecat, tetapi keputusan lanjutan akan diserahkan ke KemenPAN-RB.

Sejumlah pegiat anti korupsi pun ramai-ramai memprotes kabar pemecatan pegawai KPK. Salah satu protes datang dari Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari. Menurutnya, tes itu hanya diatur dalam Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021. Aturan itu juga mengandung sejumlah syarat janggal.

Protes lainnya dilayangkan mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto. Menurut Bambang, para pegawai KPK yang tak lolos itu selama ini berhasil mengungkap banyak kasus korupsi, seperti suap bansos Covid-19 hingga suap izin ekspor benur. Namun, mereka justru disingkirkan lewat tes wawasan kebangsaan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga memprotes dugaan pemecatan pegawai KPK usai tes wawasan kebangsaan. ICW menilai tes tersebut bagian dari rancangan pelemahan KPK yang lahir sebagai anak kandung reformasi tersebut. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut pelemahan sudah berlangsung sejak Firli Bahuri dkk. terpilih. Skenario itu, kata dia, berlanjut lewat revisi UU KPK yang kemudian disahkan di ujung masa bakti DPR periode 2014-2019 dan diundangkan pada 2019 silam.

3. Larangan Biofuel Sawit Belgia pada 2022

Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa, Andri Hadi secara khusus menyampaikan penyesalan atas penerbitan rancangan Royal Decree on Product Standards for Transport Fuels from Renewable Sources, yang memuat larangan penggunaan palm oil-based biofuels di Belgia. Larangan penggunaan biodiesel minyak kelapa sawit itu berlaku mulai Januari 2022. Penyesalan Duta Besar Andri juga mengingat rancangan peraturan dimaksud disusun dengan latar belakang kuatnya tuduhan terhadap kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi dan komoditas yang dianggap dekat dengan pelanggaran HAM.

Menurut Andri, meskipun Indonesia merupakan produsen sawit yang besar, namun tingkat deforestasi Indonesia sangat jauh menurun dalam beberapa dekade terakhir. Pengakuan keberhasilan Indonesia dalam menangani deforestasi tercermin dari pendanaan global yang diterima Indonesia melalui mekanisme REDD+ (USD 104 juta dari the Green Climate Fund, USD 110 juta dari the World Bank, dan USD 56 juta dari Norwegia).

Andri mengatakan kepada Tillieux, kerja sama erat antara Indonesia dengan UE turut berkontribusi pada capaian Indonesia dalam menekan laju deforestasi. Sampai sekarang, Indonesia menjadi satu-satunya negara mitra UE yang dapat menerbitkan lisensi FLEGT sehingga kayu dan produk kayu Indonesia dapat masuk UE secara lebih mudah.

4. Peleburan LIPI, BPPT, Batan, dan Lapan ke BRIN

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kini membawahi empat lembaga penelitian yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang dilebur menjadi satu. Pemerintah memberi waktu paling lambat dua tahun untuk menyatukannya sesuai Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN. Dengan integrasi tersebut, empat badan riset dan pengkajian itu nantinya menjadi Organisasi Pelaksana penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (Litbangjirap) (OPL) di bawah BRIN.

BRIN nantinya berada langsung di bawah tanggung jawab presiden dan menjadi satu-satunya lembaga penelitian otonom. Jokowi telah melantik Laksana Tri Handoko sebagai Kepala BRIN. Sementara lembaga tersebut juga memiliki Ketua Dewan Pengarah yang dijabat Ketua Umum PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Penunjukkan Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah dikarenakan dalam Pasal 7 perpres BRIN disebutkan bahwa Ketua Dewan Pengarah BRIN adalah ex officio unsur dewan pengarah badan yang menyelenggarakan pembinaan ideologi Pancasila. Pengamat teknologi pendidikan Indra Charismiadji menyoroti Dewan Pengarah BRIN yang diputuskan ex officio Dewan Pengarah BPIP. Menurut dia, tidak ada keterkaitan langsung di antara keduanya.

