Madani

Tentang Kami

Kesimpangsiuran Informasi di Balik Undang-Undang Cipta Kerja

Kesimpangsiuran Informasi di Balik Undang-Undang Cipta Kerja

Tepat pada 5 Oktober 2020, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Sontak, pengesahan tersebut menuai reaksi yang beragam dari publik. Ada yang merasa bahwa UU ini merupakan kabar baik dan gembira (bagi para investor, saudagar, cukong, pemilik modal dan banyak macam jenis kapitalis lainnya), tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa pengesahan UU ini adalah kabar duka bagi bangsa Indonesia.

Bagaimana tidak, di tengah keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), malah membentang karpet merah bagi para penggelut cuan demi meraup untung sebesar-besarnya. Padahal, seharusnya pemerintah fokus menyelesaikan pandemi, malah regulasi yang tidak berpihak digenjot sejak dini.

Tidak dapat dimungkiri, beragam argumen dari banyak sudut pandang tentang ketidakadilan Omnibus Law Cipta Kerja ini sudah diutarakan sejak RUU Cipta Kerja dilempar kepada publik. Banyak poin penting yang menjadi sorotan dalam RUU Cipta Kerja, misal terkait ketenagakerjaan, banyak pihak menilai bahwa RUU Cipta Kerja bukannya berpihak kepada pekerja malah mengeksploitasi pekerja itu sendiri.

Dalam RUU Cipta Kerja, banyak pasal terkait ketenagakerjaan yang dipermasalahkan publik seperti adanya pasal terkait dengan hak cuti pekerja yang dihilangkan, jam kerja yang semakin eksploitatif, penggajian berdasarkan jam, tidak adanya hak setelah pensiun, dan banyak persoalan lainnya.

Tidak kalah gaduhnya tentang bakal munculnya dampak eksploitasi terhadap pekerja, RUU Cipta Kerja juga dinilai sangat bersifat ekstraktif terhadap lingkungan. Sebelum UU ini disahkan, Yayasan Madani Berkelanjutan menilai bahwa RUU Cipta Kerja mengungkap kajian tentang sangat tidak berpihaknya UU ini terhadap kepentingan lingkungan, bahkan menjadi ancaman bagi keberlangsungan hutan alam dan komitmen iklim di Indonesia.

Berdasarkan temuan Yayasan Madani Berkelanjutan, ada lima provinsi di Indonesia yang semangat terancam akan kehilangan seluruh hutan alam akibat laju penggundulan hutan (deforestasi) berkat RUU Cipta Kerja. Kelima provinsi tersebut yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Jawa Tengah.

Lebih detilnya, Provinsi Riau akan kehilangan seluruh hutan alamnya di 2032, Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan akan kehilangan seluruh hutan alamnya pada 2038, Provinsi Bangka Belitung akan kehilangan seluruh hutan alamnya pada 2054 dan Provinsi Jawa Tengah akan hilang seluruh hutan alamnya pada tahun 2056.

Jelas bahwa kehilangan hutan alam dapat diartikan juga Indonesia kehilangan momentum untuk memperkuat komitmennya melawan krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan. Terkait dengan komitmen iklim yang termaktub dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia memasang target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% dari BAU 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.

NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang berisi pernyataan komitmen banyak negara tentang upaya menghentikan Perubahan Iklim. Terkait dengan ambisi iklim Indonesia, target NDC tersebut banyak dinilai belum ambisius jika melihat dengan potensi yang ada di Indonesia.

Di sisi lain, banyak juga pihak yang mengatakan bahwa target tersebut sulit dicapai jika pemerintah tidak melakukan hal yang luar biasa atau melakukan terobosan untuk melindungi lingkungan, hutan, dan alam. Oleh karena itu, dengan adanya UU Cipta Kerja, target tersebut semakin tidak realistis.

Kesimpangsiuran Informasi

Setelah RUU disahkan menjadi UU, segudang permasalahan yang telah dibeberkan sebelumnya menjadi kurang renyah bahkan kurang relevan. Mengapa demikian? Tentu jawabannya adalah karena draf UU Cipta Kerja yang telah disahkan sulit diakses publik.

Secara rasional, bagaimana mungkin ada pihak yang mampu memberikan pandangan komprehensif kalau barangnya saja (UU Cipta Kerja) tidak diketahui?

Saat ini, semua pihak yang mengkritisi UU Cipta Kerja menggunakan analisis dari RUU. Artinya, semua orang yang berkomentar pasca UU disahkan sampai dengan UU asli disebar kepada publik maka mereka seolah-olah sedang meraba-raba di ruangan yang gelap.

