Madani

Tentang Kami

ENVIRONMENTALLY-ORIENTED FOOD TECHNOLOGY STARTUP

ENVIRONMENTALLY-ORIENTED FOOD TECHNOLOGY STARTUP

Dewasa ini, eksistensi perusahaan rintisan (startup) kian menjamur. Dilansir dari laman Tech in Asia yang merupakan salah satu komunitas online pelaku startup di Asia, menyatakan bahwa ekosistem startup di Indonesia masih kondusif meskipun situasi ekonomi Indonesia saat ini terombang-ambing akibat pandemi. Bahkan masih banyak startup yang mendapatkan pendanaan dari para venture capital meskipun cenderung menurun. Hal yang membedakan ialah saat ini pihak venture capital akan lebih teliti dalam meninjau rencana profitabilitas startup sekaligus potensi sektor yang digelutinya.

Kehadiran inovasi-inovasi teknologi melalui layanan startup di berbagai sektor sangat berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, baik skala mikro maupun makro. Menurut riset INDEF, ekonomi digital telah berkontribusi sebesar 5,5% atau sekitar Rp 814 triliun untuk PDB Indonesia pada tahun 2018. Berdasarkan riset yang sama, sektor ekonomi digital juga telah membuka sekitar 5,7 juta lapangan kerja baru. Menurut laporan yang bertajuk eConomy SEA 2019, valuasi ekonomi digital Indonesia pada tahun 2019 telah mencapai $40 miliar dan diprediksi akan mencapai $130 miliar pada tahun 2025 nanti.

Perhatian yang serius terhadap pertumbuhan startup tentu diperlukan dalam rangka memajukan perekonomian bangsa.  Menurut William Gozali, Ketua I Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO), terdapat tiga sektor yang potensial untuk digarap di tahun 2021, yaitu : digitalisasi UMKM, social commerce, dan food technology. 

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi, Ketahanan Pangan, dan Keseimbangan Ekosistem

Sektor terakhir, food technology startup ataupun food and beverage startup, memang terlihat menjanjikan akhir-akhir ini. Salah satunya ditandai dengan keberhasilan Kopi Kenangan mendapatkan suntikan dana sebesar $109 juta atau setara Rp 1,6 triliun di tengah situasi pandemi. 

Tantangan berikutnya adalah bagaimana menghadirkan model bisnis industri pangan yang dapat mendatangkan keuntungan besar bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga segi lingkungan. Untuk mencapai hal tersebut, setidaknya terdapat 3 lingkup industri pangan yang perlu didisrupsi dengan menghadirkan inovasi yang lebih ramah lingkungan:

1. Optimalisasi pangan lokal

Mengkonsumsi pangan lokal dapat didefinisikan sebagai kebiasaan mengkonsumsi makanan yang diproduksi di sekitar tempat tinggal. Di Amerika Serikat, para pelakunya disebut sebagai locavore, umumnya mereka mengonsumsi makanan yang diproduksi pada jarak radius 100 mil dari kediaman masing-masing.

Distribusi dan transportasi bahan makanan yang umumnya berjarak jauh berasosiasi terhadap tingginya konsumsi bahan bakar, meningkatnya polusi udara serta emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk pada lingkungan. 

Dengan mengkonsumsi pangan lokal, dampak buruk tersebut dapat berkurang. Selain itu, mengkonsumsi pangan lokal berarti membantu petani lokal atau pemilik lahan skala kecil yang umumnya mempraktikkan sistem produksi yang lebih ramah lingkungan dibanding pemilik lahan besar. Umumnya, model produksi petani lokal bersifat agroekologis dan multikultur dan minim pemakaian input kimia sehingga kesuburan tanah lebih terjaga. Konsumsi pangan lokal yang identik dengan diversifikasi pangan juga dapat membantu merawat keanekaragaman varietas genetika (biodiversitas). 

2. Reduksi angka food loss dan food waste

Diperkirakan sepertiga dari total makanan yang diproduksi dunia per tahunnya (sekitar 1,3 miliar ton) terbuang, baik berupa food loss maupun food wasteFood loss merupakan sampah bahan pangan yang masih mentah namun sudah tidak bisa diolah sehingga akhirnya dibuang. Penyebabnya bisa berupa terjadinya pembusukan pasca panen, mutu rendah, ataupun permintaan pasar yang rendah. Adapun food waste merupakan makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia namun dibuang begitu saja dan akhirnya menumpuk di TPA.

Limbah makanan tersebut memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan. Dikutip dari FAO, produksi agrikultur bertanggung jawab terhadap 92% water footprint. Water footprint pada suatu produk didefinisikan sebagai total  volume air segar  yang digunakan untuk memproduksi produk tersebut. Masalah lingkungan terjadi jika penggunaan air lebih banyak menggunakan blue water (irigasi) daripada green water (air hujan). Hal tersebut dapat menyebabkan degradasi tanah, penipisan air dan salinisasi. Faktanya, secara global, blue water footprint untuk produksi agrikultur dari makanan yang terbuang mencapai sekitar 250 km3 pada tahun 2007.

