Madani

Tentang Kami

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM PPKM EXTENSION TO RIAU VICE GOVERNOR'S COMMITMENT TO PALM OIL MORATORIUM

ECONOMIC AND POLITICAL UPDATES: FROM PPKM EXTENSION TO RIAU VICE GOVERNOR'S COMMITMENT TO PALM OIL MORATORIUM

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (13 Juli 2021 – 19 Juli 2021), berikut cuplikannya: 

 
1. PPKM Darurat Diperpanjang, Anggaran PEN Naik Jadi Rp 744,75 T

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Penanganan Covid-19 di tengah pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat yang diperpanjang hingga akhir Juli 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, dana PEN dan penanganan Covid-19 dari sebelumnya Rp 699,43 triliun, naik menjadi Rp 744,75 triliun.

Secara rinci, pada dana perlindungan sosial naik dari Rp 153,86 triliun naik jadi Rp 187,84 triliun. Kemudian dana kesehatan naik dari Rp 193,93 triliun naik dari Rp 214,95 triliun. Kemudian untuk insentif usaha tetap sebesar Rp 62,83 triliun. Program Prioritas naik dari Rp 117,04 triliun menjadi Rp 117,94 triliun. Lalu kemudian Dukungan UMKM dan korporasi menjadi turun, dari Rp 171,77 triliun menjadi Rp 161,20 triliun.

2. Ekonomi Melambat, S&P Ingatkan Beban Utang RI

Economist Asia-Pacific S&P Global Ratings Vishrut Rana memperkirakan defisit pemerintah secara umum sebesar 6% dari PDB pada tahun 2021 sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang lebih lemah di tengah wabah virus yang parah. Proyeksi defisit APBN 6% dari PDB tersebut karena pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh 2,3% – 3,4% tahun ini. Adapun proyeksi defisit APBN 2021 dari S&P Global Ratings tersebut jauh dari target pemerintah yakni 5,7% dari PDB.

Vishrut mengungkapkan bahwa adanya pelebaran defisit APBN 2021 ini akan berdampak signifikan terhadap kerangka fiskal jangka menengah Indonesia, mengingat peringkat utang Indonesia saat ini berada pada level BBB/Negatif/A-2. Pemerintah pun diminta untuk hati-hati, karena pemulihan ekonomi yang berlarut-larut akan semakin memperburuk fiskal Indonesia keseluruhan, terutama beban utang Indonesia.

3. LSI: Kepuasan Warga Terhadap Kerja Jokowi Lawan Pandemi Turun

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi dalam menangani wabah virus corona (Covid-19) cenderung menurun dalam enam bulan terakhir. Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi memang masih cukup tinggi pada Juni 2021 dengan 59,6 persen. Namun, angka itu menurun dibandingkan Desember 2020 yang mencapai 68,9 persen.

Hal tersebut diketahui dari hasil survei yang dilakukan pihaknya pada 22-25 Juni 2021 terhadap 1.200 responden dari 34 provinsi. Survei dilakukan menggunakan metode simple random sampling dengan tingkat kesalahan sekitar 2,8 persen. Lebih lanjut, menurut Djayadi, tingkat ketidakpuasan masyarakat itu malah cenderung lebih besar terjadi di masyarakat yang daerahnya melaksanakan PPKM Darurat. Ia menyatakan, dari hasil survei, sebanyak 49,4 persen yang menyatakan tidak puas merupakan masyarakat DKI Jakarta. Berikutnya tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja Jokowi di Jawa Barat 43,7 persen; Jawa Tengah 40,9 persen; dan Sulawesi 44,7 persen.

4. Pengesahan RUU Otsus Papua

DPR resmi mengesahkan RUU Otsus Papua menjadi UU lewat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (15/7). Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait Revisi UU Otsus Papua Komarudin Watubun mengungkapkan tujuh hal penting yang diubah dalam UU tersebut. Adapun UU Otsus Papua hasil revisi ini, kata dia, telah mengubah atau merevisi 18 pasal yang terdiri dari 3 pasal usulan pemerintah, dan 15 pasal di luar usulan pemerintah. Di luar 18 pasal tersebut, Pansus dan pemerintah juga menyepakati adanya tambahan 2 pasal dalam RUU Otsus Papua. Dengan demikian, total pasal dalam RUU tersebut sejumlah 20 pasal.

