Madani

Tentang Kami

Perlu Komitmen Bersama Agar Sawit Indonesia Bisa Menyejahterakan Rakyat

Perlu Komitmen Bersama Agar Sawit Indonesia Bisa Menyejahterakan Rakyat

[MadaniNews, 28/01/2021] Agar industri sawit Tanah Air mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat secara menyeluruh, maka perlu adanya komitmen bersama dalam memperbaiki tata kelola sawit nasional. Hal itu disampaikan Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, Trias Fetra dalam diskusi Katadata Forum Virtual Series yang mengusung tema “Dampak Ekonomi Sawit Bagi Daerah” yang dilaksanakan pada Rabu, 28 Januari 2020.

Trias mengungkapkan bahwa selama ini ekspansi sawit yang begitu masif ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena pada kenyataannya hanya segelintir orang saja yang merasakan manfaat siginfikan dari ekspansi sawit tersebut.

Salah satu penyebab ketimpangan tersebut adalah penentuan harga Tandan Buah Segar (TBS) berdasarkan Indeks K hanya mempertimbangkan biaya produksi dari Pabrik kelapa sawit, bukan biaya produksi petani. Akibatnya, petani sangat dirugikan karena harga TBS menjadi lebih rendah. Biaya operasional perusahaan ditanggung petani sawit dan posisi tawar petani sawit sangat rendah”, ujar Trias.

Diskusi yang juga menyorot capaian Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan sawit (Inpres Moratorium Sawit) ini, dihadir oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat Heronimus Hero dan juga Kepala Pusat Kebijakan APBN Kemenkeu, Ubaidi Socheh Hamidi.

Terkait dengan inpres moratorium sawit, Heronimus Hero mengatakan bahwa meskipun moratorium sawit sudah selesai, pemerintah daerah khususnya Provinsi Kalimantan Barat juga tidak akan memberikan izin lagi karena tidak tersedianya lahan.

Sementara itu, Ubaidi Socheh Hamidi banyak menjelaskan terkait dengan kondisi fiskal dari sektor perkebunanan sawit di daerah. Ubaidi mengatakan bahwa tidak bisa menutup mata, dana perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat masih dominan. Hal tersebut lantaran PAD masih kecil. Di Kalimantan Barat, PAD hanya berkontribusi 16% terhadap pendapatan daerah.

Dapatkan materi dalam diskusi Dampak Ekonomi Sawit Bagi Daerah dengan mengunduh bahan-bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Agar Sawit Benar-benar Berkelanjutan

Agar Sawit Benar-benar Berkelanjutan

Niat dan upaya pemerintah untuk memperbaiki serta mewujudkan tata kelola industri sawit nasional yang baik, tentu patut kita acungi jempol. Karena pada dasarnya, industri sawit yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia sudah harus dibenahi agar benar-benar matang secara keseluruhan.


Melalui rencana perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang ditopang Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB), cita-cita mewujudkan tata kelola yang baik terlihat semakin nyata. Kebijakan ini pun disebut akan menjadi landasan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, dan pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan.


Walaupun dalam konteks energi terbarukan, sawit masih diragukan banyak pihak. Namun, dengan adanya inpres ini, dapat dikatakan pemerintah optimis bahwa sawit dapat menjadi energi terbarukan dan juga dapat benar-benar berkelanjutan. RAN-KSB ini sendiri memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan, antara lain, penguatan data, penguatan koordinasi, dan infrastruktur, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Bukan hanya itu, RAN KSB juga menerapkan tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, dukungan percepatan sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan meningkatkan akses pasar sawit. Upaya mengimplementasikan sawit yang berkelanjutan tersebut, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Kebijakan yang baik, harus diiringi oleh implementasi yang juga tepat. Karena pada dasarnya, permasalahan seputar sawit di Indonesia tidak lepas dari permasalahan yang itu-itu saja, artinya negeri ini tidak memiliki komitmen yang kuat untuk berbenah. Banyak orang yang sepakat jika persoalan sawit di tanah air selama ini adalah seputar tata kelola yang kurang baik. Aspek dalam tata kelola ini meliputi integritas, transparansi, akuntabilitas, kredibilitas.

Sudah menjadi rahasia umum, jika indikator tersebut kerap disepelekan. Pasalnya sawit yang begitu menggiurkan berhasil membuat kebanyakan orang gelap mata dan akhirnya meminggirkan kepentingan lingkungan yang seharusnya berjalan beriringan. Namun, jika dilihat lebih seksama, Inpres RAN KSB ini pun dapat dikatakan belum menyasar tiga permasalahan utama sistem pengelolaan kelapa sawit sebagaimana diidentifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni tidak akuntabelnya sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit, tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit, dan tidak optimalnya pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Sederhananya, Inpres ini mencakup mandat kepada Menteri Keuangan, namun mandat tersebut hanya berupa alokasi pembiayaan dan tidak menyasar hal-hal yang perlu diperbaiki untuk mencegah korupsi. Jelas bahwa dalam hal ini, RAN KSB harus dibenahi agar mencerminkan upaya untuk memperbaiki mekanisme perizinan perkebunan kelapa sawit sebagaimana rekomendasi KPK.

