Madani

Tentang Kami

Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia

Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia

[Jakarta, 24 November 2020] Beberapa saat lalu, tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2020, Green Climate Fund (GCF) atau dikenal juga sebagai Dana Iklim Hijau menyetujui proposal pemerintah Indonesia untuk mengakses dana pembayaran berbasis hasil untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+) sebesar 103,8 juta dollar AS atau setara dengan 1,54 triliun rupiah. 

Dana ini diberikan sebagai pembayaran atas keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2014-2016 sebesar 20,3 juta tCO2e. Keberhasilan Indonesia dalam mengakses dana ini adalah indikator awal kepercayaan dunia terhadap Indonesia saat ini. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, ikut memberikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia atas pencapain Indonesia dalam menurunkan angka deforestasi telepas dari perdebatan banyak pihak terkait angkat tersebut. Apresiasi ini disampaikan Teguh Surya dalam diskusi virtual talkshop “Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada Selasa, 24 November 2020. 

Harapan kita pada pendanaan dari Green Climate Fund ini tentu sangat besar, dana yang besar ini harus kita manfaatkan sebesar mungkin, kita juga berharap masyarakat dapat mengakses dan akhirnya dana yang besar dapat efektif”, ujar Teguh. 

Dalam diskusi terbatas ini, Analis Kebijakan pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Dewa Ekayana menjadi pemateri kunci yang menjelaskan tentang Green Climate Fund sampai dengan berbagai cara untuk mengakses pendanaan ini. 

Dewa Ekayana menjelaskan bahwa GCF adalah amanat dari The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk membantu negara-negara berkembang mencapai komitmen iklimnya dalam Nationally Determined Contribution (NDC). “GCF sendiri adalah sumber pendanaan terbesar yang ada saat ini untuk melawan dampak perubahan iklim global”, ujar Dewa Ekayana.

Analis Kebijakan ini juga menyebut bahwa semua pihak dapat mengakses pendanaan ini dengan berkolaborasi bersama lembaga yang sudah terakreditasi. Ia juga mendorong bagi semua pelaku maupun pegiat perlindungan lingkungan, hutan, dan alam, untuk bersama-sama mengajukan proposal demi alam Indonesia yang lebih baik. 

Dapatkan materi diskusi Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia dengan mengunduh materi yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Hutan Mendesak Diwujudkan

Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Hutan Mendesak Diwujudkan

[Jakarta, 28 Mei 2020] Pembayaran pertama sebesar 56 juta dollar AS atau Rp 840 miliar dari Norwegia untuk keberhasilan Indonesia dalam menekan angka deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia ini harus menjadi penyemangat bagi semua pihak untuk lebih serius lagi  mewujudkan pembangunan ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan. Arahan Presiden Joko Widodo agar dana ini digunakan untuk program-program pemulihan hutan dan lingkungan hidup berbasis masyarakat sangatlah tepat. Program perhutanan sosial, misalnya, berpotensi berkontribusi hingga 34,6 persen terhadap pencapaian target NDC Indonesia dari pengurangan deforestasi jika difokuskan pada wilayah-wilayah dengan risiko deforestasi tinggi dan diberi pendampingan maksimal untuk pengembangan ekonomi lokal yang sejalan dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sejalan dengan hal tersebut, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup yang diberi mandat untuk mengelola dana tersebut pun harus segera memastikan adanya perwakilan multi pihak dalam struktur tata kelolanya –  termasuk masyarakat sipil dan masyarakat adat/lokal –  agar program-program pengurangan deforestasi dan degradasi yang dijalankan betul-betul tepat sasaran dan bermanfaat bagi komunitas.

 

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam menanggapi satu dekade kerja sama pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Setelah satu dekade melalui fase persiapan dan transformasi, tahun ini Indonesia memasuki fase pembayaran berbasis hasil yang ditandai dengan pembayaran pertama sebesar 56 juta dollar AS dari Pemerintah Norwegia atas keberhasilan Indonesia mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2016-2017 sebesar 11,2 juta ton CO2e. Dana tersebut akan disalurkan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang resmi diluncurkan pada Oktober tahun lalu.

 

Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah mengumumkan angka deforestasi kotor (bruto) Indonesia tahun 2018-2019 yaitu 465,5 ribu hektare dan angka deforestasi bersih (netto) sebesar 462,4 ribu hektare.

