Madani

Tentang Kami

Label Berkelanjutan Jawaban Atasi Masalah Sawit, Benarkah?

Label Berkelanjutan Jawaban Atasi Masalah Sawit, Benarkah?

Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, sawit berkelanjutan untuk kepentingan nasional sejatinya bukan hanya terletak pada nilai ekonomi saja, termasuk daya dukung lingkungan.

Sejumlah lembaga dari Eropa, mengatakan industri sawit telah terbukti berkontribusi terhadap deforestasi. Meskipun begitu, mencari minyak nabati pengganti sawit juga bukan pekerjaan mudah. Hal ini mengemuka dalam Konferensi Internasional tentang Minyak Sawit dan Lingkungan (International Conference on Palm Oil and Environment/ICOPE) 2018 pada Jumat (27/4/18).

Konferensi dua tahunan berlangsung tiga hari ini diadakan lembaga lingkungan WWF Indonesia, perusahaan sawit Sinar Mas Agrobusiness and Food, dan lembaga riset dari Prancis CIRAD di Nusa Dua, Badung, Bali.

James Fry, Ketua LMC Internasional–lembaga konsultasi independen Eropa di bidang ekonomi dan lingkungan terutama di sektor agribisnis–, mengatakan, laporan mereka bersama lembaga 3keel untuk Komisi Eropa, ada bukti perluasan perkebunan sawit menyebabkan deforestasi, peningkatan emisi gas rumah kaca, dan hilangnya keragaman hayati.

Masalah lain yang terjadi, katanya, karena perluasan kebun sawit adalah masyarakat adat dan warga lokal terpinggir. “Industri ini telah mengeksploitasi tenaga kerja dan penggunaan tenaga kerja anak-anak,” katanya.

Dari sisi deforestasi, katanya, 55% dari total hilangnya tutupan hutan di Indonesia pada kurun waktu 2000-2015 terjadi di hak pengelolaan hutan (konsesi) legal. Dari luas itu, sepertiga di antaranya terjadi karena perkebunan sawit.

Masalah lain juga terjadi di lahan gambut. Menurut laporan LMC International dan 3keel, sekitar 3,1 juta hektar lahan gambut telah dikonversi jadi lahan kebun sawit sampai 2015. Luas itu setara 21% luas lahan gambut di Malaysia dan Indonesia.

Di Indonesia, perkebunan sawit telah memicu kebakaran hutan. Sekitar 19% kebakaran lahan pada 2015 terjadi di perkebunan sawit. Pada dua pulau penghasil sawit Indonesia, Kalimantan dan Sumatera, 16,6% kebakaran terjadi di perkebunan sawit juga.

“Pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, untuk membuka lahan sawit juga jadi penyumbang utama gas rumah kaca,” kata salah satu kesimpulan laporan.

Sisi lain, sawit juga berperan penting dalam meningkatkan pendapatan petani kecil di negara-negara produsen sawit. Terutama, katanya, di dua negara utama penghasil sawit dunia, Malaysia dan Indonesia.

“Ini membuktikan, perkebunan sawit telah menyumbang pembangunan wilayah pedesaan. Manfaat ini, juga harus jadi pertimbangan juga ketika melihat dampak sosial dan lingkungan industri sawit.”

Dari laporan setebal 396 halaman itu, Malaysia dan Indonesia, menghasilkan sekitar 90% minyak sawit dunia. “Karena itu, membahas solusi atas masalah industri sawit tak mungkin bisa dilakukan tanpa melibatkan Indonesia dan Malaysia,” katanya.

Dari sisi pemasaran, Eropa merupakan pasar terbesar konsumen minyak sawit maupun produk turunan. Fray mengatakan, wilayah lain dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan jumlah penduduk besar seperti Tiongkok dan India juga mulai jadi tujuan pemasaran.

Permintaan sawit tinggi, katanya, hingga mustahil negara-negara Eropa menghentikan impor minyak sawit, termasuk mengganti dengan nabati lain, seperti kedelai ataupun kanola. Minyak kedelai, dulu jadi pilihan pertama sebelum tergantikan sawit, pun tak bisa jadi pilihan terbaik. Selain karena memerlukan lahan lebih luas, komoditas ini juga termasuk genetic modified organism (GMO), sesuatu yang lebih dibenci konsumen Eropa dengan alasan lingkungan.

“Konsumen di Eropa, tak akan mengonsumsi minyak kedelai karena produk GMO. Super market harus memasang label GMO di produknya dan konsumen pasti tak akan membeli,” katanya.

Dari sisi penggunaan lahan, sawit juga masih paling kecil dibandingkan minyak nabati lain yaitu kedelai, bunga matahari, dan kanola.

Dia bilang, sertifikasi sawit berkelanjutan bisa menjawab isu-isu negatif karena dampak buruk sawit dari Indonesia dan Malaysia. Beberapa model sertifikasi sawit seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) bisa jadi jawaban.

“Indonesia juga sudah mulai serius menangani masalah akibat sawit dengan membuat kebijakan terkait deforestasi, hilangnya keragaman hayati, dan emisi gas rumah kaca.”

Perlu berimbang

Pendapat serupa datang dari Manajer Program Pembangunan Berkelanjutan European Palm Oil Alliance (EPOA) Eddy Esselink. “Berdasarkan diskusi dua hari ini, terlihat banyak upaya mengatasi masalah dan memperbaiki kondisi,” katanya.

Hal itu, sejalan pula dengan terus meningkatnya permintaan minyak sawit berkelanjutan di pasar Eropa.

Esselink menyebutkan, perhatian negara-negara Eropa terhadap perlunya minyak sawit berkelanjutan mulai 2014. Beberapa negara Eropa, seperti Belanda dan Prancis, menggagas debat soal minyak sawit. Diskusi berlanjut hingga muncul Deklarasi Amsterdam pada 2016 sebagai bentuk komitmen negara-negara Uni Eropa untuk beralih ke minyak sawit berkelanjutan.

“Kami berkomitmen menggunakan 100% minyak sawit berkelanjutan pada 2020,” katanya.

Komitmen ini, disepakati anggota-anggota EPOA yang datang dari beragam latar belakang, terutama sektor industri makanan, konsumen terbesar minyak sawit. Beberapa organisasi non-pemerintah, seperti Greenpeace, Conservation International, dan WWF juga termasuk pendukung inisiatif minyak sawit berkelanjutan.

Menurut dia, rencana memboikot minyak sawit oleh sebagian produsen makanan di Eropa bukanlah jalan keluar yang tepat. Mereka harus melihat sisi lain agar lebih berimbang bahwa minyak sawit berkontribusi menghilangkan kemiskinan, salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Memboikot minyak sawit hanya akan menimbulkan masalah baru bagi negara-negara produsen.

“Sebagaimana teman-teman NGO (lembaga non pemerintah-red) bilang, no palm oil is no solution. Inilah saatnya kita bekerja sama baik dari organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, maupun pemerintah. Mari kita gunakan pendekatan kolaboratif.”

Sawit berkelanjutan, seperti apa?

Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan memberikan pandangan. Dia bilang, sawit berkelanjutan untuk kepentingan nasional sejatinya bukan hanya terletak pada nilai ekonomi saja, termasuk daya dukung lingkungan.

Meskipun tak menutup mata sawit memiliki nilai ekonomi tinggi bukan sikap bijak kalau lahan dan hutan tersisa jadi konversi menjadi sawit. Kondisi ini, katanya, malah bisa meningkatkan kerentanan sebagai bangsa.

Seharusnya, kata Teguh, Indonesia bisa belajar kala era keemasan hak pengusahaan hutan (HPH), minyak dan gas. “Sumber daya alam itu habis. Kita gagap mencari penopang ekonomi yang baru, yang tersisa hanya bencana lingkungan yang tidak bisa ditanggulangi bahkan cenderung meningkat seperti longsor, banjir, krisis air bersih, dan lain-lain,” katanya kepada Mongabay, Kamis (10/5/18).

Ada sertifikasi ‘sawit berkelanjutan’ baik wajib dari pemerintah maupun lembaga non pemerintah itu pertanda bagus. Namun, katanya, kedua sistem sertifikasi itu hanya alat bukan obat mujarab. Tanpa ada komitmen jelas dan disiplin dari pemerintah untuk benar-benar memperbaiki tata kelola industri sawit nasional demi kepentingan bangsa, katanya, sistem apapun tak akan menguntungkan.

Dia bilang, banyak temuan lembaga negara seperti jutaan hektar sawit ilegal, sawit merambah taman nasional, perusahaan sawit tak bayar pajak sampai penggelapan pajak, masyarakat lokal (adat) tergusur, konflik berkepanjangan bahkan tak jarang menimbulkan korban nyawa.

