Madani

Tentang Kami

MADANI INSIGHT VOL.5

MADANI INSIGHT VOL.5

“Gambaran Industri Sawit Indonesia, Menjawab Asumsi Dengan Fakta dan Angka”

Madani Berkelanjutan merilis beberapa temuan menarik terkait dengan industri sawit di Indonesia. Temuan tersebut disajikan dalam Info Brief Madani Insight yang disusun ke dalam beberapa volume.

BACA JUGA : Madani Insight Vol.3

Ada beberapa poin penting yang ditemukan Madani Berkelanjutan dalam Info Brief volume kelima ini :

1. Perusahaan Sawit dan Kemandirian Desa di Kalbar (Antara Data & Fakta)

Beragamnya pandangan mengenai kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan pedesaan menunjukkan bahwa berbagai aktor yang ada tidak berangkat dari data yang sama, dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang juga berbeda. Hal ini dapat menghambat pengambilan keputusan untuk mendapatkan sebuah solusi bagi semua pihak.

2. Kontribusi Perusahaan Sawit Pada Pembangunan Desa di Kalbar

Banyaknya jumlah desa di suatu wilayah yang bersinggungan dengan lokasi pemegang izin perusahaan perkebunan sawit tidak dapat menjamin pembangunan desa tersebut berjalan dengan baik. Pada studi kasus lima kabupaten di Kalbar, tiga kabupaten di antaranya yakni Ketapang, Landak, dan Sekadau memiliki Indeks Desa Membangun (IDM) yang cukup besar yang didominasi oleh jumlah desa yang belum mendapatkan manfaat atas pemegang izin usaha perkebunan secara optimal. Sedangkan Sintang dan Sanggau, berdasarkan IDM menunjukkan bahwa terdapat potensi besar pengembangan wilayah pedesaan.

3. Penyebab Rendahnya Nilai Indeks Desa Membangunan yang Bersinggungan dengan Lokasi Izin Perkebunan Sawit

Kondisi Desa yang beum mendapatkan manfaat atas keberadaan izin perkebunan sawit secara optimal dikontribusi oleh rendahnya nilai indeks komposit ekonomi dan lingkungan. Diperlukan kolaborasi multipihak baik pemerintah dan swasta melalui public private partnership dengan memaksimalkan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan yang terarah untuk mengurai permasalahan ini.

Untuk Info Brief Madani Insight Volume 5 ini, selengkapnya dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. 

Semoga Bermanfaat.

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM PALM OIL MORATORIUM EVALUATION TO GOVERNMENT DEBT BURDEN REACHING 55% OF GDP

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM PALM OIL MORATORIUM EVALUATION TO GOVERNMENT DEBT BURDEN REACHING 55% OF GDP

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (27 Juli 2021 – 2 Agustus 2021), berikut cuplikannya:

1. Pemerintah tengah mengevaluasi aturan moratorium perkebunan kelapa sawit

Pemerintah saat ini tengah mengevaluasi Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Musdhalifah Machmud mengatakan, saat ini Kemenko Perekonomian bersama kementerian/lembaga terkait, tengah menyiapkan laporan evaluasi pelaksanaan Inpres tersebut. Nantinya, laporan evaluasi akan disampaikan kepada Presiden.

Musdhalifah mengatakan, pelaksanaan kegiatan yang terdapat dalam Inpres nomor 8 tahun 2018 terbilang cukup baik. Diantaranya tata kelola perkebunan kelapa sawit, kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan. Termasuk penurunan emisi gas rumah kaca. Serta peningkatan pembinaan petani kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Meski begitu, hingga saat ini belum diputuskan apakah Inpres nomor 8 tahun 2018 akan diperpanjang atau tidak.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, saat ini Inpres 8/2018 tengah dijalankan. Salah satunya evaluasi perizinan dan penyelesaian tumpang tindih aturan setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja.

Asosiasi petani sawit yang tergabung dalam Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) meminta Presiden Jokowi untuk melanjutkan moratorium sawit. POPSI meminta Presiden Jokowi untuk memperpanjang Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang evaluasi izin dan peningkatan produktivitas atau moratorium sawit.

2. Joe Biden Sebut Kota Jakarta bakalan tenggelam 10 tahun lagi

Bahaya pemanasan global menjadi isu utama pidato Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Kantor Direktur Intelijen Nasional, Selasa (27/7/2021). Dalam pidatonya tersebut, dia mengingatkan kembali mengenai perubahan iklim dan pemanasan global yang bisa saja mengubah doktrin strategis nasional.