5. Indonesia Alokasikan 4,1 Persen APBN Tangani Krisis Iklim

Dalam ADB Annual Meeting-Raising the Bar on Climate Ambition: Road to COP 26 yang dihelat pada Selasa (4/5), Menteri Keuangan Sri Mulyani memeberkan bahwa Pemerintah mengalokasikan dana sebesar 4,1 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mengatasi perubahan iklim. Jika dihitung dari APBN 2021 yang target belanjanya mencapai Rp2.750 triliun, maka dana yang dialokasikan untuk mengantisipasi perubahan iklim sekitar Rp112,74 triliun.

Sri Mulyani mengaku mendapatkan arahan langsung dari Presiden Jokowi agar tidak menempatkan perubahan iklim sebagai prioritas kedua. Karena itu, pemerintah tetap mengalokasikan dana untuk mengantisipasi perubahan iklim di tengah pemulihan ekonomi setelah dihantam pandemi Covid-19. Lebih lanjut ia mengatakan pendanaan untuk mencegah perubahan iklim perlu diperluas hingga ke provinsi. Pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah untuk berpartisipasi dengan mempekerjakan masyarakat dalam menjaga hutan. Ia juga mengatakan bahwa pemerintah kerap menggunakan berbagai instrumen pendanaan untuk mencegah perubahan iklim dan salah satunya yaitu obligasi hijau.

Menurut Sri Mulyani, penting dalam COP 26 untuk mengimplementasikan pasal dalam Perjanjian Paris untuk menciptakan satu pasar karbon secara global dan penetapan harga karbon yang cukup kredibel, atau untuk memberi insentif termasuk sektor swasta. Oleh karena itu, dalam rangka mengimplementasikan Paris Agreement, Indonesia saat ini tengah menyiapkan mekanisme pasar karbon.

6. 4 Negara Eropa Teken Kerja Sama Dagang

Sejumlah negara di Eropa yakni Liechtenstein, Swiss, Norwegia dan Islandia sudah menandatangani perjanjian kerja sama ekonomi Indonesia-EFTA CEPA. Penandatanganan ini diyakini bisa jadi angin segar bagi komoditas perdagangan Indonesia terutama produk sawit. Produk sawit belakangan ini menjadi persoalan di pasar Eropa karena terkait isu lingkungan. Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, penandatanganan Indonesia EFTA-CEPA merupakan peluang yang sangat positif, termasuk dalam kaitannya dengan penerimaan produk kelapa sawit Indonesia.

Jerry menilai bahwa penerimaan EFTA terhadap produk kelapa sawit Indonesia ini menunjukkan bahwa resistensi sebenarnya tidak dilakukan oleh semua negara Eropa. Pada intinya, negara-negara Uni Eropa harus melihat persoalan sawit dengan objektif dan proporsional. Kebutuhan minyak nabati semakin besar di seluruh dunia dan tidak semua sumber minyak nabati bisa memenuhi kebutuhan dengan efisien seperti kelapa sawit.

Indonesia sendiri saat ini sedang bersiap menghadapi sidang-sidang mengenai diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa di WTO. Sidang kasus berkode DS 593 tersebut dihadapi optimis oleh Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Perdagangan.

Related Article

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES, FROM CABINET RESHUFFLE TO COP26

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES, FROM CABINET RESHUFFLE TO COP26

Yayasan Madani Berkelanjutan menyajikan rangkuman beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi politik pada (12 April 2021 – 19 April 2021), sebagai berikut:

1. Penggabungan Kementerian dan Kementerian Baru serta Isu Reshuffle Kabinet

Pemerintah menghapus Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan menggabungkannya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek). Penggabungan tersebut telah disetujui oleh DPR melalui Rapat Paripurna yang digelar Jumat (9/4/2021). Di saat yang sama, pemerintah juga membentuk Kementerian Investasi yang tidak lepas dari keberadaan UU Cipta Kerja.

Lantaran ada perubahan struktur kementerian, beberapa nama Menteri dirumorkan akan direshuffle. Nama-nama Menteri yang dirumorkan akan direshuffle seperti Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, hingga Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro.

