Madani

Tentang Kami

5 Hal yang Membuat Nationally Determined Contribution atau NDC Menjadi Bagian Penting dalam Upaya Mengatasi Perubahan Iklim

5 Hal yang Membuat Nationally Determined Contribution atau NDC Menjadi Bagian Penting dalam Upaya Mengatasi Perubahan Iklim

Nationally Determined Contributions atau NDC adalah komponen kunci dalam Kesepakatan Iklim Paris 2015 yang berfokus pada komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengatasi perubahan iklim. NDC memainkan peran penting dalam mengatasi perubahan iklim karena menentukan tujuan dan tindakan konkret yang harus diambil oleh negara-negara untuk memenuhi tujuan global mengurangi pemanasan dunia di bawah 2 derajat Celcius.

NDC bukan hanya tentang komitmen nasional, tetapi juga merupakan elemen penting dari kerangka kerja global untuk mitigasi dan adaptasi iklim. Dengan NDC, Perjanjian Paris menciptakan platform bagi negara-negara untuk berkolaborasi, bertukar ide, dan mencari solusi inovatif untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

BACA JUGA: Rekomendasi Sektoral untuk Peningkatan Ambisi Iklim Indonesia dalam Rangka Penyusunan Dokumen Second Nationally Determined Contributions (SNDC)

Melalui komitmen ini, negara-negara di dunia secara kolektif bekerja menuju tujuan bersama, sambil mempertimbangkan konteks nasional masing-masing. Dengan peningkatan ambisi dalam setiap periode pelaporan, NDC diharapkan akan mendorong negara-negara untuk terus maju dalam mengatasi perubahan iklim dan dampaknya.

Ada 5 hal yang membuat NDC menjadi bagian penting dalam upaya mengatasi perubahan iklim global:

1. Menjadi Penggerak Aksi Global

NDC memungkinkan negara-negara menetapkan tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) berdasarkan konteks nasional mereka. Dengan cara ini, NDC menciptakan platform di mana setiap negara berkontribusi dalam upaya global untuk membatasi pemanasan dunia di bawah 2 derajat Celsius. Fleksibilitas ini penting untuk memastikan bahwa negara-negara dengan tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda dapat berpartisipasi sesuai kemampuan mereka.

2. Memperkuat Transparansi dan Akuntabilitas

NDC mendorong transparansi karena Kesepakatan Paris mengharuskan negara-negara untuk melaporkan kemajuan mereka secara berkala. Dengan mekanisme pelaporan yang jelas, komunitas internasional dapat mengevaluasi sejauh mana negara-negara mematuhi komitmen mereka. Akuntabilitas ini mendorong negara-negara untuk tetap pada jalur yang benar dalam mencapai tujuan pengurangan emisi mereka.

BACA JUGA: Opsi Implementasi NDC Sektor Kehutanan 2021-2030

3. Mendorong Peningkatan Ambisi Melawan Perubahan Iklim

Karena NDC bersifat dinamis, negara-negara memiliki kesempatan untuk meninjau dan meningkatkan komitmen mereka setiap lima tahun. Proses ini memungkinkan negara-negara untuk menyesuaikan tujuan mereka berdasarkan perubahan dalam teknologi, kebijakan, dan kondisi global. Kemampuan untuk memperbarui NDC secara berkala menciptakan peluang untuk memperkuat ambisi global dalam mengatasi perubahan iklim.

4. Menyediakan Kerangka Kerjasama Internasional

NDC menjadi landasan bagi kerjasama internasional dalam menghadapi perubahan iklim. Kesepakatan Paris mendorong pertukaran informasi dan kolaborasi antarnegara, yang dapat memfasilitasi transfer teknologi, sumber daya, dan pengetahuan. Ini sangat penting bagi negara-negara berkembang yang mungkin menghadapi keterbatasan dalam mengimplementasikan tindakan iklim yang ambisius.

5. Menunjukkan Komitmen Politik

NDC mencerminkan komitmen politik negara-negara terhadap tindakan iklim. Dengan memiliki NDC yang jelas dan transparan, negara-negara menunjukkan kepada komunitas internasional bahwa mereka serius dalam mengatasi perubahan iklim. Komitmen politik ini penting untuk mendorong tindakan dan investasi yang diperlukan untuk mengurangi emisi dan beralih ke ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Saat ini, pemerintah Indonesia sedang berproses menyusun Second NDC. Dokumen ini dijanjikan akan selaras dengan upaya global menahan kenaikan suhu bumi di tingkat 1,5 derajat Celcius di akhir abad ke-21.

BACA JUGA: Lembar Fakta FOLU Net Sink 2030

Dalam Second NDC, komitmen baru akan diberlakukan untuk pencapaian target pengurangan emisi GRK dengan kemampuan sendiri (unconditional) dan dengan dukungan internasional (conditional) pada tahun 2031 sampai 2035. Indonesia juga akan memutakhirkan kerangka transparansi yang mencakup Sistem Registri Nasional (SRN) dan MRV (measurement, reporting and verification).

Mengingat makin parahnya dampak krisis iklim terhadap kehidupan rakyat Indonesia, target-target serta kebijakan mitigasi dan perubahan iklim dalam Second NDC diharapkan lebih ambisius dibandingkan sebelumnya. Dari sisi proses, penyusunan Second NDC harus dibuat lebih terbuka dan partisipatif, termasuk dengan partisipasi bermakna kelompok rentan, termasuk kelompok perempuan, masyarakat adat dan lokal, petani kecil, nelayan tradisional, serta penyandang disabilitas.

Related Article

CRISES ON THE GROUND BECOMING MORE EVIDENT, INDONESIA’S ENHANCED CLIMATE AMBITION REQUIRES MORE INCLUSIVE PUBLIC PARTICIPATION MECHANISM

CRISES ON THE GROUND BECOMING MORE EVIDENT, INDONESIA’S ENHANCED CLIMATE AMBITION REQUIRES MORE INCLUSIVE PUBLIC PARTICIPATION MECHANISM

Jakarta, 29 September 2022. A civil society coalition, consisting of Yayasan Madani Berkelanjutan, Kemitraan, WALHI, Yayasan PIKUL, and IESR, welcomes the Government of Indonesia’s decision to enhance the country’s Greenhouse Gas Emissions reduction target by 2030 from 29% to 31.89% with its own efforts and from 41% to 43.2% with international support. This enhancement reflects the Government of Indonesia’s earnestness in tackling global climate change. This enhancement should have been made with meaningful and inclusive public participation and taken into account various sectors, so that options for climate change mitigation and adaptation actions in Indonesia are effective and do not cause adverse impacts on vulnerable groups.