Ia mengatakan, jika permukaan air laut 2,5 kaki atau 7,6 cm saja, akan ada jutaan orang yang harus pindah dari lokasi yang ditinggali saat ini dan berebut lahan subur. Menurutnya, jika hal itu benar terjadi seperti sesuai proyeksi bahwa Jakarta akan tenggelam pada 10 tahun mendatang. Hal inilah yang kemudian mendorong Pemerintah RI saat ini mulai mewujudkan rencana memindahkan ibu kota ke Kalimantan.

Biden pun meminta AS untuk bekerja sama dengan dunia dalam upaya mencegah dampak perubahan iklim lebih jauh. Terpisah, pada 2019 lalu, badan antariksa AS, NASA, juga pernah menyatakan bahwa tanah Jakarta kian tenggelam akibat perubahan iklim dan sejumlah masalah lainnya. NASA juga menyebutkan sejumlah masalah lain yang menjadi faktor penyebab kerusakan alam di Jakarta, di antaranya tingkat urbanisasi tinggi, kesalahan penggunaan lahan, dan peningkatan populasi.

3. Indonesia akan Usung Isu Perubahan Iklim saat Presidensi G20 2022

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia akan mengusung isu perubahan iklim saat menjadi tuan rumah atau presidensi Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) pada 2022. Menkeu menambahkan, dalam forum tersebut juga akan dibentuk kelompok kerja keuangan berkelanjutan atau sustainable finance working group (SFWG).

Kelompok kerja itu akan membahas lima area, yakni penyelarasan arus keuangan, akses terhadap informasi yang andal dan tepat waktu, asesmen pengelolaan risiko iklim dan sustainability, serta mengoptimalkan pendanaan publik dan sistem insentif. Kemudian, isu atau elemen cross-cutting, seperti katalisasi teknologi, inovasi, digitalisasi, dan strategi transisi keuangan.

Menkeu menyatakan, lima domain keuangan tersebut akan diintegrasikan dengan aspek sustainability dan ancaman perubahan iklim dalam tiap pengambilan keputusan. Menurutnya, inisiatif semacam itu perlu disiapkan bukan sekadar menunggu. Harapannya, SFWG dapat menyusun aksi konkret lewat pengembangan lingkungan yang memungkinkan mobilisasi pembiayaan internasional, termasuk komitmen negara-negara maju serta dukungan dari lembaga-lembaga keuangan multilateral.

4. Sukses Terbitkan Green Bond, Sri Mulyani Siapkan SDG’s Bond

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tengah mempersiapkan Sustainable Development Goals (SDGs) bond. Saat ini sedang dalam tahap review oleh lembaga internasional. Menurutnya, SDGs bond dibentuk oleh pemerintah setelah sukses dengan green bonds atau pembiayaan hijau yang dibentuk pada tahun 2018 lalu.

Adapun SDGs bond ini akan memiliki skema yang sama dengan green bond, yakni digunakan untuk pembangunan berkelanjutan atau proyek-proyek yang ramah lingkungan sesuai dengan standar internasional. Ini sejalan dengan langkah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan ini, ia menuturkan membutuhkan perkiraan anggaran US$ 5-7 triliun. Anggaran yang sangat besar membuat partisipasi swasta dan dana internasional dibutuhkan untuk memenuhinya.

5. Beban utang pemerintah bisa capai 55% PDB pada tahun 2023

Lembaga internasional Moody’s memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023 berpotensi membengkak di atas 45% PDB. Besaran ini berarti lebih besar dari target yang disampaikan pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) yang sebesar 43,21% hingga 43,99% PDB di 2023.

Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan utang pemerintah pada tahun 2023 akan jauh lebih besar dari target pemerintah. Bahkan proyeksinya, bisa lebih dari 55% PDB di tahun 2023. Hal ini dikarenakan besarnya kebutuhan belanja dan proyeksi rasio penerimaan pajak yang masih rendah.

Namun, bukan berarti tak ada jalan keluar bagi pemerintah untuk mempersempit rasio utang. Salah satunya, adalah pemerintah perlu menghemat belanja yang memang tidak urgen, seperti contohnya memperkecil biaya birokrasi untuk belanja pegawai dan belanja barang.

