Madani

Tentang Kami

MADANI INSIGHT VOL.5

MADANI INSIGHT VOL.5

“Gambaran Industri Sawit Indonesia, Menjawab Asumsi Dengan Fakta dan Angka”

Madani Berkelanjutan merilis beberapa temuan menarik terkait dengan industri sawit di Indonesia. Temuan tersebut disajikan dalam Info Brief Madani Insight yang disusun ke dalam beberapa volume.

BACA JUGA : Madani Insight Vol.3

Ada beberapa poin penting yang ditemukan Madani Berkelanjutan dalam Info Brief volume kelima ini :

1. Perusahaan Sawit dan Kemandirian Desa di Kalbar (Antara Data & Fakta)

Beragamnya pandangan mengenai kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan pedesaan menunjukkan bahwa berbagai aktor yang ada tidak berangkat dari data yang sama, dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang juga berbeda. Hal ini dapat menghambat pengambilan keputusan untuk mendapatkan sebuah solusi bagi semua pihak.

2. Kontribusi Perusahaan Sawit Pada Pembangunan Desa di Kalbar

Banyaknya jumlah desa di suatu wilayah yang bersinggungan dengan lokasi pemegang izin perusahaan perkebunan sawit tidak dapat menjamin pembangunan desa tersebut berjalan dengan baik. Pada studi kasus lima kabupaten di Kalbar, tiga kabupaten di antaranya yakni Ketapang, Landak, dan Sekadau memiliki Indeks Desa Membangun (IDM) yang cukup besar yang didominasi oleh jumlah desa yang belum mendapatkan manfaat atas pemegang izin usaha perkebunan secara optimal. Sedangkan Sintang dan Sanggau, berdasarkan IDM menunjukkan bahwa terdapat potensi besar pengembangan wilayah pedesaan.

3. Penyebab Rendahnya Nilai Indeks Desa Membangunan yang Bersinggungan dengan Lokasi Izin Perkebunan Sawit

Kondisi Desa yang beum mendapatkan manfaat atas keberadaan izin perkebunan sawit secara optimal dikontribusi oleh rendahnya nilai indeks komposit ekonomi dan lingkungan. Diperlukan kolaborasi multipihak baik pemerintah dan swasta melalui public private partnership dengan memaksimalkan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan yang terarah untuk mengurai permasalahan ini.

Untuk Info Brief Madani Insight Volume 5 ini, selengkapnya dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. 

Semoga Bermanfaat.

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Perpanjangan INPRES Moratorium Sawit Peluang Menyejahterakan Petani dan Daerah

Perpanjangan INPRES Moratorium Sawit Peluang Menyejahterakan Petani dan Daerah

[Jakarta, 9 Februari 2021] Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (INPRES Moratorium Sawit) yang akan berakhir tahun ini, perlu diperpanjang untuk memberi ruang perbaikan tata kelola guna meningkatkan kesejahteraan petani dan daerah-daerah penghasil sawit.

Masih banyak persoalan tata kelola sawit yang harus dibenahi agar petani dan daerah sejahtera, di antaranya sengkarut perizinan, perkebunan tanpa izin, legalitas lahan dan kebun petani, subsidi yang tidak tepat sasaran, prioritas anggaran bagi kesejahteraan petani yang minim, hingga perimbangan keuangan pusat-daerah yang dirasa belum adil. Oleh karena itu, moratorium sawit selama 3 tahun ini harus diperpanjang agar semua pihak punya waktu cukup untuk berbenah,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sengkarut perizinan sawit membuat pendapatan daerah kurang optimal. Setidaknya Madani mencatat terdapat 11,9 juta izin sawit yang belum ditanami sawit. Area ini perlu mendapat perhatian sebagai prioritas revisi izin yang telah diberikan. Disisi lain terdapat pula 8,4 juta tutupan sawit yang belum terdata izin sawitnya. Tentunya pemerintah pada area ini perlu mencermati dan memastikan status izin yang ada agar dapat mengoptimalkan pendapatan negara.

Trias Fetra menambahkan, “Selain memperpanjang moratorium sawit, Pemerintah juga perlu membuat formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit melalui pengelolaan harga TBS dan dana perkebunan sawit, karena saat ini penggunaan Dana Perkebunan Sawit tidak tepat sasaran, sehingga tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan petani sawit. Selain itu, formula penetapan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani lebih banyak menguntungkan dan mensubsidi pengusaha”.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Madani, dana perkebunan sawit yang seharusnya digunakan untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan perkebunan sawit, seperti program peremajaan sawit rakyat, program pengembangan sarana dan prasarana perkebunan sawit, program peningkatan sumber daya manusia di sektor perkebunan sawit dan sebagainya, ternyata digunakan untuk program subsidi biodiesel. Berdasarkan data KPK (2017), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana perkebunan sawit dari hasil pungutan ekspor CPO dan produk turunannya sebesar Rp 11 triliun pada 2016. Dari besaran dana yang dihimpun tersebut, BPDPKS mengalokasikan sebesar 81,8% untuk subsidi biodiesel. Ada dua grup usaha, yaitu Wilmar Grup dan Musim Mas Grup yang mendapatkan alokasi terbesar dari subsidi biodiesel tersebut,” ungkap Trias Fetra.

Peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, Erlangga menambahkan bahwa dalam analisis input-output yang dilakukan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukan bahwa penggunaan dana perkebunan sawit untuk membiayai subsidi biodiesel tidak memberikan nilai manfaat besar terhadap keseimbangan faktor produksi dibandingkan menggunakannya untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan sektor perkebunan sawit.