Crises faced by the Indonesian people due to climate change are becoming more evident. Some adaptation and mitigation options may worsen the adaptive capacity of ecosystems and communities if carried out recklessly without full consideration of social and environmental impacts.

In the city of Kupang, East Nusa Tenggara, the construction of breakwater infrastructure as an option to tackle climate change has undermined the needs of traditional fisherfolk communities. In Malaka District, East Nusa Tenggara, flood prevention infrastructure has increased communities’ vulnerability to floods. In Pekalongan, Central Java, an embankment built to prevent seawater from flooding the land has blocked the flow of nutritions, hindering the growth of mangroves.

Pulau Obi in North Maluku is a 2,500 km2 island and currently bears 19 nickel mining concessions, some of which are intended to fulfill the demand of electric vehicles. Mining and smelting activities there also rely on coal power plants, which are emission intensive.

“The main subjects in actions to combat climate change are people and ecosystems, which cannot be separated from one another. Climate change actions must be balanced, and in the context of Indonesia, adaptation must be given the same or even a greater portion than mitigation. Both central and regional governments must involve communities’ participation and identify their needs when choosing and carrying out climate change mitigation and adaptation actions,” said Dewi Rizki, Program Director of Kemitraan. 

The Climate Justice Coalition highlights Indonesia’s enhancement of climate ambition in the forestry and land use (FOLU) and energy sectors, which contribute the biggest emissions reduction in Enhanced NDC.

“This enhancement in climate ambition deserves appreciation, especially due to the amount of funds and multi-stakeholder collaboration required to achieve it,” said Nadia Hadad. “But this target could have been made more ambitious considering that Indonesia has decided to pursue a greater target of Indonesia FOLU Net Sink by 2030,” added Nadia Hadad, the Executive Director of Yayasan Madani Berkelanjutan.

In Enhanced NDC, total deforestation in 2020-2030 under the own-efforts scenario increases to 359 thousand ha per year, higher than the previous target of 325 thousand ha per year as stipulated in the First NDC Indonesia of 2016 and the Updated NDC Indonesia of 2021, even though Indonesia has consecutively reduced deforestation in the last 4 years.

In the energy sector, the Coalition appreciates the raising of emissions reduction target to 44 MTCO2e, a 14% increase from the Updated NDC. Unfortunately, the increase has yet to be made aligned with the global target of preventing temperature rise below 2°C/1,5°C.

“Emissions reduction in the energy sector can be further improved with a target of renewable energy blending of 42% by 2030,” explained Fabby Tumiwa, the Executive Director of IESR. “Further emissions reduction can be achieved with the early retirement of coal power plants—a target that remains to be included in Indonesia’s NDC emissions reduction calculation.”

With regard to climate adaptation, actions must be made aligned with development and prevent the worsening of conditions or maladaptation.

“Even though NDC has mentioned cross-sectoral integration, at a national level, coordination and collaboration between sectors remain a big challenge because many development initiatives that are eco-friendly tend to collide with the non-eco-friendly ones, adversely affecting the safety of peoples,” said Torry Kuswardono, the Director of Yayasan PIKUL.

The Coalition highlights the lack of public consultation and participation, especially from civil society organizations and Indigenous Peoples or customary communities in the formulation of Enhanced NDC even though they are the ones that are in the frontline of and are directly impacted by climate change. The Paris Agreement has affirmed the importance of public participation and public’s access to information as well as the involvement of all actors in all processes to tackle climate change, including when planning NDCs. The formulation and implementation of NDC should be based on the “no-one-left-behind” principle, both in climate change actions and efforts to achieve sustainable development goals. Therefore, strengthening the mechanisms for meaningful consultation and involvement of all stakeholders is an absolute necessity, both in drafting and implementing NDC.

“Only by having a meaningful public participation mechanism can Indonesia truly claim that actions listed in NDC are able to save the Indonesian people from the climate crisis that is already occurring and will be increasingly felt,” said Hadi Jatmiko, Head of Campaign Division of National WALHI.

***

Contact persons:

  1. Nadia Hadad, Executive Director, Yayasan Madani Berkelanjutan, Ph. 0811 132 081

  2. Hadi Jatmiko, Head of Campaign Division of National WALHI, Ph. 0813 1006 8838  

  3. Fabby Tumiwa, Executive Director, IESR, Ph. 0811-949-759

  4. Torry Kuswardono, Executive Director, Yayasan PIKUL, Ph. 0811 383 270

  5. Dewi Rizki, Program Director, Sustainable Governance Strategic, Ph. 0811-8453-112

Notes to Editor:

  1. In Enhanced NDC, the emissions reduction target in the Forestry and Land Use (FOLU) sector that must be achieved with Indonesia’s own efforts increased by 0.6% or 3 MTCO2e from 497 MTCO2e  in Updated NDC to 500 MTCO2e. Meanwhile, the emissions reduction target that will be met if there is international support increased by 5.35% or 37 MTCO2e from 692 MCO2e to 729 MTCO2e.

  2. According to a study by IESR and University of Maryland (2022), to align emissions reduction with 1.5C pathways, Indonesia needs to retire 9.2 GW of coal-fired power plants by 2030. Unfortunately, in NDC, early retirement of coal-fired power plants is not yet taken into account in the calculation of emissions reduction. 

  3. The Coalition recommends the following to be taken into consideration by the government:

    1. Protect the remaining unprotected secondary natural forests by including them in the Indicative Map of Prohibition of New Permits Issuance; 

    2. Limit Forest Utilization Business Permit in natural forests only for restorative activities such as environmental services and ecosystems restoration;

    3. Accelerate the realization of Social Forestry targets – especially customary forests – and strengthen assistance to communities to enable the program to contribute to reducing emissions, protecting essential ecosystems, and increasing communities’ resilience to climate change impacts.

    4. Affirm co-firing as a mitigation action in Enhanced NDC only as a short-term emissions reduction strategy while retiring coal-fired power plants even earlier;

    5. Co-firing with biomass must take into consideration the following aspects: the economic viability of the cost of biomass fuel and prevention of increased emissions in the land sector. The utilization of co-firing with biomass cannot justify the extension of coal-fired power plants;

    6. Prioritize adaptation actions in every climate change intervention;

    7. Operationalize Climate-Resilient Development Plan to the regional and local level so that it can be implemented through the Regional Development Plan and the Regional Budget;

    8. Ensure public participation in the formulation of Regional Action Plan on Climate Change Adaptation or RAD-API to push for participatory adaptation actions that fulfill the justice aspect in handling the impacts caused.