Pemerintah juga disarankan untuk menunda proyek infrastruktur yang dibiayai lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemudian, pemerintah bisa melakukan upaya ekstra untuk menggenjot penerimaan. Dengan cara menambah tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi kaya atau dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar dengan tarif yang lebih tinggi, yaitu 40% hingga 45%.

Pemerintah juga diharapkan mampu mendorong kepatuhan pembayaran dan pelaporan SPT Wajib Pajak Pribadi non karyawan. Berikutnya, pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan pajak dari sinkronisasi data antara eksportir komoditas dengan data di negara tujuan ekspor.

Related Article

Sawit Riau Antara Bencana dan Kesejahteraan

Sawit Riau Antara Bencana dan Kesejahteraan

Saat ini, industri sawit memegang peranan penting dalam perekonomian baik nasional maupun daerah. Terlebih bagi Provinsi Riau yang saat ini menempati peringkat pertama provinsi dengan luas sawit terbesar di Indonsia (3,4 juta hektare).


Per 2018, terdapat tujuh kabupaten di Riau yang memiliki luas area tanam sawit terluas, yaitu Kampar (430 ribu hektare), Rokan Hulu (410 ribu hektare), Siak (347 ribu hektare), Pelalawan (325 ribu hektare), Rokan Hilir (282 ribu hektare), Indragiri Hilir (227 ribu hektare), dan Bengkalis (186 ribu hektare).

Dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Madani Berkelanjutan dengan tema “Kesejahteraan dan Panen Bencana di Provinsi Sentra Sawit di Riau”, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, Intan Elvira menyampaikan bahwa dari 7 kabupaten dengan luas area tanam sawit yang signifikan, 6 kabupaten memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah, yaitu Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rohil. Sementara itu, 4 kabupaten (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar) justru mengalami kerawanan pangan.

Kerawanan pangan yang terjadi di Riau juga disinyalir lantaran Riau telalu bergantung kepada perekebunan kelapa sawit.

Terkait dengan hal ini, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, mengatakan bahwa menggantungkan perekonomian hanya pada sawit sebagai komoditas dominan akan sangat berisiko bagi ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat di daerah.

Menggantungkan harapan pada satu jenis komoditas itu keliru. Namun, belum terlambat bagi provinsi Riau, tetapi tetap harus ada siasat, keberanian, komitmen, dan kolaborasi agar keluar dari ketergantungan akan sawit”, Ujar Teguh Surya.

Dalam diskusi virtual ini, hadir beberapa narasumber lainnya seperti Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Siak, L Budi Yuwono, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak, Dr. Ir H. Wan Muhammad Yunus, Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Riau, Vera Virgianti S.Hut, MM, serta akademisi yang juga Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, Dr. Pramono Hadi.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkai diskusi ini, silakan unduh beberapa materi yang terlampir di bahwa ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Perlu Siasat dan Kolaborasi Para Pihak Untuk Sejahtera Dari Sawit

Perlu Siasat dan Kolaborasi Para Pihak Untuk Sejahtera Dari Sawit

[Jakarta, 6 Mei 2020] Kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan perlu digantungkan pada komoditas yang beragam dan seimbang antara komoditas perkebunan dan pertanian pangan. Menggantungkan perekonomian hanya pada sawit sebagai komoditas dominan akan sangat berisiko bagi ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat di daerah. Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “Kesejahteraan dan Panen Bencana di Provinsi Sentra Sawit Riau” yang dilaksanakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 6 Mei 2020.

Meskipun Provinsi Riau memiliki perkebunan sawit terluas nomor wahid di Indonesia, dengan luas mencapai 3,4 juta hektare, sektor ini terbukti belum mampu memberikan manfaat optimal bagi kesejahteraan masyarakat maupun petani sawit di Riau. Per 2018, terdapat tujuh  kabupaten di Riau yang memiliki luas area tanam sawit terluas, yaitu Kampar (430 ribu hektare), Rokan Hulu (410 ribu hektare), Siak (347 ribu hektare), Pelalawan (325 ribu hektare), Rokan Hilir (282 ribu hektare), Indragiri Hilir (227 ribu hektare), dan Bengkalis (186 ribu hektare).