Perumusan UU ini jelas merupakan preseden buruk dalam sejarah perumusan regulasi di negeri ini karena terkesan dikebut dan disembunyikan. Menjadi wajar jika publik menaruh kecurigaan yang besar terhadap UU Cipta Kerja ini.

Ketidakpastian yang berujung pada informasi yang simpang siur di tengah publik, tentu tidak bisa disalahkan. Pemerintah tidak dapat menyalahkan masyarakat dengan pernyataan telah menyebar berita bohong (hoax/hoaks) karena hanya berbekal analisis RUU. Sedangkan masyarakat juga tidak bisa mengkritisi secara substansi karena barangnya saja tidak ada.

Untuk mengurai benang kusut yang saat ini mengapung ke permukaan, alangkah baiknya pemerintah segera merampungkan UU dan menyebarluaskannya kepada publik. Jelas di tengah ketidakpastian saling menyalahkan adalah hal yang tidak baik.

Kita sebagai masyarakat sangat yakin bahwa pemerintah telah bekerja keras untuk melayani masyarakat dengan segudang keterbatasan dan kekurangannya. Namun, prinsip good governance  tidak akan terwujud jika transparansi dan akuntabilitas tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

UU ini tentu sangat penting karena dapat dikakatan sebuah terobosan besar jika benar-benar berpihak kepada rakyat tanpa adanya kepentingan yang menyusupi walaupun agaknya mustahil. Bayangkan saja, untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai sebuah UU yang menggabungkan 79 UU dengan lebih dari seribu pasal yang terdampak. Ini sungguh sebuah terobosan.

Terkait dengan UU Cipta Kerja sendiri, pemerintah mengklaim bahwa tujuan UU ini salah satunya adalah untuk menyederhanakan proses perizinan. Pasalnya, izin yang bak benang kusut dinilai merupakan salah satu penghambat proses investasi.

Padahal, persoalan yang dihadapi dalam proses perizinan, apalagi yang terkait dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA) adalah korupsi yang merajalela. Dalam Global Competitivences Report 2017-2018, tercatat bahwa permasalahan utama dalam kemudahan berusaha di Indonesia adalah korupsi.

Kalau saja semua kritik terhadap UU Cipta Kerja, benar adalah hoax seperti diungkap oleh sebagian anggota DPR, pemerintah dan banyak para pemangku kepentingan lainnya yang pro, maka mungkin banyak pihak yang telah memberikan kritik malah mengacungkan jempol. Namun, lagi-lagi kita semua berada dalam ketidakpastian, tidak hanya masyarakat tapi juga pemerintah. Padahal, kepastian adalah sebuah keniscayaan untuk saat ini, apalagi bagi sebuah investasi dan mau dibawa kemana arah bangsa ini.

Related Article

UU Cipta Kerja Mencederai Komitmen Iklim, Mempercepat Kehilangan Hutan, Melanggengkan Bencana

UU Cipta Kerja Mencederai Komitmen Iklim, Mempercepat Kehilangan Hutan, Melanggengkan Bencana

[Jakarta, 7 Oktober 2020] Pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR pada 5 Oktober 2020 kemarin mencederai Komitmen Iklim dan upaya perlindungan hutan Indonesia yang telah diupayakan sejak 9 tahun lalu. Penerapan UU Cipta Kerja ini berpotensi melanggengkan penggundulan hutan Indonesia. Dalam analisa Madani terkait risiko RUU Cipta Kerja terhadap Hutan Alam dan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia, jika pasal-pasal yang melemahkan aturan perlindungan hutan dan lingkungan hidup dalam UU Cipta Kerja diterapkan, maka risiko hilangnya hutan alam akan semakin meningkat. Ada lima provinsi di Indonesia yang terancam akan kehilangan seluruh hutan alamnya akibat laju penggundulan hutan (deforestasi), yaitu Provinsi Riau yang akan kehilangan seluruh hutan alamnya di tahun 2032, Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan akan kehilangan seluruh hutan alamnya pada tahun 2038, Provinsi Bangka Belitung akan kehilangan seluruh hutan alamnya pada tahun 2054 dan Provinsi Jawa Tengah akan hilang seluruh hutan alamnya pada tahun 2056.