Masalah besar lainnya ialah carbon footprint. Food waste yang menumpuk di TPA menghasilkan gas metana dan karbondioksida. Kedua senyawa tersebut tidak sehat bagi lingkungan karena berpotensi merusak lapisan ozon. Rata-rata carbon footprint yang dihasilkan sekitar 500 kg CO2 per kapita per tahun. Selain itu, limbah pangan juga berasosiasi terhadap pembukaan lahan yang sia-sia. Padahal, pembukaan lahan umumnya mengorbankan penyusutan biodiversitas.

3. Substitusi bahan kemasan yang tidak ramah lingkungan

Menurut Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), konsumsi plastik di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 17 kg/kapita/tahun. Penggunaan plastik yang cukup tinggi berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Penumpukan sampah plastik yang sulit terurai dapat mencemari lingkungan. Polimer sintesis yang merupakan bagian utama dari plastik akan terdegradasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Jika dibakar, plastik akan menghasilkan emisi karbon yang mencemari lingkungan.

Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, dikembangkanlah biodegradable plastic, yaitu plastik yang mudah terurai kembali oleh mikro organisme di tanah menjadi senyawa ramah lingkungan. Biodegradable plastic terbuat dari bahan polimer alami seperti pati, selulosa dan lemak. Bahan utama yang sering digunakan dalam pembuatan biodegradable plastic adalah pati dan Poly Lactic Acid (PLA).

BACA JUGA: Jalan Tengah Penerapan Extended Producers Responsibility Produsen Plastik

Pati merupakan bahan baku yang banyak tersedia di Indonesia. Pati diperoleh dengan cara mengekstrak bahan nabati yang mengandung karbohidrat, seperti serealia dan aneka umbi. Secara komersial, industri yang memproduksi bioplastik masih terbatas karena permintaan di dalam negeri masih rendah. Harga biodegradable plastic lebih mahal dari plastik konvensional diantaranya karena kapasitas produksinya belum optimal dan teknologi proses belum berkembang luas. Selain itu, belum adanya aturan pembatasan penggunaan plastik konvensional juga berpengaruh. 

Ketiga lingkup tersebut perlu dikelola dengan sebaik-baiknya dalam rangka mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Kehadiran inovasi berupa food technology startup berorientasi lingkungan dapat menjadi solusi. Layanan digital dapat menghubungkan petani lokal dengan konsumen secara mudah, memungkinkan traceability suatu bahan pangan, mengelola daur ulang sampah makanan secara optimal, mengolah hasil panen bermutu rendah namun masih layak konsumsi, serta menggiatkan penelitian dan pemakaian kemasan ramah lingkungan sehingga harganya lebih terjangkau.

Layanan-layanan di atas merupakan beberapa contoh dari apa yang dapat  dilakukan untuk mengoptimalkan kemajuan teknologi dalam rangka menjaga dan melestarikan lingkungan. Tentu masih banyak lagi hal lainnya. Fleksibilitas startup dalam menyusun business model menjadi salah satu keuntungan tersendiri, sehingga dapat dengan cepat mengadopsi sistem perekonomian yang ramah lingkungan. 

Dalam rangka mewujudkan gagasan tersebut, maka diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, pengusaha, hingga konsumen. Kini saatnya mengarahkan kemajuan teknologi untuk mentransformasikan sistem pangan dan perekonomian menjadi lebih ramah lingkungan.  

Oleh: Muhammad Zaki Maarif Firman

Mahasiswa IPB University

Related Article

[1000 gagasan] OPTIMALISASI CIRCULAR ECONOMY DAN BONUS DEMOGRAFI MENUJU INDONESIA BERKELANJUTAN 2030

[1000 gagasan] OPTIMALISASI CIRCULAR ECONOMY DAN BONUS DEMOGRAFI MENUJU INDONESIA BERKELANJUTAN 2030

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau yang lebih dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) kini memasuki periode Dekade Aksi (Decade of Action) pada 2020-2030 sehingga sudah saatnya bagi seluruh negara di dunia terutama negara berkembang (developing countries) dan negara berkembang cepat (emerging markets) untuk menerapkan strategi-strategi pembangunan yang mampu mengakomodir 3 prinsip dan kepentingan utama yaitu lingkungan hidup (planet), sosial (people), dan ekonomi (prosperity). Ini menjadi hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi mengingat dinamika global kontemporer yang terjadi memerlukan shifting atau perubahan dalam rangka menciptakan dunia yang lebih baik.  