 

Madani mengapresiasi penurunan angka deforestasi Indonesia meskipun tidak terlalu signifikan sebagai hasil dari berbagai kebijakan korektif yang dikeluarkan pemerintah serta kerja sama internasional yang baik dengan berbagai negara sahabat, termasuk Norwegia. Kemitraan yang setara dan saling menghormati ini harus dilanjutkan dan diperkuat dengan lebih menekankan pada aspek keterbukaan data dan informasi, partisipasi, serta penghormatan terhadap dan hak-hak masyarakat adat dan lokal terhadap hutan dan sumber daya alam,” tambah M. Teguh Surya.

 

Untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam Kemitraan tersebut, berbagai kebijakan korektif yang sangat penting seperti penghentian pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut, penundaan dan evaluasi izin perkebunan kelapa sawit, perhutanan sosial – termasuk pengakuan hutan adat -, penyusunan peta jalan untuk mencapai komitmen iklim (Roadmap NDC), serta implementasi peraturan perlindungan ekosistem gambut harus dilanjutkan dan lebih diperkuat lagi karena meskipun deforestasi Indonesia telah berkurang, angka tersebut masih berada di atas ambang batas untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, yakni maksimal 450 ribu hektare/tahun sebelum tahun 2020 dan maksimal 325 ribu hektare per tahun dalam periode 2020-2030. Artinya, Indonesia masih memiliki PR cukup besar untuk memenuhi komitmen dan target yang telah ditetapkannya sendiri. Belum lagi tantangan atau bahkan ancaman yang datang dari upaya legislasi yang berisiko melemahkan aturan perlindungan hutan dan lingkungan untuk kepentingan investasi, yakni RUU Cipta Kerja, yang berpotensi membuat Indonesia gagal mencapai komitmen iklimnya,” tutur Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan

Berdasarkan analisis Madani terhadap data deforestasi KLHK, angka deforestasi bruto Indonesia menunjukkan tren penurunan selama periode 2003-2018, namun terdapat lonjakan besar pada periode 2014-2015, yakni saat momentum politik Pemilihan Umum.

 

Secara kumulatif, deforestasi bruto tertinggi pada periode 2003-2018 terjadi di Provinsi Riau (1,8 juta hektare), disusul Kalimantan Tengah (1,4 juta hektare), Kalimantan Timur (1,2 juta hektare), dan Kalimantan Barat (1,16) juta hektare). Sementara itu, hutan alam tersisa Indonesia pada 2018 paling luas terdapat di Provinsi Papua (24,9 juta hektare), Papua Barat (8,8 juta hektare), Kalimantan Tengah (7,2 juta hektare), Kalimantan Timur (6,5 juta hektare), Kalimantan Utara (5,6 juta hektare), dan Kalimantan Barat (5,4 juta hektare). Meskipun hutan alam yang tersisa terlihat luas, hutan alam di luar PIPPIB dan PIAPS yang belum dibebani izin/konsesi (IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, perkebunan sawit, migas, dan minerba) sesungguhnya sangat kecil, yakni hanya 9,5 juta (10,7%) dari 88,7 juta hektar hutan alam tersisa di tahun 2018 , yang terluas berada di Papua (1,3 juta hektare), Maluku (912 ribu hektare), NTT (857 ribu hektare), Kalimantan Tengah (855 ribu hektare), Sulawesi Tengah (821 ribu hektare), Kalimantan Timur (586 ribu hektare), dan Maluku Utara (581 ribu hektare),” terang Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan.

 

Hutan alam dengan luas mencapai 9,5 juta hektare ini perlu segera dilindungi oleh kebijakan penghentian izin baru yang diperluas cakupannya agar tidak lenyap akibat perluasan izin/konsesi skala besar, yang akan menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia dan kebijakan penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dijadwalkan berakhir tahun depan harus diperpanjang serta diperluas cakupannya menjadi penghentian izin sawit ke seluruh area yang masih memiliki hutan alam, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Hal ini sangat penting agar sawit Indonesia dapat terlepas dari stigma deforestasi yang mencoreng citranya di pasar global,” tutup M. Teguh Surya. [ ]

 

oooOOOooo

 

  • Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, +62 812-9480-1453
  • Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, +62 856-2118-997
  • Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, +628 151-986 -8887

 

Silahkan download file yang berkaitan di bawah ini:

Related Article

Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi

Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi

Jakarta, 16 Juli 2019 – Presiden Joko Widodo dalam Visi Indonesia telah melupakan 20% janjinya untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan dalam memimpin Indonesia periode 2019-2024. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam visi keempat Pasangan Jokowi-Maruf Amin saat kampanye pemilihan Presiden 2019 yang belum lama usai.