Jika semua penerimaan dana perkebunan sawit digunakan untuk sektor perkebunan sawit maka pertumbuhan output produksi di sektor tersebut meningkat sebesar 6,52% dan juga mempengaruhi output produksi sektor lain, seperti faktor produksi tenaga kerja naik sebesar 0,59%, output faktor produksi rumah tangga juga meningkat sebesar 0,50%. Sedangkan, jika dana tersebut semuanya digunakan untuk subsidi biodiesel, hanya mampu meningkatkan output produksi sektor industri biodiesel sebesar 1,23%. Output produksi tenaga kerja dan output produksi rumah tangga hanya naik sebesar 0,31%,” terang Erlangga.

Selain itu, tujuan dari penghimpunan dana perkebunan sawit untuk meningkatkan kesejahteraan petani, sesuai dengan mandat dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan tidak terealisasi. “Pemerintah mendorong peningkatan harga CPO dengan melakukan pungutan ekspor terhadap ekspor CPO dan produk turunannya. Dimana dana dari hasil pungutan tersebut digunakan untuk membiayai subsidi biodiesel. Hal tersebut dilakukan agar produksi biodiesel di dalam negeri meningkat sehingga mampu menyerap produksi CPO. Meningkatnya permintaan CPO akan mampu mendongkrak harga CPO dan implikasi lainnya, harga TBS di tingkat petani meningkat. Pada akhirnya, akan meningkatkan nilai tukar petani (NTP) perkebunan rakyat,” kata Intan Elvira, peneliti Tata Kelola Sawit Madani Berkelanjutan.

Ternyata hal tersebut tidak terjadi. Harga CPO di dalam negeri tidak mengalami peningkatan signifikan dan cenderung berfluktuasi. Misalnya, pada 2014, rata-rata harga CPO berdasarkan harga acuan Belawan dan Dumai sebesar Rp 9.084/Kg. Harga tersebut sebelumnya pemerintah melakukan pungutan ekspor. Setelah, pungutan ekspor dilakukan pada 2015, harga CPO lebih rendah dibanding harga sebelum pungutan ekspor. Bahkan, pada 2019, harga turun menjadi Rp 6.829/Kg,” tambah Intan Elvira.

Untuk itu, Badan Pengarah BPDPKS perlu mengubah strategi penggunaan dana perkebunan sawit agar fokus pada perbaikan kesejahteraan petani, seperti program peremajaan sawit rakyat, peningkatan sarana dan prasarana perkebunan sawit, dan peningkatan SDM petani sawit. Hal ini penting dilakukan agar mandat dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan bisa direalisasikan dengan baik. Di mana dalam regulasi tersebut diatur penggunaan dana perkebunan sawit untuk program peremajaan sawit rakyat, peningkatan sarana dan prasarana perkebunan sawit, dan peningkatan SDM petani sawit,” kata Trias Fetra.

Selain itu, Badan Pelaksana BPDPKS perlu memperbaiki skema penyaluran dana untuk program peremajaan sawit rakyat yang berbasis pada data yang valid (spasial dan numerik), memangkas proses birokrasi yang panjang, seperti proses rekomendasi teknis yang bertingkat dan verifikasi calon penerima.

Kementerian Pertanian perlu perbaikan terhadap formula penetapan harga TBS di tingkat petani dari hanya menggunakan pendekatan biaya produksi pada level Pabrik Kelapa Sawit (PKS) menjadi kombinasi antara biaya produksi pada level PKS dan biaya produksi pada level petani.  Serta Kementerian Pertanian perlu menyusun matriks penentuan harga TBS berdasarkan kualitas TBS sebagai referensi resmi yang dikeluarkan melalui revisi Permentan No. 1 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga TBS. Dan perlu menyusun skema khusus lewat Peraturan Menteri yang mengatur ketentuan penetapan harga yang linear antara kenaikan harga CPO dan Indeks K. Pada banyak kasus, kenaikan harga TBS tidak elastis dengan kenaikan harga CPO,” kata Intan Elvira. [ ]

Kontak Media:

Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366

Erlangga, Peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0852 0856 8896

Intan Elvira, Peneliti Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0812 2838 6143

Related Article

Perlu Komitmen Bersama Agar Sawit Indonesia Bisa Menyejahterakan Rakyat

Perlu Komitmen Bersama Agar Sawit Indonesia Bisa Menyejahterakan Rakyat

[MadaniNews, 28/01/2021] Agar industri sawit Tanah Air mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat secara menyeluruh, maka perlu adanya komitmen bersama dalam memperbaiki tata kelola sawit nasional. Hal itu disampaikan Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, Trias Fetra dalam diskusi Katadata Forum Virtual Series yang mengusung tema “Dampak Ekonomi Sawit Bagi Daerah” yang dilaksanakan pada Rabu, 28 Januari 2020.

Trias mengungkapkan bahwa selama ini ekspansi sawit yang begitu masif ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, karena pada kenyataannya hanya segelintir orang saja yang merasakan manfaat siginfikan dari ekspansi sawit tersebut.

Salah satu penyebab ketimpangan tersebut adalah penentuan harga Tandan Buah Segar (TBS) berdasarkan Indeks K hanya mempertimbangkan biaya produksi dari Pabrik kelapa sawit, bukan biaya produksi petani. Akibatnya, petani sangat dirugikan karena harga TBS menjadi lebih rendah. Biaya operasional perusahaan ditanggung petani sawit dan posisi tawar petani sawit sangat rendah”, ujar Trias.