Sejalan dengan itu, Indonesia saat ini sedang mengalami transformasi pembangunan ekonomi dari yang hanya berbasiskan pada aspek eksploitasi sumber daya alam, industri berkapasitas rendah-menengah, dan sektor ekonomi tradisional menuju pemanfaatan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan, industri berbasiskan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, serta ekonomi digital atau elektronik. Tiga hal tersebut menjadi sorotan mengingat status Indonesia yang masih menjadi negara ambang industri, namun memiliki kapasitas ekonomi yang besar dan sangat potensial. Kunci utamanya terletak pada pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan norma dan prinsip yang mengacu pada perlindungan lingkungan hidup dan ekosistem sehingga menghasilkan ekonomi nasional yang berkelanjutan di mana ekonomi sirkular menjadi salah satu pilar utamanya. 

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Prokonservasi

Terkait ekonomi sirkular, tiga kutub ekonomi dunia sudah memiliki kebijakannya masing-masing yakni Eropa dengan Green Deal untuk tingkat kawasan (regional), Cina dengan Circular Economy Promotion Law untuk tingkat negara (nasional), dan Amerika Serikat yang menyerahkan kebijakannya di tingkat yang lebih spesifik yakni kota. Hal ini perlu dicermati oleh Indonesia karena penyusunan dan penerapan kebijakan circular economy harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nasionalnya sehingga bersifat holistik, efisien, dan berdampak positif langsung untuk sektor usaha dan masyarakat luas. 

Berdasarkan analisis yang ada saat ini, maka kebijakan di tingkat kota/kabupaten seperti di Amerika Serikat yang lebih tepat karena proses pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian menjadi lebih cepat dan terarah. Terlebih desentralisasi yang terus berkembang semakin memampukan kota/kabupaten untuk memiliki inisiatif-inisiatif kebijakan pembangunan yang lebih progresif dan solutif yang tentunya harus mengadopsi pendekatan banyak pemangku kepentingan (multi-stakeholders approach) sehingga akan lebih komprehensif sekaligus inklusif. Ruang kebijakan yang lebih bebas di tingkat kota/kabupaten akan memacu akselerasi dalam implementasi ekonomi sirkular yang tentunya dapat disinergikan dan diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan daerah. 

Kebijakan ekonomi sirkular yang berorientasi efisiensi sumber daya alam dan minimalisasi sampah sangatlah vital bagi akselerasi pembangunan Indonesia dan membutuhkan banyak dukungan dari sektor usaha (untuk permodalan dan teknis pelaksanaan), organisasi non-pemerintah/masyarakat sipil (untuk sosialisasi, kampanye, dan edukasi publik), akademisi (untuk kepakaran dan pengembangan iptek), filantropi (untuk jejaring dan tanggung jawab sosial), dan akhirnya generasi muda yang potensial untuk berkiprah dalam berbagai aspek seperti pendidikan, kebudayaan, kewirausahaan, hingga penguasaan teknologi komunikasi dan informasi.   

Selain potensi ekonomi sirkular yang besar, Indonesia kini juga sedang menyambut fenomena bonus demografi di mana jumlah populasi muda akan mencapai klimaks pada 2030 mendatang sesuai statistik piramida penduduk. Saat ini, satu dari empat orang Indonesia adalah pemuda (berusia 15-30 tahun) di mana dari jumlah populasi sekitar 270 juta jiwa, lebih dari 65 juta jiwa adalah pemuda. Pemanfaatan bonus demografi ini tentu harus diintegrasikan ke dalam berbagai perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah baik di tingkat nasional, daerah, hingga lokal sehingga generasi muda mampu mengembangkan potensinya dan berkontribusi untuk pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan kebijakan global Youth 2030 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) di mana berbagai agensi PBB didorong untuk mengadopsi pendekatan merangkul pemuda dalam berbagai kebijakan dan programnya di seluruh dunia terutama di kawasan Asia Pasifik (khususnya Asia Tenggara dan Asia Selatan) serta Afrika yang sedang mengalami ledakan populasi muda. 

BACA JUGA: Green Millennialnomi: Mendorong Milenial Bangun Ekonomi Berbasis Ekologi

Berkaitan dengan optimalisasi ekonomi sirkular dan bonus demografi, maka perlu dilakukan perbaikan hal-hal fundamental sebagai berikut:

  • Dalam bidang pendidikan (Goal 4 SDGs), sinergitas mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dan Ekonomi Kewirausahaan di tingkat SMP dan SMA atau sederajat sangatlah diperlukan, sehingga generasi muda menjadi lebih peka dan sadar akan potensi ekonomi sirkular lebih dini dan mampu mempraktikkannya di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, kurikulum yang disusun dengan proporsi praktik lebih banyak daripada teori dan mengedepankan sistem belajar secara lokakarya (workshop) daripada pengajaran (lecturing).  