Pertama, RUU ini mengakomodasi perlunya pengaturan kekhususan bagi Orang Asli Papua dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perekonomian serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat. Khususnya untuk masyarakat adat, pada Pasal 36 ayat (2) huruf (d) menegaskan bahwa sebesar 10 persen dari dana bagi hasil dialokasikan untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat.

Kedua, terkait dengan lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP. Dalam RUU ini, diklaim bakal memberikan kepastian hukum bahwa MRP dan DPRP berkedudukan di masing-masing ibu kota provinsi dan dengan memberikan penjelasan mengenai penamaan masing-masing lembaga.

Ketiga, terkait dengan partai politik lokal. RUU Otsus Papua menghapus dua ayat dalam Pasal 28 UU Otsus Papua. Pansus dan Pemerintah selama ini menilai Pasal 28 telah menimbulkan kesalahpahaman antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait partai politik lokal. Maka, agar tidak terjadi perbedaan pandangan, RUU ini mengadopsi Putusan MK Nomor 41/PUU-XVII/2019 dengan menghapus ketentuan pada ayat (1) dan (2) Pasal 28.

Keempat, terkait dengan Dana Otsus yang diubah dari 2 persen menjadi 2,25 persen. Kelima, hadirnya sebuah Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3). BK-P3 diketuai langsung oleh Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Bappenas, dan Menteri Keuangan, serta masing-masing perwakilan dari setiap provinsi yang ada di Papua.

Keenam, terkait dengan pemekaran provinsi di Papua. Pansus dan Pemerintah menyepakati bahwa pemekaran provinsi di Papua selain dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, juga dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Pemerintah dan DPR juga dapat melakukan pemekaran provinsi tersebut tanpa melalui tahapan daerah persiapan. Ketujuh, terkait dengan percepatan peraturan pelaksanaan dari UU Otsus Papua yang terbaru.

Beberapa pasal dalam revisi itu disebut sebagai pasal siluman, salah satunya oleh Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Christian Warunussy. Yan menyampaikan RUU Otsus Papua hanya berisi tiga pasal saat draf diserahkan ke DPR RI. Namun, ada 17 pasal baru yang ditambahkan ke revisi undang-undang tersebut sebelum disahkan. Selain itu, sebanyak 714.066 orang Papua dan 112 organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) diklaim menolak pengesahan Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 21 Tahun 2001 tersebut.

5. Komitmen Wagub Riau Terhadap Inpres Moratorium Sawit


Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution mengatakan tidak akan ada izin baru bagi pengusaha yang ingin membuka lahan perkebunan kelapa sawit di Riau. Dia mengatakan hal itu dilakukan sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi), tepatnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 mengatur soal penundaan dan evaluasi perizinan kebun kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.

Selain itu, Edy berharap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bisa memberi arah yang lebih jelas tentang perhutanan dan lahan. Terutama, katanya, untuk penyelesaian kasus terkait hutan yang sudah beralih menjadi kebun.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengaku sependapat dengan ucapan Edy Natar. Dia menilai Riau harus mendapat lebih dari perkebunan kelapa sawit seluas 4,170 juta hektare yang disebutnya terluas di Indonesia.

Related Article

JOB CREATION BILL, COVID-19, AND INDONESIA’S CLIMATE COMMITMENT

JOB CREATION BILL, COVID-19, AND INDONESIA’S CLIMATE COMMITMENT

Mau Ikut Jelajah Alam bersama Madani Berkelanjutan di Ujung Kulon? Gratis, Lho!

Madani Berkelanjutan mengajak orang-orang muda yang peduli terhadap lingkungan untuk ikut kegiatan jelajah alam bernama “Panggilan Alam 2023: Jelajah Alam, Apresiasi Hubungan Alam dengan Manusia” ke Taman Nasional Ujung Kulon pada 16-23 Juli 2023.

