Madani

Tentang Kami

Agar Sawit Benar-benar Berkelanjutan

Agar Sawit Benar-benar Berkelanjutan

Niat dan upaya pemerintah untuk memperbaiki serta mewujudkan tata kelola industri sawit nasional yang baik, tentu patut kita acungi jempol. Karena pada dasarnya, industri sawit yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia sudah harus dibenahi agar benar-benar matang secara keseluruhan.


Melalui rencana perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang ditopang Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB), cita-cita mewujudkan tata kelola yang baik terlihat semakin nyata. Kebijakan ini pun disebut akan menjadi landasan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, dan pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan.


Walaupun dalam konteks energi terbarukan, sawit masih diragukan banyak pihak. Namun, dengan adanya inpres ini, dapat dikatakan pemerintah optimis bahwa sawit dapat menjadi energi terbarukan dan juga dapat benar-benar berkelanjutan. RAN-KSB ini sendiri memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan, antara lain, penguatan data, penguatan koordinasi, dan infrastruktur, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Bukan hanya itu, RAN KSB juga menerapkan tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, dukungan percepatan sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan meningkatkan akses pasar sawit. Upaya mengimplementasikan sawit yang berkelanjutan tersebut, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Kebijakan yang baik, harus diiringi oleh implementasi yang juga tepat. Karena pada dasarnya, permasalahan seputar sawit di Indonesia tidak lepas dari permasalahan yang itu-itu saja, artinya negeri ini tidak memiliki komitmen yang kuat untuk berbenah. Banyak orang yang sepakat jika persoalan sawit di tanah air selama ini adalah seputar tata kelola yang kurang baik. Aspek dalam tata kelola ini meliputi integritas, transparansi, akuntabilitas, kredibilitas.

Sudah menjadi rahasia umum, jika indikator tersebut kerap disepelekan. Pasalnya sawit yang begitu menggiurkan berhasil membuat kebanyakan orang gelap mata dan akhirnya meminggirkan kepentingan lingkungan yang seharusnya berjalan beriringan. Namun, jika dilihat lebih seksama, Inpres RAN KSB ini pun dapat dikatakan belum menyasar tiga permasalahan utama sistem pengelolaan kelapa sawit sebagaimana diidentifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni tidak akuntabelnya sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit, tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit, dan tidak optimalnya pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Sederhananya, Inpres ini mencakup mandat kepada Menteri Keuangan, namun mandat tersebut hanya berupa alokasi pembiayaan dan tidak menyasar hal-hal yang perlu diperbaiki untuk mencegah korupsi. Jelas bahwa dalam hal ini, RAN KSB harus dibenahi agar mencerminkan upaya untuk memperbaiki mekanisme perizinan perkebunan kelapa sawit sebagaimana rekomendasi KPK.

Kondisi Sawit Indonesia

Terkait dengan kondisi sawit saat ini, hingga 2019, Madani Berkelanjutan menemukan setidaknya terdapat 18.918.193,22 Ha izin sawit yang  terinventaris. Dari luasan tersebut 21,39 % berada dan saling berhimpitan dengan Kawasan Hutan. Kemudian, terdapat 18,34 % dalam izin tersebut masih berupa tutupan hutan alam.

Di sisi lain, sekitar 21,06 % izin sawit berada dan berhimpitan dengan fungsi ekosistem gambut. Rasanya, empat tahun lebih komitmen pemerintah untuk menjaga dan memulihkan gambut yang rusak dengan salah satunya mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG), seolah sia-sia belaka karena Inpres ini. Bukan hanya itu, hal yang tidak kalah mengecewakannya adalah terdapat 2,42 % dalam izin tersebut merupakan area Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) revisi 04. Lahan-lahan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat untuk meningkatkan ekonominya melalui program yang gencar digaungkan pemerintah yakni perhutanan sosial, malah dijadikan dilepas untuk ekspansi sawit.

Kemudian, sekitar 5,47 % merupakan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) 2019.  Kondisi tersebut tentu membuktikan bahwa sawit yang begitu menggoda, berhasil melunturkan komitmen pengelolaan sawit yang sudah disepakati. Tidak dapat dimungkiri bahwa komoditas sawit adalah komoditas terbaik yang pernah dihasilkan Indonesia sampai saat ini. Karena unggulnya komoditas ini, Indonesia pun dibuat ketergantungan sehingga sawit dapat dikatakan bahwa sawit sangat memengaruhi banyak aspek khususnya perekonomian. Salah satunya, pengaruh sawit terhadap devisa negara. Terakhir, kontribusi sawit terhadap devisa di 2017 tercatat mencapai USD 23 miliar atau naik 26% dari tahun sebelumnya. Tentu kontribusi tersebut tidak dapat disepelekan.