  • Dalam bidang kewirausahaan (Goal 8 SDGs), perlu adanya kebijakan dukungan administratif dan suntikan modal bagi rintisan usaha/start-up (baik yang beraksi nyata langsung di lapangan maupun melalui dunia digital) yang khususnya bergerak dalam manajemen sampah yang profesional, efektif, dan berkelanjutan. Dukungan tersebut tentu tidak hanya diberikan oleh pemerintah saja, namun juga melalui kemitraan dengan swasta (sebagai investor atau donor) sehingga akan lebih aplikatif.

  • Dalam bidang ekonomi industri (Goal 9 & 12 SDGs), perlu ditinjau ulang untuk strategi produksi, distribusi, dan konsumsi bagi sektor-sektor yang potensial dan mampu menerapkan ekonomi sirkular seperti tekstil, produk pangan, otomotif, elektronik, dan pariwisata demi efisiensi sumber daya dan minimalisasi sampah. Insentif dari pemerintah seperti keringanan pajak, kemudahan berusaha, serta dukungan promosi dan pemasaran tentu akan mendorong sektor industri yang terlibat ekonomi sirkular lebih bergairah terlebih jika didukung oleh sumber daya manusia muda dan berkualitas.  

  • Dalam bidang lingkungan hidup (Goal 1, 11 & 13 SDGs), terutama manajemen sampah, mobilisasi terstruktur untuk para pengumpul sampah dan pemulung sampah dalam rangka pemberdayaan mereka sebagai salah satu aktor utama dalam pondasi praktis ekonomi sirkular. Ini tentu juga akan berdampak untuk pengurangan kemiskinan ekstrem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan sangat rendah terutama di wilayah perkotaan.

  • Dalam bidang ekonomi pembangunan dan politik luar negeri (Goal 17 SDGs), perlu disusun sistem database dan data centre baik secara lokal di tingkat kabupaten/kota yang mampu menghimpun dan mengukur berbagai target, indikator dan variabel pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian dari penerapan ekonomi sirkular. Akumulasi data dari tingkat kabupaten/kota akan dilanjutkan ke national data centre for circular economy di mana penggunaan data tersebut dapat dioptimalkan untuk posisi Indonesia yang lebih kredibel di dunia internasional melalui bermacam ragam pertemuan resmi dan ajang diplomasi. Dalam hal ini, lulusan SMK bidang teknologi informasi dan lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana) dapat dioptimalkan perannya untuk pendirian dan operasional data centre tersebut.

Pada kesimpulannya, mengacu pada potensi ekonomi sirkular dan bonus demografi yang dimiliki, maka optimisme untuk menjadikan Indonesia lebih berkelanjutan pada 2030 bukanlah mimpi belaka. Tidak hanya sekedar political will namun juga policy consistency sehingga pembangunan berkelanjutan di Indonesia dapat menjadi contoh bagi dunia karena mampu bersinergi dengan pencapaian sejumlah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang relevan secara simultan.  

Oleh: Stevie Leonard Harison

Founder Inspirator Muda Nusantara

Related Article

Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia

Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia

Reintegrasi antara ekologi dan ekonomi penting untuk dilakukan, karena keduanya saling terkait dan berhubungan. Tujuan dari kebijakan yang tidak lagi terfokus pada model ekonomi konvensional yakni pertumbuhan ekonomi sebagai solusi semua persoalan. Dan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak lagi memadai sebab tidak mencerminkan perkembangan yang melibatkan kontinuitas lingkungan hidup, kebahagiaan juga kesejahteraan hidup (wellbeing). Dan mengubah pola pikir ini membutuhkan banyak kerjasama dari berbagai lini, baik itu dari kebijakan publik, komunitas, sektor swasta, akademia, riset hingga pengabdian masyarakat.

 

Ini disampaikan oleh Dr. Luh Gede Saraswati Putri, M.Hum., atau biasa dikenal dengan Saras Dewi, Dosen Filsafat di Universitas Indonesia dalam Seri Dialog MADANI #1000GagasanEkonomi Pembangunan Tanpa Merusak Lingkungan dalam rangkaian acara EU Climate Diplomacy Week 2020, “Act Today for Our Tomorrow”, 2 November 2020. Diskusi Madani kali ini mengangkat tema “Masa Depan Alam untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia”.

Selain Saras Dewi, turut menjadi narasumber adalah Aleta Baun, seorang perempuan adat dari Molo, Nusa Tenggara Timur yang gigih memperjuangkan wilayah adatnya dari gempuran industri ekstraktif pertambangan. Rafa Jafar, seorang anak muda yang menginisiasi Komunitas eWasteRJ, yaitu komunitas yang peduli terhadap pengelolaan sampah elektronik. Serta Delly Ferdian, Specialist Digital Media di Yayasan Madani Berkelanjutan. Dialog ini dipandu oleh Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Saras Dewi menambahkan bahwa ekonomi yang mengarah pada kesejahteraan sebenarnya sudah banyak dibicarakan oleh para ahli, seperti E.F Schumacher, Manfred Max-Neef, Amartya Sen, Elinor Ostrom, Kate Raworth, Robert Costanza hingga ekonom Indonesia seperti Mohammad Hatta dan Mubyarto. Di dalamnya juga berbicara terkait pangan dan partisipasi masyarakat lokal dan masyarakat adat yang terkait dengan lingkungannya. Inilah yang disebut dengan ekonomi kehidupan. Ekonomi kehidupan ini mengarah pada keberlanjutan.