 

Kajian Madani menunjukkan bahwa dari 7 kabupaten dengan luas area tanam sawit yang signifikan, 6 kabupaten memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, yaitu Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rohil. Sementara itu, 4 kabupaten (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar) justru mengalami kerawanan pangan,” kata Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sementara itu, dari sisi ekologis, kajian Madani menunjukkan korelasi erat antara hilangnya tutupan hutan dengan bencana ekologis di Riau. “Hilangnya tutupan hutan di Riau pada periode 2010-2013 telah memicu terjadinya bencana ekologis pada dua hingga tiga tahun setelahnya. Pada periode 2017 hingga 2019, Riau “memanen” bencana akibat hilangnya tutupan hutan pada kurun waktu 2011-2015. Rusaknya hutan di Riau tidak hanya mencederai ekosistemnya, tapi juga masyarakat karena terdapat 194 desa dan kelurahan di Riau yang keberlangsungan hidup masyarakatnya bergantung pada kawasan hutan,” tambah Intan.

 

Pada periode 2010-2018, tercatat 1,7 juta hektare tutupan hutan hilang di Riau. Artinya, rata-rata 190 ribu hektare tutupan hutan hilang setiap tahunnya. Kabupaten Pelalawan menduduki posisi pertama sebagai kabupaten dengan hilangnya tutupan hutan terluas di Riau, yakni 316 ribu ha atau setara dengan lima kali luas Singapura, dan berturut–turut diikuti oleh Rokan Hilir (220 ribu ha), Indragiri Hilir (212 ribu ha), Bengkalis (184 ribu ha), dan Indragiri Hulu (163 ribu ha).

Ancaman bencana ekologis sangat besar bagi desa-desa yang berada di sekitar perkebunan sawit, terutama bencana kekeringan dan kebakaran. “Dari 573 desa di sekitar perkebunan sawit di 6 Kabupaten yaitu Indragiri Hilir, Kampar, Rokan Hulu, Siak, Pelalawan dan Rokan Hilir, 82 persen (471 desa) terindikasi rawan bencana ekologis. Lima dari enam Kabupaten tersebut, yaitu Kabupaten Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Indragiri Hilir dan Siak memiliki kerentanan bencana karhutla yang dominan. Sementara Kampar rentan akan bencana kekeringan yang dominan. Kerawanan bencana desa-desa di sekitar perkebunan sawit sangat tinggi, namun ironisnya, hanya 15 persen yang memiliki kapasitas manajemen bencana,” tambah Intan.

Bencana kebakaran hutan secara khusus sangat mengancam secara ekonomi. Potensi kerugian dari kebakaran gambut di wilayah perkebunan sawit di Riau pada tahun 2019 mencapai 1,5 Triliun dari sisi karbon saja hingga ekosistem gambut tersebut bisa kembali terpulihkan.

Terbitnya kebijakan moratorium sawit bisa menjadi pijakan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan membenahi produktivitas, modal usaha, legalitas lahan  dan keberlanjutan petani sawit untuk menciptakan daya saing dan mengurangi risiko tersingkirnya petani sawit dari pasar formal.

Sementara itu, untuk mengatasi minimnya kapasitas manajemen bencana di desa-desa sekitar perkebunan sawit, Pemda harus memprioritaskan kolaborasi dengan berbagai pihak melalui skema alokasi dana desa dan mengintegrasikan program TJSL (Tanggung Jawab Sosial Lingkungan) perusahaan

Terakhir, mekanisme transfer fiskal ekologis dari Kementerian Keuangan melalui kerangka Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE) dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan biaya dan manfaat yang sepadan dalam menjaga kelangsungan hutan dan hidrologis gambut.

ooo

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 2838 6143

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Ada Apa Dengan Sawit Indonesia?

Ada Apa Dengan Sawit Indonesia?

Sebagai komoditas terbesar di tanah air, sawit ternyata tidak benar-benar memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat di akar rumput. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya dalam diskusi virtual The 9th Session of #LetsTalkAboutPalmOil yang diselenggarakan pada Kamis, 30 April 2020.

Dalam diskusi tersebut terungkap fakta bahwa pembangunan desa di provinsi yang kaya dengan komoditas ini, tidak berbanding lurus dengan masifnya ekspansi sawit. Seperti halnya Kalimantan Barat dan Riau. Kedua provinsi ini sama-sama kaya dengan sawit, namun, daya dorong sawit terhadap perekonomian masyarakat desa masih terbilang sangat rendah.