 

Analisis spasial Madani menunjukkan adanya 3,4 juta hektare tutupan hutan alam di dalam izin sawit (HGU, IUP, dan izin lain yang belum definitif termasuk izin lokasi), yang seharusnya dapat diselamatkan berdasarkan evaluasi perizinan perkebunan yang dimandatkan INPRES 8/2018 (moratorium sawit). Papua adalah provinsi dengan luas hutan alam dalam izin perkebunan sawit tertinggi yaitu 1,3 juta hektare, disusul oleh Kalimantan Timur dengan luas hutan alam di dalam izin sawit sebesar 528 ribu hektare. Dengan adanya tambahan permintaan CPO yang begitu besar akibat kebijakan biodiesel serta semakin dipermudahnya izin sawit untuk ekspansi ke kawasan hutan, kesempatan Indonesia untuk menyelamatkan hutan alam dalam periode moratorium sawit akan hilang. Apabila 3,4 juta hektare hutan alam tersebut hilang, Indonesia akan gagal mencapai komitmen iklimnya karena akan melampaui kuota deforestasi sebesar 3,25 juta hektare pada 2030. Demikian disampaikan oleh Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi disahkannya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 lalu.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi, analisa Madani menunjukkan 75,6%  atau setara 143 juta hektare dari seluruh luas daratan Indonesia yang mencapai 189 juta hektare adalah area silang sengkarut izin dan perlindungan hutan serta lahan di Indonesia. Teguh Surya mengatakan, “Dari 143 juta hektare area silang sengkarut izin dan perlindungan hutan dan lahan di Indonesia ini, 11,3 juta hektare merupakan IUPHHK HTI, 18,9 juta hektare adalah IUPHHK HA, 622 ribu hektare adalah IUPHHK RE, 11 juta hektare adalah PIAPS, 22,7 juta hektare adalah izin sawit, 66,3  juta hektare adalah area PIPPIB, 14,9 juta hektare adalah izin mineral dan batubara di daratan dan 31,9 juta hektare adalah area konsesi migas di daratan.”

 

Dengan silang sengkarutnya izin dan perlindungan hutan serta lahan di Indonesia ini menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja jelas bukan jawaban yang diharapkan oleh  investasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan,” tambah Teguh Surya. “Harusnya pemerintah dan DPR memprioritaskan untuk melakukan perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan Sumber Daya Alam serta melakukan penguatan KPK dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional. Sudah terang benderang dalam hasil kajian harmonisasi Undang-Undang di bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh KPK di tahun 2018 memandatkan untuk melakukan harmonisasi pada 26 Undang-Undang yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup dengan pemenuhan prinsip-prinsip pengelolaan SDA-LH”, terang Teguh.

 

Terdapat sepuluh hambatan utama investasi di Indonesia yang diabaikan dan tidak diakomodasi dalam UU Cipta Kerja diantaranya korupsi, inefisiensi birokrasi, akses ke pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, instabilitas kebijakan, instabilitas pemerintah, tarif pajak, etos kerja yang buruk, regulasi pajak, dan inflasi. Alih-alih berharap ada pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, UU Cipta Kerja justru merupakan mimpi buruk.

 

Upaya perlindungan hutan alam melalui kebijakan penghentian pemberian izin baru yang diperkuat (penguatan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2019) terancam tidak bisa dilakukan dengan diterapkannya UU Cipta Kerja tersebut. Ada empat provinsi yang terancam akan kehilangan hutan alam di luar PIPPIB dengan luasan terbesar, yaitu Kalimantan Tengah sebesar 3,5 juta hektare, Kalimantan Barat sebesar 1 juta hektare, Aceh sebesar 342 ribu hektare dan Sumatera Barat sebesar 254 ribu hektare.