Selain gratis, para peserta juga tentunya bisa memperkaya pengetahuan tentang perubahan iklim, krisis iklim, dan hubungannya dengan masyarakat lokal LANGSUNG dari masyarakat Ujung Kulon. 

Peserta juga akan diajak berpetualang ke berbagai lokasi indah dan must-visit di Taman Nasional Ujung Kulon, termasuk pantai & hutan 😍 

Kegiatan ini bisa menjadi wadah untuk mengembangkan diri, memperluas relasi, dan membangun jiwa kepemimpinan. Tentunya, kalian juga akan menjadi bagian dari #SobatMadani yang dekat dengan kami! 

Yuk, daftarkan dirimu segera untuk ikut dalam “Panggilan Alam 2023: Jelajah Alam, Apresiasi Hubungan Alam dengan Manusia” dan mari jelajahi Ujung Kulon! Daftarkan dirimu sebelum 3 Juli 2023, ya!

Isi survey ini terlebih dahulu lalu daftarkan dirimu sekarang juga melalui https://forms.gle/sYSnoDx4oJpzXJEN7

“Saat ini, Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim.” Demikian pembukaan yang disampaikan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 yang diselenggarakan pada 15 Juni 2023.

“Saat ini, terdapat sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya,” terang Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memantik diskusi. “Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen,” kata Salma.

“Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan,” tambahnya. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma memaparkan bahwa, saat ini terdapat 16,6 juta ha hutan alam berada di area izin PBPH-HA (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Alam), 3,5 juta ha berada di area konsesi minerba, 3,1 juta ha berada di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha berada di area PBPH-HT (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Tanaman). Apabila hutan alam yang berada di dalam izin-izin tersebut tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit untuk mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menambahkan kekhawatirannya tentang tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. “Beberapa Pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar. Ini terjadi pada zaman Soeharto dan SBY. Di akhir era orde baru dan pemerintahan SBY terjadi pelepasan hutan sekitar 275 ribu ha (Orde Baru) dan sekitar 291 ribu ha (SBY) sesaat sebelum pergantian presiden,” tutur Mufti Barri. “Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik, kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

“Kami juga berharap Menteri LHK yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir,” tambah Mufti Bahri.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, bercerita tentang tanah adatnya seluas 32 ribu hektare yang digusur sebuah perusahaan. “Prosesnya dilakukan secara sepihak oleh Kepala Suku yang dibujuk, padahal masyarakat tidak menerima pemberitahuan apapun. Dan akan ada ancaman tenggelamnya wilayah Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime jika hutan di lembah tersebut habis. Dan kami lebih khawatir lagi jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pada pengusaha,” jelas Regina Bay.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, “Penegakkan hukum menjadi kunci untuk dapat mengimplementasikan safeguard meskipun standar safeguard yang ada di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan Presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan,” kata Yuyun Indradi.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, menyampaikan bahwa politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik sehingga penting adanya transparansi pendanaan yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dan juga calon anggota legislatif. “Kandidat calon Presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.” Selain itu, Ferdian Yazid mengingatkan bahwa para pemilih jangan mau terfragmentasi pada saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” tutupnya.

Related Article

Kebijakan Yayasan Madani Berkelanjutan terkait Pencegahan Penyebaran COVID-19

Kebijakan Yayasan Madani Berkelanjutan terkait Pencegahan Penyebaran COVID-19

Sehubungan dengan adanya Surat Edaran pemerintah tentang penyebaran COVID-19 dan imbauan pemerintah untuk bekerja dari rumah pada tanggal 15 Maret – 27 Maret 2020, berikut beberapa ketentuan yang telah diputuskan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan:

1.  Seluruh karyawan diharuskan bekerja dari rumah (bukan mengalihkan ke lokasi kerja ke coworking space atau café) terhitung sejak 16 Maret 2020 hingga 27 Maret 2020, atau sampai adanya pengumuman lebih lanjut.