Diskusi yang juga menyorot capaian Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan sawit (Inpres Moratorium Sawit) ini, dihadir oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat Heronimus Hero dan juga Kepala Pusat Kebijakan APBN Kemenkeu, Ubaidi Socheh Hamidi.

Terkait dengan inpres moratorium sawit, Heronimus Hero mengatakan bahwa meskipun moratorium sawit sudah selesai, pemerintah daerah khususnya Provinsi Kalimantan Barat juga tidak akan memberikan izin lagi karena tidak tersedianya lahan.

Sementara itu, Ubaidi Socheh Hamidi banyak menjelaskan terkait dengan kondisi fiskal dari sektor perkebunanan sawit di daerah. Ubaidi mengatakan bahwa tidak bisa menutup mata, dana perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat masih dominan. Hal tersebut lantaran PAD masih kecil. Di Kalimantan Barat, PAD hanya berkontribusi 16% terhadap pendapatan daerah.

Dapatkan materi dalam diskusi Dampak Ekonomi Sawit Bagi Daerah dengan mengunduh bahan-bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Dua Tahun Inpres Moratorium Sawit : Pemerintah Perlu ‘Tancap Gas’ Perbaiki Tata Kelola Sawit

Dua Tahun Inpres Moratorium Sawit : Pemerintah Perlu ‘Tancap Gas’ Perbaiki Tata Kelola Sawit

[Jakarta, 20 September 2020] September 2020, Kebijakan Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, atau yang dikenal dengan inpres moratorium sawit telah memasuki usia dua tahun pasca diterbitkan. Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah perlu ‘tancap gas’ untuk menyelesaikan berbagai mandat Inpres moratorium sawit dalam memperbaiki tata kelola sawit Indonesia agar dapat menyelesaikan 1053 konflik di perkebunan sawit    serta berkontribusi optimal untuk pemulihan ekonomi nasional.

Dalam konteks terkini, pandemi Covid-19 yang sedang kita hadapi bersama sedikit banyak menjadi faktor eksternal yang berpengaruh terhadap proses pengimplementasian kebijakan. Dengan fokusnya pemerintah pusat dan daerah dalam hal menangani pandemi, maka proses pengimplementasian kebijakan ini agak sedikit tertunda. Harapannya pemerintah dapat menemukan mekanisme kerja implementasi yang lebih adaptif terhadap kondisi pandemi sehingga situasi ini tidak menjadi penghambat yang berarti.

Selama kurun waktu dua tahun, dinamika perkembangan dan capaian yang dilakukan dari Kementerian dan atau Lembaga di pemerintah pusat sampai pemerintah daerah belum memuaskan karena tiadanya capaian-capaian yang signifikan. Di tingkat nasional, pemerintah pusat yang digawangi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah membentuk tim kerja moratorium sawit yang beranggotakan perwakilan antar-kementerian. Tim ini diketahui telah menyelesaikan tutupan luasan sawit di Indonesia yang tertuang dalam Kepmentan No. 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 yakni luas tutupan perkebunan sawit adalah 16,38 juta hektar. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional telah melakukan validasi data Hak Guna Usaha (HGU) di Kaltim, Kalteng, Sulbar, Papua dan Riau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan penundaan penerbitan izin baru pelepasan kawasan/tukar menukar kawasan hutan, telah menetapkan kebun-kebun sawit illegal dalam kawasan hutan serta menyusun rancangan perpres berkenaan dengan tipologi penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan.

Sementara di tingkat Provinsi dan Kabupaten, beberapa pemerintah daerah seperti Provinsi Aceh, Kabupaten Buol, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Gorontalo dan Aceh Utara telah merespon kebijakan ini dengan menurunkannya ke dalam aturan di tingkat lokal dalam bentuk Surat Edaran (SE) maupun Peraturan Bupati (Perbup). Sementara daerah yang memiliki komitmen positif terhadap inpres ini terdapat lima Provinsi (Kaltim, Kalbar, Riau, Papua Barat dan Kepulauan Riau) dan enam Kota/Kabupaten (Sintang, Kayong Utara, Barito Timur, Lingga, Banyuasin dan Musi Banyuasin). 

Sejumlah capaian baik ini tidak terlepas dari hambatan dan tantangan pengimplementasian yang perlu diperbaiki ke depan. Koalisi Masyarakat Sipil mencatat beberapa hal diantaranya, Pertama, minimnya sosialisasi kebijakan. Beberapa kepala daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota masih belum mengetahui terkait kebijakan ini. Hal ini menunjukkan proses sosialisasi yang kurang baik. Kedua, pola kerja pemerintah pusat dan daerah yang tidak tersinkronisasi. Pola kerja dalam inpres ini adalah dari daerah ke nasional artinya hasil temuan pemerintah daerah yang nantinya akan dibahas di tim kerja nasional untuk tindaklanjuti. Hal ini yang tidak terjadi. Pemerintah pusat hanya berfokus melakukan penyusunan tutupan luasan sawit. Bahkan strategi implementasi inpres tim kerja nasional dengan menetapkan tujuh provinsi prioritas (Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur) tidak sejalan dengan inpres, karena didalam inpres tidak mengamanatkan hal demikian. 

Ketiga, belum adanya peta jalan pengimplementasian inpres moratorium sawit. Beberapa daerah yang semangat menjalankan inpres terkendala soal tidak adanya dokumen rujukan yang dapat menjadi acuan pengimplementasian inpres ini. Sehingga diperlukan hal semacam peta jalan, petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), termasuk alokasi anggaran yang tidak disebutkan dalam inpres ini.