Analisis terbaru Madani menunjukkan bahwa PIPPIB 2020 Periode 01 yang luasnya 66,3 juta hektare ini bersilang sengkarut dengan berbagai izin dan perlindungan hutan dan lahan. Paling besar upaya perlindungan hutan dan lahan lewat PIPPIB ini bersilang sengkarut dengan izin minerba di daratan yang mencapai 7,2 juta hektare, kemudian dengan izin migas di daratan yang mencapai 6,4 juta hektare. Upaya perlindungan hutan dan lahan lewat PIPPIB ini juga bersengkarut dengan area PIAPS sebesar 4,7 juta hektare serta dengan izin sawit sebesar 1,2 juta hektare, IUPHHK HA sebesar 386 ribu hektare, IUPHHK HTI sebesar 123 ribu hektare dan IUPHHK RE sebesar 4.748 hektare,” papar Fadli Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Tak hanya itu, dalam upaya pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan, khususnya dari pengurangan deforestasi, Indonesia terancam akan gagal total karena ambang batas deforestasi pada periode 2020-2030 sebesar 3,25 juta hektare akan terlampaui pada tahun 2025 jika laju deforestasi semakin meningkat akibat perlindungan hutan dilemahkan. “Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang pertama disebutkan bahwa Indonesia memiliki target untuk menekan angka deforestasi hingga berada di bawah 3.250.000 hektare pada tahun 2030 atau maksimal 325.000 hektare/tahun selama tahun 2020 hingga 2030 dengan upaya sendiri maupun dengan bantuan internasional. Namun, target tersebut terancam tidak akan tercapai jika pasal-pasal yang berpotensi memicu deforestasi dalam UU Cipta Kerja diterapkan,” kata M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Secara rata-rata, laju deforestasi Indonesia dari tahun 2006 hingga 2018 adalah 688.844,52 hektare/tahun. Maka kita bisa berhitung dengan angka tersebut, di tahun 2025 Indonesia akan melampaui kuota deforestasi untuk mencapai target NDC tahun 2030,” tambah M. Arief Virgy.

 

Dengan fakta-fakta di atas, terlihat jelas bahwa UU Cipta Kerja bukan jawaban pertumbuhan ekonomi yang diharapkan atas upaya penyelamatan hutan dan lahan serta pencapaian komitmen iklim Indonesia,namun justru sebaliknya mencederai upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam menyelamatkan hutan serta komitmen iklim Indonesia. [ ]

oooOOOooo 

Kontak Media:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453, email: teguh@madaniberkelanjutan.id

M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0877 0899 4241, email: virgy@madaniberkelanjutan.id 

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887, email: luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

JOB CREATION BILL, COVID-19, AND INDONESIA’S CLIMATE COMMITMENT

JOB CREATION BILL, COVID-19, AND INDONESIA’S CLIMATE COMMITMENT

Mau Ikut Jelajah Alam bersama Madani Berkelanjutan di Ujung Kulon? Gratis, Lho!

Madani Berkelanjutan mengajak orang-orang muda yang peduli terhadap lingkungan untuk ikut kegiatan jelajah alam bernama “Panggilan Alam 2023: Jelajah Alam, Apresiasi Hubungan Alam dengan Manusia” ke Taman Nasional Ujung Kulon pada 16-23 Juli 2023.

Selain gratis, para peserta juga tentunya bisa memperkaya pengetahuan tentang perubahan iklim, krisis iklim, dan hubungannya dengan masyarakat lokal LANGSUNG dari masyarakat Ujung Kulon. 

Peserta juga akan diajak berpetualang ke berbagai lokasi indah dan must-visit di Taman Nasional Ujung Kulon, termasuk pantai & hutan 😍 

Kegiatan ini bisa menjadi wadah untuk mengembangkan diri, memperluas relasi, dan membangun jiwa kepemimpinan. Tentunya, kalian juga akan menjadi bagian dari #SobatMadani yang dekat dengan kami! 

Yuk, daftarkan dirimu segera untuk ikut dalam “Panggilan Alam 2023: Jelajah Alam, Apresiasi Hubungan Alam dengan Manusia” dan mari jelajahi Ujung Kulon! Daftarkan dirimu sebelum 3 Juli 2023, ya!

Isi survey ini terlebih dahulu lalu daftarkan dirimu sekarang juga melalui https://forms.gle/sYSnoDx4oJpzXJEN7

“Saat ini, Indonesia akan menghadapi momentum politik menjelang 2024. Hal ini menjadi peluang untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dapat merealisasikan agenda perlindungan lingkungan hidup, hutan dan lahan serta pengendalian krisis iklim.” Demikian pembukaan yang disampaikan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam TalkShop “Menjaga Hutan Tersisa” Nasib Hutan di Momen Politik 2024 yang diselenggarakan pada 15 Juni 2023.

“Saat ini, terdapat sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia yang mendesak untuk segera dilindungi agar Indonesia dapat mencapai komitmen iklimnya,” terang Salma Zakiyah, Program Assistant Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memantik diskusi. “Hutan alam ini berada di luar izin/konsesi dan belum masuk ke area perlindungan dari izin baru atau moratorium hutan permanen,” kata Salma.