 

Sementara itu, Aleta Baun menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Mollo memiliki prinsip bahwa, “Kami hanya akan jual yang kami buat dan kami tidak akan menjual apa yang kami tidak bisa buat.” Sehingga Masyarakat Adat di Tiga Batu Tungku sampai saat ini gigih untuk mempertahankan wilayah adatnya. “Yang kami jual adalah apa yang kami buat, seperti kain tenun, hasil pertanian, obat herbal, kerajinan tangan dan pangan lokal. Perempuan Adat juga memiliki peranan penting karena perempuan adat adalah penjaga alam juga sebagai ibu bumi. Filosofi Masyarakat Molo adalah Oel Fani On Na’, Na’a Fani On Nafus, Afu Fani On Nesa, Fatu Fani On Nuif. Yang artinya, air adalah darah, pepohonan adalah rambut, tanah adalah daging dan batu adalah tulang. “Untuk itu, bagaimana agar pembangunan bisa dilakukan tanpa harus menghancurkan lingkungan, karena lingkungan adalah modal masyarakat untuk sejahtera yang telah disediakan oleh alam,” ujar Aleta Baun.

Di sisi lain, Rafa Jafar, anak muda penggagas Komunitas eWasteRJ mengajak anak muda semuanya untuk menjadi konsumen elektronik yang bijak, dengan melakukan recycle terlebih dahulu terhadap barang elektronik yang telah digunakan. Karena banyak sekali sampah elektronik yang belum didaur ulang secara benar. “Dari 53,6 juta metric ton sampah elektronik yang dihasilkan di tahun 2019, hanya 17,4 persen yang telah didaur ulang secara benar,” paparnya.

 

Delly Ferdian, Specialist Digital Media Yayasan Madani Berkelanjutan mengajak anak-anak muda untuk menuangkan gagasannya terkait Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan di platform yang disediakan di www.madaniberkelanjutan.id Gagasan dapat berupa tulisan, video, dan infografis. Tulisan-tulisan tersebut akan bersanding dengan tulisan-tulisan para ekonom seperti Prof Emil Salim, Prof Hariadi Kartodihardjo, Rimawan Pradiptyo, Ismid Hadad dan yang lainnya.

Materi selengkapnya dari para narasumber dapat diunduh di bawah ini.

Related Article

Indonesia Bangkit Dengan Membangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan

Indonesia Bangkit Dengan Membangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan

[Jakarta, 9 Juli 2020] Pembangunan yang mengandalkan ekstraksi sumber daya alam telah mencapai titik jenuh dan terbukti gagal mensejahterakan Nusantara. Saatnya Indonesia bangkit dengan menggagas pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop 1000 Gagasan Ekonomi yang mengambil topik “Adaptasi Kebiasaan Baru, Membangun Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan” pada 9 Juli 2020. Turut hadir sebagai narasumber dalam Diskusi Online ini adalah Ismid Hadad, MPA, Ketua Dewan Pembina Yayasan KEHATI dan Rimawan Pradiptyo, Ph.D, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Serta para penanggap yaitu Prof. Emil Salim dan Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan.

Meskipun subur dan kaya sumber daya alam, kondisi geografis Indonesia yang rawan bencana karena dikelilingi oleh cincin api pasifik dan terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, serta rentan terhadap krisis iklim, mengisyaratkan model pembangunan yang mempertimbangkan kerentanan tersebut. Ekstraksi sumber daya alam yang hampir tak terkendali bukanlah pilihan yang tepat dan bukan pula  masa depan Indonesia.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama 3 bulan pada semester akhir 2015 tidaklah menjadi guru untuk memulihkan krisis dan merubah model pembangunan meskipun bencana tersebut telah menghanguskan lahan seluas 4,5 kali pulau Bali dan mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 221 Triliun. Bahkan di tahun 2019 karhutla kembali terjadi dan turut membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan gambut.

Siapa yang diuntungkan dengan mindset pembangunan ekonomi hari ini? Sektor perkebunan sawit merupakan sektor andalan yang dipercaya mampu menopang perekonomian nasional  dengan nilai sumbangan devisa sepanjang 2018 mencapai US$20,54 Miliar atau setara Rp 289 Triliun dan telah menyulap 16,3 juta hektar lahan produktif termasuk hutan dan gambut menjadi perkebunan sawit. Jika ditelisik lebih dalam ditemukan fakta dari 10 provinsi dengan rata-rata penambahan luas lahan sawit terbesar hanya 3 provinsi yaitu Riau, Kaltim dan Jambi, yang masyarakat pedesaannya memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Namun, tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat desa di 3 provinsi tersebut tidak sepenuhnya bersumber dari sawit mengingat terdapat komoditas unggulan lainnya seperti karet, kelapa dan kayu manis. 