  4. Further information regarding examples of maladaptation and mitigation options that cause adverse social and environmental impacts can be found below:: 

    1. Kupang, NTT: https://pikul.id/maladaptasi-dan-adaptasi-efektif-di-ntt/

    2. Malaka District, NTT: see report by Herman Seran, “Sungai Adalah Sahabat, Banjir Adalah Rejeki: Temuan Studi Survei Etnografis Dataran Banjir Benenai Wesiku-Wehali,” 2021. 

    3. Pekalongan, Central Java: https://www.kemitraan.or.id/program-tiap-provinsi/adaptation-fund-project-pekalongan

    4. Pulau Obi, North Maluku: https://www.walhi.or.id/berebut-ruang-dengan-investasi

Related Article

KRISIS DI TINGKAT TAPAK SEMAKIN NYATA, PENGUATAN AMBISI IKLIM INDONESIA HARUS DIBARENGI MEKANISME PARTISIPASI PUBLIK YANG LEBIH INKLUSIF

KRISIS DI TINGKAT TAPAK SEMAKIN NYATA, PENGUATAN AMBISI IKLIM INDONESIA HARUS DIBARENGI MEKANISME PARTISIPASI PUBLIK YANG LEBIH INKLUSIF

Jakarta, 29 September 2022. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Yayasan Madani Berkelanjutan, Kemitraan, WALHI, Yayasan PIKUL, dan IESR menyambut baik keputusan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca pada 2030 dari 29% menjadi 31,89% dengan upaya sendiri dan dari 41% menjadi 43,2% dengan bantuan internasional. Peningkatan target ini cukup menunjukkan keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim global. Penguatan tersebut seharusnya disertai mekanisme partisipasi publik yang bermakna dan inklusif serta memperhatikan berbagai sektor agar pilihan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia benar-benar berjalan efektif dan tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk bagi kelompok rentan. 

Krisis yang dihadapi masyarakat Indonesia akibat perubahan iklim semakin nyata. Berbagai pilihan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ternyata sebagian malah memperburuk kapasitas adaptif ekosistem dan masyarakat serta apabila dilakukan secara membabi buta seringkali melupakan dampak sosial dan lingkungan. 

Di Kota Kupang, NTT, misalnya, pembangunan infrastruktur penahan gelombang sebagai pilihan aksi perubahan iklim mengabaikan kebutuhan nelayan tradisional. Di Kabupaten Malaka, NTT, infrastruktur pencegah banjir justru meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap banjir. Di Pekalongan, Jawa Tengah, tanggul yang dibangun untuk menahan air laut justru menghambat aliran nutrisi sehingga mangrove tidak bisa berkembang dengan baik.

Pulau Obi, Maluku Utara, yang luasnya hanya 2500 km persegi telah dibebani 19 izin pertambangan nikel, yang sebagiannya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik. Pertambangan dan smelter pun masih tergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menghasilkan banyak emisi.

“Subyek utama dari aksi penanggulangan perubahan iklim adalah manusia dan ekosistem yang sebetulnya tidak terpisahkan. Intervensi aksi perubahan iklim harus seimbang dan dalam konteks Indonesia, aksi adaptasi seharusnya mendapatkan porsi yang setara atau lebih besar daripada mitigasi. Selain itu, pemerintah pusat maupun daerah harus melibatkan aksi partisipatif masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan yang perlu dipenuhi dalam melakukan pilihan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” ujar Dewi Rizki, Direktur Program Kemitraan. 

Koalisi Keadilan Iklim menyoroti penguatan ambisi iklim Indonesia di sektor hutan dan lahan (FOLU) serta energi yang saat ini menjadi penyumbang utama pengurangan emisi dalam Enhanced NDC. 

“Peningkatan target pengurangan emisi ini patut diapresiasi, terutama karena besarnya dana dan kolaborasi multi pihak yang dibutuhkan untuk mencapainya,” ujar Nadia Hadad. “Namun, ambisi ini dapat lebih ambisius mengingat target Indonesia dalam FOLU Net Sink 2030 jauh lebih besar. Target ini semestinya diadopsi ke dalam NDC selanjutnya,” tambah Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dalam Enhanced NDC, angka deforestasi total periode 2020-2030 dalam skenario upaya sendiri justru meningkat menjadi 359 ribu ha per tahun, lebih tinggi dibandingkan total deforestasi dalam First NDC Indonesia 2016 dan Updated NDC 2021 sebesar 325 ribu ha. Padahal, Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat deforestasinya selama 4 tahun berturut-turut. 

Di sektor energi, Koalisi mengapresiasi peningkatan penurunan emisi yang lebih tinggi dari sektor energi yakni 44 MtCO2e atau naik 14% dari target di Updated NDC. Hanya, disayangkan, kenaikan tersebut  masih belum selaras dengan upaya yang dibutuhkan untuk memastikan pemenuhan target global menahan kenaikan temperatur di bawah 2°C/1,5°C.

“Penurunan emisi dari sektor energi masih dapat ditingkatkan lagi apabila ada kenaikan target bauran energi terbarukan menjadi 42% di 2030,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. “Penurunan emisi yang lebih tinggi juga bisa didapatkan dengan memasukkan pensiun dini PLTU serta akselerasi penggunaan kendaraan listrik, serta penerapan efisiensi energi dari bangunan serta industri, hal yang saat ini belum dimasukkan dalam perhitungan penurunan emisi di NDC.” 

Berkaitan dengan adaptasi, seharusnya aksi adaptasi sejalan dengan agenda pembangunan dan tidak boleh menyebabkan sesuatu yang lebih buruk atau maladaptasi. 

“Meskipun NDC telah menyebutkan integrasi lintas-sektor, pada aras implementasi di tingkat nasional, koordinasi dan kolaborasi antar sektor masih menjadi pertanyaan besar mengingat aksi-aksi pembangunan yang bernuansa iklim maupun tidak bernuansa iklim masih saling berbenturan dan berdampak negatif bagi keselamatan warga,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL. 

Koalisi menyoroti minimnya konsultasi dan partisipasi publik, terutama masyarakat sipil dan masyarakat adat dalam penyusunan Enhanced NDC. Padahal, masyarakat adalah kelompok terdepan dan langsung terdampak perubahan iklim. Selain itu, Persetujuan Paris mengafirmasi pentingnya partisipasi publik dan akses publik terhadap informasi serta pelibatan seluruh aktor dalam seluruh proses penanganan perubahan iklim, termasuk penyusunan NDC. Penyusunan dan implementasi NDC seharusnya didasari semangat “no one left behind” dalam penanganan perubahan iklim dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Penguatan mekanisme konsultasi dan pelibatan yang bermakna bagi seluruh pihak dalam proses penyusunan maupun implementasi NDC adalah hal yang mutlak. 