Visi mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan, akan dicapai Jokowi melalui tiga misi yaitu program pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Adapun isu pengelolaan hutan dan gambut mendapat perhatian paling besar, tercermin dalam 13 kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Oleh karena itu, sudah selayaknya Jokowi menegaskan kembali visi dan misi terkait lingkungan hidup dalam Visi Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau.

Demikian disampaikan oleh M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, dalam Diskusi Media “Moratorium Permanen Hutan dan Visi Indonesia, Akan Kemana?” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Harapan masyarakat sangat besar atas kepemimpinan kedua Jokowi, khususnya di sektor lingkungan hidup, mengingat janji beliau saat Pilpres dan terdapat beberapa kebijakan pro-lingkungan telah diterbitkan meskipun beberapa diantaranya akan segera berakhir masa berlakunya,” jelas Teguh. Tak ingin kecolongan, Yayasan Madani Berkelanjutan, Walhi Eksekutif, Kemitraan-Partnership, Sawit Watch, dan Pantau Gambut kembali mengingatkan agar Presiden Joko Widodo meneguhkan komitmennya dan berani untuk menyelamatkan hutan tersisa, serta meneruskan pemulihan gambut setelah berakhirnya masa kerja BRG pada 2020.

Komitmen tersebut dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan kebijakan moratorium pembukaan hutan primer dan gambut yang akan segera dipermanenkan dengan penguatan implementasi restorasi gambut 2020. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga perlu meningkatkan kekuatan hukum perlindungan permanen hutan alam dan gambut dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden. “Peningkatan status kebijakan dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden diperlukan untuk memastikan pembenahan dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Peraturan Presiden (Perpres) diharapkan akan menjadi solusi. Apalagi saat ini belum ada aturan mengenai sistem monitoring dan evaluasi dari Inpres Moratorium,” ujar Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership.

Dalam catatan Pantau Gambut, terjadi pengurangan wilayah moratorium sekitar 2,8 juta hektare pada periode 2011-2019 dan hutan seluas 2.739 hektare telah dilepaskan untuk dijadikan perkebunan sawit.

“Moratorium hutan primer dan gambut yang sudah ada sebelumnya tidak memandatkan tinjauan perizinan yang sudah ada. Adapun terbitnya PIPPIB tidak berkaitan dengan upaya pemulihan ekosistem gambut. Sementara, lahan gambut sebagian besar sudah terlanjur rusak,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch. “Seharusnya pemulihan ekosistem gambut yang bersifat wajib bagi perusahaan terus diawasi dan dipastikan berjalan”, tambahnya.

“Persoalannya, peraturan yang dikeluarkan oleh KLHK masih saling menegasikan. Dalam PermenLHK Nomor 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut bertentangan dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut yang memperbolehkan pengelolaan puncak kubah gambut. Selain itu, Kepdirjen-PPKL-Nomor-SK.40-2018 tentang penetapan status kerusakan ekosistem gambut yang di dalamnya mengatur soal pemulihan oleh perusahaan, dan juga dokumen seperti HGU hanya diketahui oleh KLHK dan Perusahaan. Jadi tidak ada transparansi,” tambah Inda.

“Perlindungan permanen hutan alam dan gambut diharapkan dapat memperkuat komitmen pemerintah dalam menata kembali pengelolaan hutan dan gambut. Apalagi, saat ini KLHK telah mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut,” tegas Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI, menerangkan bahwa pengaturan moratorium harus mempertimbangkan dan memperkuat wilayah Kelola Rakyat, yang selama ini telah hidup turun temurun selaras dengan alam di kawasan hutan, termasuk pengaturan perhutanan sosial pada ekosistem Gambut. Pengaturan moratorium harusnya menutup kemungkinan masuknya penguasaan korporasi dalam bentuk apapun. Masih dikecualikan PAJALE (Padi, Jagung, Kedelai) bisa menjadi pintu masuk pelepasan kawasan hutan, jika tidak diatur dengan ketat.