Keempat, tidak mengedepankan prinsip keterbukaan data. Laporan perkembangan enam bulanan yang disusun oleh tim kerja nasional untuk dilaporkan ke Presiden sangat sulit untuk diakses kelompok masyarakat sipil. Walau tidak ada kewajiban untuk membuka dokumen ini ke publik tapi akan sangat baik jika hal tersebut dilakukan, agar kita dapat melihat proses secara utuh dan memberikan masukan-masukan yang sesuai. Selain itu, tidak adanya update yang diterima masyarakat sipil terkait perpindahan Deputi di Kemenko Perekonomian yang menangani Inpres ini juga sangat disayangkan. Padahal proses transparansi adalah faktor yang penting untuk mengetahui lubang yang selama ini ada dan bersama-sama menambalnya.

Hal lainnya, terkait tutupan luasan perkebunan sawit di Indonesia yang telah dirilis juga tidak menyampaikan detail terkait berapa dan dimana lokasi sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Padahal jika hal ini tertuang dalam tutupan tersebut maka akan sangat memudahkan bagi tim kerja melakukan evaluasi. Sehingga wajar saja, hingga saat ini belum ada kasus sawit di kawasan hutan yang dapat diselesaikan melalui inpres ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyatakan bahwa terdapat 3,4 juta ha perkebunan sawit didalam kawasan hutan, namun faktanya hingga saat ini tidak ada kejelasan terkait penyataan tersebut perihal dimana lokasinya, dimiliki oleh siapa apa dan bagaimana proses tindaklanjutnya.

Kelima, pemerintah belum memiliki arah yang jelas soal peningkatan produktivitas sawit. Artinya pemerintah belum memiliki berapa target atau standar produktivitas sawit yang akan dituju serta bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai target tersebut. Dalam kacamata pemerintah peningkatan produktivitas hanya terbatas pada Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) semata dengan memanfaatkan dana BPDP-KS. Yang mana realisasinya program ini masih minim, pada 2020 hanya seluas 20.469 ha atau 11,37% dari target yang telah ditetapkan.

Selain itu di sisi ekonomi, kontribusi sawit terhadap daerah masih dirasa kurang berdampak. Hal ini dikarenakan belum adanya skema bagi hasil yang berimbang antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat. Sistem pembagian hasil seperti ini tidak setara dengan dampak dari pengelolaan perkebunan sawit seperti kerusakan infrastruktur akibat pengangkutan CPO hingga kerusakan lingkungan yang berdampak pada pencemaran air, tanah, dan udara, serta Karhutla.

Sejumlah catatan kritis di atas diharapkan dapat menjadi perhatian para penerima mandat dalam inpres ini.  Kami dari koalisi masyarakat sipil merekomendasikan beberapa hal diantaranya :

  1. Respon positif pemerintah daerah baik di tingkat provinsi/kabupaten/kota perlu disambut baik oleh pemerintah pusat dengan mensinergikan kerja-kerja serta memfasilitasi dengan menyiapkan aturan teknis implementasi inpres (juklak atau juknis)termasuk alokasi anggaran.
  2. Adanya target dan program peningkatan produktivitas oleh pemerintah yang lebih jelas dan terukur serta memiliki waktu dan lokasi (kabupaten/kota) pencapaian target tersebut.
  3. Meningkatkan transparansi dan akses publik mengenai laporan enam bulanan perkembangan inpres moratorium serta data penggunaan lahan dan izin perusahaan perkebunan sawit.
  4. Melibatkan lintas stakeholder untuk pelaksanaan dan pengawasan moratorium sawit, seperti organisasi masyarakat sipil dan organisasi lintas keagamaan.
  5. Adanya skema dana bagi hasil yang berkeadilan antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat agar daerah memiliki dorongan untuk mengawasi dan membangun perkebunan sawit yang berkelanjutan.
  6. Membuat peta jalan (road map) satu pintu pelaksanaan moratorium sawit. Hal ini diperlukan untuk mengefektikan proses moratorium sawit sehingga tidak terjadi tumpang tindih aturan birokrasi dan anggaran.
  7. Pembahasan RUU Cipta Kerja semestinya tidak menjadi alasan bagi Pemerintah untuk menunda pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit. Penyelesaian moratorium dengan fokus terhadap konsolidasi data dan review perizinan harus menjadi langkah awal untuk menuntaskan permasalahan tata kelola perkebunan.
  8. Tidak memprioritaskan wilayah tertentu dalam pengimplementasian kebijakan inpres moratorium sawit, melainkan seluruh wilayah di Indonesia yang memiliki sawit.

Jika pemerintah masih menggunakan pendekatan dan strategi yang sama dalam menjalankan tugas dan amanah didalam inpres ini, maka perbaikan tata kelola sawit yang di impikan selama ini akan sangat sulit tercapai di waktu yang sempit ini. Koalisi Masyarakat Sipil melihat perpanjangan inpres moratorium sawit untuk perbaikan tata kelola perkebunan sawit Indonesia adalah sesuatu hal relevan dapat dilakukan Pemerintah Indonesia dengan catatan harus memiliki capaian-capaian yang terukur dalam segala aspek serta turut mensinkronisasikan dan mengkonsolidasikan kepada pihak-pihak yang memiliki tujuan yang sama dalam mewujudkan perbaikan tata kelola sawit, seperti misalnya dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN PSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal review perizinan serta bersama dengan ISPO dan RSPO dalam hal peningkatan produktivitas dan standar perkebunan sawit berkelanjutan melalui mekanisme sertifikasi.