Dilihat dari aspek kesejahteraan petani, tingkat kesejahteraan petani sawit justru masih tertinggal dibanding petani yang mengusahakan tanaman pangan maupun hortikultura. Kajian Madani di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) petani tanaman pangan dan hortikultura pada periode 2014-2018 justru lebih baik dibandingkan dengan petani sawit. Dalam kurun lima tahun tersebut, hanya pada tahun 2017 kesejahteraan petani sawit dapat mengungguli dua sektor tersebut. Hal Ini dapat menjadi pertimbangan selanjutnya.

Di sektor pertambangan juga tak jauh berbeda. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di tahun 2018 menyatakan bahwa kerugian yang diakibatkan oleh pembuangan limbah Freeport saja mencapai 13 Miliar USD atau setara Rp 185 Triliun. Meskipun Indonesia memiliki tambang emas terbesar di dunia dan gunung-gunung emas telah rata dengan tanah bahkan telah berubah menjadi jurang yang sangat dalam, apakah orang asli Papua hidup sejahtera dan apakah Indonesia bisa lebih maju? Hal ini belum termasuk ratusan korban jiwa di lubang (baca; danau beracun) bekas tambang batu bara karena tidak adanya pemulihan dan rehabilitasi lingkungan pasca kegiatan tambang.

Bertumpu terhadap pembangunan ekstraktif akan lebih merugikan perekonomian negara dan menimbulkan ketimpangan kesejahteraan. Padahal, dalam konstitusi telah ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat, seperti tercantum dalam Pasal 28 H UUD 1945. Konstitusi juga mengamanatkan bahwa sumber daya alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, seperti tercantum dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Dan dalam Pasal 33 Ayat 4 dijelaskan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional,” tambah Teguh.

Indonesia yang kita tempati hanya satu, baik dan buruknya kondisi ekonomi dan lingkungan kita yang akan merasakannya maka tidak ada pilihan selain berkomitmen untuk indonesia baru. Madani mengajak kepada semua pihak untuk menyumbangkan ide dan gagasannya agar pembangunan ekonomi Indonesia dapat berdaulat, berkeadilan, dan berkelanjutan,” ajak Teguh 

Sejak 2019, Madani sudah menggalang gagasan dari para ekonom dan praktisi ekonomi dan lingkungan, dan sampai saat ini sudah terkumpul 13 tulisan dari 10 penulis, di antaranya Prof. Emil Salim; Ismid Hadad, MPA; Prof. Hariadi Kartodihardjo; Rimawan Pradiptyo, Ph.D; Dr. Hakimul Batih; Dr. Mubariq Ahmad; Joko Tri Haryanto, SE, MSE.; Ronny P. Sasmita; Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan; dan Dr. Mochamad Indrawan. [ ]

oooOOOooo

Kontak Narasumber:

– M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Antisipasi Kelangkaan Pangan akibat Covid-19: Waktunya Berbenah, Mengoreksi Model Pembangunan Ekonomi dengan Tidak Merusak Lingkungan

Antisipasi Kelangkaan Pangan akibat Covid-19: Waktunya Berbenah, Mengoreksi Model Pembangunan Ekonomi dengan Tidak Merusak Lingkungan

[Jakarta, 18 Juni 2020] Sudah saatnya pemerintah melakukan koreksi dan mengubah model pembangunan ekonomi yang lebih berketahanan nasional, yaitu dengan tidak merusak lingkungan dan hutan, serta tidak bergantung pada impor. Selain itu, ketahanan pangan nasional juga perlu digantungkan pada komoditas yang lebih beragam dan seimbang antara komoditas pangan dan perkebunan monokultur skala besar. Menggantungkan perekonomian hanya pada industri ekstraktif akan berisiko bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam menanggapi kesiapan pemerintah Indonesia dalam menjaga ketahanan pangannya saat pandemi Covid 19 dan prediksi kemarau panjang yang akan mengganggu produksi pangan. FAO telah memberikan peringatan akan terjadinya ancaman krisis pangan dunia, dan negara-negara di dunia mulai mengerem ekspor pangannya untuk mengantisipasi ancaman ambruknya ketahanan pangan dunia. Sejumlah negara juga mengimplementasikannya dengan memprioritaskan kebutuhan pangan dalam negeri dan menahan ekspor pangan ke luar negeri.