2.  Mengatur kegiatan internal yang telah dijadwalkan untuk dilakukan secara virtual dan menyampaikan kepada jejaring mengenai kebijakan ini untuk melakukan penjadwalan ulang kegiatan.

3.Tetap mengaktifkan perangkat komunikasi  baik berupa whatsapp, telegram, skype maupun email dan berkoordiansi secara virtual

4.  Menunda menghadiri atau menyelenggarakan kegiatan dengan peserta dalam jumlah yang besar.

5.  Menunda melakukan perjalanan baik domestik maupun internasional terutama ke daerah yang terdampak.

6.  Bila ada karyawan yang  dikarenakan kebutuhan harus berada di kantor, maka disarankan menghindari menggunakan transportasi massal.

7.  Tetap menjaga imunitas tubuh dengan mengkonsumsi protein lebih banyak, mengkonsumsi buah dan sayur, istirahat yang cukup, rutin berolahraga dan memastikan kebutuhan air putih tercukupi

8.  Tetap tenang, tidak panik dan tetap produktif dengan meningkatkan kewaspadaan dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19.

9. Senantiasa menjaga kebersihan pribadi dan kebersihan kantor, mencuci tangan secara teratur dan menghindari berjabat tangan.

Jabat erat dan salam Indonesia Tangguh

Yayasan Madani Berkelanjutan

Related Article

Corona dan Krisis Iklim

Corona dan Krisis Iklim

Sesaat setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan bahwa ada dua orang warga negara Indonesia yang positif mengidap virus Korona (Covid-19), sesaat setelah itu pula masker pelindung wajah dalam hitungan detik ludes diborong warga yang panik. 

Saya rasa kita semua merasakan bahwa ada kepanikan dari masyarakat dalam menanggapi informasi dari orang nomor satu di negeri ini. Panic buying atau aksi berbelanja dengan penuh kepanikan yang menimpa masyarakat tentu bukan tak berdasar, karena wajar, ancaman virus korona yang begitu nyata seakan memposisikan masyarakat di titik krusial antara hidup dan mati, masyarakat benar-benar dibuat seolah seekor ikan kecil yang sedang dikejar-kejar predatornya. 

Faktanya, jumlah korban meninggal dunia akibat terinfeksi virus korona di seluruh dunia sampai Kamis (5/3), mencapai 3.254 orang dari 95.124 orang yang terinfeksi secara global, (CNN Indonesia, 5/3).

Rasa takut yang timbul dan menghantui membuat alam bawah sadar tergerak untuk langsung berlindung dari ancaman yang ada, hal ini jelas sangat manusiawi. Rasa takut tersebut tentu bukan hanya dapat terjadi karena virus belaka, rasa takut tersebut juga sama halnya ketika manusia dihadapkan dengan ancaman teror seperti peperangan atau juga terorisme yang ancamannya ada di depan mata. Sebagai manusia secara alami seseorang akan segera berlindung dari risiko terburuk yakni kematian.

Ancaman Krisis Iklim

Lain halnya dengan ancaman yang diberikan oleh bencana, salah satunya krisis iklim dunia. Jika dibandingkan antara fenomena ancaman virus korona maupun teror lainnya dengan ancaman krisis iklim yang kini juga sedang terjadi, maka dapat disimpulkan bahwa kekhawatiran masyarakat terhadap krisis iklim jauh lebih kecil.

Sah-sah saja jika banyak pihak menyimpulkan bahwa masyarakat khususnya para pemangku kepentingan telah abai terhadap ancaman nyata krisis iklim karena tidak menanggapinya dengan pro-aktif. Padahal sudah diketahui bahwa krisis iklim memiliki daya ledak yang jauh lebih parah dibandingkan dengan ancaman-ancaman lainnya. Namun perbedaannya, krisis iklim tidak dengan secara langsung atau terlihat secara kasat mata memberikan dampak teror atau membunuh kepada manusia. 

Terpikir di benak saya, apakah perlu krisis iklim dibuat layaknya sebuah teror agar masyarakat dan semua pihak sadar bahwa ancaman ini adalah benar-benar nyata dan mengkhawatirkan bagi masa depan.