“Ini tindaklanjutnya apa? Alih-alih bersama-sama menyatakan yang mengungkapkan fakta sebagai black campaign. ini kan ngawur…..dan mengindikasikan tak ada niat untuk memperbaiki,” katanya..

Saat ini, katanya, kondisi nyata di lapangan ‘sawit sukses” itu adalah jadikan masyarakat sebagai buruh. “Yang menguasai bisnis ini dan paling untung korporasi kok, sebagian besar asing pulang alias berbendera negara tetangga,” katanya.

Teguh merujuk kajian KPK soal tata kelola sawit 2016. Dalam kajian KPK itu antara lain menyebutkan, luas lahan perkebunan sawit di Indonesia tahun 2015 seluas 15,7 juta hektar. Perkebunan sawit dikelola perusahaan swasta seluas 10,7 juta hektar (68%), BUMN 493,700 hektar (3%) dan perkebunan rakyat 4,4 juta hektar (29%).

“Yayasan Madani percaya, krisis ekologi dapat mengganggu stabilitas ekonomi jangka panjang. Untuk itu, moratorium izin baru sawit, peninjauan kembali izin dan penegakan hukum. “Ini bisa jadi awal yang baik bagi Indonesia bebenah agar sawit menguntungkan, dalam makna sebenarnya, itu benar-benar terjadi.”

Sumber: Mongabay, 10 Mei 2018.

Related Article

Nasib Hutan Nusantara, Akankah Terus Merana?

Nasib Hutan Nusantara, Akankah Terus Merana?

“Raung buldozer gemuruh pohon tumbang…
Berpadu dengan jerit isi rimba raya…
Tawa kelakar badut-badut serakah…
Dengan HPH berbuat semaunya…
Lestarikan alam hanya celoteh belaka…
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu…”

Lirik lagu Iwan Fals berjudul “Isi Rimba Tak Dapat Berpijak Lagi” yang rilis 1982 ini tampaknya masih relevan dengan kondisi kini. Dulu, hak pengusahaan hutan (HPH) seperti lagu Iwan yang menjadi ancaman terbesar bagi hutan dan isinya. Kini, lebih banyak lagi ancaman, ada hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawit, pertambangan, pembalakan liar dan banyak lagi.

Setiap 21 Maret, masyarakat dunia juga Indonesia memperingati Hari Hutan Internasional, apa maknanya? Sementara kondisi hutan terutama di Indonesia kini makin merana.

Izin-izin skala raksasa yang sudah membebani dan mengubah puluhan juta hektar hutan negeri sejak lama, kini terus bertambah. Bukan hanya satwa atau keragamanan hayati kehilangan tempat berpijak, manusia juga terancam dan menderita. Kerusakan lingkungan memicu bencana terjadi di mana-mana, dari kebakaran hutan, banjir, longsor, pencemaran dan lain-lain..

Data pemerintah—Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—merilis deforestasi 2016-2017 sebesar 496.370 hektar, alami penurunan dari periode tahun sebelumnya sekitar 630.000 hektar per tahun. Angka yang tidak kecil mekipun sudah ada penurunan, ini di luar penghilangan hutan dengan terencana alias karena keluar beragam izin.

Analisis Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi di delapan provinsi (saja) pada 2009-2016 seluas 1,78 juta hektar. Ia meliputi Aceh, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara dan Sulawesi Tengah.

Deforestasi ini terdiri dari 1,04 juta hektar dalam konsesi izin, dan 738.816 hektar di luar konsesi (497.885 hektar dalam kawasan hutan dan 258.931 hektar pada alokasi penggunaan lain).

Pemerintah kini berkomitmen benahi tata kelola. Beragam kebijakan perlindungan hutan dibuat antara lain, setop beri izin baru di hutan primer dan lahan gambut, pengetatan aturan gambut sampai perbaikan standar hijau sawit Indonesia, sampai rencana memoratorium izin sawit.

Beragam upaya itu merupakan langkah baik, dengan catatan, implementasi berjalan, pengawasan ketat dan penegakan hukum tegas bagi pelanggar.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, komitmen hutan sudah cukup kuat. Sayangnya, lemah dalam menerjemahkan atau implementasi dalam konteks sosial, ekonomi dan budaya.

Dia contohkan. dalam komitmen penurunan emisi 26%, Indonesia masih belum pernah selesai mendefinisikan apa arti bagi kepentingan nasional. ”Harus ada ambang batas bagi perkebunan monokultur, larangan buka wilayah yang berkarbon tinggi, sedangkan untuk sosial mungkin ada alokasi bagi kelompok yang rentan,” katanya.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga beri pandangan. Dia bilang, pemerintah perlu komitmen tegas terkait moratorium pelepasan kawasan hutan, tak ada lagi untuk industri, perkebunan monokultur dan tambang. Kini, katanya, saatnya tata kelola dan merehabilitasi lahan kritis. Pengelolaan hutan, katanya, berikan kepada masyarakat adat/lokal yang sudah terbukti menjaga hutan-hutan di nusantara ini.

”Masyarakat adat memiliki komitmen melindungi hutan, namun masih banyak yang terhadang status kawasan hutan. Padahal, secara faktual, mereka tinggal disana lebih dahulu,” katanya.

Kini, pemerintah mulai memberikan pengakuan dan penetapan hutan adat. Ia masuk dalam salah satu program prioritas pemerintah lewat perhutanan sosial dan reforma agraria.

Sayangnya, kata Rukka, pengakuan hutan adat lambat sekali, padahal dapat membantu pemerintah mengelola hutan dari beragam ancaman.

”Kita tunggu komitmen Ibu Menteri (Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red) yang akan mengembalikan dan menyerahkan hutan adat seluas 6 juta hektar,” katanya.

Pemberian hak hutan adat mendesak karena mereka terus terancam di lapangan. Konflik terjadi antara warga dan perusahaan pemegang izin—bahkan ilegal sekalipun—maupun antara warga dan pemerintah.

Salah contoh masyarakat adat di Riau. Hutan adat mereka sudah hilang menjadi konsesi hutan tanaman industri, perkebunan sawit hingga tambang.

“Yang tersisa pun, bahkan diklaim pemerintah berada dalam kawasan hutan. Salah satunya di Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Sebenarnya itu hutan adat,” kata Efrianto, Ketua Dewan AMAN Riau.

Pemerintah, katanya, sudah mengakui hutan adat, salah satu melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 soal hutan adat bukan hutan negara.

Hanya, katanya, putusan ini belum berjalan penuh oleh pemerintah daerah termasuk Riau. Kendalanya, pada regulasi di masing-masing wilayah. Padahal, Riau sudah mengesahkan Perda Nomor 10/2015 tentang tanah ulayat dan pemanfataan. Bahkan, salah satu daerah di Riau, Kabupaten Kampar, sudah memiliki Perda Nomor 12/1999 tentang hak tanah ulayat, jauh sebelum putusan MK-35.

Beragam regulasi ada, tetapi di Riau, belum satupun hutan atau wilayah adat mendapat pengakuan pemerintah setempat.

“Jadi, sebenarnya kalau dikaji-kaji entah untuk apa perda itu. Hutan adat pun nyaris tidak ada lagi,” kata Efri.

Tak henti tergerus

Hutan terus hilang untuk industri ekstraktif juga terjadi di Sulawesi Tenggara. Walhi Sultra mencatat, 600.000 hektar hutan jadi ‘milik’ perusahaan pertambangan dan perkebunan. Data ini sesuai izin usaha pemerintah kepada perusahaan.

Kisran Makati, Direktur Walhi Sultra, mengatakan, pertambangan dan perkebunan punya andil besar kerusakan hutan Sultra. Apalagi, katanya, setengah luas lahan itu adalah kawasan hutan seperti hutan lindung, hutan produksi bahkan hutan konservasi.

“Secara nyata memberikan izin dalam kawasan hutan merusak hutan. Data membuktikan harapan pemerintah dengan kebijakan yang keluar berbanding terbalik. Ibarat dua mata pisau yang berbahaya,” katanya.

Kini, katanya, hutan Sultra, mengalami perubahan atau penurunan status karena industri ekstraktif atas izin pemerintah. Ada beberapa lokasi di Sultra alami hal ini, seperti di Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan dan Kolaka.

Beberapa kali Walhi meminta pemerintah dan pemilik izin menghentikan segala aktivitas dalam kawasan hutan. “Mengapa demikian? Karena pemerintahlah yang mengeluarkan izin-izin itu.”

