Madani

Tentang Kami

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Sudah sepantasnya acungan jempol kita berikan kepada Pemerintah Indonesia yang telah berhasil berkontribusi di dunia internasional dalam usaha mengerem laju perubahan iklim. Kontribusi nyata Indonesia tersebut dibuktikan dengan penghargaan yang diterima Indonesia berupa dana kompensasi US$ 103,78 juta atau sekitar Rp 1,52 triliun dari Green Climate Fund (GCF) belum lama ini.


Dana kompensasi ini diberikan karena Indonesia telah berhasil mengurangi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Tercatat sepanjang periode 2014- 2020, laju deforestasi di Indonesia turun dari level 3,51 juta ton setara karbondioksida ke level 0,40 juta ton setara karbondioksida.


Pembuktian Indonesia dalam upaya memerangi dampak perubahan iklim atau yang lebih tepat disebut krisis iklim bukan hanya telah terealisasi dari dana internasional GCF, tapi juga sebelumnya Indonesia telah menerima dana perubahan iklim yang berasal dari pemerintah Norwegia sebesar sebesar Rp 840 miliar.


Keberhasilan Indonesia tersebut tentu patut kita banggakan. Pasalnya, di tengah pandemi yang masih menghantui serta krisis lingkungan dunia yang semakin mengkhawatirkan, Indonesia keluar dengan penghargaan atas pencapaian dalam upaya menekan dampak krisis iklim dunia.

Namun, sebagai bangsa yang bijak, alangkah baiknya pencapaian tersebut tidak lantas membuat kita cepat berpuas hati, karena agenda memerangi krisis iklim masih harus melalui jalan terjal yang panjang.

Terkait dengan agenda perlawanan terhadap krisis iklim dunia, Indonesia telah menetapkan target yang terbilang cukup baik. Target yang termanifestasikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), yakni dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dari business as usual (BAU) 2030 dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris atau Paris Agreement yang berisi pernyataan komitmen banyak negara dalam menghadapi perubahan iklim.

Menguji BPDLH

Setelah uang dalam jumlah besar masuk ke kantong pemerintah Indonesia, tentu menjadi wajar jika publik mulai bertanya-tanya mengenai alokasi penggunaan dana internasional tersebut.

Untuk menjawab beragam pertanyaan serta spekulasi yang akan muncul, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sebuah institusi khusus yang bertugas sebagai pengelolaan dana tersebut. Institusi tersebut bernama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau yang disingkat BPDLH.

BPDLH adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan hidup serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan pemulihan dan pelestarian lingkungan hidup. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal yang harus dilindungi.

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana yang berkait dengan kepentingan lingkungan seperti halnya dana internasional perubahan iklim, BPDLH tentu harus memiliki grand design yang sesuai dengan ambisi dan tantangan Indonesia di masa yang akan datang.

Sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang sedang terbatas. Situasi pandemi korona (Covid-19) pun menjadi ujian berat bagi BPDLH yang akan beroperasi tahun ini. Ujian tersebut harus dijawab dengan baik untuk menjaga kepercayaan dan reputasi di mata masyarakat dan dunia.

Dalam pengelolaan dana tersebut, ada beberapa pos penting yang dapat menjadi sasaran utama BPDLH. Pertama, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berbasis lingkungan. Sejalan dengan maksud dan tujuan dari pemulihan lingkungan, maka menyasar UMKM berbasis lingkungan adalah hal utama yang paling tepat. UMKM yang berbasis pada program Perhutanan Sosial adalah contoh terbaik untuk mendapatkan dukungan pendanaan hijau dari BPDLH.

Selain menyelamatkan lingkungan, menyalurkan dana pada sektor Perhutanan Sosial juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat yang kini sangat tertekan oleh pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.

Kedua, penanganan kerusakan lingkungan. Dalam penanganan kerusakan lingkungan, skema insentif dapat menjadi pilihan tepat. Lebih tepatnya, pemerintah dapat menyalurkan pendanaan pada kelompok masyarakat yang menjaga kelestarian lingkungan, hutan, dan alam serta kepada perusahaan yang tertib dalam penerapan aktivitas produksi sehingga menghilangkan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

Seperti halnya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kebiasaan perusahaan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar (slash and burn) harus dihentikan dengan skema insentif yang tepat. Skema tersebut dapat berupa dukungan pengadaan alat berat untuk membantu pembukaan lahan yang lebih ramah lingkungan.

Sedangkan kelompok masyarakat siaga api dapat diberikan dukungan berupa peralatan mitigasi serta pendanaan operasional. Skema insentif dapat dikatakan sebagai wujud terbaik dalam pencegahan terjadi karhutla di tanah air. Bukankah negeri ini ingin segera lepas dari ancaman karhutla yang mengintai setiap tahun.