“Hutan alam di dalam izin dan konsesi eksisting pun perlu menjadi perhatian khusus karena rentan mengalami deforestasi dan degradasi hutan,” tambahnya. Berdasarkan analisis Madani Berkelanjutan, Salma memaparkan bahwa, saat ini terdapat 16,6 juta ha hutan alam berada di area izin PBPH-HA (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Alam), 3,5 juta ha berada di area konsesi minerba, 3,1 juta ha berada di area izin perkebunan sawit, dan 3 juta ha berada di area PBPH-HT (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Tanaman). Apabila hutan alam yang berada di dalam izin-izin tersebut tidak diselamatkan, Indonesia akan sulit untuk mencapai target iklim di sektor kehutanan dan lahan serta target FOLU Net Sink 2030.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menambahkan kekhawatirannya tentang tren pembukaan hutan saat kontestasi politik. “Beberapa Pemilu sebelumnya terjadi pelepasan hutan dalam jumlah besar. Ini terjadi pada zaman Soeharto dan SBY. Di akhir era orde baru dan pemerintahan SBY terjadi pelepasan hutan sekitar 275 ribu ha (Orde Baru) dan sekitar 291 ribu ha (SBY) sesaat sebelum pergantian presiden,” tutur Mufti Barri. “Untuk itu, jangan lagi hutan dikorbankan untuk pundi-pundi politik, kita perlu memantau 2-3 bulan sebelum dan setelah pemilihan umum.”

“Kami juga berharap Menteri LHK yang sekarang tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh menteri-menteri sebelumnya yang melakukan pelepasan kawasan hutan di detik-detik terakhir sebelum rezimnya berakhir,” tambah Mufti Bahri.

Regina Bay, Perwakilan Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime, Jayapura, bercerita tentang tanah adatnya seluas 32 ribu hektare yang digusur sebuah perusahaan. “Prosesnya dilakukan secara sepihak oleh Kepala Suku yang dibujuk, padahal masyarakat tidak menerima pemberitahuan apapun. Dan akan ada ancaman tenggelamnya wilayah Masyarakat Adat Namblong di Lembah Grime jika hutan di lembah tersebut habis. Dan kami lebih khawatir lagi jika pemimpin yang terpilih nanti lebih pro pada pengusaha,” jelas Regina Bay.

Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mempertanyakan political will pemerintah dalam melindungi lingkungan dan manusia, selain dari pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan, “Penegakkan hukum menjadi kunci untuk dapat mengimplementasikan safeguard meskipun standar safeguard yang ada di Indonesia saat ini masih sangat lemah. Ekonomi dan kepentingan investasi masih menjadi panglima dan belum memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan. Dan sejarah seperti berulang, harapan Presiden yang pro-hutan atau lingkungan masih tipis. Untuk itu perlu suara kencang dari pemilih pemula untuk melawan perusakan hutan,” kata Yuyun Indradi.

Ferdian Yazid, Program Manager Natural Resource and Economic Governance Transparency International Indonesia, menyampaikan bahwa politik di Indonesia masih berbentuk kartel politik sehingga penting adanya transparansi pendanaan yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dan juga calon anggota legislatif. “Kandidat calon Presiden dan calon anggota legislatif harus transparan dalam pendanaan, terutama dalam pembiayaan kampanyenya. Jangan sampai visi misinya sangat peduli dengan lingkungan, namun di balik sumber pendanaannya berasal dari korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam.” Selain itu, Ferdian Yazid mengingatkan bahwa para pemilih jangan mau terfragmentasi pada saat pemilu. “Perjuangan melawan perusakan hutan harus berlanjut hingga pasca pemilu,” tutupnya.

Related Article

RUU Cipta Kerja “Blunder” Pertumbuhan Ekonomi dan Berisiko Gagalkan Komitmen Iklim Indonesia

RUU Cipta Kerja “Blunder” Pertumbuhan Ekonomi dan Berisiko Gagalkan Komitmen Iklim Indonesia

[Jakarta, 15 April 2020] RUU Cipta Kerja yang saat ini dipaksakan untuk dibahas oleh Pemerintah dan DPR justru berisiko menjadi blunder bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan berisiko menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia. “RUU tersebut tidak memiliki urgensi yang tinggi karena tidak relevan dengan kompleksitas kondisi ekonomi maupun sosial masyarakat sehingga pembahasannya selayaknya dihentikan. Mereformasi tata kelola di sektor sumber daya alam melalui pembentukan UU Pokok Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup serta penguatan KPK harusnya menjadi prioritas pemerintah dan DPR untuk meningkatkan perekonomian nasional, mengingat model ekonomi kita masih bergantung pada ekstraksi sumber daya alam dan miskin inovasi,” kata M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “RUU Cipta Kerja dan risiko terhadap hutan dan iklim Indonesia” pada 15 April 2020.