Krisis Iklim dan Kesehatan

Kabar yang paling mengejutkan lagi, ternyata ada hubungannya antara krisis iklim yang terjadi di dunia dengan perkembangan virus-virus yang selama ini menjadi momok menakutkan. Pakar Virologi yang juga spesialis mikrobiologi RS Universitas Indonesia, Fera Ibrahim mengemukakan bahwa beberapa faktor krisis iklim berperan dalam perkembangan dan penyebaran wabah virus. 

Kerusakan ekosistem hewan akibat aktivitas manusia, telah meningkatkan dampak buruk lingkungan sehingga membuat perkembangan virus semakin pesat. Faktanya penyakit yang menular dari hewan ke manusia atau yang dikenal dengan Zoonosis meningkat bersamaan dengan semakin tingginya kontak manusia dengan hewan liar. Dalam kasus korona terbaru ini, faktor lingkungan seperti sinar UV dan sebagainya bisa juga memengaruhi materi genetiknya dan secara spontan bermutasi. 

Dalam hal ini, jelas bahwa krisis iklim tidak hanya memicu terjadinya bencana alam, kenaikan suhu yang begitu signifikan, melainkan juga penurunan kesehatan manusia sehingga sangat mudah untuk terserang beragam jenis penyakit. 

Terkait dengan hal ini juga, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sempat merilis sebuah laporan yang berjudul “Climate Change and Human Health – Risks and Responses” (2003) yang menyebut bahwa perubahan iklim atau kini paling tepat disebut krisis iklim akan berdampak pada : pertama, mereka yang terpapar langsung dari perubahan cuaca secara ekstrem. Jelas bahwa cuaca yang begitu panas akan memicu munculnya permasalahan yang beragam, tubuh pun harus berusaha untuk beradaptasi dengan cuaca yang berubah begitu signifikan.


Kedua, mereka yang kesehatannya terdampak dari kondisi lingkungan yang secara bertahap memburuk akibat perubahan iklim. Dampak secara bertahap yang paling terlihat secara kasat mata adalah perubahan musim yang tidak teratur, misalnya saja di Indonesia rentan waktu musim hujan yang tidak menentu serta intensitas hujan yang di luar prediksi membuat beberapa titik lokasi yang biasanya tidak terkena banjir jadi ikut tergenang.


Ketiga, konsekuensi gangguan kesehatan yang beragam seperti trauma, penyakit menular seperti virus korona ini, kekurangan gizi, gangguan psikologis, dan banyak lainnya akibat dislokasi populasi dari perubahan iklim. Dalam hal ini, mereka yang hidup di tempat dengan sanitasi buruk, udara yang terpolusi, dan nutrisi kurang, akan menyebabkan imun tubuh melemah, sehingga membuat tubuh rentan dan mempercepat penyebaran penyakit.


Oleh karena itu, menyelesaikan masalah dengan memulai di akar permasalahan adalah solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan korona atau virus-virus lainnya yang mungkin saja akan muncul di kemudian hari. Benar bahwa antisipasi virus seperti korona wajib dilakukan secepat mungkin agar penyebaran dan dampaknya terhadap sektor lainnya selain kesehatan manusia dapat diminimalisir.


Tidak terlepas dari hubungan antara korona dan krisis iklim ini, belum lama ini juga NASA menyebarkan citra satelit yang menggambarkan bahwa virus korona berhasil menekan lajunya polusi di China. Sampai-sampai, polusi di China seolah terhapus seketika dari permukaan bumi.

Saya pun lantas berpikir, jangan-jangan, fenomena virus korona ini adalah bentuk ekspresi bumi untuk membersihkan dirinya sendiri karena merasa terlalu lelah dengan polusi yang semakin mencekam. (*)

Oleh : Delly Ferdian

Pemerhati Ekonomi Lingkungan Madani Berkelanjutan

Artikel telah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 06 Maret 2020.

Related Article

en_USEN_US