Masyarakat sipil turut mendukung upaya pemerintah untuk memberi perlindungan hukum secara permanen terhadap kawasan hutan dan gambut dengan membuat petisi. Adalah Piter Masakoda, Ketua himpunan pemuda Suku Moskona di Papua Barat bersama-sama Yayasan Madani Berkelanjutan meluncurkan petisi tersebut pada tanggal 1 Juli 2019 pada laman Change.org dan per 16 Juli 2019 telah meraih 37.000 pendukung. Dan dukungan ini masih terus bertambah. Bagi Suku Moskona, hutan laksana mama sekaligus sumber penghidupan. “Hutan tiada, maka kehidupan pun hilang”, terang M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan perlindungan permanen hutan alam dan gambut perlu dukungan serius agar dapat memberikan kepastian perlindungan hutan alam Indonesia yang luasnya mencapai 89,4 juta hektare. Lebih jauh, upaya pengaturan “moratorium permanen” seharusnya juga mengatur upaya pemulihan lingkungan, khususnya di kawasan hutan dan ekosistem gambut. Empat hal strategis yang perlu dipertimbangkan Jokowi dalam satu tahun pertama adalah menerbitkan Perpres penghentian izin baru di hutan alam dan gambut, melanjutkan restorasi gambut pasca 2020, memperkuat komitmen iklim, dan memimpin implementasi moratorium perkebunan sawit.

Kontak Narasumber:

Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership
0821 6512 0204
abimanyu.aji@kemitraan.or.id

Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut
0812 6370 9484
iola.abas@pantaugambut.id

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch
0811 448 677
inda@sawitwatch.or.id

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819 1519 1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI
0812 8985 0005
zenzi.walhi@gmail.com

Related Article

Indonesia adalah Kunci Penyelamatan Iklim Dunia

Indonesia adalah Kunci Penyelamatan Iklim Dunia

Jakarta, 2 Juli 2019 – Pemerintahan Jokowi jilid II harus lebih serius dan tegas dalam menunjukkan kepemimpinan politik untuk memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia, salah satunya dengan memperkuat implementasi restorasi gambut saat ini dan pasca-2020. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan kepatuhan korporasi, meningkatkan pengawasan, serta melakukan penegakan hukum yang tegas. Karena Indonesia adalah kunci penyelamatan iklim dunia.

Selain penguatan restorasi gambut, pelaksanaan kebijakan moratorium hutan (yang rencananya akan dipermanenkan), evaluasi perizinan melalui implementasi moratorium sawit, serta perhutanan sosial adalah kunci untuk mencapai komitmen iklim Indonesia di tahun 2030 agar Indonesia bisa kembali memimpin di meja perundingan internasional. Penguatan ini penting mengingat masih terdapat kesenjangan yang sangat besar antara apa yang ditargetkan oleh Indonesia dengan kebijakan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Demikian disampaikan oleh M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Media “Karhutla di Momentum Politik: Saat Ini & Pasca Tahun 2020” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Indonesia membutuhkan penguatan sejumlah kebijakan apabila benar-benar ingin mencapai target penurunan emisi dengan moratorium hutan dan restorasi gambut sebagai kebijakan paling besar dampaknya terhadap penurunan emisi,” sambung Teguh.

Kebakaran hutan dan lahan yang masih terus terjadi masih menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan komitmen iklim dan sekaligus indikator apakah restorasi gambut telah dilakukan dengan tepat dan masif sebagaimana diperintahkan dalam Perpres No. 1 tahun 2016. Kajian Madani bersama Kelompok Advokasi Riau (KAR) di wilayah Riau pada kurun waktu Januari-Maret 2019 menunjukkan bahwa terdapat 737 hotspot di Provinsi Riau dan 96 persen di antaranya berada di wilayah prioritas restorasi gambut. Dan diperkirakan area terbakar seluas 5.400 ha di wilayah konsesi. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena merujuk pada data KLHK, kebakaran hutan dan lahan gambut menyumbang 34 hingga 80 persen dari total emisi Indonesia tahun 2015.

“Secara historis, ada konsesi-konsesi yang terus terbakar setiap tahunnya, setidaknya sejak tahun 2015. Di lokasi ini, kami juga tidak menemukan adanya upaya restorasi sebagaimana yang dimandatkan dalam Peraturan Presiden No. 1 tahun 2016,” papar Rahmaidi Azani, GIS Specialist dari Kelompok Advokasi Riau (KAR).

Kajian ini dilakukan dengan melakukan analisis hotspot di Provinsi Riau menggunakan data dengan tingkat kepercayaan tinggi (≥ 80%) dan investigasi lapangan untuk menelisik kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada periode Januari-Maret 2019.