Dari sisi investasi Indonesia masuk peringkat ketiga di Asia sebagai negara yang paling diminati. Hanya saja korupsi masih menjadi penghambat nomor wahid, inilah akar masalah yang seharusnya dibersihkan terlebih dahulu. Langkah riil yang dapat dilakukan pemerintah bersama dengan wakil rakyat setidaknya dengan menindaklanjuti hasil kajian harmonisasi regulasi untuk reformasi tata kelola sektor sumber daya alam yang disusun KPK, tahun 2018. Hasil kajian tersebut kemudian dapat dirumuskan menjadi Omnibus Law Pengelolaan SDA. Urgensinya lebih tinggi dibandingkan dengan RUU Cipta Kerja sebab terdapat tumpang tindih pengaturan pada 26 undang-undang,” tambah Teguh.

Di sisi lain, M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan menyampaikan bahwa RUU Cipta Kerja berisiko menghambat, bahkan menggagalkan komitmen Iklim Indonesia, khususnya di sektor Kehutanan.

Dari hasil kajian Madani, ada lima temuan penting mengapa RUU Cipta Kerja dapat menghambat dan menggagalkan komitmen iklim Indonesia. Jika pasal-pasal yang melemahkan aturan perlindungan hutan alam dan lingkungan hidup dalam RUU Cipta Kerja diterapkan, risiko hilangnya hutan alam akan meningkat lebih cepat. Pertama, ada lima provinsi yang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi. Kedua, ada empat provinsi terancam  kehilangan hutan alam di luar PIPPIB (baca; diluar hutan yang telah dilindungi). Ketiga, kuota deforestasi sebesar 3,25 juta hektare yang tidak boleh terlampaui untuk mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) di sektor kehutanan akan terlampaui pada tahun 2025. Keempat, kesempatan menyelamatkan hutan alam seluas 3,4 juta hektare yang terlanjur berada dalam dalam perkebunan sawit akan hilang. Kelima, tutupan hutan alam di 45 DAS di Papua Barat pada tahun 2058 terancam turun hingga 0%-20% jika PIAPS dan PIPPIB tidak berhasil dilindungi,” ungkap M. Arief Virgy.

RUU Cipta Kerja berisiko melemahkan aturan perlindungan hutan dan lingkungan hidup Mengingat aturan yang ada pada saat ini saja belum cukup kuat dan masih banyak dilanggar, dilemahkannya aturan perlindungan lingkungan hidup atas nama peningkatan investasi adalah blunder pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan risiko bencana,” tambah M. Arief Virgy.

Atas dasar temuan itu, DPR hendaknya menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Diskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan ini bukanlah bagian dari konsultasi publik DPR RI, tapi lebih kepada upaya masyarakat sipil untuk terus kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. [ ]

ooo

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453, email: teguh@madaniberkelanjutan.id

M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0859 2614 0003, email: virgy@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887, email: luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

RUU Cipta Kerja dan Risiko Terhadap Hutan dan Iklim Indonesia

RUU Cipta Kerja dan Risiko Terhadap Hutan dan Iklim Indonesia

Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang ditujukan untuk menyederhanakan kendala regulasi dalam upaya menggenjot investasi serta mendorong pertumbuhan ekonomi, dinilai sangat tidak berpihak pada kepentingan lingkungan. Banyak pakar menyebut RUU ini malah melemahkan aturan perlindungan hutan alam dan lingkungan hidup dan juga berpotensi meningkatkan risiko deforestasi, degradasi hutan, serta kebakaran hutan dan lahan di tanah air.

Insight Analyst Madani Berkelanjutan, M. Arief Virgy mendorong pemerintah untuk mencapai komitmen penurunan emisi dengan menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Virgy sendiri menilai substansi dari RUU Cipta Kerja ini dapat mempercepat terjadinya deforestasi. Hal tersebut disampaikan Virgy dalam diskusi seru hari rabu dengan tema “RUU Cipta Kerja dan Risiko Terhadap Hutan dan Iklim Indonesia” yang dilaksanakan pada Rabu, 15 April 2020 dengan mekanisme webinar.

