Madani

Tentang Kami

Antisipasi Kelangkaan Pangan akibat Covid-19: Waktunya Berbenah, Mengoreksi Model Pembangunan Ekonomi dengan Tidak Merusak Lingkungan

Antisipasi Kelangkaan Pangan akibat Covid-19: Waktunya Berbenah, Mengoreksi Model Pembangunan Ekonomi dengan Tidak Merusak Lingkungan

[Jakarta, 18 Juni 2020] Sudah saatnya pemerintah melakukan koreksi dan mengubah model pembangunan ekonomi yang lebih berketahanan nasional, yaitu dengan tidak merusak lingkungan dan hutan, serta tidak bergantung pada impor. Selain itu, ketahanan pangan nasional juga perlu digantungkan pada komoditas yang lebih beragam dan seimbang antara komoditas pangan dan perkebunan monokultur skala besar. Menggantungkan perekonomian hanya pada industri ekstraktif akan berisiko bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam menanggapi kesiapan pemerintah Indonesia dalam menjaga ketahanan pangannya saat pandemi Covid 19 dan prediksi kemarau panjang yang akan mengganggu produksi pangan. FAO telah memberikan peringatan akan terjadinya ancaman krisis pangan dunia, dan negara-negara di dunia mulai mengerem ekspor pangannya untuk mengantisipasi ancaman ambruknya ketahanan pangan dunia. Sejumlah negara juga mengimplementasikannya dengan memprioritaskan kebutuhan pangan dalam negeri dan menahan ekspor pangan ke luar negeri.

Menggantungkan ketahanan ekonomi hanya pada komoditas unggulan tertentu seperti sawit bukan hal yang bijak untuk dilakukan saat ini dan bahkan dapat menimbulkan kerawanan pangan. Pemerintah selayaknya memberikan fokus pada penyeimbangan jenis komoditas di suatu daerah sehingga komoditas perkebunan dan pangan lainnya dapat turut bersaing sebagai penyumbang perekonomian sehingga dapat lebih tahan dalam menghadapi kondisi ekonomi yang bergejolak.

Hasil kajian Madani di Kalimantan Barat yang memiliki luas sawit tertanam terbesar ketiga se-Indonesia menunjukkan bahwa Kalimantan Barat ternyata memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di pulau Kalimantan. Perluasan perkebunan sawit di sana juga tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi lokal. Tingkat produktivitasnya rendah dengan peringkat 10 dari 10 provinsi yang memiliki lahan sawit terluas,” kata Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Provinsi Riau yang memiliki sawit tertanam terluas di Indonesia, yaitu 3,4 juta hektare, dari hasil Kajian Madani menunjukkan setidaknya terdapat 7 kabupaten (Bengkalis, Siak, Rohul, Pelelawan, Kampar, Inhil dan Rohil) memiliki ketimpangan yang sangat besar antara luas sawit dan tanaman pangan. Luas lahan yang diperuntukkan untuk tanaman pangan pada 7 kabupaten tersebut tak ada satupun melebihi angka 30% dari luas sawit. Bengkalis hanya memiliki 23,6 ribu ha (11%) luas lahan pangan dibandingkan area tanam sawitnya yang mencapai 187 ribu ha. Kemudian diikuti Siak, 56 ribu ha (14%) dan Rokan Hulu 73 ribu ha (15%) dibandingkan dengan luas sawit di dua kabupaten tersebut. Ketimpangan lahan tersebut berimplikasi pada ketahanan pangan pada kabupaten-kabupaten tersebut. Setidaknya ada 6 kabupaten yang menunjukkan ketahanan pangan rendah (Pelalawan dan Rohil) dan 4 kabupaten yang termasuk rawan pangan (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar),” terang Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Diversifikasi komoditas pangan unggulan dengan tanaman-tanaman lokal seperti sagu dan sorgum perlu untuk diutamakan, sehingga bukan lagi program “berasisasi”. Apalagi rencana cetak sawah di lahan gambut Kalimantan Tengah yang akan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan dapat mengancam keberadaan gambut di wilayah tersebut dan meningkatkan risiko terjadinya Karhutla dan bencana asap yang akan lebih menyengsarakan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 .

Empat puluh empat persen Karhutla 2019 terjadi di Fungsi Ekosistem Gambut. Program cetak sawah pemerintah di lahan gambut yang direncanakan akan membuka rawa gambut berisiko meningkatkan kerawanan terjadinya Karhutla yang selain menyengsarakan rakyat juga akan menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

Keberadaan komoditas pangan lokal seperti sagu dapat menjaga kelestarian ekosistem lahan gambut dan juga dapat menjadikan sagu sebagai salah satu sumber pangan lokal, sehingga dapat menciptakan ketahanan pangan,” tambah Teguh. “Saatnya Pemerintah menghentikan ekspansi perkebunan monokultur skala besar seperti HTI dan sawit karena dapat menggerus lahan-lahan produktif untuk pangan.”

Diversifikasi komoditas pangan unggulan lokal adalah kunci ketahanan pangan nasional agar Indonesia terhindar dari kerawanan pangan di masa pemulihan pasca-Covid-19. [ ]

***

Kontak Narasumber:

– M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

– Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0852 0856 8896

– Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 2838 6143

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

en_USEN_US