Di Kalimantan Barat (2019), desa yang ditempati perusahaan sawit untuk beroperasi, hanya 3 persennya saja yang termasuk ke dalam kategori desa mandiri berdasarkan indeks desa membangun (IDM) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan, Transmigrasi (Kemendes PDTT). Sebesar 6 persen berada pada kategori maju, 31 persen berkembang. Sedangkan 48 persennya masuk dalam kategori tertinggal, dan 11 persen sangat tertinggal.


Sementara itu, hanya 1 persen saja desa di Riau yang tergolong sebagai desa mandiri. Sekitar 6 persen maju, 64 persen berkembang. Sedangkan desa yang masuk dalam kategori tertinggal sebesar 27 persen dan 3 persennya sangat tertinggal.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkait fakta sawit tersebut, silakan unduh melalui tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit

Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit

Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan luas lahan sawit ketiga terbesar di Indonesia. Luas kebun sawitnya mencapai 1,5 juta hektare. Hanya kalah dari Provinsi Riau dan Sumatera Utara. Namun produktivitas sawit Kalimantan Barat hanya menempati peringkat ke-10 dari provinsi-provinsi penghasil sawit di tanah air. Produktivitas sawit 2,35 ton/hektare di Kalimantan Barat ini ternyata jauh tertinggal dari Aceh yang luas kebun sawitnya hanya 514 ribu hektare.

Luas kebun sawit di Kalimantan Barat ini didominasi oleh perkebunan swasta. Lahan sawit perkebunan swasta mencapai 1,09 juta hektare sementara luas perkebunan rakyat hanya 413 ribu hektare dan perkebunan negara hanya 56,7 ribu hektare. Ini disampaikan oleh Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online yang mengangkat tema “Masa Depan Kalimantan di Era Sawit” pada 8 April 2020.

Dalam diskusi ini juga diikuti oleh beberapa narasumber lain yakni Bupati Sintang Dr. Jarot Winarno, M.Med.Ph., Kepala Dinas Perkebunan Sanggau Syafriansyah, SP, M.M, Manseutus Darto selaku Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit, dan M. Teguh Surya Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Bupati Sintang, Jarot Winarno menyampaikan berbagai inisiatif perbaikan tata kelola sawit yang dilakukan Pemerintah Daerah Sintang, peranan sawit bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Sintang serta inisiatif pemda dalam meminimalisir dampak sosial dan lingkungan di kabupaten Sintang.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Sanggau, Syafriansyah menyampaikan tentang inisiatif tata kelola industri sawit yang dilakukan Pemda Sanggau. Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit, Manseutus Darto menyampaikan perspesktif industri sawit dan kaitannya dengan ancaman virus corona (Covid-19) terhadap petani sawit di daerah. Serta M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan memaparkan tentang tata kelola sawit di Kalimantan Barat.

Untuk Materi diskusi Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit tersebut dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

Agar Sawit Benar-benar Berkelanjutan

Agar Sawit Benar-benar Berkelanjutan

Niat dan upaya pemerintah untuk memperbaiki serta mewujudkan tata kelola industri sawit nasional yang baik, tentu patut kita acungi jempol. Karena pada dasarnya, industri sawit yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia sudah harus dibenahi agar benar-benar matang secara keseluruhan.


Melalui rencana perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang ditopang Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB), cita-cita mewujudkan tata kelola yang baik terlihat semakin nyata. Kebijakan ini pun disebut akan menjadi landasan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, dan pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan.


Walaupun dalam konteks energi terbarukan, sawit masih diragukan banyak pihak. Namun, dengan adanya inpres ini, dapat dikatakan pemerintah optimis bahwa sawit dapat menjadi energi terbarukan dan juga dapat benar-benar berkelanjutan. RAN-KSB ini sendiri memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan, antara lain, penguatan data, penguatan koordinasi, dan infrastruktur, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Bukan hanya itu, RAN KSB juga menerapkan tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, dukungan percepatan sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan meningkatkan akses pasar sawit. Upaya mengimplementasikan sawit yang berkelanjutan tersebut, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Kebijakan yang baik, harus diiringi oleh implementasi yang juga tepat. Karena pada dasarnya, permasalahan seputar sawit di Indonesia tidak lepas dari permasalahan yang itu-itu saja, artinya negeri ini tidak memiliki komitmen yang kuat untuk berbenah. Banyak orang yang sepakat jika persoalan sawit di tanah air selama ini adalah seputar tata kelola yang kurang baik. Aspek dalam tata kelola ini meliputi integritas, transparansi, akuntabilitas, kredibilitas.