“Hanya dengan memiliki mekanisme partisipasi publik yang bermakna, Indonesia dapat benar-benar menyatakan aksi yang ada di dalam NDC mampu menyelamatkan rakyat Indonesia dari krisis iklim yang telah terjadi dan akan semakin dirasakan saat ini,” tutup Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional.

***

Narahubung:

  1. Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081

  2. Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional, HP 0813 1006 8838  

  3. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, HP 0811-949-759

  4. Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, HP 0811 383 270

  5. Dewi Rizki, Direktur Program Sustainable Governance Strategic, HP 0811-8453-112

Catatan untuk editor:

  1. Dalam Enhanced NDC, target penurunan emisi di sektor Kehutanan dan Lahan atau FOLU yang akan dicapai secara mandiri naik 0,6% dari Updated NDC atau sebesar 3 MtonCO2e dari 497 MtonCO2e menjadi 500 MtonCO2e. Sementara itu, target pengurangan emisi dengan dukungan internasional meningkat 5,35% atau 37 MtonCO2e hingga menjadi 729 MtonCO2e dari sebelumnya 692 MtonCO2e. 

  2. Menurut kajian IESR bersama Universitas Maryland (2022), agar penurunan emisi selaras dengan jalur 1,5°C, maka pada 2030 harus dipensiunkan 9,2 GW PLTU. Sayangnya, dalam NDC ini, aksi pensiun dini PLTU masih belum dimasukkan dalam perhitungan penurunan emisi.

  3. Koalisi merekomendasikan beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah:

    1. Melindungi hutan alam sekunder yang masih baik dan belum terlindungi ke dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru

    2. Membatasi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan di hutan alam hanya untuk kegiatan yang bersifat restoratif seperti jasa lingkungan dan restorasi ekosistem

    3. Mempercepat realisasi target Perhutanan Sosial – terutama hutan adat – dan memperkuat pendampingan masyarakat agar dapat berkontribusi mengurangi emisi, melindungi ekosistem esensial dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.

    4. Mempertegas keberadaan cofiring dalam  aksi mitigasi Enhanced NDC hanya sebagai strategi pengurangan emisi jangka pendek sembari menunggu PLTU dipensiunkan, bahkan lebih awal. 

    5. Co-firing biomassa perlu mempertimbangkan beberapa hal seperti keekonomian dari biaya bahan bakar biomassa, dan juga aspek keberlanjutan dari penyediaan bahan bakar biomassa, agar tidak sampai punya dampak pada penambahan emisi di sektor lahan. Penggunaan co-firing biomassa juga tidak boleh jadi justifikasi perpanjangan umur PLTU dari umur yang ada saat ini.

    6. Mengutamakan aksi adaptasi dalam setiap intervensi perubahan iklim.

    7. Menurunkan Rencana Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) sampai ke daerah agar bisa diimplementasikan melalui RPJMD dan didanai APBD

    8. Memastikan partisipasi publik dalam penyusunan Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim atau RAD-API untuk mendorong aksi adaptasi yang partisipatif dan memenuhi aspek keadilan dalam penanganan dampak yang ditimbulkan. 

  4. Informasi lebih lanjut terkait contoh maladaptasi dan pemilihan aksi mitigasi yang berdampak terhadap sosial dan lingkungan: 

    1. Kota Kupang, NTT: https://pikul.id/maladaptasi-dan-adaptasi-efektif-di-ntt/

    2. Kabupaten Malaka, NTT: lihat laporan Herman Seran, “Sungai Adalah Sahabat, Banjir Adalah Rejeki: Temuan Studi Survei Etnografis Dataran Banjir Benenai Wesiku-Wehali,” 2021. 

    3. Pekalongan, Jateng: https://www.kemitraan.or.id/program-tiap-provinsi/adaptation-fund-project-pekalongan

    4. Pulau Obi, Maluku Utara: https://www.walhi.or.id/berebut-ruang-dengan-investasi

Related Article

AKSI PERUBAHAN IKLIM MUSTAHIL TANPA KEADILAN DAN PARTISIPASI PUBLIK YANG BERMAKNA

AKSI PERUBAHAN IKLIM MUSTAHIL TANPA KEADILAN DAN PARTISIPASI PUBLIK YANG BERMAKNA

Koalisi Keadilan Iklim

Penyusunan kebijakan iklim harus terbuka bagi partisipasi publik utamanya kelompok rentan, seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat. Selama ini mereka lebih banyak menanggung, menderita, dan menanggulangi kerusakan iklim dibanding para pengusaha yang menyebabkan kerusakan. Perlu Undang-undang Keadilan Iklim agar ketimpangan iklim tidak terus terjadi dan semakin buruk. 

 

JAKARTA, 4 Oktober 2022

Dampak perubahan iklim semakin dirasakan dan dialami sebagian besar masyarakat. Salah satunya adalah krisis pangan. Pasalnya, kelompok rentan seperti petani, masyarakat adat, dan nelayan jumlahnya terus menyusut, seiring semakin sulitnya kehidupan mereka akibat krisis iklim. Sebagai yang paling terdampak perubahan iklim, suara masyarakat rentan sangat strategis untuk didengar dalam perumusan berbagai kebijakan adaptasi dan mitigasi. Tapi malangnya, saat ini, ruang partisipasi publik justru kian menyusut. Alhasil, keadilan iklim pun sulit terwujud.

Dua dari contoh bencana iklim ini adalah tenggelamnya desa karena banjir, serta makin sulitnya nelayan melaut. Menurut Parid Ridwanudin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI, di Demak, Jawa Tengah, 4 desa sudah tenggelam. Salah satunya Desa Bedono. Sedangkan nelayan, sepanjang 2010-2019, jumlahnya makin sedikit karena banyak yang tewas saat melaut. Jumlah nelayan berkurang 330 ribu. Pada 2010 jumlahnya ada 2,16 juta nelayan. Namun pada 2019 tinggal 1,83 juta orang.