###

Atas Nama Koalisi Masyarakat Sipil :

Sawit Watch, Kaoem Telapak, Madani Berkelanjutan,

Forest Watch Indonesia dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

 

Narahubung :

Abu Meridian_Direktur Eksekutif Kaoem Telapak (082311600535 / abu.meridian@kaoemtelapak.org

Adrianus Eryan_Indonesian Center For Environmental Law (081386299786 / adrianuseryan@gmail.com)

Agung Ady Setiyawan_Perkampanye Forest Watch Indonesia (085783517913 / agung_ady@fwi.or.id )

Inda Fatinaware_Direktur Eksekutif Sawit Watch (0811448677 / inda@sawitwatch.or.id)

Teguh Surya_Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan (081294801453 / teguh@madaniberkelanjuan.id)

Related Article

Perlu Siasat dan Kolaborasi Para Pihak Untuk Sejahtera Dari Sawit

Perlu Siasat dan Kolaborasi Para Pihak Untuk Sejahtera Dari Sawit

[Jakarta, 6 Mei 2020] Kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan perlu digantungkan pada komoditas yang beragam dan seimbang antara komoditas perkebunan dan pertanian pangan. Menggantungkan perekonomian hanya pada sawit sebagai komoditas dominan akan sangat berisiko bagi ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat di daerah. Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “Kesejahteraan dan Panen Bencana di Provinsi Sentra Sawit Riau” yang dilaksanakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 6 Mei 2020.

Meskipun Provinsi Riau memiliki perkebunan sawit terluas nomor wahid di Indonesia, dengan luas mencapai 3,4 juta hektare, sektor ini terbukti belum mampu memberikan manfaat optimal bagi kesejahteraan masyarakat maupun petani sawit di Riau. Per 2018, terdapat tujuh  kabupaten di Riau yang memiliki luas area tanam sawit terluas, yaitu Kampar (430 ribu hektare), Rokan Hulu (410 ribu hektare), Siak (347 ribu hektare), Pelalawan (325 ribu hektare), Rokan Hilir (282 ribu hektare), Indragiri Hilir (227 ribu hektare), dan Bengkalis (186 ribu hektare).

 

Kajian Madani menunjukkan bahwa dari 7 kabupaten dengan luas area tanam sawit yang signifikan, 6 kabupaten memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, yaitu Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rohil. Sementara itu, 4 kabupaten (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar) justru mengalami kerawanan pangan,” kata Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sementara itu, dari sisi ekologis, kajian Madani menunjukkan korelasi erat antara hilangnya tutupan hutan dengan bencana ekologis di Riau. “Hilangnya tutupan hutan di Riau pada periode 2010-2013 telah memicu terjadinya bencana ekologis pada dua hingga tiga tahun setelahnya. Pada periode 2017 hingga 2019, Riau “memanen” bencana akibat hilangnya tutupan hutan pada kurun waktu 2011-2015. Rusaknya hutan di Riau tidak hanya mencederai ekosistemnya, tapi juga masyarakat karena terdapat 194 desa dan kelurahan di Riau yang keberlangsungan hidup masyarakatnya bergantung pada kawasan hutan,” tambah Intan.

 

Pada periode 2010-2018, tercatat 1,7 juta hektare tutupan hutan hilang di Riau. Artinya, rata-rata 190 ribu hektare tutupan hutan hilang setiap tahunnya. Kabupaten Pelalawan menduduki posisi pertama sebagai kabupaten dengan hilangnya tutupan hutan terluas di Riau, yakni 316 ribu ha atau setara dengan lima kali luas Singapura, dan berturut–turut diikuti oleh Rokan Hilir (220 ribu ha), Indragiri Hilir (212 ribu ha), Bengkalis (184 ribu ha), dan Indragiri Hulu (163 ribu ha).

Ancaman bencana ekologis sangat besar bagi desa-desa yang berada di sekitar perkebunan sawit, terutama bencana kekeringan dan kebakaran. “Dari 573 desa di sekitar perkebunan sawit di 6 Kabupaten yaitu Indragiri Hilir, Kampar, Rokan Hulu, Siak, Pelalawan dan Rokan Hilir, 82 persen (471 desa) terindikasi rawan bencana ekologis. Lima dari enam Kabupaten tersebut, yaitu Kabupaten Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Indragiri Hilir dan Siak memiliki kerentanan bencana karhutla yang dominan. Sementara Kampar rentan akan bencana kekeringan yang dominan. Kerawanan bencana desa-desa di sekitar perkebunan sawit sangat tinggi, namun ironisnya, hanya 15 persen yang memiliki kapasitas manajemen bencana,” tambah Intan.

Bencana kebakaran hutan secara khusus sangat mengancam secara ekonomi. Potensi kerugian dari kebakaran gambut di wilayah perkebunan sawit di Riau pada tahun 2019 mencapai 1,5 Triliun dari sisi karbon saja hingga ekosistem gambut tersebut bisa kembali terpulihkan.

Terbitnya kebijakan moratorium sawit bisa menjadi pijakan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan membenahi produktivitas, modal usaha, legalitas lahan  dan keberlanjutan petani sawit untuk menciptakan daya saing dan mengurangi risiko tersingkirnya petani sawit dari pasar formal.