Dia bilang, laju hilang hutan sangat cepat kalau pelaku industri ekstraktif. “Dibanding tindakan masyarakat yang gunakan kampak, dan mesin tebang, itu tak seberapa. Kalau kita lihat dari luar seperti hutan perawan tetapi dalam sudah gundul. Mereka, perusahaan pertambangan dan sawit ini merambah dari dalam.”

Mengenai kebijakan pemerintah pusat mencanangkan perhutanan sosial sebenarnya baik tetapi harus tetap dalam pengawasan. Dia khawatir, skema perhutanan sosial dan reforma agraria lewat pemberian hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, maupun kemitraan kehutanan, malah jadi peluang bagi perusahaan masuk.

Dia bilang, ada contoh di Konawe Selatan, tepatnya Desa Aronggo, dulu hutan adat, jadi hutan desa, belakangan pemerintah menerbitkan izin usaha perkebunan sawit di sana..

Abdi, Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (LEPMIL) Sultra juga angkat bicara. Dia menilai, kerusakan hutan di Sultra berdampak besar bagi masyarakat. Tak hanya mereka yang berada di sekitar hutan rusak, yang jauh juga terdampak.

Kota Kendari, katanya, banjir tatkala hujan turun. Sekalipun volume kecil sering banjir dan genangan air. Kondisi ini, katanya, bukan saja karena pengelolaan drainase dalam kota buruk, melainkan hutan di luar Kendari seperti di Konawe Selatan dan Konawe, sudah gundul karena perkebunan dan pertambangan.

“Bisnis hutan marak hari ini di sektor tambang. Izin pertambangan dalam kawasan hutan. Kepala daerah memberikan izin tanpa memikirkan dampak sosial di masyarakat. Akhirnya dirasakan banjir, masyarakat terpinggirkan dan akses atas hutan untuk masyarakat makin kecil,” katanya. Gubernur Sultra, tertangkap KPK dan kini jalani persidangan dengan jerat hukum kerusakan lingkungan.

Belum lagi soal Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Dia minta segera setop dan tinjau kembali. Proyek ini, katanya, jelas berdampak buruk pada hutan.

Maluku Utara pun alami kerusakan hutan. Provinsi dengan banyak pulau ini juga tak lepas dari sasaran industri ekstraktif dari izin HPH/HTI, tambang sampai sawit.

Bagi AMAN Malut, yang banyak advokasi masyarakat adat di wilayah yang bersentuhan langsung dengan hutan, menemukan kondisi masyarakat adat makin terancam.

Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Malut bilang, dalam beberapa tahun terakhir ini laju deforestasi hutan cukup tinggi. Kalau sebelumnya 25.000 hektar, pada 2016 menyentuh 52.000 hektar.

Kasus di Malut maupun daerah-daerah lain di Indonesia, kata Munadi, sebenarnya memiliki kemiripan terutama mengenai alih fungsi hutan. Dia bilang, di Malut, paling masif ubah hutan itu tambang, HPH/HTI sampai perkebunan sawit.

Munadi contohkan, dari 3,1 juta hektar luas daratan Malut, terbebani konsesi tambang, HPH /HTI maupun perkebunan sawit mencapai 1,4 juta hektar. Jumlah itu, dibagi untuk tambang 757.000 hektar, HPH 282.000 hektar, HTI 24.000 hektar, dan perkebunan sawit 21.000 hektar. Ada juga areal tumpang tindih mencapai 365.000 hektar.

“Dengan luas wilayah hutan yang sudah diambil untuk konsesi tambang, HPH, HTI dan perkebunan sawit itu menyebabkan hutan alam di Malut makin menipis,” katanya.

Dari hutan alam 1,67 juta hektar pada 2014, kini berkurang jadi 1,51 juta hektar pada 2016. “Semua yang masih berhutan itu dominan berada di pulau-pulau kecil.”

Fakta makin tinggi eksploitasi pemodal ini, katanya, memperlihatkan pemerintah daerah belum serius menjaga hutan Malut. “Hutan dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi tanpa menghitung fungsi ekologis. Padahal hutan tersisa itu berfungsi menjaga kelangsungan hidup masyarakat adat maupun lokal dan keragaman hayati.”

Dia bilang, pemberian izin tak henti memungkinkan deforestasi bakal terus meningkat.

Kondisi ini, katanya, bertolak belakang dengan berbagai upaya masyarakat adat dalam melindungi hutan. Peran masyarakat adat menjaga hutan, kata Munadi, sebenarnya sangatlah strategis.

Untuk itu, katanya, perjuangan mereka mendapatkan hutan adat harus mendapat tempat. “Tidak bisa mereka diabaikan,” katanya.

Munadi menambahkan, putusan MK-35 sudah hampir berjalan enam tahun, tetapi belum berjalan sepenuhnya di level pemerintah daerah. “Karena hak-hak mereka tidak diakui, masyarakat adat mudah dikriminalisasi padahal mereka berperan menjaga hutan,”

Pandangan sama juga disuarakan Hidayat Marasabessy, Dosen Kehutanan Universitas Khairun Ternate. Dia bilang, hutan saat ini menghadapi persoalan pelik.

Kondisi ini, katanya, tak terlepas dari kebijakan pengelolaan sumberdaya alam terutama di daerah. “Booming seperti sawit juga pemanenan mineral bumi massif, berhubungan dengan perubahan lanskap kawasan hutan,”katanya.

Dia menilai, kerusakan hutan juga berkaitan erat dengan modal politik. Kala ada suksesi kepemimpinan memerlukan “gizi berat” sebagai asupan pendanaan. “Nah, cara paling mudah mengumpulkan modal dengan mengeluarkan izin investasi sektor tambang, sawit, HPH dan lain-lain.”

Dia mengapresiasi langkah pemerintah pusat yang memberikan perhatian bagi pengelolaan hutan warga melalui perhutanan sosial. Dia bilang, hal itu ini merupakan jalan baik bagi masyarakat mendapat hak mengelola dan memelihara hutan dengan memanfaatkan baik kayu, hasil hutan bukan kayu sampai jasa lingkungan.

Minim akomodir hak warga

Beralih ke Sumatera Barat, beberapa kalangan menilai kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya alam di provinsi ini belum mengakomodir kepentingan dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Sedangkan upaya pemerintah—KLHK—dalam menjaga hutan masih tebang pilih.

Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) menyebut, upaya pemerintah menjaga hutan belum memperlihatkan perbaikan tata kelola fundamental. Yang ada, katanya, baru pada tingkat wacana dan diskursus tetapi minim implementasi.

Perizinan ekstraktif masih terus muncul sedang pemberian legalitas hak adat dan hak kelola masyarakat berjalan lambat, meskipun yang diajukan hanya luasan kecil. Berbanding terbalik kalau pengajuan izin korporasi dengan luas skala besar.

Jargon jaga hutan pemerintah, katanya, juga masih menyasar korban pada masyarakat kecil, seperti yang terjadi dengan masyarakat di Nagari Koto Malintang. Sedangkan terhadap pelanggaran oleh korporasi minim tindakan.

Belum lagi, tak ada upaya serius pemerintah daerah untuk menyelesaikan kknflik klaim antara hak adat dengan negara walau sudah ada putusan MK-35.

Bicara Kepulauan Mentawai, dia nilai kebijakan pemerintah pusat tak konsisten. Satu sisi melindungi dengan menetapkan sebagai cagar biosfir, sisi lain juga ada fungsi produksi diikuti dengan pemberian izin.

Pulau-pulau kecil, katanya, yang harusnya tak boleh ada kegiatan eksploitasi besar-besaran ditetapkan sebagai hutan produksi dan ada izin.

Cause Uslaini, Direktur Walhi Sumbar mengatakan, persoalan hutan di Sumbar masih menggunung, seperti status kawasan hutan masih penunjukan belum penetapan. Belum ada penetapan ini, katanya, berdampak pada konflik masyarakat dengan pemerintah tinggi.

“Ketidakjelasan tata batas hutan juga persoalan yang menyebabkan masyarakat sekitar kawasan hutan dikriminalisasi saat mengambil hasil hutan.”

Kalau bicara soal deforestasi, hutan Sumbar juga mengalami. Banyak izin-izin keluar di kawasan hutan—dengan melepas status kawasan–, ada izin tambang, sawit sampai HPH/HTI.

Selain itu, katanya, pengawasan kawasan hutan dan penegakan hukum masih lemah. Ada temuan perusahaan berizin HGU sawit menanam melebihi luas izin dan menghilangkan kawasan hutan. “Tidak ada penindakan.”