Kondisi Sawit Indonesia

Terkait dengan kondisi sawit saat ini, hingga 2019, Madani Berkelanjutan menemukan setidaknya terdapat 18.918.193,22 Ha izin sawit yang  terinventaris. Dari luasan tersebut 21,39 % berada dan saling berhimpitan dengan Kawasan Hutan. Kemudian, terdapat 18,34 % dalam izin tersebut masih berupa tutupan hutan alam.

Di sisi lain, sekitar 21,06 % izin sawit berada dan berhimpitan dengan fungsi ekosistem gambut. Rasanya, empat tahun lebih komitmen pemerintah untuk menjaga dan memulihkan gambut yang rusak dengan salah satunya mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG), seolah sia-sia belaka karena Inpres ini. Bukan hanya itu, hal yang tidak kalah mengecewakannya adalah terdapat 2,42 % dalam izin tersebut merupakan area Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) revisi 04. Lahan-lahan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat untuk meningkatkan ekonominya melalui program yang gencar digaungkan pemerintah yakni perhutanan sosial, malah dijadikan dilepas untuk ekspansi sawit.

Kemudian, sekitar 5,47 % merupakan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) 2019.  Kondisi tersebut tentu membuktikan bahwa sawit yang begitu menggoda, berhasil melunturkan komitmen pengelolaan sawit yang sudah disepakati. Tidak dapat dimungkiri bahwa komoditas sawit adalah komoditas terbaik yang pernah dihasilkan Indonesia sampai saat ini. Karena unggulnya komoditas ini, Indonesia pun dibuat ketergantungan sehingga sawit dapat dikatakan bahwa sawit sangat memengaruhi banyak aspek khususnya perekonomian. Salah satunya, pengaruh sawit terhadap devisa negara. Terakhir, kontribusi sawit terhadap devisa di 2017 tercatat mencapai USD 23 miliar atau naik 26% dari tahun sebelumnya. Tentu kontribusi tersebut tidak dapat disepelekan.

Namun, sangat disayangkan, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap sawit membuat perekonomian pun rentan. Harga sawit global yang tidak dapat diprediksi karena ketidakpastian, membuat Indonesia harus selalu dihantui rasa takut apabila sawit tidak maksimal memberikan dampak untuk perekonomian. Salah satu contohnya, kebijakan uni eropa yang menahan ekspansi sawit Indonesia ke pasarnya, memaksa pemerintah putar otak mencari pasar untuk produksi sawit yang terus meningkat.


Bisa jadi, program Biofuel seperti B20, B30, bahkan rencananya hingga B100 adalah upaya pemerintah untuk mengatasi kondisi pasar global dengan membuka keran pasar domestik. Namun, sangat disayangkan jika program tersebut yang begitu gencar malah menjadi pemicu ekspansi perkebunan sawit ke lahan-lahan yang tidak semestinya, seperti hutan lindung dan sebagainya. Sekarang, sudah saatnya kita berkolaborasi untuk mewujudkan industri sawit yang lebih baik. Semua orang bisa terlibat dengan caranya masing-masing, asalkan mau bekerja dan berkontribusi agar sawit kita benar-benar menjadi berkelanjutan, tidak sekadar branding belaka.(*)

Oleh : Delly Ferdian

Pemerhati Ekonomi Lingkungan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 24 Februari 2020

Related Article

Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

[MadaniNews, Selasa, 18/02/2020] Pada 22 November 2019 Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Inpres ini menjadi momentum penting untuk perbaikan tata kelola sawit oleh semua pihak. Inpres ini memberikan mandat di antaranya Penguatan data, koordinasi, dan infrastruktur; Peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun; Pengelolaan dan pemantauan lingkungan; Tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa; serta Percepatan pelaksanaan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dan peningkatan akses pasar produk kelapa sawit.

Ini yang melandasi MADANI menyelenggarakan Diskusi “Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dalam Perbaikan Tata Kelola Kelapa Sawit Indonesia”. Diskusi ini dilaksanakan pada 18 Februari 2020. Hadir menjadi narasumber dalam diskusi ini antara lain Dr. Siswo Pramono, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri; Muhammad Saifulloh, sisten Deputi Perkebunan dan Hortikultura, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Ismu Zulfikar, Kompartemen Sertifikasi ISPO Bidang Implementasi ISPO, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia; serta M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan.

Dalam diskusi ini, M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan menyampaikan bahwa 16 penerima instruksi dari Kementerian dan Lembaga, banyak yang positif. Namun jangka waktu yang diatur di dalam Inpres tersebut hanya berlaku untuk satu periode pemerintahan saja. Padahal seharusnya Inpres ini seharusnya bisa mengatur dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Selain itu, RAN KSB ini belum menyasar upaya peningkatan akuntabilitas untuk mencegah korupsi. “Merujuk pada laporan KPK tahun 2016 tentang pengelolaan komoditas kelapa sawit yang berkelanjutan, dijelaskan bahwa ada 3 hal yang harus dilakukan. Pertama, proses akuntabilitas sistem pengendalian dalam perijinan. Kedua, efektifitas pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit. Ketiga, tidak optimalnya pengurangan pajak sektor kelapa sawit. Tiga poin penting yang direkomendasikan KPK ini belum diakomodasi di dalam RAN KSB,” ujar Teguh. 

Berikut materi dan catatan terkait Diskusi “Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dalam Perbaikan Tata Kelola Kelapa Sawit Indonesia”.

Related Article

en_USEN_US