2. Koalisi Baru Partai Islam

Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa menggelar pertemuan pada Rabu (14/4/2021). Pertemuan tersebut merupakan penjajakan awal untuk pembentukan poros tengah koalisi Partai Islam pada 2024. Akan tetapi, wacana tersebut ditolak oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Menurut Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, wacana ini kontraproduktif dengan upaya rekonsiliasi seluruh elemen masyarakat yang cukup terbelah saat Pemilihan Presiden 2019.

Menurut pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Siti Zuhro, koalisi ini bisa menjadi kekuatan politik yang baru dan bisa mengubah konstruksi politik di Indonesia dengan syarat para elit politik partai-partai tersebut harus memiliki perspektif yang sama dalam menyatukan kekuatan parpol Islam. Di sisi lain, menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari koalisi ini akan menemui tantangan dalam menyatukan pandangan pada satu platform lantaran karakter akar rumput pendukung yang berbeda.

3. Harga CPO Meroket

Harga CPO naik tajam di pekan ini, bahkan diramal masih akan tetap tinggi hingga Juni nanti. Data dari dari Refinitiv menunjukkan bahwa harga CPO di bursa derivatif Malaysia untuk kontrak Juli melesat 4,56% ke 3.716 Ringgit per ton sepanjang pekan ini. 

Menurut Menteri Perdagangan M. Lutfi, tingginya harga CPO hingga Juni nanti lantaran ada gangguan dari panen kacang kedelai dunia yang menyebabkan produksi minyak nabati rendah sehingga permintaan minyak sawit menjadi tinggi. Penyebab lain meningkatnya harga CPO menurut Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono adalah produksi biodiesel yang meningkat terutama lantaran komitmen penggunaan biodiesel oleh beberapa negara seperti Indonesia, Amerika Serikat, Brasil, dan Jerman. Oil World memperkirakan produksi biodiesel dunia pada 2021 akan mencapai 47,5 juta ton atau 2,2 juta ton lebih tinggi dari 2020 dan 1,5 juta ton lebih tinggi dari 2019.

 

4. AS-China Sepakat Kerja Sama Perangi Perubahan Iklim

 

Amerika Serikat dan China bersepakat untuk bekerja sama di bidang perubahan iklim setelah kedua utusan negara yakni Xie Zhenhua dan John Kerry mengadakan pertemuan dua hari pada 15-16 April 2021 di Shanghai. Kedua negara tersebut menyatakan keyakinannya untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris. Kesepakatan itu menggarisbawahi perlunya tindakan pencegahan perubahan iklim untuk jangka pendek. Selain itu, Amerika Serikat dan China juga akan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim pada 22-23 April 2021. Diketahui kesepakatan ini muncul pasca adanya ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China lantaran masalah Laut China Selatan, ketegangan atas hak asasi manusia, serta masalah perdagangan.

 

5. Indonesia Siap Berperan di KTT Perubahan Iklim COP 26

 

Pemerintah Indonesia menyatakan kesiapannya berperan sebagai co-chair mendampingi Inggris yang berperan sebagai presiden pada sidang COP26 (Conference to the Parties ke-26) KTT Perubahan Iklim. Hal itu dinyatakan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat memberi sambutan pada pertemuan Forest, Agriculture and Commodity Trade (FACT) Dialogue yang dihadiri oleh 26 negara pada Kamis (15/4/2021). 

 

Menurut Airlangga, keinginan untuk ikut memimpin proses dialog perubahan iklim merupakan salah satu komitmen Indonesia untuk turut aktif secara global dalam menghentikan dampak buruk perubahan iklim. Dia menuturkan, Indonesia telah mengambil langkah konkret sebagai negara pertama yang mengimplementasikan Voluntary Partnership Agreement (VPA) on Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) bersama Uni Eropa dan Inggris. Selain itu, pada 2020, menurut Airlangga, Indonesia juga telah berhasil menurunkan 91,84 persen kebakaran lahan dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk itu, diperlukan kesamaan informasi, pengetahuan, dan persepsi dari seluruh negara agar tiadanya tindakan yang bersifat diskriminasi terhadap upaya mewujudkan produksi dan perdagangan yang berkelanjutan.