Ada pembukaan lahan untuk menanam sawit dan gambir bahkan dalam kawasan lindung dan taman nasional juga tak ada tindakan hukum. Lucunya, kala dua warga Nagari Koto, menebang dua pohon di hutan adat dengan kearifan lokal tinggi, mengikuti prosedur nagari, malah kena jerat hukum.

“Saya berharap dalam momen peringatan Hari Hutan ini, semua pihak bisa merefleksikan diri bahwa bicara hutan tidak hanya tugas Kehutanan saja harus melibatkan sektor lainn terutama yang merusak hutan,” katanya.

Menurut dia, perlu mendorong pengakuan hutan adat di Sumbar agar bisa terkelola arif dan bijaksana serta masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi.

Di Sumbar, tepatnya Lunang Tapan, katanya, punya 17.000 hektar hutan gambut terakhir yang tersisa dan terancam perkebunan sawit. “Ini harus kita jaga. Jangan sampai semua hutan gambut kita jadi sawit seperti di Pasaman Barat.”

Sementara LBH Padang yang beberapa tahun belakangan banyak mengawal kasus sumber daya alam di Sumbar menyatakan, ada persoalan distribusi sumberdaya alam khusus hutan yang tidak adil di Indonesia, termasuk Sumbar.

Era Purnama Sari Direktur LBH Padang bilang, meskipun ada perhutanan sosial guna menjawab akses masyarakat, namun ada dua catatan penting. Pertama, seberapa persen pemberian kelola warga jika dibandingkan luasan hutan terbebani izin ekstraktif.

Kedua, perhutanan sosial tidaklah menjawab persoalan Sumbar karena hukum adat masih kuat. Jadi, katanya, yang diperlukan tak hanya akses tetapi pengakuan hak. Skema-skema yang cenderung dipilih pemerintah lokal, katanya, justru yang tak menegaskan hak hak masyarakat adat.

Kabar dari Jambi, pun masih tak jauh beda mengenai hutan yang makin berkurang. Setiap tahun, tutupan hutan Jambi terus menyempit. Saat ini, perusahaan menguasai hampir 40% dari luas kawasan hutan Jambi mencapai 2,089 juta hektar. Ia teralokasi untuk konsesi HTI/HPH. Masalah lain, penjarahan hutan pun terus berlanjut.

Data Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) berdasarkan analisis citra satelit Lansat 8, tutupan hutan di Jambi tersisa 900.000 hektar.

Muhammad Zuhdi, Direktur Pelaksana Yayasan Cappa Keadilan Ekologi Jambi mengatakan, hutan di Jambi tak hanya menyempit tetapi rusak, terutama di bekas HPH yang kini banyak dikuasai masyarakat.

Kerusakan terjadi, katanya, tata kuasa dan tata kelola hutan dan pengawasan sulit. “Kita tak bisa menyalahkan masyarakat, kontrol dari birokasi di kehutanan tidak jalan.”

Menurut dia, tutupan hutan hilang bukan hanya di kawasan hutan produksi, juga konservasi. Perambahan dan pembalakan liar terjadi di Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Duabelas, bahkan sampai hutan restorasi dan hutan lindung.

Menurut Zuhdi, pengawasan hutan di Jambi tak berjalan baik. “Rata-rata di kawasan hutan itu konflik. Kriminalisasi, intimidasi, rasa hidup nyaman pun tidak ada,” katanya.

Konflik membuat kehidupan masyarakat tak nyaman, mereka juga kesusahan memenuhi kebutuhan hidup yang biasa mereka dapatkan dari hutan. “Akibatnya masyarakat jadi tambah miskin, anak-anak juga tidak dapat sekolah.”

Pemerintah, katanya, harus memikirkan ekonomi masyarakat yang hidup bergantung hutan. Dia mendorong, skema perhutanan sosial bagi masyarakat yang hidup dalam kawasan hutan.

Dia bilang, masyarakat adat/lokal, punya cara untuk menjaga hutan, salah satu Orang Rimba di Simpang Macan Luar. Mereka menjaga hutan, ada pohon-pohon tertentu tak boleh tebang sembarangan.

Data KLHK, ada sekitar 25.000-an desa masuk dalam kawasan hutan. Di Jambi, sekitar 100.000 hektar wilayah hutan dikelola masyarakat lewat perhutanan sosial. Yayasan Cappa juga mengusulkan 8.658 hektar di Jambi untuk perhutanan sosial di Sarolangun, Batanghari dan Tanjung Jabung Barat.

Jadi, bagaimana nasib hutan Indonesia, ke depan?

Tim Penulis: Lusia Arumingtyas (Jakarta), Kamarudin (Kendari), Suryadi (Riau), Mahmud Ichi (Ternate), Vinolia (Padang) dan Yitno Suprapto (Jambi).

Sumber: Mongabay Indonesia, 21 Maret 2018.

Related Article

INDONESIA BRACES FOR RETURN OF FIRE SEASON AS HOTSPOTS FLARE UP

INDONESIA BRACES FOR RETURN OF FIRE SEASON AS HOTSPOTS FLARE UP

Teguh Surya, executive director of the environmental NGO Yayasan Madani Berkelanjutan, said he was confident the BRG was doing its job, but that there was no way for the public to verify whether it was having any effect.


JAKARTA — Forest fires are underway in Indonesia as the rainy season tails off, marking the return of potentially widespread burning that threatens to once again blanket parts of the country in a toxic haze and belch out huge volumes of carbon dioxide.

Authorities reported that fires had flared up in the two Sumatran provinces of Riau and South Sumatra, and in the Bornean provinces of West and Central Kalimantan. Twenty-three of the 90 hotspots recorded across the country were in West Kalimantan, where thick smoke blanketed the provincial capital Pontianak and disrupted flights.

In Riau, one of the hardest-hit regions during the particularly disastrous 2015 season, fires have razed 6.4 square kilometers (2.5 square miles) of land, an area double that of New York’s Central Park.

All four affected provinces have declared a state of emergency. This will allow them “better access [to resources] to combat forest fires,” including firefighters and funding from the central government, said Sutopo Purwo Nugroho, a spokesman for the National Disaster Mitigation Agency (BNPB).

The state of emergency in Riau and Central Kalimantan will run until May, while in South Sumatra and West Kalimantan it will be maintained until October and December, respectively.

Threat to Asian Games

Authorities are particularly concerned about the return of the fire season this year, when Indonesia will host tens of thousands of athletes and visitors for the Asian Games that run from Aug. 18 to Sept. 2. The event will be co-hosted by Jakarta and Palembang, the capital of fire-hit South Sumatra.

The selection of Palembang as a host city has long been deemed risky, given the propensity for fires in the region. Forty-four percent of land and forest fires in Indonesia since 2011 have occurred in the provinces of South Sumatra, Riau and Central Kalimantan, according to analysis by the think-tank World Resources Institute (WRI).

Nearly all these fires are human-caused, sparked in large part by slash-and-burn clearing of forests to make way for oil palm and pulpwood plantations. The draining of carbon-rich peat swamps, rendering them highly combustible, also serves to accelerate the spread of fires and intensifies the burning and haze. Combined with the onset of the dry season, the fires can quickly grow out of control and spread.

This year’s dry season for the southern region of Sumatra is expected to take hold from June until September, coinciding with the Asian Games. It’s during this period that the fires will intensify, Sutopo said.

The threat has compelled President Joko “Jokowi” Widodo to instruct all authorities to prepare for the worst.

“Don’t let this event be marred by haze and forest fires that will hurt [our] image and disrupt flights,” he said in a meeting in Jakarta in early February. “We have to work hard so that the Asian Games run smoothly without any problems from forest fires.”

He also repeated a warning he first made in 2016 to fire officials from the military and the police to be on top of their game.

“If there are fires in your regions and they’re not handled well, the rule is still the same: dismissal,” Jokowi told the officials gathered at the meeting.

Preventive measures

Some safeguards have been put in place since 2015 to prevent a repeat of the devastating fires that year that razed huge swaths of land and generated some of the worst haze on record. Smoke from the fires sickened half a million Indonesians, per government estimates, and drifted into neighboring countries. At the height of the disaster, the daily emissions of carbon dioxide as a result of the burning exceeded those from all U.S. economic activity.

Among the fire-prevention policies that have been issued since then are a nationwide ban on clearing peatlands; the establishment of community-based fire prevention initiatives; and a requirement for companies to protect and preserve carbon-rich peatlands that fall within their concessions.

The government also plans to restore 20,000 square kilometers (7,720 square miles) of drained peatlands across the country by 2020. The idea is that rewetting the peatlands will make them less likely to catch fire.