Sementara itu, untuk mengatasi minimnya kapasitas manajemen bencana di desa-desa sekitar perkebunan sawit, Pemda harus memprioritaskan kolaborasi dengan berbagai pihak melalui skema alokasi dana desa dan mengintegrasikan program TJSL (Tanggung Jawab Sosial Lingkungan) perusahaan

Terakhir, mekanisme transfer fiskal ekologis dari Kementerian Keuangan melalui kerangka Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE) dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan biaya dan manfaat yang sepadan dalam menjaga kelangsungan hutan dan hidrologis gambut.

ooo

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 2838 6143

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Ada Apa Dengan Sawit Indonesia?

Ada Apa Dengan Sawit Indonesia?

Sebagai komoditas terbesar di tanah air, sawit ternyata tidak benar-benar memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat di akar rumput. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya dalam diskusi virtual The 9th Session of #LetsTalkAboutPalmOil yang diselenggarakan pada Kamis, 30 April 2020.

Dalam diskusi tersebut terungkap fakta bahwa pembangunan desa di provinsi yang kaya dengan komoditas ini, tidak berbanding lurus dengan masifnya ekspansi sawit. Seperti halnya Kalimantan Barat dan Riau. Kedua provinsi ini sama-sama kaya dengan sawit, namun, daya dorong sawit terhadap perekonomian masyarakat desa masih terbilang sangat rendah.

Di Kalimantan Barat (2019), desa yang ditempati perusahaan sawit untuk beroperasi, hanya 3 persennya saja yang termasuk ke dalam kategori desa mandiri berdasarkan indeks desa membangun (IDM) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan, Transmigrasi (Kemendes PDTT). Sebesar 6 persen berada pada kategori maju, 31 persen berkembang. Sedangkan 48 persennya masuk dalam kategori tertinggal, dan 11 persen sangat tertinggal.


Sementara itu, hanya 1 persen saja desa di Riau yang tergolong sebagai desa mandiri. Sekitar 6 persen maju, 64 persen berkembang. Sedangkan desa yang masuk dalam kategori tertinggal sebesar 27 persen dan 3 persennya sangat tertinggal.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkait fakta sawit tersebut, silakan unduh melalui tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit

Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit

Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan luas lahan sawit ketiga terbesar di Indonesia. Luas kebun sawitnya mencapai 1,5 juta hektare. Hanya kalah dari Provinsi Riau dan Sumatera Utara. Namun produktivitas sawit Kalimantan Barat hanya menempati peringkat ke-10 dari provinsi-provinsi penghasil sawit di tanah air. Produktivitas sawit 2,35 ton/hektare di Kalimantan Barat ini ternyata jauh tertinggal dari Aceh yang luas kebun sawitnya hanya 514 ribu hektare.

Luas kebun sawit di Kalimantan Barat ini didominasi oleh perkebunan swasta. Lahan sawit perkebunan swasta mencapai 1,09 juta hektare sementara luas perkebunan rakyat hanya 413 ribu hektare dan perkebunan negara hanya 56,7 ribu hektare. Ini disampaikan oleh Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online yang mengangkat tema “Masa Depan Kalimantan di Era Sawit” pada 8 April 2020.

Dalam diskusi ini juga diikuti oleh beberapa narasumber lain yakni Bupati Sintang Dr. Jarot Winarno, M.Med.Ph., Kepala Dinas Perkebunan Sanggau Syafriansyah, SP, M.M, Manseutus Darto selaku Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit, dan M. Teguh Surya Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Bupati Sintang, Jarot Winarno menyampaikan berbagai inisiatif perbaikan tata kelola sawit yang dilakukan Pemerintah Daerah Sintang, peranan sawit bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Sintang serta inisiatif pemda dalam meminimalisir dampak sosial dan lingkungan di kabupaten Sintang.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Sanggau, Syafriansyah menyampaikan tentang inisiatif tata kelola industri sawit yang dilakukan Pemda Sanggau. Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit, Manseutus Darto menyampaikan perspesktif industri sawit dan kaitannya dengan ancaman virus corona (Covid-19) terhadap petani sawit di daerah. Serta M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan memaparkan tentang tata kelola sawit di Kalimantan Barat.

Untuk Materi diskusi Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit tersebut dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

Ekonomi Sawit di Kalimantan Barat Agar Tidak Bergantung Pada Dahan yang Rapuh

Ekonomi Sawit di Kalimantan Barat Agar Tidak Bergantung Pada Dahan yang Rapuh

[Jakarta, 8 April 2020] Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan predikat luas lahan sawit ketiga terbesar di Indonesia, namun dengan tingkat kemiskinan tertinggi di pulau Kalimantan. “Perluasan wilayah perkebunan sawit di Kalimantan Barat selama ini ternyata tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi lokal. Sehingga selayaknya pemerintah daerah memberikan fokus pada penyeimbangan jenis komoditas di suatu wilayah. Harapannya, komoditas perkebunan lainnya dapat turut bersaing sebagai kontributor perekonomian daerah sehingga daerah dapat lebih tahan menghadapi kondisi ekonomi yang bergejolak. Menggantungkan ketahanan ekonomi hanya pada satu komoditas unggulan seperti sawit tentu bukan hal yang bijak saat ini,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit” pada 8 April 2020.

Khusus untuk komoditas sawit, tantangan terbesar pemerintah daerah Kalimantan Barat saat ini adalah rendahnya tingkat produktivitas (baca: peringkat 10 dari 10 provinsi dengan sawit terluas). Pemerintah Daerah Kalimantan Barat perlu memprioritaskan peningkatan produktivitas sawit secara optimal dan mengurungkan ekspansi perkebunan sawit. Ini sejalan dengan amanat Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit,” tambah Teguh.