Namun, sangat disayangkan, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap sawit membuat perekonomian pun rentan. Harga sawit global yang tidak dapat diprediksi karena ketidakpastian, membuat Indonesia harus selalu dihantui rasa takut apabila sawit tidak maksimal memberikan dampak untuk perekonomian. Salah satu contohnya, kebijakan uni eropa yang menahan ekspansi sawit Indonesia ke pasarnya, memaksa pemerintah putar otak mencari pasar untuk produksi sawit yang terus meningkat.


Bisa jadi, program Biofuel seperti B20, B30, bahkan rencananya hingga B100 adalah upaya pemerintah untuk mengatasi kondisi pasar global dengan membuka keran pasar domestik. Namun, sangat disayangkan jika program tersebut yang begitu gencar malah menjadi pemicu ekspansi perkebunan sawit ke lahan-lahan yang tidak semestinya, seperti hutan lindung dan sebagainya. Sekarang, sudah saatnya kita berkolaborasi untuk mewujudkan industri sawit yang lebih baik. Semua orang bisa terlibat dengan caranya masing-masing, asalkan mau bekerja dan berkontribusi agar sawit kita benar-benar menjadi berkelanjutan, tidak sekadar branding belaka.(*)

Oleh : Delly Ferdian

Pemerhati Ekonomi Lingkungan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Padang Ekspres edisi 24 Februari 2020

Related Article

Madani Menemukan 1 Juta Hektare Perkebunan Sawit di Hutan Alam Primer dan Prioritas Restorasi Gambut

Madani Menemukan 1 Juta Hektare Perkebunan Sawit di Hutan Alam Primer dan Prioritas Restorasi Gambut

Diperlukan Kebijakan Terintegrasi, Kunci Pembenahan Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut


[Jakarta, 10 September 2019]
Dalam kurun waktu setahun terakhir, pemerintah telah menunjukkan langkah positif dalam pembenahan tata kelola hutan dan lahan. Hal ini ditunjukan dengan dikeluarkannya dua kebijakan, yakni kebijakan terkait moratorium sawit dan kebijakan penghentian pemberian izin baru di hutan alam dan lahan gambut.

Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang akan berumur satu tahun pada 19 September 2019 ini. Dan pada 5 Agustus 2019 lalu, Presiden juga mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dua kebijakan ini merupakan langkah positif dan memiliki benang merah dengan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut dalam pembenahan tata kelola hutan dan lahan gambut. Sehingga pelaksanaannya pun haruslah terintegrasi dengan dasar hukum yang lebih kuat”.

Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Bincang Media “Menelisik 1 Juta Hektare Kebun Sawit di Hutan Primer dan Lahan Gambut” yang dilaksanakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada 10 September 2019.

Sebelumnya, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyampaikan temuan bahwa terdapat 3,47 juta hektare sawit berada di kawasan hutan. Untuk mendorong optimalisasi Inpres moratorium sawit dan memperkuat temuan GNPSDA, Madani melakukan analisis spasial tumpang susun perizinan di wilayah PIPPIB Revisi XV (lima belas). Hasil analisis menemukan 1.001.474,07 hektare perkebunan sawit, milik 724 perusahaan yang berada di dalam Hutan Primer dan Lahan Gambut yang tersebar di 24 propinsi. Ada 384 perusahaan dengan total luasan 540.822 hektare berada di lahan gambut, 102 perusahaan dengan total luasan 237.928 hektare berada di hutan primer, dan ada 238 perusahaan dengan total luasan 222.723 hektare berada di kawasan hutan. Dan dari jumlah tersebut, hampir separuhnya (333 Perusahaan) dengan luasan 506.333 hektare berada di 7 provinsi prioritas restorasi gambut.

Peninjauan perizinan terhadap 1 juta hektar kebun sawit di Kawasan hutan primer dan Kawasan gambut tersebut mendesak dilakukan karena merupakan kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia dan sebagai wujud konsistensi pemerintah dalam memperbaiki tata kelola hutan dan lahan. ” sambung Teguh.