To lead the nationwide efforts, Jokowi established the Peatland Restoration Agency (BRG) in early 2016. By the end of 2017, the agency had overseen the rewetting of 2,000 square kilometers of peatland, half by itself and the other half by NGOs and companies.

Environmental activists have questioned the effectiveness of the BRG’s work, citing a lack of transparency.

Teguh Surya, executive director of the environmental NGO Yayasan Madani Berkelanjutan, said he was confident the BRG was doing its job, but that there was no way for the public to verify whether it was having any effect.

“For the restoration work to be effective, the location has to be on point,” he said. “Who determines the location, and what’s the [restoration] method? If the determination of the location is done carelessly, then it’ll fail. The president has to check: if the peatlands have been rewetted, where are they located?”

This year already, there have been fire reports in at least two areas that the BRG claims to have restored. One is in Lukun village in Riau province, where fires have been burning since Feb. 9. The BRG says the fires are not in areas where it has blocked peat drainage canals, but instead are located in nearby sago plantations.

The second report of fires is also in Riau, in the village of Mundam, where the BRG has built 12 canal-blocking units, according to Teguh. BRG head Nazir Foead was scheduled to visit the area on Feb. 23 to verify the report.

As part of its wider plans, the BRG says it is in the process of checking the fire-prevention infrastructure it has already built, to gauge whether it’s working as intended, Nazir said.

“We’ll fix them immediately if there’s anything broken,” he told Mongabay at his office in Jakarta. “And we’ll see the fire spots and how far they’re located from the rewetting infrastructure that we’ve built. If the infrastructure is deemed insufficient, then we’ll build more.”

In an attempt to monitor the progress of peat restoration efforts in the country, Yayasan Madani Berkelanjutan and other NGOs and think tanks, including WRI Indonesia, have set up an online platform called Pantau Gambut, which features an interactive map onto which various data points can be overlaid. These include hotspots, oil palm and pulpwood plantations, and the BRG’s own map.

“Without adequate public monitoring, it’s impossible for the [peat restoration] target to be achieved because there’s no sense of ownership,” Teguh said.

Lessons from 2015

Rewetting peatland is a far more effective means of tackling the fire issue than deploying firefighters to put out blazes once they start, Teguh said. He pointed to the biomass- and carbon-rich nature of peatland that made it particularly combustible, as well as the remote location of much of Indonesia’s peat forests that make it virtually impossible to contain the spread of fires, as was the case in 2015.Firefighters sent to put out the blaze in Lukun village faced this problem too, according to Raffles B. Panjaitan, the director of fire mitigation at the Ministry of Environment and Forestry. Just to reach the location required traveling several hours by boat.

“With no clean water, they had to use water from the peatland,” Raffles said in a statement. “And they had to walk for about 1.5 kilometers [1 mile] from where they were staying to reach the fires.”

Elim Sritaba, the director of sustainability and stakeholder engagement at Asia Pulp and Paper (APP), which operates vast pulpwood plantations, said the company faced a similar experience when dealing with the 2015 forest fires. APP, Indonesia’s largest pulp and paper producer, was blamed for much of the fires that enshrouded the region that year.

In anticipation of this year’s fire season and the threat it poses to the Asian Games, Elim said APP would focus its attention on Ogan Komering Ilir district, a peat region in South Sumatra where the firm has invested in a massive new pulp mill.

“We’re also increasing our investment. Our fire department asked for a $2 million increase in budget,” she told Mongabay at her office in Jakarta. “They wanted to increase the number of patrol towers and we also wanted to install cameras in some high-risk spots.”

Elim said the company had not been prepared for the sheer scale of the fires in 2015, which she said came from outside APP’s concessions and were supercharged by strong winds and the El Niño weather cycle.

“In 2015, the wind was so strong and because it was dry, the wind turned into a cyclone,” she said. “By the time the fires came [to our concessions], they were 2 kilometers [1.2 miles] in width and 1 kilometer [0.6 miles] in height. And the fires were circling. So our fire experts told us that not even the best firefighters could extinguish a fire that big, only God could.”

Source: Mongabay.com, February 26, 2018.

Related Article

Data Restorasi agar Terbuka

Data Restorasi agar Terbuka

Muhammad Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Selasa (13/2), di Jakarta, mewakili 20 jejaring kelompok masyarakat sipil di 8 provinsi yang memiliki gambut, mengenalkan situs pantaugambut.id. Situs itu berisi peta, data, dan informasi terkait gambut dan restorasinya sebagai sarana kanal informasi bagi masyarakat terkait perkembangan restorasi gambut. Masyarakat membutuhkan informasi perkembangan dua tahun restorasi gambut pascakebakaran hutan dan lahan 2015. Pemerintah diminta membuka data dan peta terkait.

JAKARTA, KOMPAS Sejumlah 20 kelompok masyarakat sipil dari 8 provinsi di Indonesia, dalam Simpul Jaringan Pantau Gambut, membangun kanal informasi daring sebagai dukungan pada restorasi gambut yang dikerjakan pemerintah dua tahun terakhir.

Kanal informasi dalam pantaugambut.id berisi antara lain peta perkembangan restorasi gambut untuk menjembatani upaya pemerintah yang belum menuntaskan kebijakan satu peta. Namun, data itu belum memasukkan perkembangan restorasi yang digarap di bawah supervisi Badan Restorasi Gambut (BRG) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Simpul Jaringan kesulitan mendapat data dan peta itu. Karena upaya restorasi belum dibuka ke publik, rasa memiliki terhadap pekerjaan besar membasahi kembali gambut jadi tak terbentuk. Temuan Simpul Jaringan, masyarakat awam di lokasi restorasi kerap tak mengetahui pengerjaan restorasi di daerahnya. Bahkan ada temuan, proyek restorasi hanya jadi pekerjaan kaum elite desa.

”Dua tahun berjalan, tak ada ownership agenda restorasi di publik. Masih terkesan proyek. Tanpa partisipasi publik, hambatan akan amat banyak,” kata Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani, perwakilan dari Simpul Jaringan, Selasa (13/2), saat mengenalkan kanal pantaugambut.id kepada media. Ia mencontohkan, lokasi-lokasi restorasi gambut seluas 2,4 juta hektar di 7 provinsi, 60 persennya berada di area konsesi perusahaan kebun kayu (hutan tanaman industri) dan kebun sawit. Meski sebagian dari mereka telah merencanakan pembasahan areal kebunnya yang bergambut, komitmen itu perlu dikawal masyarakat agar berjalan di lapangan.

Teguh Surya menunjukkan pernyataan BRG yang berhasil merestorasi 1,18 juta ha lahan meliputi area pembasahan 202.454 ha dan 75 desa peduli gambut. Namun, lokasi-lokasi rinci kegiatan itu hingga kini belum diketahui publik.

”Simpul Jaringan Pantau Gambut kesulitan mengakses informasi rinci restorasi gambut. Kami memerlukan lokasi rinci intervensi BRG untuk melaksanakan verifikasi dampak restorasi,” kata Sarah Agustiorini, Juru Kampanye Kaoem Telapak. Selain itu, KLHK perlu menyediakan data publik tentang perusahaan yang harus melakukan restorasi dan telah menyampaikan revisi rencana kerja usaha (RKU).

Menanggapi hal itu, Kepala BRG Nazir Foead mengatakan, laporan perkembangan restorasi 2017 sedang dalam tahap penyelesaian. Pada akhir Januari 2018 timnya masih melaksanakan verifikasi pengerjaan restorasi, seperti pemasangan sumur bor dan sekat kanal.

”Dalam waktu dekat, laporan ini selesai karena tinggal editing. Di dalamnya, ada laporan kerja restorasi yang dikerjakan mitra lembaga swadaya masyarakat, masyarakat, dan sebagainya,” katanya. Laporan ini dipastikan akan dibuka kepada publik, termasuk peta dan data-data terkait.

Sementara terkait pengerjaan restorasi di area konsesi, BRG dan KLHK masih tahap penyelesaian revisi RKU para pengelola HTI di area gambut. Tahun ini, restorasi berupa pembasahan gambut di area konsesi berjalan efektif karena tercantum dalam revisi RKU.

Puji kemajuan
Meski mengkritik restorasi gambut yang berjalan, Simpul Jaringan memuji beberapa langkah BRG dan KLHK dua tahun terakhir. Salah satunya adalah pemetaan LiDAR (berbasis laser) di empat kabupaten prioritas.

”LiDAR (skala 1:2.500) jadi terobosan dalam menjawab tantangan restorasi gambut. Sebab, BRG masih memakai peta berskala 1:250.000 dalam menentukan prioritas restorasi di tujuh provinsi,” kata Clorinda Kurnia Wibowo, Analis Penelitian World Resources Institute (WRI) Indonesia.