Menggantungkan ketahanan ekonomi hanya pada komoditas unggulan tertentu seperti sawit bukan hal yang bijak untuk dilakukan saat ini dan bahkan dapat menimbulkan kerawanan pangan. Pemerintah selayaknya memberikan fokus pada penyeimbangan jenis komoditas di suatu daerah sehingga komoditas perkebunan dan pangan lainnya dapat turut bersaing sebagai penyumbang perekonomian sehingga dapat lebih tahan dalam menghadapi kondisi ekonomi yang bergejolak.

Hasil kajian Madani di Kalimantan Barat yang memiliki luas sawit tertanam terbesar ketiga se-Indonesia menunjukkan bahwa Kalimantan Barat ternyata memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di pulau Kalimantan. Perluasan perkebunan sawit di sana juga tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi lokal. Tingkat produktivitasnya rendah dengan peringkat 10 dari 10 provinsi yang memiliki lahan sawit terluas,” kata Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Provinsi Riau yang memiliki sawit tertanam terluas di Indonesia, yaitu 3,4 juta hektare, dari hasil Kajian Madani menunjukkan setidaknya terdapat 7 kabupaten (Bengkalis, Siak, Rohul, Pelelawan, Kampar, Inhil dan Rohil) memiliki ketimpangan yang sangat besar antara luas sawit dan tanaman pangan. Luas lahan yang diperuntukkan untuk tanaman pangan pada 7 kabupaten tersebut tak ada satupun melebihi angka 30% dari luas sawit. Bengkalis hanya memiliki 23,6 ribu ha (11%) luas lahan pangan dibandingkan area tanam sawitnya yang mencapai 187 ribu ha. Kemudian diikuti Siak, 56 ribu ha (14%) dan Rokan Hulu 73 ribu ha (15%) dibandingkan dengan luas sawit di dua kabupaten tersebut. Ketimpangan lahan tersebut berimplikasi pada ketahanan pangan pada kabupaten-kabupaten tersebut. Setidaknya ada 6 kabupaten yang menunjukkan ketahanan pangan rendah (Pelalawan dan Rohil) dan 4 kabupaten yang termasuk rawan pangan (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar),” terang Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Diversifikasi komoditas pangan unggulan dengan tanaman-tanaman lokal seperti sagu dan sorgum perlu untuk diutamakan, sehingga bukan lagi program “berasisasi”. Apalagi rencana cetak sawah di lahan gambut Kalimantan Tengah yang akan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan dapat mengancam keberadaan gambut di wilayah tersebut dan meningkatkan risiko terjadinya Karhutla dan bencana asap yang akan lebih menyengsarakan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 .

Empat puluh empat persen Karhutla 2019 terjadi di Fungsi Ekosistem Gambut. Program cetak sawah pemerintah di lahan gambut yang direncanakan akan membuka rawa gambut berisiko meningkatkan kerawanan terjadinya Karhutla yang selain menyengsarakan rakyat juga akan menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

Keberadaan komoditas pangan lokal seperti sagu dapat menjaga kelestarian ekosistem lahan gambut dan juga dapat menjadikan sagu sebagai salah satu sumber pangan lokal, sehingga dapat menciptakan ketahanan pangan,” tambah Teguh. “Saatnya Pemerintah menghentikan ekspansi perkebunan monokultur skala besar seperti HTI dan sawit karena dapat menggerus lahan-lahan produktif untuk pangan.”

Diversifikasi komoditas pangan unggulan lokal adalah kunci ketahanan pangan nasional agar Indonesia terhindar dari kerawanan pangan di masa pemulihan pasca-Covid-19. [ ]

***

Kontak Narasumber:

– M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

– Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0852 0856 8896

– Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 2838 6143

– Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Hutan Mendesak Diwujudkan

Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Hutan Mendesak Diwujudkan

[Jakarta, 28 Mei 2020] Pembayaran pertama sebesar 56 juta dollar AS atau Rp 840 miliar dari Norwegia untuk keberhasilan Indonesia dalam menekan angka deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia ini harus menjadi penyemangat bagi semua pihak untuk lebih serius lagi  mewujudkan pembangunan ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan. Arahan Presiden Joko Widodo agar dana ini digunakan untuk program-program pemulihan hutan dan lingkungan hidup berbasis masyarakat sangatlah tepat. Program perhutanan sosial, misalnya, berpotensi berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap pencapaian target NDC Indonesia dari pengurangan deforestasi jika difokuskan pada wilayah-wilayah dengan risiko deforestasi tinggi dan diberi pendampingan maksimal untuk pengembangan ekonomi lokal yang sejalan dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sejalan dengan hal tersebut, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup yang diberi mandat untuk mengelola dana tersebut pun harus segera memastikan adanya perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya –  termasuk masyarakat sipil dan masyarakat adat/lokal –  agar program-program pengurangan deforestasi dan degradasi yang dijalankan betul-betul tepat sasaran dan bermanfaat bagi komunitas.