Ketiga, reward atau penghargaan bagi daerah penjaga lingkungan. Selama ini ada anggapan yang berkembang bagi daerah tentang hutan yang sangat mengkhawatirkan, yakni hutan sama dengan kutukan. Keberadaan hutan disebut sebagai kutukan lantaran menjadi dilema dalam pembangunan. Daerah yang cenderung masih memiliki hutan yang lestari, seolah dituntut untuk tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Di sisi lain, tuntutan akan pembangunan begitu mendesak sehingga membuat pemerintah daerah (pemda) kesulitan untuk menggenjot perekonomian.

Dengan adanya penghargaan bagi daerah yang berprestasi dalam menjaga lingkungan khususnya hutan, daerah akan terbantu dari segi pendanaan untuk melakukan pembangunan. Penghargaan ini pun dengan sendirinya akan menjadi stimulus bagi daerah untuk lebih kreatif memanfaatkan keberadaan hutan dengan baik, karena pada dasarnya hutan memiliki nilai ekonomi dan non-ekonomi yang sangat besar untuk masa depan. Alhasil, anggapan bahwa hutan adalah kutukan bisa berubah menjadi hutan adalah berkah bagi daerah.

Saat krisis semakin di depan mata, Indonesia jelas harus melakukan lompatan besar. Dengan pembentukan BPDLH, kita berharap Indonesia bukan hanya berfokus untuk keluar dari pandemi Covid-19, melainkan juga fokus untuk keluar dari ancaman krisis iklim yang saat ini sedang melanda dunia. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Penulis: Delly Ferdian

Peneliti Madani Berkelanjutan Jakarta

Tulisan ini sudah dimuat di Harian Kotan edisi 22 September 2020.

Related Article

Perkembangan Peta Jalan NDC Indonesia

Perkembangan Peta Jalan NDC Indonesia

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Komitmen ini telah tertuang dalam Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan tindak lanjut Paris Agreement yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Dalam penyampaian First Nationally Determined Contribution (NDC) disebutkan target penurunan emisi Indonesia hingga tahun 2030 sebesar 29% dari Bussiness as Usual (BAU) dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% dengan bantuan internasional.


Dalam NDC disebutkan bahwa penurunan emisi di Indonesia berfokus pada lima sektor yang berkontribusi dalam upaya penurunan emisi GRK dari BAU 2030 yaitu sektor energi, industri, kehutanan, pertanian dan limbah.


Saat ini Pemerintah telah menyusun Peta Jalan Nationally Determined Contribution (NDC). Peta jalan ini merupakan dokumen yang disusun bersama-sama oleh 6 Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca pada lima sektor tersebut. Peta jalan ini yang menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang berkontribusi mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca, serta pelaksanaan kebijakan, pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas.

Implementasi NDC juga memerlukan komitmen partisipasi aktif tidak hanya pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat umum, sesuai dengan Paris Agreement yang memberikan mandat perlunya partisipasi dan transparansi dalam mewujudkan target NDC.


Untuk itulah, Yayasan Madani Berkelanjutan pada 10 Maret 2020 mengadakan Workshop Perkembangan dan Peta Jalan NDC di Sektor Lahan dan Peluang Partisipasi Masyarakat Sipil dalam Mendukung Pencapaian Target Indonesia. Turut menjadi narasumber pada workshop ini adalah Ir. Medrilzam, M.Prof.Econ, Ph.D (Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas), Prof. Dr. Rizaldi Boer (Direktur Eksekutif CCROMSEAP-IPB) dan Eka Melisa (Climate and Development Policy Expert).


Ir. Medrilzam, M.Prof.Econ, Ph.D (Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas) menyampaikan bahwa dalam RPJMN 2020-2024 telah merefleksikan isu perubahan iklim. Bahkan pembangunan rendah karbon (Low Carbon Development/LCD) telah masuk dalam kerangka kerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.


Prof. Dr. Rizaldi Boer (Direktur Eksekutif CCROMSEAP-IPB) mengatakan perlunya pengawasan dari masyarakat sipil untuk memastikan berjalannya semua kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan penurunan emisi gas rumah kaca.


Implementasi NDC sendiri memerlukan partisipasi aktif tidak hanya dari pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum.

Terkait dengan implementasi NDC, Eka Melisa (Climate and Development Policy Expert) menuturkan bahwa untuk berkontribusi dalam mencapai target NDC, ada beberapa elemen yang harus diperhatikan dalam implementasinya yakni sumber daya dan kapasitas, ketersediaan data dan perangkat, kebijakan langsung dan tidak langsung untuk memastikan terlaksananya kegiatan di sektor lain, target di sektor lahan atau sub sektor non lahan, target di sub nasional, peran non state actor, serta jurisdictional target.

Sementara itu, pada 23 Februari 2020, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama dengan KKI Warsi, 350.ID, Greenpeace, EcoNusa dan IESR mengirimkan surat masukan untuk Dokumen Update NDC kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK. Surat ini ditujukan kepada Tim Pengumpul Masukan Penyusunan Dokumen Update NDC.

Masukan ini adalah masukan masyarakat sipil terkait perencanaan dan implementasi NDC secara umum dan terhadap penyusunan dokumen Update NDC secara khusus. Dalam surat ini juga disampaikan, mengingat sangat terbatasnya organisasi masyarakat sipil yang diundang dan atau diberi informasi mengenai proses masukan kepada publik, maka perlu kiranya dilaksanakan konsultasi dan komunikasi publik yang melibatkan organisasi masyarakat sipil yang lebih luas sebelum dokumen Update NDC disampaikan kepada UNFCCC.