Kemajuan lain, ialah pemerintah berhasil meninjau ulang izin usaha di atas lahan gambut dengan merevisi RKU bagi pemegang konsesi HTI dan rencana pembasahan kepada pekebun kelapa sawit. Simpul Jaringan menyatakan, kemajuan ini akan berjalan di lapangan bila data perusahaan dan RKU perusahaan dibuka ke publik.

”Jadi, publik bisa melihat arahan restorasi yang harus dilakukan pelaku usaha, lalu memantau pelaksanaannya di lapangan,” ujarnya. (ICH)

Sumber: Kompas cetak, 14 Februari 2018. Halaman 14.

Related Article

HOW LOCAL ELECTIONS COULD RUIN ASIAN GAMES IN PALEMBANG

HOW LOCAL ELECTIONS COULD RUIN ASIAN GAMES IN PALEMBANG

 


Teguh said fires were still looming large in South Sumatra – where peatlands are concentrated in Ogan Komering Ilir and Musi Banyuasin regencies — partly because there had been no signs of significant peatland restoration by the BRG in the province.

The city of Palembang in South of Sumatra will co-host the Asian Games from August to September and President Joko “Jokowi” Widodo has ordered his aides and regional officials to focus on preventing the worst thing that could happen in the province at that time: major forest and land fires.

The haze resulting from raging fires would seriously disrupt the prestigious sporting event and put Indonesia’s reputation as the host on the line.

While the number of land and forest fires has significantly decreased in the past two years, with Jakarta issuing a number of fire prevention policies following the deadly 2015 fires, scientists say we may still need to worry that major fires could occur at around the time of the Games.

One of the reasons is that the country will be holding regional elections in June, only two months before the Games kick off.

Riau and South Sumatra were the most affected by recent forest and land fires on Sumatra. This year, the two provinces and some municipalities and regencies within them are set to elect new leaders.

The problem is that law enforcement against the people responsible for forest fires will be compromised during regional elections, said Herry Purnomo, a Center for International Forestry Research (CIFOR) scientist.

This was the conclusion he made based on a study he conducted with fellow CIFOR researchers in 2015.

“Regional leaders tend to ease law enforcement against perpetrators who happen to be their constituents in order to secure votes in the election,” said Herry, who is also a professor at the Bogor Agricultural University (IPB).

The study found that the occurrence of major forest and land fires in Sumatra and Kalimantan, two islands rich with peat swamp forests prone to fire, during the 2000-2015 period, had coincided with regional elections in the two areas. “This is my foremost worry,” Herry said, referring to the potential for lax control over those who start fires during ahead of and during the regional elections.

In general, people have become more knowledgeable about fire prevention, especially by not clearing land for agricultural purposes by setting fire to it. Smallholders have begun complying with regulations, while big companies have started to meet their sustainability obligations as they fear having their business permits revoked.

However, Herry said the stern approach had less of an influence on another group of culprits: middle-scale farmers, who can be found across Sumatra, including in South Sumatra.

“This group is not daunted by the threat that faces big companies. They don’t fear a legal case if they clear land with fire because basically they are not registered as legal entities,” Herry said.

In the aftermath of the 2015 fires, which ravaged 640,000 hectares of forest and land in South Sumatra alone, attention was centered on the Peatland Restoration Agency (BRG), established by Jokowi to restore 2 million ha of peatland by 2020 in seven provinces, including the province.

However, experts have said there has been no significant progress in peatland restoration efforts, blaming BRG’s lack of authority on the ground, especially in dealing with companies that some experts claim have allies in line ministries.

“Restoring peatland to its wet condition is a significant aspect in fire prevention,” said Teguh Surya, a researcher with the Yayasan Madani Berkelanjutan, an NGO that focuses on forest and land management.

Teguh said fires were still looming large in South Sumatra – where peatlands are concentrated in Ogan Komering Ilir and Musi Banyuasin regencies — partly because there had been no signs of significant peatland restoration by the BRG in the province. He added that the agency had never publicly revealed how much peatland it had restored there.

South Sumatra and Riau, meanwhile, have begun preparing for potential forest and land fires this year, mostly related to fire mitigation efforts.

The South Sumatra Disaster Mitigation Agency (BPBD) has requested additional helicopters from Jakarta to be used to extinguish fires, while the Riau administration has considered declaring a state of emergency in the province to anticipate possible fires this year.

“South Sumatra has only five helicopters, which is insufficient. Moreover, the province will host the Asian Games in August, which could the one of the hottest periods [in 2018],” South Sumatra BPBD head Iriansyah said in December last year as quoted by Antara.

Palembang will host 10 sporting events, including women’s soccer, men’s soccer, basketball, a triathlon, shooting and sepak takraw competitions. (ahw)

Source: The Jakarta Post, February 14, 2018.

 

Related Article

20 Kelompok Masyarakat Sipil Pantau Gambut

20 Kelompok Masyarakat Sipil Pantau Gambut

Muhammad Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Selasa (13/2) di Jakarta, mewakili 20 jejaring kelompok masyarakat sipil di delapan provinsi yang memiliki gambut, mengenalkan situs pantaugambut.id. Situs ini berisi peta, data, dan informasi terkait gambut dan restorasinya sebagai sarana kanal informasi bagi masyarakat terkait perkembangan kemajuan restorasi gambut.

JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah 20 kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Simpul Jaringan Pantau membangun kanal informasi untuk memantau perkembangan restorasi gambut. Kanal dalam pantaugambut.id ini berisi peta restorasi yang dilakukan masyarakat, laporan masyarakat, cerita masyarakat terkait gambut, serta berbagai informasi terkait ekosistem gambut.

Kanal informasi ini menjembatani kekosongan informasi terkait perkembangan restorasi gambut yang dijanjikan Presiden Joko Widodo pascakebakaran hutan dan lahan pada 2015.

Restorasi 2 juta hektar gambut di tujuh provinsi yang dijalankan Badan Restorasi Gambut hingga 2019 dinilai belum terinformasikan kepada masyarakat. ”Pantau Gambut merupakan inisiatif independen dari berbagai lembaga swadaya masyarakat di Indonesia yang memanfaatkan teknologi, kolaborasi data, dan jaringan masyarakat untuk memberikan informasi dan meningkatkan partisipasi publik dalam memastikan keberhasilan komitmen restorasi ekosistem gambut yang dilakukan semua pemangku kepentingan,” tutur Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mewakili Simpul Jaringan Pantau, Senin (13/2), saat mengenalkan situs pantaugambut.id kepada media.

Pantau gambut merupakan inisiatif independen dari berbagai lembaga swadaya masyarakat di Indonesia untuk memberikan informasi dan meningkatkan partisipasi publik dalam memastikan keberhasilan komitmen restorasi ekosistem gambut.

Ia mengatakan, kanal ini dibangun karena pekerjaan restorasi gambut masih banyak bersifat proyek. Karena tak merasa dilibatkan, dikhawatirkan pekerjaan restorasi tak bertahan lama.

Clorinda, analis penelitian World Resources Institute (WRI) Indonesia, bagian dari Simpul Jaringan, mengatakan, pihaknya mengundang berbagai pihak, terutama masyarakat yang mengerjakan restorasi di area masing-masing. Data ini bisa diplot dalam peta pantaugambut.id.

”Kami sedang susun protokol pemantauannya bagi kelompok masyarakat yang ingin menunjukkan restorasi gambutnya,” ujarnya.

Sumber: Kompas Cetak, 13 Februari 2018 18:32 WIB

Related Article

Moratorium Sawit Segera Terbit? Berikut Poin-poin Draf Inpresnya

Moratorium Sawit Segera Terbit? Berikut Poin-poin Draf Inpresnya

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

Setelah hampir dua tahun—sejak April 2016– rencana pemerintah keluarkan aturan tunda sementara (moratorium) izin sawit digodok, tampaknya bakal keluar dalam waktu dekat ini. Dalam rancangan kebijakan itu dikatakan, Instruksi Presiden soal penundaan perizinan kebun sawit paling lama tiga tahun. Berbagai kalangan berikan tanggapan.

Dari draf dokumen yang diperoleh Mongabay, aturan berjudul Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit ini sudah disetujui dan ditandatangani Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian per 22 Desember 2017. Sebelumnya, draf ini sudah melalui Pramono Anung, Sekretaris Kabinet pada 6 November 2017.