Parid menjelaskan, nelayan terdampak langsung oleh iklim, sebab mereka melaut berdasar kondisi cuaca. Krisis iklim membuat mereka semakin sulit memprediksi cuaca. Akibatnya, waktu melaut pun sangat terbatas. Dalam setahun, mereka hanya melaut selama 180 hari. “Pada masa yang akan datang kita akan mengalami krisis pangan laut,” ujar Parid, dalam acara Bedah Dokumen dan Diskusi: “Menguak Elemen Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia”, Senin (3/10) di Jakarta.

Parid menilai, jika kondisi ini dibiarkan, lebih dari 12.000 desa pesisir, dan lebih dari 86 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam. Imbasnya, banyak masyarakat pesisir yang akan menjadi pengungsi karena bencana iklim (climate refugee), “lebih jauh, generasi yang hidup pada tahun 2050 akan menghadapi kenaikan air laut dan terancam krisis pangan,” kata dia.

Dalam acara ini, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono menyampaikan kuliah umum yang menyoroti perjuangan memasukkan elemen keadilan iklim dalam dokumen-dokumen internasional. “Sebuah perjalanan panjang,” kata Torry. Gerakan keadilan iklim ditandai beberapa milestone penting. Pada 1990, sebuah laporan berjudul “Green House Gangsters vs Climate Justice” yang diterbitkan Corps Watch, di San Francisco, menegaskan bahwa dampak lingkungan yang ditimbulkan perusahaan minyak terbukti jauh lebih berat menimpa kelompok miskin. Laporan ini menandai dimulainya gerakan yang menyoroti perlunya perspektif keadilan dan keberpihakan bagi kelompok rentan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Tonggak penting lain, Torry menjelaskan, adalah Durban Group on Climate Justice, yang dibentuk pada 2004. Gelombang gugatan masyarakat Nigeria terhadap perusahaan minyak Shell, pada 2000-2020, juga menjadi milestone yang menguatkan dorongan wacana keadilan iklim.

 “Climate Justice Now!” yang dideklarasikan Civil Society Forum di Denpasar, Bali, di tengah perhelatan COP13 pada tahun 2007, juga menjadi tonggak penting gerakan keadilan iklim.  Yang juga tak kalah penting adalah pidato ensiklik, surat kepada umat manusia, Paus Franciscus I bertajuk “Laudato Si – Care for Our Common Home”, pada tahun 2015.  Dalam pidato ini, Paus menggarisbawahi problem yang dihadapi umat manusia, yakni polusi, perubahan iklim, kelangkaan air, hilangnya biodiversitas, dan ketimpangan global. Laudato Si yang fenomenal ini juga menyoroti betapa penggunaan teknologi, sebagai alat untuk memanipulasi alam, telah memisahkan manusia dari lingkungan dan mengedepankan kepentingan ekonomi.

Keadilan iklim, karenanya, adalah adalah kritik atas pembangunan dan sekaligus upaya untuk memperkecil ketimpangan. Sebuah upaya yang tidak mudah dan terus bergerak. “Keadilan iklim, yang sejak empat dekade lalu banyak disuarakan aktivis di berbagai belahan dunia, akhirnya kini masuk dalam dokumen-dokumen resmi IPCC,” kata Torry.

Keadilan iklim tak boleh diabaikan jika dunia ingin sukses menahan laju perubahan iklim. Jika ketimpangan bisa dikikis, maka adaptasi dan mitigasi iklim bisa disinergikan. Bila keadilan iklim bisa dijalankan, maka masyarakatnya akan bisa beradaptasi. “Sebaliknya, jika adaptasi iklim bisa dilakukan, maka akan menghasilkan masyarakat yang adil,” kata Torry, yang meneliti dokumen IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) Assessment Report 6.

IPCC Assessment Report adalah laporan yang diterbitkan Panel Antarpemerintah di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mempelajari masalah perubahan iklim dari sisi ilmiah, teknis, dan sosial-ekonomi. Laporan kini sudah memasuki seri ke 6 yang dirilis pada akhir Februari tahun ini. Laporan setebal 3.675 halaman ini salah satunya memberikan panduan pentingnya memperluas partisipasi publik dalam menyusun kebijakan iklim, sehingga aksi dan mitigasi iklim dapat berdampak bagi semua.

Torry menjelaskan, keadilan iklim bisa terjadi jika pemerintah membuka partisipasi publik (rekognisi) dari kelompok rentan agar mereka bisa efektif beradaptasi dengan perubahan iklim dan mencegah maladaptasi. Partisipasi ini perlu dijamin oleh prosedur hukum untuk memberikan keadilan yang lebih bagi kelompok rentan. Pasalnya selama ini, mereka yang paling terkena dampak dari bencana iklim. “Pada prinsipnya yang paling menderita harus menerima manfaat lebih besar daripada manfaat yang diterima orang rata-rata supaya ketimpangan bisa ditangani,” ujarnya.

Bivitri Susanti, Pendiri dan Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum JENTERA menilai, partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan, terutama kelompok rentan perlu dibuka dengan luas dan bebas dari tekanan. “Perlu perubahan yang transformatif agar suara-suara kelompok rentan benar-benar ditampung dalam kebijakan,” ujarnya.

Selama ini, suara publik banyak diabaikan dalam pembuatan hukum atau kebijakan. Misal, di tingkat kebijakan soal kelapa sawit dan perpajakan, keputusan politik diambil oleh kelompok oligarki yang kental isinya dengan kepentingan mereka. Di tingkat perumusan undang-undang dan lembaga peradilan, oligarki sudah menutup rapat kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi. Hal ini terjadi pada proses UU Cipta Kerja yang problematik. Kemudian, yang terjadi belakangan adalah hakim yang konstitusi yang berinisiatif memperbaiki UU Cipta Kerja justru dicopot dari posisinya. Hal ini menegaskan bahwa partisipasi publik, juga suara kelompok rentan, tidak diakomodasi secara sungguh-sungguh dalam pembuatan kebijakan. Memang betul, Bivitri menegaskan, dalam banyak hal tak ada aturan dan prosedur yang dilanggar pemerintah. Partisipasi publik dibuka, tapi hanya sekadar formalitas dan permukaan. “Jadi, walaupun aturannya legal, namun belum tentu benar,” ujar Bivitri.

Siti Rakhma Mary Herwati, Tim Manajemen Pengetahuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, ketidakadilan iklim ini terbentuk karena ketimpangan kuasa dan adanya privilese bagi kalangan industri ekstraktif. Sedangkan imbasnya, ditanggung masyarakat kelompok rentan. Misalnya penggusuran, pencemaran udara, hingga kerusakan lingkungan.