Prof. Bambang Hero, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, menegaskan bahwa yang paling penting dilakukan adalah memastikan bahwa korporasi benar-benar telah melakukan upaya restorasi gambut dengan mengikuti standar yang ada. Itu adalah kunci untuk mengawal agar target penurunan emisi 2030 tercapai.

“Jika wilayah konsesi sudah dinyatakan masuk wilayah prioritas restorasi, seharusnya di tahun ke-4 konsesinya sudah direstorasi. Kenyataannya, wilayah konsesi masih menjadi biang kerok. Ini harus segera dicari penyelesaiannya,” tandasnya. “Dalam memastikan kepatuhan korporasi, BRG dan KLHK seharusnya bersinergi seperti kepingan puzzle yang saling melengkapi.”

Sementara itu, Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyoroti adanya wilayah yang dikuasai masyarakat dalam areal konsesi sawit dan HTI yang kembali terbakar di Riau.

“Titik api dan karhutla tidak berdiri sendiri, tapi selalu ada pemicunya, salah satunya adalah konflik. Jika kita mau menyelesaikan karhutla, kita harus menyelesaikan konfliknya juga. Urusan karhutla bukan hanya sekat kanal dan sumur bor, tapi juga penyelesaian konflik. Gubernur Riau sudah mencanangkan Riau hijau. Maka, penyelesaian konflik harus menjadi prioritas juga,” ujar Inda.

“Mengingat mandat BRG yang wilayahnya luas, komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah, perusahaan, dan jaringan masyarakat di daerah harus dikuatkan. Sinergi agenda BRG dan jaringan masyarakat harus diakselerasi. Selain itu, Nota Kesepahaman dengan RSPO harus ditindaklanjuti karena banyak perusahaan yang punya konsesi di wilayah prioritas restorasi adalah anggota RSPO,” tambahnya.

Pemerintahan Jokowi Jilid II hanya memiliki waktu sekitar satu tahun untuk menyusun strategi penguatan dan akselerasi restorasi gambut pasca-mandat BRG berakhir tahun 2020. Kepemimpinan politik yang tegas dari Presiden, wewenang yang memadai, serta kelembagaan yang kuat adalah syarat mutlak untuk memecahkan permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang sudah terpola selama berpuluh-puluh tahun melalui restorasi gambut.

“Dalam 100 hari pemerintahan Jokowi Jilid II, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, yaitu memperkuat implementasi restorasi gambut sekarang dan pasca2020 melalui penguatan pengawasan dan penegakan hukum, menjalankan evaluasi perizinan yang dipertegas melalui implementasi moratorium sawit untuk mencegah hilangnya pendapatan negara, dan mempermanenkan serta memperkuat kebijakan moratorium hutan,” tutup Teguh.

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819 1519 1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Rahmaidi Azani, GIS Specialist, Kelompok Advokasi Riau (KAR)
0813 7182 2940
comet.azani@gmail.com

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch
0811 448 677
inda@sawitwatch.or.id

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar bidang Perlindungan Hutan IPB
0816 1948 064
bhherosaharjo@gmail.com

Related Article

P.10 Membahayakan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

P.10 Membahayakan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta, 23 Mei 2019 – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sepatutnya mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut karena isinya bertentangan dengan semangat perlindungan dan restorasi gambut, mengancam pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Peraturan Menteri P.10/2019 yang seharusnya hanya mengatur masalah teknis penetapan puncak kubah gambut untuk menentukan area fungsi lindung ekosistem gambut ini justru ‘menyelipkan’ norma baru yang secara keseluruhan melemahkan perlindungan ekosistem gambut.

Pertama, aturan ini mengecilkan ruang lingkup ekosistem gambut yang tidak boleh lagi dieksploitasi untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Aturan ini memperbolehkan perusahaan sawit dan HTI untuk terus mengeksploitasi ekosistem gambut dengan fungsi lindung hingga jangka waktu izin berakhir apabila lokasinya berada di luar puncak kubah gambut. Lebih parah lagi, aturan ini memperbolehkan eksploitasi puncak kubah gambut untuk sawit dan HTI apabila di dalam satu KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut) ada lebih dari satu puncak gambut.