Inpres ini dengan tujuan kepada kementerian (lembaga), hingga kepala daerah (gubernur, bupati/walikota). Adapun kementerian dan lembaga itu antara lain Menko Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Menteri Dalam Negeri.

Penundaan dan evaluasi perkebunan sawit serta peningkatan produktivitas kebun sawit ada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian. Untuk pelaksanaan, akan ada tim kerja bentukan Menko Perekonomian.

”Inti arah dari Bapak Presiden adalah perizinan lahan sawit, hilirisasi dan peremajaan tanaman sawit,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di sela Rapat Koordinasi Nasional Hutan Adat di Jakarta, Selasa (23/1/18).

Inpres ini, katanya, menitikberatkan kesejahteraan rakyat dan pembenahan perizinan yang ada. Siti mengatakan, sekitar 4 juta hektar perkebunan sawit milik rakyat memiliki produktivitas rendah.

”Sehabis inpres keluar, tak ada izin baru. Izin-izin yang sudah keluar atau sedang proses dari KLHK untuk pelepasan dilakukan dalam kaitan sudah jadi HGU (hak guna usaha-red) atau belum. Setelah jadi HGU, seperti apa, juga akan dievaluasi,” katanya.

Soal evaluasi izin, katanya, antara lain terhadap usaha-usaha sawit yang sudah berizin tetapi belum ada kegiatan, perubahan penggunaan tanah dan perubahan komoditas dari pengajuan awal.

Kelengkapan perizinan yang sedang berproses pun akan ditelaah, baik terkait tata ruang, sampai budidaya. “Apakah hutan yang diajukan bisa dikonversi? Termasuk perizinan yang sama sekali belum ada usulan izin pelepasan kawasan hutan. ”Itu dipertimbangkan, diperketat dan hati-hati.”

Begitu juga terhadap izin sedang proses apabila masih mempunyai hutan produktif, maka hutan tidak akan dilepaskan.

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik substansi draf inpres ini, meski ada beberapa catatan. Menurut dia, aturan ini memberikan bentuk baru pengelolaan dan perbaikan demi kelestarian ekologi dengan mengembalikan kawasan hutan yang terlanjur jadi perkebunan sawit llegal.

Teguh berharap, temuan dari evaluasi dan pengawasan terhadap perkebunan sawit ini dapat ditindaklanjuti melalui penegakan hukum.

Selain itu, katanya, dalam proses verifikasi perlu memperhatikan indikator sosial, misal, soal free, prior and informed consent (FPIC), konflik masyarakat dan konsultasi publik atau penolakan warga.

Namun, organisasi masyarakat sipil menggarisbawahi soal periode masa moratorium. ”Kami mendesak inpres ini seharusnya berbasis kriteria dan indikator capaian, bukan berbatas waktu,” kata Mardi Minangsari, pegiat Kaoem Telapak.

Indikator capaian yang dimaksud Mardi, seperti terkait tata kelola berkelanjutan, kepastian hukum, penurunan emisi dan lain-lain.

Siti beranggapan, kalau evaluasi berjalan lancar, waktu tiga tahun sudah cukup untuk moratorium. ”Saya malah bilang dua tahun cukup, moratorium tidak ada izin baru, jika evaluasi menyebutkan sawit bagus, peremajaan oke dan lain-lain,” katanya.

Greenpeace Indonesia juga menyambut baik Inpres moratorium izin perkebunan sawit ini. Meskipun begitu, dalam siaran pers, Greenpeace menekankan dua hal penting perlu ada dalam kebijakan ini.

Pertama, harus ada evaluasi izin yang sudah keluar. Ratri Kusumohartono, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, seharusnya pemerintah evaluasi bukan hanya perizinan yang berproses, juga yang sudah diberikan.

“Izin yang bermasalah harus dicabut, dan kawasan hutan harus dilindungi,” katanya.

Evaluasi izin, katanya, seharusnya bisa membantu pemerintah dalam merealisasikan kebijakan Satu Peta. Satu Peta, kata Ratri, sangat penting sebagai efek gentar mencegah pembukaan hutan dan lahan gambut ilegal.

Dengan Satu Peta, titik api yang kerap di wilayah perkebunan sawit, bisa mudah diketahui. Pemerintahpun, katanya, bisa segera menegur dan memberikan sanksi bagi pelanggar aturan.

Kedua, inpres seharusnya mengatur tak hanya perizinan perkebunan di kawasan hutan, juga areal penggunaan lain (APL), termasuk kawasan pangan. “Ini penting karena makin marak kawasan pangan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit.”

Berbagai penelitian, katanya, menyebutkan, beberapa tahun belakangan makin banyak lahan sawah jadi perkebunan sawit terutama di Sumatera dan Kalimantan Dia contohkan, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Dalam periode 2006-2014, konversi lahan sawah jadi perkebunan sawit mencapai 15.616 hektar. Awalnya, perubahan itu terjadi seiring program satu juta hektar lahan sawit tahun 2000.

Harus transparan

Mengenai tim kerja untuk pelaksanaan penundaan, dan evaluasi izin kebun sawit, Teguh memberikan masukan komposisi tim. ”Kita berharap tim kerja harus independen dan perwakilan masyarakat sipil masuk di dalamnya.”

Terpenting lagi, katanya, membangun sistem kerja transparan mulai dari evaluasi, rekomendasi hingga tindak lanjut penegakan hukum.

Kemenko, katanya, juga perlu menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sebelumnya menginisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam pada 2015. Temuan-temuan KPK pun seharusnya bisa menjadi dasar dalam evaluasi dan verifikasi perizinan sawit.

”Moratorium ini harus melacak usulan pelepasan kawasan hutan oleh perusahaan sawit yang tak memilki HGU atas nama perhutanan sosial dan reforma agraria, sebagai salah satu modus.”

Dalam draf inpres itu tim kerja bertugas verifikasi data pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit, peta izin usaha perkebunan atau surat tanda daftar usaha perkebunan, izin lokasi dan HGU, serta sinkronisasi pelaksanaan kebijakan Satu Peta.

Tim juga memiliki kewenangan rekomendasi kepada menteri, gurbernur, bupati/walikota terkait penetapan kembali areal dari kawasan hutan yang telah pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan. Juga, penetapan tanah terlantar dan penghentian proses penerbitan atau pembatalan HGU dan langkah-langkah hukum atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Rekomendasi tim ini, berdasarkan hasil verifikasi data dan evaluasi dari setiap kementerian dan lembaga.

Ada pengecualian

Sementara itu, KLHK memiliki tugas untuk penundaan pelepasan ataupun tukar menukar kawasan hutan untuk sawit, memverifikasi dan mengevaluasi data pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan pada perkebunan sawit yang telah terbit. Juga menindaklanjuti rekomendasi tim kerja soal penetapan kembali areal dari kawasan hutan yang telah pelepasan atau tukar menukar dan melaksanakan langkah hukum.

Teguh mengatakan, ada jebakan dalam moratorium ini, terkait pengecualian penundaan pelepasan ataupun tukar menukar bagi permohonan pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang telah ditanami dan diproses. Adapun itu berada dalam ketentuan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 104 /2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

”Pasal pengecualian ini seharusnya dihapus dan tak diberikan di awal tapi ditentukan setelah evaluasi dan verifikasi. Pasal ini jadi penawar dalam moratorium.” Untuk Menteri Pertanian, bertugas menyusun dan verifikasi data serta peta izin usaha perkebunan sawit dan pendaftaran surat tanda daftar usaha perkebunan sawit. Lalu, evaluasi proses pemberian izin dan pelaksanaan kewajiban perusahaan perkebunan yang sudah mengantongi izin.

Mentan wajib meningkatkan pembinaan kelembagaan petani sawit guna optimalisasi dan intensifikasi pemanfaatan lahan untuk produktivitas sawit. Mentan juga bertugas memastikans setiap perkebunan sawit menerapkan standar wajib sawit berkelanjutan (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO).

Sedangkan, poin penting tugas Menteri ATR/BPN adalah menghentikan dan pembatalan HGU dan perlu percepatan penerbitan hak tanah kepada masyarakat–dalam pelaksanaan 20% alokasi buat warga dari luas HGU kebun sawit.

Untuk tugas Mendagri, melakukan pembinaan dan pengawasan kepada gubernur dan bupati/walikota. Sedangkan, tugas kepada kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) agar lebih tegas memoratorium dan pengumpulan data, evaluasi dan verifikasi ke lapangan.

Buat Kepala BKPM, mendapat instruksi perlu penundaan permohonan penanaman modal baru untuk perkebunan sawit atau perluasan perkebunan. Tugas dalam moratorium dan evaluasi perizinan dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit lintas kementerian dan lembaga di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Menko wajib melaporkan pelaksanaan inpres kepada presiden setiap enam bulan atau sewaktu-waktu kalau diperlukan.