Virgy juga menyebut bahwa sedikitnya ada 4 hal yang berpotensi akan terjadi jika RUU Cipta Kerja disahkan. Pertama, sampai tahun 2056 akan ada 5 provinsi yang kehilangan hutan alam karena pelaksanaan RUU Cipta Kerja. Kedua, 4 provinsi kehilangan kesempatan menyelamatkan hutan alam yang berada di luar area moratorium perizinan.

Ketiga, target penurunan emisi atau Nationally Determined Contribution (NDC) tahun 2030 di sektor kehutanan berpotensi tidak tercapai karena laju deforestasi sangat tinggi. Keempat, upaya penyelematan hutan alam seluas 3,4 juta hektar yang berada dalam kawasan perizinan kelapa sawit tidak dapat dilakukan.

Dalam diskusi ini juga hadir sebagai narasumber yakni Akademisi Departemen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., M.A., LL.M. yang menyampaikan materi dengan tema “Permasalahan Krusial RUU Cipta Kerja terkait Tatanan Hukum Lingkungan Hidup dan SDA”. Kemudian, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law – ICEL,  Raynaldo G. Sembiring, S.H yang menyampaikan materi dengan tema “Risiko RUU Cipta Kerja terhadap Lingkungan Hidup Indonesia”.

Totok Dwi Diantoro menilai RUU Cipta Kerja sangat mengancam keberlanjutan lingkungan hidup yang juga tidak memberi keadilan sosial bagi masyarakat. RUU Cipta Kerja lebih mengutamakan kepentingan investasi dengan semangat menyederhanakan proses perizinan.

Sementara itu, Raynaldo G. Sembiring menyebut bahwa naskah akademik dalam penyusunan RUU Cipta Kerja sangat miskin referensi. Artinya RUU ini dibuat dalam keadaan sangat terburu-buru atau bahkan tidak serius dalam pembuatan. “Tidak ada analisisis yang komprehensif tentang hukum administrasi dan perizinan di sektor tertentu. Tidak ada referensi yang kuat terhadap periizinan sektor. Efeknya ada kerancuan dan ketidaksinkronan” ujar Raynaldo.

Selain itu, hadir juga Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, S.H., M.H sebagai penanggap yang juga menyampaikan perihal perkembangan proses legislasi RUU Cipta Kerja. Supratman juga menyebut bahwa semua masukan dalam diskusi kali ini akan disampaikan kepada pada anggota dewan.

Dengarkan juga podcast diskusi seru hari rabu RUU Cipta Kerja Madani Berkelanjutan dengan menuju link berikut Diskusi RUU Cipta Kerja dan Q&A Diskusi RUU Cipta Kerja.

Untuk materi diskusi RUU Cipta Kerja dan Risiko Terhadap Hutan dan Iklim Indonesia, selengkapnya dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

Bom Waktu Bernama Omnibus Law

Bom Waktu Bernama Omnibus Law

Keinginan pemerintah untuk membawa Indonesia lepas dari belenggu perangkap ekonomi menengah (middle income trap) dengan memberikan stimulus berupa regulasi untuk merangsang terciptanya lapangan kerja baru dan banyak peluang usaha dengan menggenjot investasi secara masif, patut kita apresiasi.

Namun sayangnya, stimulus yang diwujudkan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law atau sapu jagat, malah salah kaprah dan sesat pikir. Mengapa salah kaprah? Penulis menilai hal ini karena proses penyusunan RUU tersebut prematur dan tidak matang secara logika.

Terkait dengan rencana besar RUU omnibus law ini sendiri, pemerintah membuat empat UU yang siap merangkum dan menyederhanakan banyak UU sebelumnya yang telah berjalan, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja atau kini berganti nama dengan RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan untuk memperkuat ekonomi, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara.

Dari keempat rancangan aturan tersebut, RUU Cipta Kerja adalah yang paling kontroversial. Pasalnya, RUU ini membabat banyak pasal penting yang bertujuan untuk menciptakan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Inilah mengapa penulis menyebut RUU ini prematur dan tidak matang secara logika.

Ada beberapa aspek dari RUU Cipta Kerja yang bertentangan dengan kepentingan lingkungan. Pertama, penghapusan izin lingkungan. Penghapusan ini jelas menjadi permasalahan yang sangat krusial, tidak adanya pengawasan terhadap perusahaan dalam menjalankan usaha menjadi celah tersendiri bagi perusahaan untuk melakukan kecurangan.