“Memberikan keringanan kepada pelaku izin usaha sawit dan HTI untuk terus melakukan usahanya di ekosistem gambut dengan fungsi lindung tanpa proses evaluasi dan audit perizinan pemanfaatan lahan gambut bertentangan dengan semangat restorasi gambut untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. “Keterlanjuran pemberian izin di ekosistem gambut lindung seharusnya dikoreksi, bukan justru dibiarkan hingga izin berakhir. Ini bahaya karena jangka waktu izin konsesi sangat lama sementara ekosistem gambut dapat rusak dalam waktu singkat.”

Data pemerintah dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menyebutkan 23,96 juta hektare ekosistem gambut atau 99,2 persen berada dalam kondisi rusak. Studi Bappenas tahun 2015 juga menyebutkan kebakaran gambut menyumbang 23 persen dari total emisi Indonesia pada tahun 2010, melepas 0,8 sampai 1,1 GtCO2e atau setara dua kali lipat emisi sektor energi di tahun yang sama.

P.10 berpotensi memperburuk kerusakan gambut ini. Temuan awal Madani, pada Januari-Maret 2019 ini, di Riau saja sudah muncul 319 titik panas (hotspot) di lokasi perkebunan sawit dan HTI yang merupakan wilayah prioritas restorasi BRG (tingkat kepercayaan tinggi). Di sisi lain, masa tugas Badan Restorasi Gambut (BRG) akan berakhir pada 2020. Tinggal 1 tahun lagi bagi BRG untuk menyelesaikan tugas restorasi gambut yang diembannya.

“Agar tidak mencederai upaya mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut dan komitmen iklim pemerintah, aturan ini harus segera dicabut dan dikembalikan ke ‘trah’-nya, yaitu aturan yang lebih teknis untuk menentukan puncak kubah gambut saja tanpa ada pengaturan tentang pemanfaatan puncak kubah gambut,” ujar Teguh. “Selain itu, Presiden harus mulai memikirkan bagaimana kelanjutan keberadaan BRG karena kerja-kerja restorasi gambut adalah kerja-kerja yang bersifat jangka panjang,” tutupnya.

Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan
0856-211-8997
anggi@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Perlindungan Permanen Hutan Alam dan Gambut Tersisa, Kunci Keberhasilan Komitmen Iklim Indonesia

Perlindungan Permanen Hutan Alam dan Gambut Tersisa, Kunci Keberhasilan Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta, 19 Mei 2019. Yayasan Madani Berkelanjutan mendukung rencana pemerintah untuk mempermanenkan perlindungan hutan alam dan gambut tersisa, pasca berakhirnya masa berlaku INPRES tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (Moratoroium Hutan) pada 17 Juli 2019.

“Diperpanjangnya kebijakan perlidungan hutan alam dan lahan gambut secara permanen memperbesar peluang pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani. “Namun, perpanjangan saja belum cukup. Jika ingin mencapai target iklim, pemerintah harus memperkuat komitmen perlindungan hutan alam dan gamnbut dengan turut melindungi jutaan hektar hutan sekunder yang saat ini terancam dibabat.”

Riset World Resources Institute pada 2017 menunjukkan bahwa moratorium hutan adalah kebijakan mitigasi kehutanan dengan potensi penurunan emisi paling tinggi. Memperkuat kebijakan ini dengan melindungi hutan sekunder dapat mengurangi emisi sebesar 437 MtCO 2 pada 2030 sehingga target iklim Indonesia bisa tercapai.

Data Pemerintah Indonesia dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 43,3 juta hektare atau 48,4 persen hutan alam Indonesia dikategorikan sebagai hutan sekunder yang terlepas dari perlindungan moratorium. Lebih dari setengahnya atau 24,8 juta hektare diperuntukkan untuk eksploitasi dengan status hutan produksi. “Yang paling mendesak adalah melindungi hutan alam yang masih bagus dan paling terancam,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Madani. “Ada 3,8 juta hektare hutan sekunder berstatus Hutan Produksi untuk Konversi (HPK), yang dapat dilepas dan ditebang untuk izin-izin non-kehutanan seperti perkebunan dan lain-lain. Pasca berakhirnya masa berlaku Moratorium, perlindungan secara permanen hutan alam dan gambut seharusnya melindungi wilayah tersebut.”

“Kami berharap Pemerintah Indonesia periode ini benar-benar dapat mempermanenkan perlindungan hutan dengan cara mengakomodasinya dengan landasan aturan perundang-undangan yang lebih kuat dan menuangkannya dalam rencana tata ruang nasional,” ujar Teguh. “Dengan demikian, ada garansi hukum dan politik lebih besar untuk mencapai komitmen iklim dan juga dapat meminimalkan konflik di masyarakat.”