Terhadap keberadaan perkebunan sawit 1 juta hektare di kawasan hutan primer dan kawasan gambut ini adalah tantangan bagi Tim kerja moratorium sawit untuk menyelesaikan dan mencari solusi terbaiknya,” kata sambung Achmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch.

Selama satu tahun ini tim kerja moratorium sawit masih melakukan persiapan baseline data. Padahal sudah banyak data yang dimiliki oleh kementerian/lembaga terkait. Konsolidasi data yang memakan waktu lama menunjukkan bahwa koordinasi antar Kementerian/Lembaga masih kurang baik. Sangat disayangkan waktu satu tahun dihabiskan hanya untuk persiapan data, mengingat Inpres moratorium sawit ini hanya berumur tiga tahun,” tambah Achmad Surambo.

Terkait temuan Madani bahwa ada 1 juta hektare sawit berada di dalam PIPPIB Revisi XV patut diduga ada konflik tenurial di dalamnya. Sawit Watch mencatat, hingga 2019 terdapat 822 komunitas berkonflik dengan perkebunan sawit,” sambung Achmad Surambo.

Dalam analisis Greenpeace masih ada wilayah seluas 33,3 juta hektare tutupan hutan alam primer dan 6,5 juta lahan gambut yang belum terlindungi diluar peta moratorium dan di luar kawasan hutan lindung dan konservasi, sementara wilayah moratorium masih terancam dengan keberadan konsensi perusahaan termasuk ijin perkebunan sawit.

Satu juta hektar konsesi sawit dalam hutan alam primer dan lahan gambut adalah ujian nyata bagaimana moratorium permanen dijalankan, dengan mencabut izin tersebut pemerintah menunjukan keseriusan untuk melindungi hutan dan lahan gambut tersisa dan bukan sekedar propaganda,” kata Arie Rompas, Forest Campaigner Team Leader, Greenpeace Indonesia.

Sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan 4,5 juta hektare hutan alam primer dan lahan gambut selama moratorium hutan dimana 1,6 juta hektare telah diberikan izin untuk perkebunan kelapa sawit, kayu pulp, penebangan hutan dan pertambangan. Jika izin-izin ini tidak dievalusi dan dicabut maka hal yang sama akan terjadi pada 1 juta hektare sawit di hutan alam primer dan lahan gambut tersebut. [ ]



Kontak Narasumber:

● M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0819 1519 1979, email teguh@madaniberkelanjutan.id

● Achmad Surambo, Deputi Direktur Eksekutif Sawit Watch, HP. 0812 8748 726, email rambo@sawitwatch.or.id

● Arie Rompas, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, HP. 0811 5200 822, email arie.rompas@greenpeace.org.

● Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887, luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Shadow Report: Kemana Arah Implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 (Moratorium Sawit) Berjalan?

Shadow Report: Kemana Arah Implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 (Moratorium Sawit) Berjalan?

Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 22,2 juta hektare (Sawit Watch, 2018) dengan 30% diantaranya dimiliki oleh petani. Industri perkebunan sawit saat ini memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional, dengan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil (CPO)) mencapai 12% dari ekspor nasional dengan total produksi pada 2016 mencapai 31 juta ton. Kontribusi ekspor tersebut mencapai US$ 17, 8 Miliar atau senilai dengan Rp231,4 Triliun. Di dalam negeri, penggunaan bahan bakar biosolar yang bersumber dari minyak sawit semakin gencar digalakkan oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah sendiri menargetkan produksi CPO sampai 40 juta ton/ tahun pada tahun 2020.


Namun demikian, perkebunan sawit di Indonesia mempunyai beragam masalah mulai dari kerusakan lingkungan, konflik agraria, kondisi buruh yang terabaikan, ancaman terhadap ketersediaan pangan dan lain-lainnya. Sawit Watch (2016) mencatat terdapat 782 komunitas berkonflik dengan perkebunan besar sawit.


Presiden Joko Widodo pada 14 April 2016 menyatakan akan menghentikan sementara (moratorium) perizinan kelapa sawit dan batubara. Komitmen ini akhirnya terealisasi dalam sebuah kebijakan berupa Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.


Lewat kebijakan ini, pemerintah mencoba untuk melakukan peningkatan tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), serta untuk peningkatan pembinaan petani sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit.

Related Article

en_USEN_US