Related Article

THE DEVELOPMENT OF NDC AND STRATEGIES TO CONTROL CLIMATE CHANGE

THE DEVELOPMENT OF NDC AND STRATEGIES TO CONTROL CLIMATE CHANGE

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ruandha Agung Sugardiman mengatakan bahwa pemerintah telah menyelesaikan pembaruan NDC Indonesia.

Dalam pembaruan NDC Indonesia tersebut, terdapat 4 pokok utama yang menjadi pembahasan. Pertama,  Indonesia tetap mempertahankan angka target penurunan emisi GRK sebesar 29 persen sampai dengan 41 persen pada tahun 2030, sesuai dan sejalan dengan hasil elaborasi dalam Road Map NDC Mitigasi. 

Kedua, update informasi sesuai dengan kondisi saat ini. Seperti  telah dimasukkan hal-hal yang berkaitan dengan Visi Misi Kabinet Indonesia Maju 2019.  Ketiga,  merupakan hal baru dalam NDC adalah penjelasan terhadap hal yang masih perlu informasi rinci, misalnya terkait elemen adaptasi dan sarana implementasi serta kerangka transparansi. 

Keempat, terdapat komitmen baru terkait oceans, wetland seperti mangrove, coral dan sebagainya yang biasa disebut blue carbon, serta pemukiman masyarakat dalam elemen adaptasi.

Saat ini, Indonesia tengah menyelesaikan strategi jangka panjang (Long Term Strategy/LTS) menjelang Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP) ke-26 di Glasgow, Inggris, November 2021. Sebelum digelarnya COP26 di Inggris, ada 3 skenario mitigasi perubahan iklim yakni, Extended NDC atau Curent Policy Scenario (CPOS) hanya pada sektor energi, Transition Scenario (TRNS), dan  Low Carbon Scenario Compatible (LCCP) dengan target Perjanjian Paris.

Related Article

KTT Perubahan Iklim Ditunda Hingga 2021

KTT Perubahan Iklim Ditunda Hingga 2021

KKT perubahan iklim PBB COP26 yang akan diadakan di Glasgow pada bulan November telah ditunda karena COVID-19. Keputusan ini diambil oleh Biro COP UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim), dengan Inggris dan mitra Italia-nya, seperti dilansir situs unfccc.int, Kamis (2/4). Tanggal untuk konferensi yang dijadwalkan kembali pada 2021, diselenggarakan di Glasgow oleh Inggris dalam kemitraan dengan Italia.

 

Kepastian akan ditetapkan pada waktunya setelah diskusi lebih lanjut dengan para pihak terkait. Mengingat efek covid-19 yang sedang berlangsung di seluruh dunia, mengadakan COP26 yang ambisius dan inklusif pada November 2020 tidak lagi memungkinkan. Penjadwalan ulang akan memastikan semua pihak dapat fokus pada masalah yang akan dibahas pada konferensi penting ini dan memberikan lebih banyak waktu untuk persiapan yang diperlukan untuk terjadi.

Sementara itu, para negosiator dari blok negara-negara berkembang mendesak sejumlah pemerintah untuk tidak menggunakan pandemi sebagai alasan penundaan rencana iklim yang lebih tegas, tetapi sebaliknya untuk meningkatkan energi terbarukan, kegiatan konservasi dan langkah-langkah peduli lingkungan lainnya sementara roda perekonomian mulai beroperasi kembali.


KTT perubahan iklim pada tahun ini seharusnya menjadi tenggat waktu bagi pemerintah untuk berkomitmen pada tujuan pengurangan emisi yang lebih agresif, agar mencapai target dalam Perjanjian Paris. Dalam perjanjian tersebut, kenaikan suhu global dibatasi pada 2 derajat celcius dan 1,5 derajat celcius.


Untuk pemberitaan media di Minggu III Mei 2020 selengkapnya dapat dilihat di lampiran.

Related Article

en_USEN_US