Rakhma menjelaskan, banyak kasus Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditangani LBH berdampak besar pada kelompok rentan, di mana dalam proses rancangannya tidak melibatkan partisipasi publik. Misalnya, di kawasan pantai utara Jawa (Pantura) masyarakat sering ditimpa banjir, namun pembangunan infrastruktur jalan terus. Di Manado, reklamasi dilakukan tanpa mengajak bicara masyarakat. Sedangkan jika protes, malah dikriminalisasi. “Dalam kasus ini, banyak aspek HAM yang dilanggar. Misalnya hak informasi, hak rasa aman, serta hak atas air lingkungan dan pangan,” ujar Rakhma. Dia menilai, pemerintah malah anomali; menjadikan perubahan iklim sebagai isu strategis namun di sisi lain juga memberi jalan bagi industri ekstraktif yang menyebabkan naiknya Gas Rumah Kaca.

Menurut Parid, selama ini masyarakat yang menanggung langsung dampak buruk dari bencana iklim, justru menjadi kelompok yang paling tidak tahu-menahu proses kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kalau toh ada partisipasi publik, menurut Bivitri, dilakukan dengan teknokratis, yang hanya sekadar menggugurkan syarat-syarat teknis saja.

Parid menilai, publik perlu mendorong adanya Undang-undang Keadilan Iklim. Aturan ini diperlukan agar keadilan iklim menjadi isu penting dan genting yang perlu segera diwujudkan. Torry menilai, keadilan iklim juga merupakan isu pembangunan untuk memperkecil ketimpangan, dan bisa memberi manfaat bagi kalangan miskin dan kelompok rentan.

***

Catatan untuk editor:

Koalisi Keadilan Iklim adalah gerakan masyarakat sipil yang mendorong perlunya kebijakan terkait iklim dan lingkungan yang berkeadilan. Koalisi ini terdiri dari Yayasan Pikul, Yayasan Madani Berkelanjutan, Eksekutif Nasional WALHI, Kemitraan, dan Institute for Essential Services Reform (IESR).

Bagi yang belum sempat hadir atau ingin menyimak kembali diskusi bertajuk “Menguak Elemen Keadilan Iklim dalam Aksi Iklim Global dan Penerapannya di Indonesia”, dapat dilihat di https://youtu.be/YJACQufJMO0  atau di https://youtu.be/xyso4kQnGsE

Untuk paparan narasumber dapat diunduh di http://bit.ly/paparankeadilaniklim

Kontak narasumber:

Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, telp 0811 383 270

Bivitri Susanti, Pendiri dan Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum JENTERA, telp 0812-1041-593

Siti Rakhma Mary Herwati, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), telp 0812-2840-995

Parid Ridwanudin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI, telp 0812 3745 4623

Related Article

THE DEVELOPMENT OF NDC AND STRATEGIES TO CONTROL CLIMATE CHANGE

THE DEVELOPMENT OF NDC AND STRATEGIES TO CONTROL CLIMATE CHANGE

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ruandha Agung Sugardiman mengatakan bahwa pemerintah telah menyelesaikan pembaruan NDC Indonesia.

Dalam pembaruan NDC Indonesia tersebut, terdapat 4 pokok utama yang menjadi pembahasan. Pertama,  Indonesia tetap mempertahankan angka target penurunan emisi GRK sebesar 29 persen sampai dengan 41 persen pada tahun 2030, sesuai dan sejalan dengan hasil elaborasi dalam Road Map NDC Mitigasi. 

Kedua, update informasi sesuai dengan kondisi saat ini. Seperti  telah dimasukkan hal-hal yang berkaitan dengan Visi Misi Kabinet Indonesia Maju 2019.  Ketiga,  merupakan hal baru dalam NDC adalah penjelasan terhadap hal yang masih perlu informasi rinci, misalnya terkait elemen adaptasi dan sarana implementasi serta kerangka transparansi. 

Keempat, terdapat komitmen baru terkait oceans, wetland seperti mangrove, coral dan sebagainya yang biasa disebut blue carbon, serta pemukiman masyarakat dalam elemen adaptasi.

Saat ini, Indonesia tengah menyelesaikan strategi jangka panjang (Long Term Strategy/LTS) menjelang Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP) ke-26 di Glasgow, Inggris, November 2021. Sebelum digelarnya COP26 di Inggris, ada 3 skenario mitigasi perubahan iklim yakni, Extended NDC atau Curent Policy Scenario (CPOS) hanya pada sektor energi, Transition Scenario (TRNS), dan  Low Carbon Scenario Compatible (LCCP) dengan target Perjanjian Paris.

Related Article

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Sudah sepantasnya acungan jempol kita berikan kepada Pemerintah Indonesia yang telah berhasil berkontribusi di dunia internasional dalam usaha mengerem laju perubahan iklim. Kontribusi nyata Indonesia tersebut dibuktikan dengan penghargaan yang diterima Indonesia berupa dana kompensasi US$ 103,78 juta atau sekitar Rp 1,52 triliun dari Green Climate Fund (GCF) belum lama ini.


Dana kompensasi ini diberikan karena Indonesia telah berhasil mengurangi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Tercatat sepanjang periode 2014- 2020, laju deforestasi di Indonesia turun dari level 3,51 juta ton setara karbondioksida ke level 0,40 juta ton setara karbondioksida.


Pembuktian Indonesia dalam upaya memerangi dampak perubahan iklim atau yang lebih tepat disebut krisis iklim bukan hanya telah terealisasi dari dana internasional GCF, tapi juga sebelumnya Indonesia telah menerima dana perubahan iklim yang berasal dari pemerintah Norwegia sebesar sebesar Rp 840 miliar.


Keberhasilan Indonesia tersebut tentu patut kita banggakan. Pasalnya, di tengah pandemi yang masih menghantui serta krisis lingkungan dunia yang semakin mengkhawatirkan, Indonesia keluar dengan penghargaan atas pencapaian dalam upaya menekan dampak krisis iklim dunia.

Namun, sebagai bangsa yang bijak, alangkah baiknya pencapaian tersebut tidak lantas membuat kita cepat berpuas hati, karena agenda memerangi krisis iklim masih harus melalui jalan terjal yang panjang.

Terkait dengan agenda perlawanan terhadap krisis iklim dunia, Indonesia telah menetapkan target yang terbilang cukup baik. Target yang termanifestasikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), yakni dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dari business as usual (BAU) 2030 dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris atau Paris Agreement yang berisi pernyataan komitmen banyak negara dalam menghadapi perubahan iklim.