 

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam menanggapi satu dekade kerja sama pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Setelah satu dekade melalui fase persiapan dan transformasi, tahun ini Indonesia memasuki fase pembayaran berbasis hasil yang ditandai dengan pembayaran pertama sebesar 56 juta dollar AS dari Pemerintah Norwegia atas keberhasilan Indonesia mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2016-2017 sebesar 11,2 juta ton CO2e. Dana tersebut akan disalurkan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang resmi diluncurkan pada Oktober tahun lalu.

 

Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengumumkan angka deforestasi kotor (bruto) Indonesia tahun 2018-2019 yaitu 465,5 ribu hektare dan angka deforestasi bersih (netto) sebesar 462,4 ribu hektare.

 

Madani mengapresiasi penurunan angka deforestasi Indonesia meskipun tidak terlalu signifikan sebagai hasil dari berbagai kebijakan korektif yang dikeluarkan pemerintah serta kerja sama internasional yang baik dengan berbagai negara sahabat, termasuk Norwegia. Kemitraan yang setara dan saling menghormati ini harus dilanjutkan dan diperkuat dengan lebih menekankan pada aspek keterbukaan data dan informasi, partisipasi, serta penghormatan terhadap dan hak-hak masyarakat adat dan lokal terhadap hutan dan sumber daya alam,” tambah M. Teguh Surya.

 

Untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam Kemitraan tersebut, berbagai kebijakan korektif yang sangat penting seperti penghentian pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut, penundaan dan evaluasi izin perkebunan kelapa sawit, perhutanan sosial – termasuk pengakuan hutan adat -, penyusunan peta jalan untuk mencapai komitmen iklim (Roadmap NDC), serta implementasi peraturan perlindungan ekosistem gambut harus dilanjutkan dan lebih diperkuat lagi karena meskipun deforestasi Indonesia telah berkurang, angka tersebut masih berada di atas ambang batas untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, yakni maksimal 450 ribu hektare/tahun sebelum tahun 2020 dan maksimal 325 ribu hektare per tahun dalam periode 2020-2030. Artinya, Indonesia masih memiliki PR cukup besar untuk memenuhi komitmen dan target yang telah ditetapkannya sendiri. Belum lagi tantangan atau bahkan ancaman yang datang dari upaya legislasi yang berisiko melemahkan aturan perlindungan hutan dan lingkungan untuk kepentingan investasi, yakni RUU Cipta Kerja, yang berpotensi membuat Indonesia gagal mencapai komitmen iklimnya,” tutur Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan

Berdasarkan analisis Madani terhadap data deforestasi KLHK, angka deforestasi bruto Indonesia menunjukkan tren penurunan selama periode 2003-2018, namun terdapat lonjakan besar pada periode 2014-2015, yakni saat momentum politik Pemilihan Umum.

 

Secara kumulatif, deforestasi bruto tertinggi pada periode 2003-2018 terjadi di Provinsi Riau (1,8 juta hektare), disusul Kalimantan Tengah (1,4 juta hektare), Kalimantan Timur (1,2 juta hektare), dan Kalimantan Barat (1,16) juta hektare). Sementara itu, hutan alam tersisa Indonesia pada 2018 paling luas terdapat di Provinsi Papua (24,9 juta hektare), Papua Barat (8,8 juta hektare), Kalimantan Tengah (7,2 juta hektare), Kalimantan Timur (6,5 juta hektare), Kalimantan Utara (5,6 juta hektare), dan Kalimantan Barat (5,4 juta hektare). Meskipun hutan alam yang tersisa terlihat luas, hutan alam di luar PIPPIB dan PIAPS yang belum dibebani izin/konsesi (IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, perkebunan sawit, migas, dan minerba) sesungguhnya sangat kecil, yakni hanya 9,5 juta (10,7%) dari 88,7 juta hektar hutan alam tersisa di tahun 2018 , yang terluas berada di Papua (1,3 juta hektare), Maluku (912 ribu hektare), NTT (857 ribu hektare), Kalimantan Tengah (855 ribu hektare), Sulawesi Tengah (821 ribu hektare), Kalimantan Timur (586 ribu hektare), dan Maluku Utara (581 ribu hektare),” terang Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Hutan alam dengan luas mencapai 9,5 juta hektare ini perlu segera dilindungi oleh kebijakan penghentian izin baru yang diperluas cakupannya agar tidak lenyap akibat perluasan izin/konsesi skala besar, yang akan menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia dan kebijakan penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dijadwalkan berakhir tahun depan harus diperpanjang serta diperluas cakupannya menjadi penghentian izin sawit ke seluruh area yang masih memiliki hutan alam, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Hal ini sangat penting agar sawit Indonesia dapat terlepas dari stigma deforestasi yang mencoreng citranya di pasar global,” tutup M. Teguh Surya. [ ]

 

oooOOOooo

 

  • Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, +62 812-9480-1453
  • Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, +62 856-2118-997
  • Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, +628 151-986 -8887

 

Silahkan download file yang berkaitan di bawah ini:

Related Article

en_USEN_US