Sumber: Mongabay

Related Article

Indikator Capaian Kembali Didorong

Indikator Capaian Kembali Didorong

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN – Hamparan perkebunan kelapa sawit di kawasan Sei Kijang, Kabupaten Palalawan, Riau.

JAKARTA, KOMPAS —Sejumlah lembaga masyarakat sipil memberikan catatan pada isi draf instruksi presiden moratorium sawit. Mereka mendorong agar moratorium dilakukan berdasarkan indikator capaian, bukan waktu.

Hal itu agar tujuan instruksi presiden (inpres) untuk menertibkan kebun sawit di areal hutan dan membenahi tata kelola perkebunan serta produktivitasnya tercapai. Jika mengandalkan batasan waktu, itu tak tuntas menyelesaikan soal sawit di kawasan hutan yang berlangsung lama.

”Kami mendesak pelaksanaan inpres ini berbasis kriteria dan indikator capaian tertentu, bukan batas waktu,” kata Mardi Minangsari, aktivis Kaoem Telapak, Selasa (23/1), di Jakarta.

Dalam draf Inpres tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang disetujui Menteri Koordinator Perekonomian, penerapan moratorium tiga tahun. Jeda waktu itu tak cukup menuntaskan tata kelola kebun sawit yang semrawut.

Apalagi, inpres diharapkan meningkatkan produktivitas kebun sawit. Di sisi lain, indikator capaian bisa memakai peningkatan produktivitas sawit.

Indikator selanjutnya adalah tak ada lagi tumpang tindih lahan sawit di areal hutan dan peruntukan lain. Itu termasuk kewajiban perkebunan sawit untuk membagi 20 persen dari hak guna usaha-nya bagi perkebunan masyarakat.

Franky Yafet Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka, mengingatkan agar inpres menyentuh masalah sosial di masyarakat. ”Harus bisa mengungkap apakah pembangunan kebun itu ada konsultasi publik ataukah ada penolakan warga,” ujarnya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, inpres ini memberikan tugas kepadanya untuk mengevaluasi izin pelepasan areal hutan yang diterbitkan KLHK. Tujuannya agar pelepasan sesuai peruntukan. ”Evaluasi, misalnya, sudah ada izin, tapi belum ada kegiatan, berubah penggunaan tanahnya, dan perubahan komoditas dari pengajuan,” katanya.

Evaluasi ini juga membuka potensi izin pelepasan itu dikoreksi karena hutan terbukti produktif. Contohnya, hasil evaluasi KLHK di Papua dan Papua Barat, ada izin pelepasan sejak 5-10 tahun lalu, tapi penanamannya rendah (15-20 persen) dan kondisi tutupan hutan lebat. ”Hal ini akan kita koreksi dan hutan lebatnya harus jadi hutan produksi. Hutan ini bisa jadi area perhutanan sosial,” ujarnya. (ICH)

Sumber: Kompas

Related Article

INPRES Moratorium Disiapkan

INPRES Moratorium Disiapkan

Rancangan Instruksi Presiden Moratorium Sawit tinggal menunggu tanda tangan presiden. Semangat inpres ini untuk menertibkan perkebunan kelapa sawit, terutama yang berada di kawasan hutan.

Jakarta, Kompas Janji Presiden Joko Widodo untuk menghentikan sementara perizinan perkebunan sawit pada April 2016 siap direalisasikan melalui instruksi presiden. Regulasi internal pemerintah kepada menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota ini dalam waktu dekat diajukan ke Istana.

Berdasarkan data yang diperoleh Kompas, dalam draf per 22 Desember 2017 yang ditandatangani Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, rancangan instruksi presiden itu berjudul Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Isinya memberi perintah Menko Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Dalam Negeri, gubernur, dan bupati/wali kota untuk menjalankan sejumlah tugas dan kewenangan.

Asisten Deputi Tata Kelola Hutan Kemenko Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo, Senin (22/1), di Jakarta, mengatakan, secara prinsip isi rancangan inpres ini telah disetujui Menko Perekonomian Darmin Nasution. ”Mudah-mudahan dalam waktu dekat sampai ke Presiden,” katanya.

Ia mengatakan, semangat dalam inpres tersebut adalah menertibkan perkebunan kelapa sawit, terutama yang berada dalam kawasan hutan. Berdasarkan data KLHK, sekitar 1,6 juta hektar perkebunan sawit di kawasan hutan belum mengantongi izin pelepasan kawasan hutan.

Moratorium sawit ini akan memperkuat Inpres Penundaan Pemberian Izin Baru di Kawasan Hutan Primer dan Gambut yang dijalankan sejak 2011.

Iklim investasi
Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono mengatakan akan taat pada setiap kebijakan pemerintah. Hanya saja, ia berharap pemerintah tetap menjaga iklim investasi agar tidak terhambat aturan-aturan baru.

Ia pun berharap Inpres Moratorium Sawit ini bisa menyelesaikan ketelanjuran historis perkebunan-perkebunan sawit. Ia mencontohkan perubahan kebijakan dan regulasi yang tumpang tindih membuat izin hak guna usaha (HGU) sawit di banyak perkebunan di Kalteng dinyatakan bermasalah. Padahal, katanya, perkebunan mendapatkan HGU sebelum area itu ditetapkan sebagai kawasan hutan.

”Penyelesaian ketelanjuran jangan sampai mempersulit seperti misalnya diminta mencari lahan pengganti,” katanya.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya mengapresiasi informasi terbaru moratorium sawit ini. Inpres ini antara lain membuka ruang pengembalian kawasan hutan yang telah berbentuk perkebunan sawit tanpa mengantongi prosedur jelas.

Selain itu, katanya, rancangan inpres memberikan perintah untuk mengevaluasi izin HGU ataupun izin pelepasan kawasan hutan di masa lalu. Langkah ini diharapkan bisa mengurai tuntas serta mendapatkan solusi ataupun penegakan hukum atas berbagai pelanggaran.

Namun, Teguh memberi catatan, antara lain, terkait amanat pembentukan Tim Kerja oleh Menko Perekonomian. Tim Kerja yang memiliki tugas vital di antaranya memverifikasi data pelepasan, peta izin perkebunan, HGU, sinkronisasi Satu Peta, dan memberi rekomendasi kepada menteri/gubernur ini tak jelas kriterianya. Ia berharap Tim Kerja itu juga diisi perwakilan seperti masyarakat sipil ataupun pakar yang independen. (ICH)

Sumber: Kompas

Related Article

Presiden Segera Keluarkan Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit

Presiden Segera Keluarkan Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit

Ilustrasi lahan perkebunan sawit di Riau dilihat dari udara. (Foto: ANTARA)

KBR, Jakarta – Presiden Joko Widodo bakal segera menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara atau moratorium perizinan perkebunan sawit.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, Inpres itu mengatur kebijakan moratorium yag akan diberlakukan selama tiga tahun. Selama masa itu, tidak boleh ada izin baru perkebunan kelapa sawit, atau penambahan luas lahan perkebunan kelapa sawit.

Siti Nurbaya mengatakan saat ini fokus pemerintah adalah meningkatkan produktivitas sawit rakyat, salah satunya dengan melakukan peremajaan.

“Di dalam Instruksi Presiden itu yang kepada menteri LHK, pertama, karena sudah ada 13 juta hektar hutan sawit dan yang lebih empat jutaan hektar yang punya rakyat, produktivitasnya masih rendah. Karena itu jangan dulu ada izin baru. Jadi nanti, saat Inpres keluar, nggak boleh ada izin baru,” kata Siti di Jakarta, Selasa (23/1/2018).

Siti Nurbaya mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup juga diinstruksikan untuk mengevaluasi perizinan sawit yang sedang berjalan. Sementara, izin yang sudah terbit tidak akan dievaluasi.

“Kalau yang sudah keluar izinnya, apanya yang dievaluasi?” kata Siti Nurbaya.

Menurut Siti, di dalam Inpres juga memuat tentang pembentukan tim kerja yang akan dipimpin Kementerian Koordinator Perekonomian. Tim tersebut berisi sejumlah pihak terkait, namun ia enggan merinci pihak mana saja yang akan dilibatkan.

Pada Mei 2017 lalu, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi yang menyerukan penghentian sawit dan biodiesel berbasis sawit karena mengakibatkan masalah lingkungan, korupsi, HAM dan perdagangan anak.

Editor: Agus Luqman

Sumber: KBR

Related Article

id_IDID