Surat Masukan untuk Dokumen Update NDC dapat dilihat di https://madaniberkelanjutan.id/masukan-cso-untuk-dokumen-update-ndc/

Materi Workshop Perkembangan dan Peta Jalan NDC di Sektor Lahan dan Peluang Partisipasi Masyarakat Sipil dalam Mendukung Pencapaian Target Indonesia dapat diunduh di bawah ini.

Related Article

PEMERINTAH INDONESIA SEDANG MENYIAPKAN LAPORAN NDC

PEMERINTAH INDONESIA SEDANG MENYIAPKAN LAPORAN NDC

Pemberitaan Media edisi Minggu IV Februari 2020 ini memuat tentang Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan laporan kondisi terkini terkait upaya penurunan emisi sebagai Nationally Determined Contribution atau NDC di Indonesia pada Maret 2020.

Pemerintah juga berharap akan memperoleh masukan dari para pemangku kepentingan tentang dokumen terkini NDC serta meningkatkan kepedulian dan pemahaman terhadap komitmen bersama dalam implementasi NDC.

Pemberitaan lain ada terkait dengan 6 isu utama Program KLHK yang disampaikan dalam Rapat KLHK bersama Komite II DPD.

Berita lain adalah terkait Penyerahan SK Perhutanan Sosial yang dilakukan oleh Presiden di Kabupaten Siak. Presiden menyerahkan SK Perhutanan Sosial untuk 39 SK Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan, serta 2 Hutan Adat pada 9 kabupaten dan 10 KPH Provinsi Riau.

Sementara itu, capaian Perhutanan Sosial hingga Februari 2020 mencapai 4,062 Juta Ha, dengan jumlah SK Izin/hak 6.464 SK bagi 821.371 Kepala Keluarga (KK). Untuk pengakuan dan penetapan hutan adat seluas 35.150 Ha yang tersebar dalam 65 Masyarakat hukum adat dengan 36.438 Kepala Keluarga dan Indikatif hutan adat seluas 915.004 Hektar terdapat di 22 provinsi dan 48 kabupaten.

Untuk pemberitaan media di Minggu IV Februari 2020 selengkapnya, silakan unduh materi yang tersedia di tautan di bahwa ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

Kebijakan Pemerintah Kunci Pencapaian Target NDC Indonesia

Kebijakan Pemerintah Kunci Pencapaian Target NDC Indonesia

Pekan ini, media menyorot pemberitaan terkait upaya terjal Indonesia mencapai target NDC. Dalam hal ini, Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen jika dilakukan bersama dengan pihak atau negara lain.

Nationally Determined Contribution (NDC) merupakan bagian penting dari Kesepakatan Paris yang berisi pernyataan komitmen negara para pihak melalui UNFCCC. Terkait dengan upaya pemerintah untuk mencapai target NDC, 6 kementerian diidentifikasi akan memiliki peran penting untuk berkolaborasi mencapai target tersebut. Keenam kementerian tersebut yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Setiap kementerian yang telah ditetapkan tersebut harus menentukan berapa besaran emisi yang bisa mereka kurangi, kemudian mengikatnya dalam bentuk regulasi. Regulasi tersebut nantinya akan sepenuhnya dikembalikan kepada pemerintah, baik berupa Peraturan Menteri (Permen) atau Peraturan Presiden serta bersifat lintas sektoral.

Sebagai contoh penurunan emisi di sektor kehutanan jika merujuk pada undang-undang terdapat tingkatan level nasional dan subnasional. Jika pemerintah hanya mengatur pengurangan emisi di tingkat nasional maka hutan yang dikelola oleh subnasional akan terabaikan dari target pengurangan emisi tersebut. Selain itu, upaya penurunan emisi di tingkat provinsi juga harus diikat dengan peraturan. Jika tidak target pengurangan emisi Indonesia tidak akan tercapai.

Bukan hanya itu, Luluk’s Update juga menemukan pemberitaan terkait dengan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur (Kaltim).

Dalam berita yang ditemukan, penetapan Kaltim sebagai lokasi Ibu Kota Negara (IKN) belum matang sehingga perlu pengkajian mendalam karena IKN membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Jika membangun dengan penebangan hutan secara masif, maka akan menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca di area Kecamatam Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara yang ditetapkan sebagai wilayah IKN.

Hal ini tentu sangat mempengaruhi Penjam Paser Utara yang selama ini merupakan wilayah terbuka dengan stok karbon rendah. Artinya jika dibangun di wilayah tersebut tidak akan berpengaruh signifikan kecuali jika pelaksanaannya membabat hutan primer dan sekunder.

Ingin tahu lebih dalam pemberitaan yang disajikan Luluk’s Update, sobat sekalian dapat mengunduh materi yang sudah disediakan. Semoga Bermanfaat ya.

Related Article

en_USEN_US