Saat ini, luasan area sawit tertanam di Kalimantan Barat masih didominasi oleh perkebunan swasta. “Lahan sawit perkebunan swasta mencapai 1,09 juta hektare sementara luas perkebunan rakyat hanya 413 ribu hektare dan perkebunan negara hanya 56,7 ribu hektare,” tutur Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pada periode 2011-2018, perkebunan swasta di Kalimantan Barat mengalami peningkatan luas sawit tertanam yang paling signifikan, yakni 91,5 ribu hektare/tahun sementara luas perkebunan rakyat hanya bertambah rata-rata 19,7 ribu hektare/tahun dan perkebunan negara justru mengalami pengurangan luas sebesar 770 hektare per tahun. Fakta tersebut menunjukkan masih timpangnya penguasaan lahan sawit di Kalimantan Barat,” tambah Erlangga.

Dari segi produktivitas, hasil kajian Madani menemukan bahwa meskipun sering dipandang sebelah mata karena luasannya kecil, perkebunan negara di Kabupaten Landak dan Sanggau justru memiliki rata-rata produktivitas tertinggi jika dibandingkan dengan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Pada tahun 2017, produktivitas sawit perkebunan negara di dua kabupaten tersebut mencapai 3,3 ton/hektare sementara perkebunan swasta di Kalimantan Barat (kecuali Kota Singkawang) produktivitasnya hanya 2,2 ton/hektare dan perkebunan rakyat hanya 2,1 ton/hektare.

Di tahun 2018, produktivitas sawit di perkebunan negara mengalami penurunan menjadi 2,9 ton/hektare, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkebunan swasta yang produktivitasnya hanya 2,6 ton/hektare dan perkebunan rakyat yang produktivitasnya 2,2 ton/hektare.

Peningkatan produktivitas menjadi kunci, bukan lagi perluasan lahan sawit. Hal lain adalah memperbaiki tata kelola perkebunan sawit yang telah ada,” urai Erlangga.

Sementara itu, dari sisi pembangunan desa, kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan wilayah pedesaan masih belum optimal sebagaimana tercermin dari nilai Indeks Desa Membangun di desa-desa yang bersinggungan dengan perkebunan sawit.

Sebagian besar desa yang berada di sekitar perkebunan sawit justru memiliki nilai Indeks Ketahanan Ekonomi dan Lingkungan yang rendah,” ujar Erlangga.

Padahal, setidaknya ada lima regulasi yang mewajibkan pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas aspek sosial dan lingkungan pada masyarakat sekitar. Lima kebijakan tersebut adalah UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,  UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Jika sawit masih diharapkan untuk dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya di tingkat tapak, maka perlu koreksi mendalam atas praktik tata kelola yang dijalankan saat ini.

oooOOOooo

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0852 0856 8896

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Agar Sawit Benar-benar Berkelanjutan

Agar Sawit Benar-benar Berkelanjutan

Niat dan upaya pemerintah untuk memperbaiki serta mewujudkan tata kelola industri sawit nasional yang baik, tentu patut kita acungi jempol. Karena pada dasarnya, industri sawit yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia sudah harus dibenahi agar benar-benar matang secara keseluruhan.


Melalui rencana perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang ditopang Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB), cita-cita mewujudkan tata kelola yang baik terlihat semakin nyata. Kebijakan ini pun disebut akan menjadi landasan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, dan pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan.


Walaupun dalam konteks energi terbarukan, sawit masih diragukan banyak pihak. Namun, dengan adanya inpres ini, dapat dikatakan pemerintah optimis bahwa sawit dapat menjadi energi terbarukan dan juga dapat benar-benar berkelanjutan. RAN-KSB ini sendiri memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan, antara lain, penguatan data, penguatan koordinasi, dan infrastruktur, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Bukan hanya itu, RAN KSB juga menerapkan tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, dukungan percepatan sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan meningkatkan akses pasar sawit. Upaya mengimplementasikan sawit yang berkelanjutan tersebut, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Kebijakan yang baik, harus diiringi oleh implementasi yang juga tepat. Karena pada dasarnya, permasalahan seputar sawit di Indonesia tidak lepas dari permasalahan yang itu-itu saja, artinya negeri ini tidak memiliki komitmen yang kuat untuk berbenah. Banyak orang yang sepakat jika persoalan sawit di tanah air selama ini adalah seputar tata kelola yang kurang baik. Aspek dalam tata kelola ini meliputi integritas, transparansi, akuntabilitas, kredibilitas.

Sudah menjadi rahasia umum, jika indikator tersebut kerap disepelekan. Pasalnya sawit yang begitu menggiurkan berhasil membuat kebanyakan orang gelap mata dan akhirnya meminggirkan kepentingan lingkungan yang seharusnya berjalan beriringan. Namun, jika dilihat lebih seksama, Inpres RAN KSB ini pun dapat dikatakan belum menyasar tiga permasalahan utama sistem pengelolaan kelapa sawit sebagaimana diidentifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni tidak akuntabelnya sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit, tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit, dan tidak optimalnya pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Sederhananya, Inpres ini mencakup mandat kepada Menteri Keuangan, namun mandat tersebut hanya berupa alokasi pembiayaan dan tidak menyasar hal-hal yang perlu diperbaiki untuk mencegah korupsi. Jelas bahwa dalam hal ini, RAN KSB harus dibenahi agar mencerminkan upaya untuk memperbaiki mekanisme perizinan perkebunan kelapa sawit sebagaimana rekomendasi KPK.