Bayangkan saja, dengan izin lingkungan yang masih terbilang longgar seperti saat ini, banyak perusahaan mengobarkan kepentingan lingkungan seperti membuka lahan untuk produksi dengan melakukan pembakaran sehingga kerap melebar menjadi kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Kedua, mengebiri analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Draf RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan Pasal 29, 30, dan 31 yang dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebut dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing. Termasuk juga di dalamnya menghapus kewenangan menteri, gubernur, bupati/walikota memberikan lisensi kepada Komisi Penilai Amdal.

Kemudian terdapat enam pasal yang diubah terkait dengan Amdal oleh RUU ini. Pertama, ketentuan Pasal 1 Ayat 11, 12, dan 35 diubah. Pada Pasal 1 Ayat 11, Amdal disebut diperlukan bagi pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan ini diubah menjadi Amdal digunakan sebagai pertimbangan belaka.

Selanjutnya, perubahan pada ketentuan Pasal 23. Sembilan kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi Amdal dihapus dan diubah menjadi yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya. Selain itu, ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria usaha diatur dengan peraturan menteri diubah menjadi diatur peraturan pemerintah.

Perubahan berikutnya adalah Pasal 25, dokumen Amdal memuat saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. Sebelumnya, saran masukan serta tanggapan berasal dari masyarakat secara umum.

Ketentuan lainnya yang berubah adalah Pasal 26. Masyarakat yang diizinkan terlibat dalam penyusunan dokumen Amdal adalah masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan atau kegiatan. Sebelumnya, pasal tersebut berbunyi melibatkan masyarakat sebagai pemerhati lingkungan dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan Amdal.

Ancaman krisis iklim

Perlu untuk diketahui, daya ledak yang besar terhadap kerusakan lingkungan di masa yang akan datang, menjadi kekhawatiran utama banyak pihak terhadap RUU ini. Di saat banyak negara mulai mencari cara untuk bertahan berhadapan dengan permasalahan lingkungan seperti halnya krisis iklim, pemerintah Indonesia malah membuat RUU yang tidak berpihak kepada kepentingan lingkungan.

Terkait dengan krisis iklim, World Economic Forum (WEF) dalam riset yang berjudul Global Risks Perception Survey 2019-2020 membeberkan bahwa ekonomi dunia akan dihadapkan pada isu-isu lingkungan yang semakin sentral. Riset ini menyebut bahwa isu lingkungan khususnya yang terkait dengan iklim akan menjadi penghambat ekonomi secara global. Isu tersebut yakni, cuaca ekstrem (extreme weather), gagalnya aksi iklim (climate action failure), bencana alam (natural disaster), hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss), dan bencana lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia (human-made environmental disasters).

Benar bahwa selama ini banyak pengusaha menganggap lingkungan adalah penghambat bagi mereka untuk mengumpulkan banyak pundi-pundi rupiah. Tentu, selama ini izin lingkungan dan Amdal dapat dikatakan sebagai benteng terakhir untuk menjadi lingkungan lebih dari kerusakan yang besar.

Amdal yang diterapkan dengan akurat, tentunya juga mampu meminimalisir dampak yang terjadi dari proses aktivitas produksi atau perekonomian, sehingga masyarakat bukan hanya kebagian kesejahteraan dari adanya aktivitas perekonomian, tapi juga keamanan dan kenyamanan dari lingkungan yang tetap terjaga. Tak pelak keamanan dan kenyamanan ini harganya bisa lebih mahal bagi masyarakat ketimbang kesejahteraan sebagai imbas perkembangan ekonomi

Kini, seharusnya para pemangku kepentingan sadar bahwa mengedepankan kepentingan lingkungan adalah keniscayaan, bahkan prioritas. Munculnya virus Korona yang kini juga menyebar di Indonesia sesungguhnya juga merupakan pelajaran, karena pada kenyataannya penyebaran virus Covid-19 ini juga disebabkan oleh krisis iklim yang semakin nyata. Virus ini berkembang dan bermutasi karena salah satunya berkat bantuan dari sinar UV dan beberapa faktor krisis iklim lainnya.

Bayangkan saja, jika kerusakan lingkungan semakin parah, bisa-bisa kesehatan manusia yang semakin menurun ditambah dengan perkembangan berbagai macam virus mematikan lainnya di kemudian hari, dan akhirnya ekonomi terpukul lesu. Benar-benar, omnibus law ini seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Oleh : Delly Ferdian

Pemerhati Ekonomi Lingkungan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat Harian Kontan edisi 11 Maret 2020

Related Article

en_USEN_US