Selama delapan tahun, status perlidungan hutan alam dan gambut masih bersifat sementara (moratorium). Madani juga mengkhawatirkan berbagai aturan pengecualian yang ada seperti permohonan izin yang telah mendapat persetujuan prinsip sebelum Mei 2011, panas bumi, migas, dan ketenagalistrikan, ditambah produksi padi, tebu, jagung, sagu dan kedelai untuk kedaulatan pangan nasional. “Ada 31,2 juta hektare lahan tidak berhutan dalam kawasan hutan. Selayaknya pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan lahan tidak berhutan atau memanfaatkan lahan-lahan ex- perusahaan untuk mengamankan kedaulatan pangan, dengan demikian meminimalkan kerusakan hutan,” ujar Anggalia.

Di samping emisi dari sektor hutan dan lahan, pemerintah juga harus mewaspadai emisi dari sektor energi karena berpotensi jadi kuda hitam yang dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia. “Jika konsisten dengan inisiatif baik di dua sektor ini, Indonesia dapat membusungkan dada di perundingan iklim COP-25 yang akan dilaksanakan di Chili bulan Desember ini,” tutup Teguh.

Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan
0856-211-8997
anggi@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Presiden Terpilih Harus Pertahankan Agenda Hutan untuk Rakyat demi Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Presiden Terpilih Harus Pertahankan Agenda Hutan untuk Rakyat demi Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta, 23 April 2019 – Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih haruslah konsisten meningkatkan akses hutan untuk masyarakat demi kuatnya perlindungan hutan dan mengangkat kesejahteraan rakyat dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Perhutanan sosial dan komitmen iklim nasional Indonesia atau NDC (Nationally Determined Contribution) adalah dua agenda penting yang harus dijaga oleh pemimpin Indonesia dikarenakan berkaitan langsung dengan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, serta pertumbuhan ekonomi masa depan.

Di bawah Perjanjian Paris, Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk mengurangi emisi sebesar 29 hingga 41 persen pada 2030 serta meningkatkan ketahanan terhadap berbagai dampak negatif perubahan iklim. Dari target ini, sektor kehutanan menyumbang target penurunan emisi terbesar. Di sisi lain, pemerintah telah mengalokasikan 12,7 juta hektare kawasan hutan untuk masyarakat melalui program perhutanan sosial dengan capaian distribusi sebesar 2.613.408 hektare per 1 April 2019. Target distribusi perhutanan sosial yang harus dicapai hingga akhir tahun 2019 masih cukup besar, yakni 1,77 juta hektare sementara sisanya bergantung pada kepemimpinan politik Presiden terpilih mendatang beserta jajarannya.

“Perhutanan sosial yang dikelola secara lestari oleh masyarakat akan membantu pencapaian komitmen iklim Indonesia, baik mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. “Oleh karena itu, di tengah keriuhan politik saat ini, sangat penting menjaga konsistensi agenda pencapaian komitmen iklim Indonesia dan penguatan perhutanan sosial.”

Kedua kandidat Presiden memberi penekanan pada peningkatan akses masyarakat kepada hutan dan/atau lahan. Joko Widodo – Ma’ruf Amin menjanjikan akan mempercepat pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial guna memberikan peluang bagi rakyat yang selama ini tidak memiliki lahan atau aset untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi serta melanjutkan pendampingan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah objek reforma agraria dan perhutanan sosial sehingga lebih produktif. Sementara itu Prabowo Subianto – Sandiaga Uno berjanji akan menjalankan agenda reforma agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani sekaligus mendukung peningkatan produksi di sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Kedua kandidat pun mencantumkan upaya mengatasi perubahan iklim dalam dokumen visi-misi mereka meski tidak rinci.