Menguji BPDLH

Setelah uang dalam jumlah besar masuk ke kantong pemerintah Indonesia, tentu menjadi wajar jika publik mulai bertanya-tanya mengenai alokasi penggunaan dana internasional tersebut.

Untuk menjawab beragam pertanyaan serta spekulasi yang akan muncul, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sebuah institusi khusus yang bertugas sebagai pengelolaan dana tersebut. Institusi tersebut bernama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau yang disingkat BPDLH.

BPDLH adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan hidup serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan pemulihan dan pelestarian lingkungan hidup. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal yang harus dilindungi.

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana yang berkait dengan kepentingan lingkungan seperti halnya dana internasional perubahan iklim, BPDLH tentu harus memiliki grand design yang sesuai dengan ambisi dan tantangan Indonesia di masa yang akan datang.

Sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang sedang terbatas. Situasi pandemi korona (Covid-19) pun menjadi ujian berat bagi BPDLH yang akan beroperasi tahun ini. Ujian tersebut harus dijawab dengan baik untuk menjaga kepercayaan dan reputasi di mata masyarakat dan dunia.

Dalam pengelolaan dana tersebut, ada beberapa pos penting yang dapat menjadi sasaran utama BPDLH. Pertama, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berbasis lingkungan. Sejalan dengan maksud dan tujuan dari pemulihan lingkungan, maka menyasar UMKM berbasis lingkungan adalah hal utama yang paling tepat. UMKM yang berbasis pada program Perhutanan Sosial adalah contoh terbaik untuk mendapatkan dukungan pendanaan hijau dari BPDLH.

Selain menyelamatkan lingkungan, menyalurkan dana pada sektor Perhutanan Sosial juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat yang kini sangat tertekan oleh pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.

Kedua, penanganan kerusakan lingkungan. Dalam penanganan kerusakan lingkungan, skema insentif dapat menjadi pilihan tepat. Lebih tepatnya, pemerintah dapat menyalurkan pendanaan pada kelompok masyarakat yang menjaga kelestarian lingkungan, hutan, dan alam serta kepada perusahaan yang tertib dalam penerapan aktivitas produksi sehingga menghilangkan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

Seperti halnya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kebiasaan perusahaan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar (slash and burn) harus dihentikan dengan skema insentif yang tepat. Skema tersebut dapat berupa dukungan pengadaan alat berat untuk membantu pembukaan lahan yang lebih ramah lingkungan.

Sedangkan kelompok masyarakat siaga api dapat diberikan dukungan berupa peralatan mitigasi serta pendanaan operasional. Skema insentif dapat dikatakan sebagai wujud terbaik dalam pencegahan terjadi karhutla di tanah air. Bukankah negeri ini ingin segera lepas dari ancaman karhutla yang mengintai setiap tahun.

Ketiga, reward atau penghargaan bagi daerah penjaga lingkungan. Selama ini ada anggapan yang berkembang bagi daerah tentang hutan yang sangat mengkhawatirkan, yakni hutan sama dengan kutukan. Keberadaan hutan disebut sebagai kutukan lantaran menjadi dilema dalam pembangunan. Daerah yang cenderung masih memiliki hutan yang lestari, seolah dituntut untuk tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Di sisi lain, tuntutan akan pembangunan begitu mendesak sehingga membuat pemerintah daerah (pemda) kesulitan untuk menggenjot perekonomian.

Dengan adanya penghargaan bagi daerah yang berprestasi dalam menjaga lingkungan khususnya hutan, daerah akan terbantu dari segi pendanaan untuk melakukan pembangunan. Penghargaan ini pun dengan sendirinya akan menjadi stimulus bagi daerah untuk lebih kreatif memanfaatkan keberadaan hutan dengan baik, karena pada dasarnya hutan memiliki nilai ekonomi dan non-ekonomi yang sangat besar untuk masa depan. Alhasil, anggapan bahwa hutan adalah kutukan bisa berubah menjadi hutan adalah berkah bagi daerah.

Saat krisis semakin di depan mata, Indonesia jelas harus melakukan lompatan besar. Dengan pembentukan BPDLH, kita berharap Indonesia bukan hanya berfokus untuk keluar dari pandemi Covid-19, melainkan juga fokus untuk keluar dari ancaman krisis iklim yang saat ini sedang melanda dunia. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Penulis: Delly Ferdian

Peneliti Madani Berkelanjutan Jakarta

Tulisan ini sudah dimuat di Harian Kotan edisi 22 September 2020.

Related Article

Perkembangan Peta Jalan NDC Indonesia

Perkembangan Peta Jalan NDC Indonesia

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Komitmen ini telah tertuang dalam Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan tindak lanjut Paris Agreement yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Dalam penyampaian First Nationally Determined Contribution (NDC) disebutkan target penurunan emisi Indonesia hingga tahun 2030 sebesar 29% dari Bussiness as Usual (BAU) dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% dengan bantuan internasional.


Dalam NDC disebutkan bahwa penurunan emisi di Indonesia berfokus pada lima sektor yang berkontribusi dalam upaya penurunan emisi GRK dari BAU 2030 yaitu sektor energi, industri, kehutanan, pertanian dan limbah.


Saat ini Pemerintah telah menyusun Peta Jalan Nationally Determined Contribution (NDC). Peta jalan ini merupakan dokumen yang disusun bersama-sama oleh 6 Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca pada lima sektor tersebut. Peta jalan ini yang menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang berkontribusi mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca, serta pelaksanaan kebijakan, pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas.

Implementasi NDC juga memerlukan komitmen partisipasi aktif tidak hanya pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat umum, sesuai dengan Paris Agreement yang memberikan mandat perlunya partisipasi dan transparansi dalam mewujudkan target NDC.


Untuk itulah, Yayasan Madani Berkelanjutan pada 10 Maret 2020 mengadakan Workshop Perkembangan dan Peta Jalan NDC di Sektor Lahan dan Peluang Partisipasi Masyarakat Sipil dalam Mendukung Pencapaian Target Indonesia. Turut menjadi narasumber pada workshop ini adalah Ir. Medrilzam, M.Prof.Econ, Ph.D (Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas), Prof. Dr. Rizaldi Boer (Direktur Eksekutif CCROMSEAP-IPB) dan Eka Melisa (Climate and Development Policy Expert).


Ir. Medrilzam, M.Prof.Econ, Ph.D (Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas) menyampaikan bahwa dalam RPJMN 2020-2024 telah merefleksikan isu perubahan iklim. Bahkan pembangunan rendah karbon (Low Carbon Development/LCD) telah masuk dalam kerangka kerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.


