Madani

Tentang Kami

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM PALM OIL MORATORIUM EVALUATION TO GOVERNMENT DEBT BURDEN REACHING 55% OF GDP

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM PALM OIL MORATORIUM EVALUATION TO GOVERNMENT DEBT BURDEN REACHING 55% OF GDP

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (27 Juli 2021 – 2 Agustus 2021), berikut cuplikannya:

1. Pemerintah tengah mengevaluasi aturan moratorium perkebunan kelapa sawit

Pemerintah saat ini tengah mengevaluasi Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Musdhalifah Machmud mengatakan, saat ini Kemenko Perekonomian bersama kementerian/lembaga terkait, tengah menyiapkan laporan evaluasi pelaksanaan Inpres tersebut. Nantinya, laporan evaluasi akan disampaikan kepada Presiden.

Musdhalifah mengatakan, pelaksanaan kegiatan yang terdapat dalam Inpres nomor 8 tahun 2018 terbilang cukup baik. Diantaranya tata kelola perkebunan kelapa sawit, kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan. Termasuk penurunan emisi gas rumah kaca. Serta peningkatan pembinaan petani kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Meski begitu, hingga saat ini belum diputuskan apakah Inpres nomor 8 tahun 2018 akan diperpanjang atau tidak.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, saat ini Inpres 8/2018 tengah dijalankan. Salah satunya evaluasi perizinan dan penyelesaian tumpang tindih aturan setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja.

Asosiasi petani sawit yang tergabung dalam Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) meminta Presiden Jokowi untuk melanjutkan moratorium sawit. POPSI meminta Presiden Jokowi untuk memperpanjang Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang evaluasi izin dan peningkatan produktivitas atau moratorium sawit.

2. Joe Biden Sebut Kota Jakarta bakalan tenggelam 10 tahun lagi

Bahaya pemanasan global menjadi isu utama pidato Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Kantor Direktur Intelijen Nasional, Selasa (27/7/2021). Dalam pidatonya tersebut, dia mengingatkan kembali mengenai perubahan iklim dan pemanasan global yang bisa saja mengubah doktrin strategis nasional.

Ia mengatakan, jika permukaan air laut 2,5 kaki atau 7,6 cm saja, akan ada jutaan orang yang harus pindah dari lokasi yang ditinggali saat ini dan berebut lahan subur. Menurutnya, jika hal itu benar terjadi seperti sesuai proyeksi bahwa Jakarta akan tenggelam pada 10 tahun mendatang. Hal inilah yang kemudian mendorong Pemerintah RI saat ini mulai mewujudkan rencana memindahkan ibu kota ke Kalimantan.

Biden pun meminta AS untuk bekerja sama dengan dunia dalam upaya mencegah dampak perubahan iklim lebih jauh. Terpisah, pada 2019 lalu, badan antariksa AS, NASA, juga pernah menyatakan bahwa tanah Jakarta kian tenggelam akibat perubahan iklim dan sejumlah masalah lainnya. NASA juga menyebutkan sejumlah masalah lain yang menjadi faktor penyebab kerusakan alam di Jakarta, di antaranya tingkat urbanisasi tinggi, kesalahan penggunaan lahan, dan peningkatan populasi.

3. Indonesia akan Usung Isu Perubahan Iklim saat Presidensi G20 2022

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia akan mengusung isu perubahan iklim saat menjadi tuan rumah atau presidensi Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) pada 2022. Menkeu menambahkan, dalam forum tersebut juga akan dibentuk kelompok kerja keuangan berkelanjutan atau sustainable finance working group (SFWG).

Kelompok kerja itu akan membahas lima area, yakni penyelarasan arus keuangan, akses terhadap informasi yang andal dan tepat waktu, asesmen pengelolaan risiko iklim dan sustainability, serta mengoptimalkan pendanaan publik dan sistem insentif. Kemudian, isu atau elemen cross-cutting, seperti katalisasi teknologi, inovasi, digitalisasi, dan strategi transisi keuangan.

Menkeu menyatakan, lima domain keuangan tersebut akan diintegrasikan dengan aspek sustainability dan ancaman perubahan iklim dalam tiap pengambilan keputusan. Menurutnya, inisiatif semacam itu perlu disiapkan bukan sekadar menunggu. Harapannya, SFWG dapat menyusun aksi konkret lewat pengembangan lingkungan yang memungkinkan mobilisasi pembiayaan internasional, termasuk komitmen negara-negara maju serta dukungan dari lembaga-lembaga keuangan multilateral.

4. Sukses Terbitkan Green Bond, Sri Mulyani Siapkan SDG’s Bond

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tengah mempersiapkan Sustainable Development Goals (SDGs) bond. Saat ini sedang dalam tahap review oleh lembaga internasional. Menurutnya, SDGs bond dibentuk oleh pemerintah setelah sukses dengan green bonds atau pembiayaan hijau yang dibentuk pada tahun 2018 lalu.

Adapun SDGs bond ini akan memiliki skema yang sama dengan green bond, yakni digunakan untuk pembangunan berkelanjutan atau proyek-proyek yang ramah lingkungan sesuai dengan standar internasional. Ini sejalan dengan langkah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan ini, ia menuturkan membutuhkan perkiraan anggaran US$ 5-7 triliun. Anggaran yang sangat besar membuat partisipasi swasta dan dana internasional dibutuhkan untuk memenuhinya.

5. Beban utang pemerintah bisa capai 55% PDB pada tahun 2023

Lembaga internasional Moody’s memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023 berpotensi membengkak di atas 45% PDB. Besaran ini berarti lebih besar dari target yang disampaikan pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) yang sebesar 43,21% hingga 43,99% PDB di 2023.

Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan utang pemerintah pada tahun 2023 akan jauh lebih besar dari target pemerintah. Bahkan proyeksinya, bisa lebih dari 55% PDB di tahun 2023. Hal ini dikarenakan besarnya kebutuhan belanja dan proyeksi rasio penerimaan pajak yang masih rendah.

Namun, bukan berarti tak ada jalan keluar bagi pemerintah untuk mempersempit rasio utang. Salah satunya, adalah pemerintah perlu menghemat belanja yang memang tidak urgen, seperti contohnya memperkecil biaya birokrasi untuk belanja pegawai dan belanja barang.

Pemerintah juga disarankan untuk menunda proyek infrastruktur yang dibiayai lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian, pemerintah bisa melakukan upaya ekstra untuk menggenjot penerimaan. Dengan cara menambah tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi kaya atau dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar dengan tarif yang lebih tinggi, yaitu 40% hingga 45%.

Pemerintah juga diharapkan mampu mendorong kepatuhan pembayaran dan pelaporan SPT Wajib Pajak Pribadi non karyawan. Berikutnya, pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan pajak dari sinkronisasi data antara eksportir komoditas dengan data di negara tujuan ekspor.

Related Article

en_USEN_US