Kondisi Sawit Indonesia

Terkait dengan kondisi sawit saat ini, hingga 2019, Madani Berkelanjutan menemukan setidaknya terdapat 18.918.193,22 Ha izin sawit yang  terinventaris. Dari luasan tersebut 21,39 % berada dan saling berhimpitan dengan Kawasan Hutan. Kemudian, terdapat 18,34 % dalam izin tersebut masih berupa tutupan hutan alam.

Di sisi lain, sekitar 21,06 % izin sawit berada dan berhimpitan dengan fungsi ekosistem gambut. Rasanya, empat tahun lebih komitmen pemerintah untuk menjaga dan memulihkan gambut yang rusak dengan salah satunya mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG), seolah sia-sia belaka karena Inpres ini. Bukan hanya itu, hal yang tidak kalah mengecewakannya adalah terdapat 2,42 % dalam izin tersebut merupakan area Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) revisi 04. Lahan-lahan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat untuk meningkatkan ekonominya melalui program yang gencar digaungkan pemerintah yakni perhutanan sosial, malah dijadikan dilepas untuk ekspansi sawit.

Kemudian, sekitar 5,47 % merupakan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) 2019.  Kondisi tersebut tentu membuktikan bahwa sawit yang begitu menggoda, berhasil melunturkan komitmen pengelolaan sawit yang sudah disepakati. Tidak dapat dimungkiri bahwa komoditas sawit adalah komoditas terbaik yang pernah dihasilkan Indonesia sampai saat ini. Karena unggulnya komoditas ini, Indonesia pun dibuat ketergantungan sehingga sawit dapat dikatakan bahwa sawit sangat memengaruhi banyak aspek khususnya perekonomian. Salah satunya, pengaruh sawit terhadap devisa negara. Terakhir, kontribusi sawit terhadap devisa di 2017 tercatat mencapai USD 23 miliar atau naik 26% dari tahun sebelumnya. Tentu kontribusi tersebut tidak dapat disepelekan.

Namun, sangat disayangkan, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap sawit membuat perekonomian pun rentan. Harga sawit global yang tidak dapat diprediksi karena ketidakpastian, membuat Indonesia harus selalu dihantui rasa takut apabila sawit tidak maksimal memberikan dampak untuk perekonomian. Salah satu contohnya, kebijakan uni eropa yang menahan ekspansi sawit Indonesia ke pasarnya, memaksa pemerintah putar otak mencari pasar untuk produksi sawit yang terus meningkat.


Bisa jadi, program Biofuel seperti B20, B30, bahkan rencananya hingga B100 adalah upaya pemerintah untuk mengatasi kondisi pasar global dengan membuka keran pasar domestik. Namun, sangat disayangkan jika program tersebut yang begitu gencar malah menjadi pemicu ekspansi perkebunan sawit ke lahan-lahan yang tidak semestinya, seperti hutan lindung dan sebagainya. Sekarang, sudah saatnya kita berkolaborasi untuk mewujudkan industri sawit yang lebih baik. Semua orang bisa terlibat dengan caranya masing-masing, asalkan mau bekerja dan berkontribusi agar sawit kita benar-benar menjadi berkelanjutan, tidak sekadar branding belaka.(*)

Oleh : Delly Ferdian

Pemerhati Ekonomi Lingkungan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 24 Februari 2020

Related Article

Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

[MadaniNews, Selasa, 18/02/2020] Pada 22 November 2019 Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Inpres ini menjadi momentum penting untuk perbaikan tata kelola sawit oleh semua pihak. Inpres ini memberikan mandat di antaranya Penguatan data, koordinasi, dan infrastruktur; Peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun; Pengelolaan dan pemantauan lingkungan; Tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa; serta Percepatan pelaksanaan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dan peningkatan akses pasar produk kelapa sawit.

Ini yang melandasi MADANI menyelenggarakan Diskusi “Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dalam Perbaikan Tata Kelola Kelapa Sawit Indonesia”. Diskusi ini dilaksanakan pada 18 Februari 2020. Hadir menjadi narasumber dalam diskusi ini antara lain Dr. Siswo Pramono, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri; Muhammad Saifulloh, sisten Deputi Perkebunan dan Hortikultura, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Ismu Zulfikar, Kompartemen Sertifikasi ISPO Bidang Implementasi ISPO, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia; serta M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan.

Dalam diskusi ini, M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan menyampaikan bahwa 16 penerima instruksi dari Kementerian dan Lembaga, banyak yang positif. Namun jangka waktu yang diatur di dalam Inpres tersebut hanya berlaku untuk satu periode pemerintahan saja. Padahal seharusnya Inpres ini seharusnya bisa mengatur dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Selain itu, RAN KSB ini belum menyasar upaya peningkatan akuntabilitas untuk mencegah korupsi. “Merujuk pada laporan KPK tahun 2016 tentang pengelolaan komoditas kelapa sawit yang berkelanjutan, dijelaskan bahwa ada 3 hal yang harus dilakukan. Pertama, proses akuntabilitas sistem pengendalian dalam perijinan. Kedua, efektifitas pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit. Ketiga, tidak optimalnya pengurangan pajak sektor kelapa sawit. Tiga poin penting yang direkomendasikan KPK ini belum diakomodasi di dalam RAN KSB,” ujar Teguh. 

Berikut materi dan catatan terkait Diskusi “Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dalam Perbaikan Tata Kelola Kelapa Sawit Indonesia”.

Related Article

en_USEN_US