Prof. Dr. Rizaldi Boer (Direktur Eksekutif CCROMSEAP-IPB) mengatakan perlunya pengawasan dari masyarakat sipil untuk memastikan berjalannya semua kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan penurunan emisi gas rumah kaca.


Implementasi NDC sendiri memerlukan partisipasi aktif tidak hanya dari pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum.

Terkait dengan implementasi NDC, Eka Melisa (Climate and Development Policy Expert) menuturkan bahwa untuk berkontribusi dalam mencapai target NDC, ada beberapa elemen yang harus diperhatikan dalam implementasinya yakni sumber daya dan kapasitas, ketersediaan data dan perangkat, kebijakan langsung dan tidak langsung untuk memastikan terlaksananya kegiatan di sektor lain, target di sektor lahan atau sub sektor non lahan, target di sub nasional, peran non state actor, serta jurisdictional target.

Sementara itu, pada 23 Februari 2020, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama dengan KKI Warsi, 350.ID, Greenpeace, EcoNusa dan IESR mengirimkan surat masukan untuk Dokumen Update NDC kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK. Surat ini ditujukan kepada Tim Pengumpul Masukan Penyusunan Dokumen Update NDC.

Masukan ini adalah masukan masyarakat sipil terkait perencanaan dan implementasi NDC secara umum dan terhadap penyusunan dokumen Update NDC secara khusus. Dalam surat ini juga disampaikan, mengingat sangat terbatasnya organisasi masyarakat sipil yang diundang dan atau diberi informasi mengenai proses masukan kepada publik, maka perlu kiranya dilaksanakan konsultasi dan komunikasi publik yang melibatkan organisasi masyarakat sipil yang lebih luas sebelum dokumen Update NDC disampaikan kepada UNFCCC.

Surat Masukan untuk Dokumen Update NDC dapat dilihat di https://madaniberkelanjutan.id/masukan-cso-untuk-dokumen-update-ndc/

Materi Workshop Perkembangan dan Peta Jalan NDC di Sektor Lahan dan Peluang Partisipasi Masyarakat Sipil dalam Mendukung Pencapaian Target Indonesia dapat diunduh di bawah ini.

Related Article

PEMERINTAH INDONESIA SEDANG MENYIAPKAN LAPORAN NDC

PEMERINTAH INDONESIA SEDANG MENYIAPKAN LAPORAN NDC

Pemberitaan Media edisi Minggu IV Februari 2020 ini memuat tentang Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan laporan kondisi terkini terkait upaya penurunan emisi sebagai Nationally Determined Contribution atau NDC di Indonesia pada Maret 2020.

Pemerintah juga berharap akan memperoleh masukan dari para pemangku kepentingan tentang dokumen terkini NDC serta meningkatkan kepedulian dan pemahaman terhadap komitmen bersama dalam implementasi NDC.

Pemberitaan lain ada terkait dengan 6 isu utama Program KLHK yang disampaikan dalam Rapat KLHK bersama Komite II DPD.

Berita lain adalah terkait Penyerahan SK Perhutanan Sosial yang dilakukan oleh Presiden di Kabupaten Siak. Presiden menyerahkan SK Perhutanan Sosial untuk 39 SK Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan, serta 2 Hutan Adat pada 9 kabupaten dan 10 KPH Provinsi Riau.

Sementara itu, capaian Perhutanan Sosial hingga Februari 2020 mencapai 4,062 Juta Ha, dengan jumlah SK Izin/hak 6.464 SK bagi 821.371 Kepala Keluarga (KK). Untuk pengakuan dan penetapan hutan adat seluas 35.150 Ha yang tersebar dalam 65 Masyarakat hukum adat dengan 36.438 Kepala Keluarga dan Indikatif hutan adat seluas 915.004 Hektar terdapat di 22 provinsi dan 48 kabupaten.

Untuk pemberitaan media di Minggu IV Februari 2020 selengkapnya, silakan unduh materi yang tersedia di tautan di bahwa ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

Kebijakan Pemerintah Kunci Pencapaian Target NDC Indonesia

Kebijakan Pemerintah Kunci Pencapaian Target NDC Indonesia

Pekan ini, media menyorot pemberitaan terkait upaya terjal Indonesia mencapai target NDC. Dalam hal ini, Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen jika dilakukan bersama dengan pihak atau negara lain.

Nationally Determined Contribution (NDC) merupakan bagian penting dari Kesepakatan Paris yang berisi pernyataan komitmen negara para pihak melalui UNFCCC. Terkait dengan upaya pemerintah untuk mencapai target NDC, 6 kementerian diidentifikasi akan memiliki peran penting untuk berkolaborasi mencapai target tersebut. Keenam kementerian tersebut yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Setiap kementerian yang telah ditetapkan tersebut harus menentukan berapa besaran emisi yang bisa mereka kurangi, kemudian mengikatnya dalam bentuk regulasi. Regulasi tersebut nantinya akan sepenuhnya dikembalikan kepada pemerintah, baik berupa Peraturan Menteri (Permen) atau Peraturan Presiden serta bersifat lintas sektoral.

Sebagai contoh penurunan emisi di sektor kehutanan jika merujuk pada undang-undang terdapat tingkatan level nasional dan subnasional. Jika pemerintah hanya mengatur pengurangan emisi di tingkat nasional maka hutan yang dikelola oleh subnasional akan terabaikan dari target pengurangan emisi tersebut. Selain itu, upaya penurunan emisi di tingkat provinsi juga harus diikat dengan peraturan. Jika tidak target pengurangan emisi Indonesia tidak akan tercapai.

Bukan hanya itu, Luluk’s Update juga menemukan pemberitaan terkait dengan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur (Kaltim).

Dalam berita yang ditemukan, penetapan Kaltim sebagai lokasi Ibu Kota Negara (IKN) belum matang sehingga perlu pengkajian mendalam karena IKN membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Jika membangun dengan penebangan hutan secara masif, maka akan menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca di area Kecamatam Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara yang ditetapkan sebagai wilayah IKN.

Hal ini tentu sangat mempengaruhi Penjam Paser Utara yang selama ini merupakan wilayah terbuka dengan stok karbon rendah. Artinya jika dibangun di wilayah tersebut tidak akan berpengaruh signifikan kecuali jika pelaksanaannya membabat hutan primer dan sekunder.

Ingin tahu lebih dalam pemberitaan yang disajikan Luluk’s Update, sobat sekalian dapat mengunduh materi yang sudah disediakan. Semoga Bermanfaat ya.

Related Article

en_USEN_US