Sudah menjadi rahasia umum, jika indikator tersebut kerap disepelekan. Pasalnya sawit yang begitu menggiurkan berhasil membuat kebanyakan orang gelap mata dan akhirnya meminggirkan kepentingan lingkungan yang seharusnya berjalan beriringan. Namun, jika dilihat lebih seksama, Inpres RAN KSB ini pun dapat dikatakan belum menyasar tiga permasalahan utama sistem pengelolaan kelapa sawit sebagaimana diidentifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni tidak akuntabelnya sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit, tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit, dan tidak optimalnya pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Sederhananya, Inpres ini mencakup mandat kepada Menteri Keuangan, namun mandat tersebut hanya berupa alokasi pembiayaan dan tidak menyasar hal-hal yang perlu diperbaiki untuk mencegah korupsi. Jelas bahwa dalam hal ini, RAN KSB harus dibenahi agar mencerminkan upaya untuk memperbaiki mekanisme perizinan perkebunan kelapa sawit sebagaimana rekomendasi KPK.

Kondisi Sawit Indonesia

Terkait dengan kondisi sawit saat ini, hingga 2019, Madani Berkelanjutan menemukan setidaknya terdapat 18.918.193,22 Ha izin sawit yang  terinventaris. Dari luasan tersebut 21,39 % berada dan saling berhimpitan dengan Kawasan Hutan. Kemudian, terdapat 18,34 % dalam izin tersebut masih berupa tutupan hutan alam.

Di sisi lain, sekitar 21,06 % izin sawit berada dan berhimpitan dengan fungsi ekosistem gambut. Rasanya, empat tahun lebih komitmen pemerintah untuk menjaga dan memulihkan gambut yang rusak dengan salah satunya mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG), seolah sia-sia belaka karena Inpres ini. Bukan hanya itu, hal yang tidak kalah mengecewakannya adalah terdapat 2,42 % dalam izin tersebut merupakan area Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) revisi 04. Lahan-lahan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat untuk meningkatkan ekonominya melalui program yang gencar digaungkan pemerintah yakni perhutanan sosial, malah dijadikan dilepas untuk ekspansi sawit.

Kemudian, sekitar 5,47 % merupakan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) 2019.  Kondisi tersebut tentu membuktikan bahwa sawit yang begitu menggoda, berhasil melunturkan komitmen pengelolaan sawit yang sudah disepakati. Tidak dapat dimungkiri bahwa komoditas sawit adalah komoditas terbaik yang pernah dihasilkan Indonesia sampai saat ini. Karena unggulnya komoditas ini, Indonesia pun dibuat ketergantungan sehingga sawit dapat dikatakan bahwa sawit sangat memengaruhi banyak aspek khususnya perekonomian. Salah satunya, pengaruh sawit terhadap devisa negara. Terakhir, kontribusi sawit terhadap devisa di 2017 tercatat mencapai USD 23 miliar atau naik 26% dari tahun sebelumnya. Tentu kontribusi tersebut tidak dapat disepelekan.

Namun, sangat disayangkan, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap sawit membuat perekonomian pun rentan. Harga sawit global yang tidak dapat diprediksi karena ketidakpastian, membuat Indonesia harus selalu dihantui rasa takut apabila sawit tidak maksimal memberikan dampak untuk perekonomian. Salah satu contohnya, kebijakan uni eropa yang menahan ekspansi sawit Indonesia ke pasarnya, memaksa pemerintah putar otak mencari pasar untuk produksi sawit yang terus meningkat.


Bisa jadi, program Biofuel seperti B20, B30, bahkan rencananya hingga B100 adalah upaya pemerintah untuk mengatasi kondisi pasar global dengan membuka keran pasar domestik. Namun, sangat disayangkan jika program tersebut yang begitu gencar malah menjadi pemicu ekspansi perkebunan sawit ke lahan-lahan yang tidak semestinya, seperti hutan lindung dan sebagainya. Sekarang, sudah saatnya kita berkolaborasi untuk mewujudkan industri sawit yang lebih baik. Semua orang bisa terlibat dengan caranya masing-masing, asalkan mau bekerja dan berkontribusi agar sawit kita benar-benar menjadi berkelanjutan, tidak sekadar branding belaka.(*)

Oleh : Delly Ferdian

Pemerhati Ekonomi Lingkungan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 24 Februari 2020

Related Article

en_USEN_US