“Sayangnya, belum ada benang merah yang dapat ditarik secara tegas di antara kedua agenda tersebut,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan.” Oleh karena itu, penting untuk memperjelas bagaimana dan seberapa besar perhutanan sosial dapat berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia agar masyarakat pengelola hutan juga dapat menikmati insentif dari berbagai skema pendanaan iklim, misalnya REDD+.” Saat ini, telah banyak pembelajaran dari pengelolaan hutan oleh masyarakat yang sangat berharga untuk memperkuat kontribusi perhutanan sosial terhadap pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Melalui Pertemuan Strategis Pemangku Kepentingan: Memperkuat Kontribusi Perhutanan Sosial untuk Mendukung Pencapaian Target NDC Indonesia yang mengumpulkan pegiat perhutanan sosial di tingkat nasional dan daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bappenas, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yayasan Madani Berkelanjutan berupaya memfasilitasi proses pembelajaran dari pengembangan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah perhutanan sosial dan menginisiasi komunikasi untuk menumbuhkan benih-benih kolaborasi di antara para pemangku kepentingan. Beberapa isu yang dikupas dalam kaitannya dengan perhutanan sosial di acara ini antara lain perencanaan pembangunan rendah karbon, Program Kampung Iklim, REDD+, rehabilitasi hutan dan lahan, restorasi gambut, pendanaan iklim, dan pemberdayaan masyarakat desa.

“Sudah waktunya kita tidak lagi memisahkan antara peningkatan kesejahteraan dan pelestarian lingkungan maupun adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam perhutanan sosial karena di tingkat tapak dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat keduanya saling bertautan dan tidak bisa dipisahkan,” tutup Teguh.

Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan
0856-211-8997
anggi@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Laporan Terkini REDD+ Agustus 2018

Laporan Terkini REDD+ Agustus 2018

Laporan ini menyoroti potensi deforestasi, perkembangan kebijakan Satu Peta, desakan Koalisi Masyarakat Papua Barat untuk Merevisi RTRW Papua Barat, dan wacana rasionalisasi kawasan hutan yang digulirkan oleh Bappenas. Juga dilengkap rekomendasi berupai tindak lanjut dan catatan dari Madani Berkelanjutan untuk isu-isu yang dibahas.

Related Article

Laporan Terkini REDD+: Mengurai Benang Kusut Penghitungan Deforestasi Indonesia

Laporan Terkini REDD+: Mengurai Benang Kusut Penghitungan Deforestasi Indonesia

Definisi hutan, deforestasi, serta bagaimana cara menghitungnya masih menjadi perdebatan di antara para pihak yang berkepentingan. Hingga saat ini, belum ada konsensus di tingkat nasional mengenai angka deforestasi Indonesia di luar dari angka yang dipublikasikan oleh pemerintah setiap tahunnya. Padahal, kesepakatan mengenai angka deforestasi yang terjadi dan yang telah berhasil diturunkan adalah salah satu penentu keberhasilan pelaksanaan REDD+. Di samping itu, dialog yang sehat mengenai bagaimana deforestasi didefinisikan, dihitung, serta apa maknanya bagi lingkungan hidup dan masyarakat Indonesia menjadi penting untuk terus dilakukan agar angka-angka deforestasi yang termuat dalam berbagai publikasi resmi dan media massa lebih mencerminkan kondisi yang sesungguhnya ketimbang hanya menjadi guratan di atas kertas.

Tulisan ini mencoba membandingkan angka deforestasi versi pemerintah dengan masyarakat sipil untuk mengetahui letak perbedaan atau kesenjangan, baik dalam definisi yang digunakan, metode penghitungan, maupun hasil akhir. Data yang digunakan adalah data resmi pemerintah yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dahulu Kementerian Kehutanan) dan Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta data yang dikeluarkan oleh organisasi masyarakat sipil yang memiliki fokus pada pemantauan hutan dan deforestasi. Madani Berkelanjutan berharap ia dapat menjadi bahan untuk mendorong dialog di antara para pihak guna menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga kelak Indonesia memiliki angka deforestasi yang kredibel dengan keterlibatan publik yang lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Laporan tersedia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Related Article

Ulasan Peraturan Kementerian Lingkungan dan Kehutanan No. 70 Tahun 2017 tentang REDD+

Ulasan Peraturan Kementerian Lingkungan dan Kehutanan No. 70 Tahun 2017 tentang REDD+

Laporan ini mengulas secara komprehensif mengenai Peraturan Kementerian Lingkungan dan Kehutanan No. 70 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing Emmisions from Deforestation and Forest Degradation, Role of Conservation, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Carbon Stocks. Regulasi ini menjadi dasar legal atas penerapan REDD+ di Indonesia, mencakup ketentuan umum, lokasi, pendekatan, perangkat, serta upaya pemantauan, evaluasi, dan pembinaan implementasi REDD+ baik di tingkat nasional maupun subnasional.Untuk membaca selengkapnya, sila unduh laporan di bawah ini (dalam bahasa Inggris).

To read the full report, please download below.

Related Article

en_USEN_US